Bagian 4.1
Verlita menutup pintu mobil sekuat tenaga. Menimbulkan bunyi berdebum yang begitu nyaring bahkan sopir yang sejak satu jam lalu menunggunya tampak terperanjat di belakang Verlita. Seperti tersadar beberapa detik kemudian, pria yang semula hendak membukakan pintu mobil untuk Verlita itu mengitari mobil lalu duduk di bangku kemudi.
"Kita pulang, Bu?" tanya pria itu dengan suara pelan.
"Iya."
"Rumah Bapak dan Ibu atau rumah Pak Radith?"
Verlita melotot seketika. Bagaimana mungkin pria ini begitu lancang melontarkan pertanyaan kurang ajar itu.
"Sepertinya otak kamu sudah tumpul. Kalau saya bilang ke rumah tentu saja rumah saya dan Radith. Bukan rumah orang tua saya." Verlita tak habis pikir. Kenapa semua orang begitu sok tahu dengan permasalahannya. Hingga detik ini ia masih berstatus sebagai istri sah Radith. Jadi ia masih berhak untuk menempati rumah itu meskipun memang sebelumnya ia tak berencana ke sana. Ia memang berniat menginap di rumah orang tuanya.
Akhirnya tanpa kata, pria di balik kemudi itu menjalankan mobil meninggalkan area parkir. Hanya keheningan yang menemani. Hingga sebuah panggilan telepon dari ponsel Verlita berbunyi. Sedikit berdecak sebal, Verlita merogoh ponsel yang ia simpan di dalam tasnya. Saat identitas pemanggil terlihat olehnya, wanita itu mengusap layar ponsel lalu menempelkan ke telinganya.
"Ada apa, Mas?" tanya Verlita enggan berbasa-basi.
"Jangan tanya 'ada apa, Mas!' seharusnya aku yang mengucapkan hal itu." Suara di seberang sana terdengar mengeram menahan emosi.
"Kenapa lagi? Aku sedang di jalan." Verlita berdecak tak sabar.
"Jangan berpura-pura bodoh, Ver! Di mana kamu sekarang?"
Verlita enggan menjawab.
"Jadi benar kamu sekarang pulang ke Malang?
Verlita masih tak menjawab.
"Kenapa tidak mengatakan kepadaku sebelumnya?" Akhirnya suara itu benar-benar terdengar penuh emosi.
"Kalau aku mengatakan kepadamu, pasti kamu tidak akan mengizinkan."
"Tentu saja. Tapi setidaknya seharusnya kamu bilang kepadaku."
"Lalu kamu akan melarangku?" Verlita mendecih. "Sia-sia. Yang penting sekarang aku sudah dalam perjalanan ke Malang."
Hening. Hingga Verlita mengira pria di ujung sana telah mematikan sambungan. Namun saat melihat ponselnya, Verlita pun akhirnya tahu. Pria itu masih enggan mengakhiri obrolan mereka.
"Mas?" panggilnya pelan.
"Kamu baik-baik saja kan, Ver? Dia tak menyakitimu 'kan?" Pria di seberang sana terdengar cemas. Nada emosi yang semula menguasainya luntur tak tersisa.
Desahan lelah akhirnya Verlita lontarkan. "Entahlah. Aku tidak tahu saat ini baik-baik saja atau tidak. Setidaknya dia tak menyakitiku secara fisik."
"Segeralah kembali saat urusanmu selesai."
Verlita menggeleng. Meskipun lawan bicaranya tak akan pernah tahu.
"Aku bahkan nggak tahu kapan urusan ini akan selesai."
"Sherin membutuhkanmu. Dia menanyakanmu terus menerus." Kali ini suara pria itu terdengar memohon.
"Demi Tuhan, Mas. Aku bukan pengasuh bayi. Kamu bisa mengatakan kepadanya jika aku pulang. Lagi pula bukan kewajibanku untuk menemaninya terus-menerus. Bayar saja seseorang untuk menemaninya." Verlita berucap tajam mengenyahkan beban yang hendak menghampirinya. Ingin ia mengumpat keras. Melampiaskan semua kekesalannya. Kenapa saat ia menghadapi masalah yang begitu besar dan berharap segera menyelesaikannya tapi justru masalah lain datang menghampirinya? Tidak Radith, tidak juga pria yang masih menghubunginya itu. Entah kenapa Verlita merasa hidupnya dikelilingi pria-pria pembuat masalah.
"Tapi dia besok ulang tahun, Ver. Dan dia ingin kamu ada."
Verlita memejamkan mata. Menarik napas demi mengurangi emosi yang jika tidak ia kendalikan akan mengusir kewarasannya.
"Mas. Dia anakmu, kamu tahu cara mengatasi semua keluhan dan masalahnya. Termasuk urusan perasaannya. Saat ini aku sedang pulang ke Malang menyelesaikan urusanku dengan suamiku. Setidaknya kamu harus paham. Di manakah letak prioritasku akan kuberikan."
"Jika memang sudah tak bisa diselamatkan kenapa masih terus memaksa, Ver. Carilah kebahagiaanmu. Radith sudah berbahagia dengan hidup tanpa kamu. Itulah kenapa dia kembali mengajukan gugatan itu. Jangan memperumit keadaan. Kamu akan semakin menyakiti diri ka---"
"Stop, Mas! Jangan terlalu ikut campur urusan yang bukan milikmu. Ini masalahku."
"Setidaknya aku ingin kamu bahagia, Ver. Dan satu lagi. Aku berharap kamu bisa datang untuk Sherin. Dia sangat menyayangimu."
Dan hanya begitu saja. Panggilan itupun akhirnya berakhir tanpa bisa Verlita cegah. Verlita termenung. Kembali memikirkan kata-kata yang pria itu tadi katakan. Apakah semua pria berpikir sepraktis itu dalam memaknai suatu hubungan?
Lalu apa tadi pria itu bilang? Sherin membutuhkannya? Omong kosong. Gadis kecil pembuat masalah itu pasti hanya menginginkannya demi bisa mendapatkan sesuatu yang tak mungkin ayahnya berikan.
###
Dikit-dikit dulu ya friends. Aku berusaha banget untuk rutin update meskipun sedikit. Pengen nulis lancar tapi apalah daya. Otak tak mampu. So, nikmati apa yg ada ya. Happy reading & jangan lupa tinggalin jejak ya biar makin semangat nulisnya.
###
Nia Andhika
20112021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top