Bagian 1

"Bu, Bapak ada di sini. Beliau bersama ....," Jeda sejenak sebelum si penelepon di seberang sana kembali bersuara. "seorang wanita. Emm... Masih anak-anak sebenarnya."

Verlita tercekat. Apa tadi yang pria itu bilang? "Anak-anak!?" Verlita mengulangi apa yang si penelepon itu sampaikan.

"Em... Maksudnya masih muda, Bu. Bukan anak-anak juga sih. Mungkin usianya masih belasan. Seperti siswa sekolah menengah atas," jawab suara itu gugup.

Verlita menarik napas berat lalu mengembuskannya kuat. Tangan bebasnya yang tak memegang ponsel mengepal tanda emosi.

"Sudah berapa kali, bapak ke sana dengan gadis itu?" Verlita berucap tegas mengabaikan panas dalam dadanya.

"Sudah beberapa kali, Bu." Keraguan jelas terdengar dari nada suara pria itu. Mungkin ia takut ... atau berusaha menyembunyikan sesuatu---mungkin.

Verlita memejamkan matanya. Menghalau pedih yang mulai menyerang mata.

"Beberapa kali itu berapa banyak, Pak? Dua kali, tiga kali, lima kali. Kan ada jumlahnya!" Akhirnya Verlita tak mampu mengendalikan diri. Membuat pria di ujung sana terdengar makin ketakutan.

"Mungkin kalau tiga kali, ada, Bu. Tapi tidak sampai genap lima kali. Em... Ya mungkin sejumlah itu." Pria di seberang sana masih terdengar ragu.

Darah Verlita mendidih, "Lalu kenapa kamu baru melaporkannya sekarang? Kemana saja kamu selama ini? Apa harus menunggu bapak berkunjung ke sana sampai sepuluh kali atau bahkan setiap hari!? Dasar bodoh! Pekerjaan seperti ini saja tidak becus. Mungkin saya harus mempertimbangkan untuk mencari orang baru untuk menggantikan kamu dan istrimu yang tak berguna itu!" Dengan penuh amarah, Verlita mematikan sambungan telepon lalu melempar benda persegi itu sembarangan. Menimbulkan bunyi yang cukup keras yang Verlita yakin akan membuat ponselnya tak lagi berfungsi seperti sedia kala.

Biarlah. Biarlah ponsel itu menjadi rongsokan tak berguna. Ia bisa membeli lagi yang baru. Bukan hanya satu, puluhan benda yang samapun ia mampu. Suaminya sangat mampu membelikan apapun yang ia inginkan. Bahkan Verlitapun tak pernah kekurangan uang karena ia juga bekerja meskipun memiliki suami berkantong tebal yang tak akan habis hartanya meskipun ia kuras setiap hari.

Verlita mengembuskan napasnya pelan, mencoba untuk tenang. Ia masih belum kalah. Tidak akan kalah. Informasi yang baru saja ia dapatkan tak ubahnya seperti lalat kecil yang meskipun mengganggu namun tak akan berbahaya. Ia bisa mengatasinya dengan jentikan jari. Seperti masalah-masalah lain yang pernah menghampirinya.

Sebenarnya Verlita sudah menduga hal ini. Kecurigaannya beberapa waktu lalu akhirnya terbukti. Setelah satu laporan menyusul laporan-laporan berikutnya. Namun ia tak akan gentar. Ia akan menyingkirkan hama kecil itu dalam rumah tangganya seperti sebelumnya.

Memiliki suami dengan segala hal di atas rata-rata memang bukanlah hal mudah. Apa lagi mereka menjalani hubungan jarak jauh. Sang suami tinggal di kota kelahirannya di Malang sedangkan dirinya berkeliling ke sana kemari.

Berkeliling dalam arti yang sesungguhnya. Ia terus menerus bergerak dari satu kota ke kota lainnya untuk merintis bisnis Factory outlet yang ia banggakan selama ini. Setelah memutuskan berhenti dari cat walk beberapa tahun silam, ia mencari kesibukan lain. Ia bukanlah wanita yang suka duduk diam di rumah tanpa mengerjakan apapun. Ia adalah wanita yang aktif dan suka bersosialisasi. Berhubungan dan berkomunikasi dengan orang-orang di luar sana adalah salah satu hal yang bisa menjaga kewarasannya dari rutinitas membosankan yang kebanyakan orang sebut sebagai berbakti untuk kehidupan rumah tangga.

Bukan. Bukan Verlita membenci kehidupan rumah tangganya atau membenci posisinya sebagai seorang istri, namun, ia adalah orang dengan jiwa bebas. Terkurung di rumah tanpa melakukan apapun dan hanya menjadi pajangan untuk sang suami adalah hal terakhir yang ia inginkan. Dan beruntungnya, sang suami merestui. Pria itu mengizinkan Verlita melakukan pekerjaan yang Verlita suka di luar sana meskipun dengan resiko mereka harus menjalani hubungan jarak jauh karena seringnya Verlita bepergian.

Verlita beruntung mendapatkan suami seperti pria itu. Suami penyabar yang memujanya sejak mereka berkenalan belasan tahun silam hingga akhirnya mengesahkan status pernikahan mereka sembilan tahun lalu. Sembilan tahun yang mengagumkan meskipun mereka pernah menghadapi badai besar tiga tahun lalu hingga hampir saja berujung perpisahan, namun semuanya masih terselamatkan.

Namun, kini kebebasannya di luar sepertinya akan menjadi bumerang. Baru saja salah satu pekerjanya, Rokhim, pria yang mengurus rumah peristirahatan mereka menghubungi jika suami Verlita membawa seorang wanita ke rumah peristirahatan mereka. Bukan seorang wanita. Rokhim tadi sempat mengatakan jika masih anak-anak. Yah, mungkin seseorang yang suaminya bawa adalah seorang gadis belia. Itulah yang menjadi kesimpulan Verlita.

"Halo! Sudah diketahui siapa wanita itu?" Verlita kembali berbicara di ponselnya. Kali ini Verlita menghubungi salah satu orang yang ia percaya. Ia akhirnya memungut kembali ponsel mengenaskan itu yang ternyata meskipun ia lempar begitu keras dan layar benda persegi itu sedikit tergores namun masih berfungsi dengan baik. Sepertinya ia harus belajar mengendalikan emosinya. Meskipun ia bisa begitu mudah mendapatkan ponsel baru, namun jika di situasi seperti saat ini, ia tetap membutuhkan benda sialan itu untuk menghubungi orang-orang yang ia perlukan bantuannya.

"Mohon maaf, Bu. Saya masih belum menemukan apapun."

Verlita mengernyit mendengarkan jawaban orang yang ia hubungi di seberang sana.

"Kamu setiap hari bersama bapak, kenapa informasi seperti ini saja tidak bisa."

"Sejauh ini tidak ada hal yang mencurigakan, menurut saya. Bapak bekerja seperti biasa. Sore hari beliau pulang. Hanya seperti itu. Tidak ada yang terlihat dekat dengan bapak." Lagi-lagi suara itu menjawab dengan lancar. Tak merasa terbebani meskipun sedang berbicara dengan istri orang nomer satu di kantornya. Verlita sempat berpikir, apakah ia perlu mengganti orang lain untuk mengamati sang suami? Sepertinya pria itu lebih mendukung sang suami dari pada dirinya. Atau jangan-jangan pria itu sengaja menutupi kebusukan suaminya?

"Ya sudah. Tetap amati kegiatan bapak. Dan jangan lupa laporkan jika ada sesuatu yang mencurigakan." Dengan kalimat itu Verlita menutup panggilannya. Setelahnya ia merebahkan tubuh tegang nan kakunya di atas ranjang apartemen yang ia sewa. Bukan dirinya sebenarnya yang menyewa tetapi suaminya. Suaminya yang menyarankan agar ia tinggal di apartemen alih-alih terus menerus menyewa hotel. Mungkin pria itu tak mau ia membuang-buang uangnya dengan sia-sia.

Otak Verlita kembali berputar, apa yang harus ia lakukan sekarang? Sepertinya suaminya sudah benar-benar menepati ucapannya. Pria itu tak memberinya akses masuk ke dalam kehidupannya lagi.

Sialan! Bahkan ia hampir saja melupakan fakta bahwa pengacara pria itu sudah menghubunginya untuk membahas berkas perceraian mereka.

Apakah kini pesonanya sudah tak mampu lagi membuat suaminya,Radithya Hanggono bertekuk lutut memujanya?

###
Nia Andhika
01112021

Yang penasaran siapa Verlita dan suaminya, bisa intip lapak Upgrade ya. Sekalian cari bocoran di sana. Eheeheheheee.....

Tapi tetap jaga jari ya. Jangan sampai isi kebun binatang keluar semua. 😆😆😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top