7-3
Orang dewasa tak mengerti
Dengan hatiku yang terasa sakit
Ya, mereka bahkan lupa saat mereka masih anak-anak dulu
Masa lalu. Kenangan menghilang dengan cepat dan kau pun kehilangan kendali
Kalau Tinita pikir-pikir ia dan ibunya tidak pernah membahas soal impiannya. Apa yang sebenanrya ingin Tinita lakukan. Bayangan masa lalu ketika keluarganya masih lengkap berputar di kepalanya.
Ia teringat dengan popo, film ekspedisi di TV yang pernah di tontonnya, ensiklopedia yang sering ia baca.
"Mama aku ingin seperti papa," ucap Tinita, "aku ingin menjelajahi alam seperti yang dilakukannya, aku ingin melihat dunia!"
Mendengar itu Mega langsung kembali marah, "Tidak! Mama tidak setuju!"
"Tapi Tinita ingin!" ucap Tinita keras, menatap sang ibu yang tampak menentang keinginannya.
"Tidak! Kalau mama bilang tidak ya tidak!"
"Mama tak bisa mengatur Tinita!"
Mamanya memijit kening, "Ini demi kebaikanmu sendiri! kamu tidak bisa menjadi seperti papamu!"
"Mama tak bisa mengatur impianku! Mama tak bisa!"
"Memangnya apa yang kamu tau tentag dunia luar?!"
"Karena tidak tahulah aku harus pergi melihatnya sendiri! Tinita bukan anak kecil lagi!"
"Tinita!" bentak Mega, Tinita tampak terdiam sejenak.
Ini pertama kalinya Ibunya membentak Tinita, tidak pernah ia mendengar nada itu walau dulu ia juga sering di marahi.
"Mama sudah memperisapkan universitas dan jurusan yang nanti akan kamu ambil, mama juga sudah menyiapkan posisi di perusahaan untuk kami isi, kamu tidak perlu memikirkan apapun lagi!"
"Kenapa?! Mama ini hidupku jadi aku yang berhak mengaturnya bukan mama!"
Tinita langsung berbalik pergi, ia langsung keluar dari rumahnya mengabaika teriakan yang terus memanggil namanya.
Tinita ingin sendiri sekarang, ia tak ingin menemui siapa pun!
Langkah kakinya lincah berlari diantara orang-orang yang memenuhi jalanan, ia memutuskan untuk pergi ke sekolah, karena itu satu-satunya tempat yang ia ingat jalannnya. Tinita masuk melalui lubang yang sama.
Tinita tidak membawa tasnya, ia hanya membawa ponsel yang sudah ia matikan dan dirinya sendiri.
Sekolah sepi seperti biasa, ruangan yang gelap dan hanya menggunakan penerangan yang minim. Tinita mulai menjelajahi sekolah di malam hari. Ia tidak takut dengan cerita-cerita yang selalu dibicarakan oleh teman-temannya mengenai sekolah. Sepanjang yang ia lihat hanya ruangan yang ditutup. Ia lalu berjalan menuju ke ruang radio, namun ia tak menemukan siapa pun disana.
Mungkin Tama sedang tidak mengudara hari ini.
Ruangannya pun gelap.
Mungkin ia benar-benar sendirian di dalam gedung sekolah ini. Satpam hanya berjaga di luar gedung, berkeliling. Dan hanya sekali atau dua kali saja masuk ke dalam gedung.
Informasi itu ia dapatkan dari Tama, makanya ia aman-aman saja mengudara di dalam sekolah. Tinita berjalan menjelajahi tiap lantai sambil mengusap airmatanya.
Ia masih kesal dengan ucapan ibunya, Tinita memang ingin menjadi anak yang baik dengan mematuhi ucapan orang tua, tapi Tinita juga punya hal untuk menolak ucapan orang tuanya.
Lagi pula, ibunya tidak pernah ada di sisinya selama ini, meninggalkan Tinita sendirian di rumah ditemani buku dan pelayan yang selalu berganti tiap tahun. Bibi pengasuhnya pun mengundurkan diri ketika Tinita memasuki SMP, ia jadi tak punya teman untuk diajak bicara lagi.
Tinita merasa sendiri namun ia mengabaikan rasa itu, bertingkah bahwa semuanya baik-baik saja seperti biasa. Menjalani hari-hari yang terasa membosankan sendiri.
Tidak tahukah dia kalau selama ini Tinita merasa sendirian? Tidakah ia mengetahui bahwa Tinita selalu mengubur rasa itu dalam-dalam?
Apakah ibunya tahu apa yang sebenarnya Tinita butuhkan?
Bukankah ibunya lebih dahulu merasakan masa muda dibandingkan Tinita? Bukankah ibunya itu lebih dulu merasakan tahap-tahapan kehidupan?
Ah... Tinita pusing...
Cewek itu lalu melihat kea rah jendela yang tertutup tirai lalu membukanya, bulan tidak sepenuhnya bersinar hanya sebelah.
Tinita lalu menutup tirai itu dan berjalan menuju ke perpustakaan. Ia mencoba peruntungan, mungkin perpustakaan buka. Karena tadi Tinita mencoba membuka beberpa kelas tidak dapat dibuka.
"Ah... terbuka..." gumam Tinita ketika pintu perpustakaan berhasil ia buka.
Tinita lalu berjalan menuju ke meja yang biasa ia gunakan untuk membaca, ruangan perpustakaan cukup gelap dan Tinita berjalan menuju ke saklar lampu hingga ruangan itu terasa terang.
Tinita lalu duduk di salah satu kursi, lalu menangis disana.
Memang apa yang salah? Memangnya memiliki mimpi itu tidak boleh?
"Menyebalkan! Menyebalkan!"
Tinita memukul-mukul meja dengan kesal hingga menimbulkan bunyi yang berisik. Tinita meluapkan semua emosinya, ia tidak peduli dengan tempat ini.
Tinita hanya ingin melepas semua emosinya disini.
"Mama egois! Mama jahat! Hiks..."
Tinita mengusap wajahnya yang basah dengan tangan, namun itu sama sekali tidak efektif. Wajahnya tetap basah. Kalau saja ada cermin disini Tinita dapat melihat betapa kacaunya dirinya. Tinita yang selalu menjaga penampilan yang rapi dan bersih kini menjadi sangat berantakan.
Tinita menganiaya meja itu berkali-kali sampai puas, tanganya pun memerah namun Tinita sama sekali tidak merasa sakit.
"Kalau mejanya sampai rusak, kamu harus menggantinya lho..."
Tinita langsung menoleh, saat mendengar suara lain di perpustakaan, namun ia langsung berpaling tidak melihatnya.
Orang itu lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Tinita.
"Saya sudah meluangkan waktu untuk melakukan bimbingan konseling untukmu, jadi kamu bebas bercerita disini dibandingkan menyakiti diri sendiri,"
Tinita menatap Pak Samuel yang tampak tersenyum ramah. Mengejutkan menemukannya berada di sekolah malam-malam. Pak Samuel lalu mengeluarkan tissu dan memberikannya pada Tinita, cewek itu menerimanya dan membersihkan wajahnya dari sisa-sisa air mata.
"Saya hanya bertengkar dengan orang tua saya..." ucap Tinita sambil melipat tangannya di dada lalu bersandar pada kursi.
"Orang tua tunggal?"
"Ya,"
"Hm...."
Pak Samuel tampak memasang ekspresi berpikir, untuk beberapa saat Tinita merasa tingkahnya mirip dengan Cakra.
"Apa yang kini kamu pikirkan tentang orang tuamu?"
"Dia sama sekali tidak mengerti saya,"
"Kalian sering bertemu?"
"Tidak,"
"Hm..."
Daripada berbicara dengan seorang guru, Tinita merasa sedang berbicara dengan seorang mahasiswa baru yang sok dewasa mendengarkan curhatan temannya. Gayanya sangat santai, atau memang seperti ini gaya buru BK kalau sedang mengadakan konseling?
Pak Samuel lalu mengelus kepala Tinita.
"Orang tuamu memang tidak mengenal dirimu, tapi bukan berarti ia tidak ingin mengerti dirimu. Dia hanya ingin kamu baik-baik saja, dia menyayangimu,"
"Bapak hanya melakukan penilaian instan,"
"Kalau begitu bapak akan bertanya, apakah kamu mengenal orang tuamu dengan baik?"
Tinita terdiam, lalu menggeleng.
"Kalau begitu kalian harus menggunakan waktu ini untuk saling memahami,"
"Tapi-"
"Bukankah kamu menyayangi ibumu? Saya yakin dia juga menyayangimu, tapi ia belum tahu bagaimana cara menyampaikannya dengan benar,"
"..."
Tinita mulai berpikir lagi dengan jernih, berusaha untuk tidak terlalu terbawa emosi.
"Yah... mungkin saya harus melakukannya..., ngomong-ngomong Pak, saya ingin menanyakan sesuatu,"
"Ya?"
"Apakah bapak memiliki hubungan saudara dengan Tamara, siswi yang berada di kelas yang sama dengan saya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top