2-5
Langit saat hujan tidak seburuk itu
Aku hanya tak bisa melihat langit dengan payung
(Kitai Shite Inai Jibun-Hiragana Keyakizaka46/Hinatazaka46)
Cakra baru pulang ketika menjelang sore, latihan basket kali ini cukup singkat. Cakra juga menenteng beberapa bingkisan yang diberikan oleh penggemarnya. Kebanyakan merupakan kue atau manisan.
Namun baru beberapa langkah untuk sampai, Cakra mendengar suara gaduh. Itu suara orang tuanya dan kakaknya. Tak perlu berpikir dua kali, Cakra memutuskan untuk berbalik, membuat satpam yang baru saja ingin membukakan pintu heran.
"Kenapa den? Nggak jadi masuk?"
"Nggak pak," sahut Cakra
Cakra tidak suka dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini, kedua orang tuanya sering bertengkar dengan kakaknya.
Bram tidak banyak tanya ketika Cakra tiba di rumah sepupunya itu. Rumah Bram yang lebih sering sepi membuat cowok itu tidak keberatan Cakra menginap di sana sesekali.
"Lo mau main PS?" tanya Bram ketika Cakra selesai mengganti bajunya dengan baju milik Bram.
"Nggak, gue harus nyelesein tugas dulu," tolak Cakra lalu mengambil laptopnya.
"Tumben belajar lo serius," komentar Bram sambil bersiul, cowok itu lalu duduk bersila di samping Cakra
"Hm," sahut Cakra
"Mau gue buatin jus?" tanya Bram sambil berdiri lagi, keinginannya untuk bermain PS hilang karena tidak ada teman bermain.
"Sirsak, sekalian satenya ya," jawab Cakra dengan matanya yang masih setia pada layar laptop.
Keesokan pagi, Cakra sudah siap dengan seragam dan berniat untuk berangkat bersama Bram, sebelum ekor matanya menangkap sebuah mobil yang memasuki pekarangan rumah Bram. Sadar bahwa itu mobil orang tuanya, Cakra bergegas mengambil tas dan berlari ke luar rumah Bram menggunakan pintu belakang.
Ia tidak ingin melihat wajah kedua orang tuanya sekarang.
***
Tinita melangkah di samping Cakra, keduanya tidak ada yang memulai percakapan. Hanya langkah sepatu mereka yang terdengar ketika mereka sampai di lantai 5.
Lantai 5 memang hampir setiap hari sepi, kalau bukan karena kegiatan klub ataupun ada praktek di lab IPA mungkin Lantai 5 tidak diperlukan. Tinita tahu kalau Cakra diam-diam meliriknya, tapi Tinita diam saja. Kalupun ia melirik balik Cakra akan membuang wajah lagi.
Mereka meletakkan kardus itu di sebuah sudut dekat lemari dokumen, meski ruangan ini gudang namun tidak terlalu banyak debu, lantainya pun tampak bersih.
"Cakra, aku minta maaf soal kemarin," kata Tinita "aku seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu padamu."
Cakra yang awalnya ingin keluar dari gudang menghentikan langkah.
"Lo emang menyebalkan," ucap Cakra masih memunggungi Tinita, "tapi yang lo bilang kemarin ada benarnya juga."
Cakra berbalik menghadap Tinita, "Sorry, gue bertingkah menyebalkan kemarin," ucapnya sambil menggosok kepala belakangnya, "dan ngerepotin lo selama ini. Ngomong-ngomong bahu lo sakit?"
Tinita memegang bahunya yang kemarin sempat di cengkram Cakra, "Tidak terlalu sakit," sahut Tinita
Cakra mengangguk, "Ya udah yuk ke-"
"Kamu memang suka nginep di rumahnya Bram ya?"
Entah kenapa Tinita gatal untuk bertanya hal itu.
Hening sebentar, "Ya," jawab Cakra
"Ada masalah ya?"
Cakra diam lagi, dalam hati Tinita merutuki apa yang baru saja ia tanyakan, memangnya apa salahnya Cakra menginap di rumah Bram? Mereka kan sepupu-an mungkin mereka memang terbiasa untuk saling menginap. Bram bukan Angle yang kemarin numpang menginap karena sedang marahan dengan kakaknya.
"Kalau ka-"
"Gue lagi kabur dari rumah," jawab Cakra
"Oh gitu ya," sahut Tinita sekenanya
Tinita menatap Cakra cukup lama, sorot mata itu belum pernah Tinita lihat.
***
"Kakak, kakak bertengkar lagi dengan papa dan mama?"
Cakra yang baru saja pulang dari kegiatan ekskul di SMP menatap wajah kakaknya terdapat lebam di pipi kirinya.
Terang mengusap kepala Cakra, "Hm, nggak usah di pikir."
Cakra menatap kakaknya sedih, "Kakak beneran mau pergi ya? Kenapa nggak kerja di perusahaannya ayah kan nggak usah pergi jauh," kata Cakra
Terang tersenyum, "Ini adalah tujuan kakak, jadi kakak tidak boleh setengah-setengah."
Cakra hanya menggangguk saja. Ia masih begitu polos saat itu, jadi ia tidak banyak mempertanyakan Terang yang mulai jarang ada di rumah. Dan pergi ke luar daerah untuk merintis bisnisnya sendiri yang berbeda dengan milik keluarganya.
Cakra tahu bahwa kakaknya begitu bekerja keras dalam merintis usahanya dari awal. Semuanya terasa baik-baik saja, sampai di tahun ketiga perusahaan milik kakaknya itu bangkrut.
Usaha keras kakaknya harus hilang hanya dalam waktu semalam.
Cakra tidak pernah melihat kakaknya yang sangat bersedih, saat Cakra dan keluarganya mengunjungi Terang, rumahnya terlihat berantakan. Wajah Terang pun tidak penuh ambisi atau senyuman ketika melihat Cakra.
Terpuruk, Terang akhirnya menderita depresi berat.
***
"Lo mirip kakak gue," ucap Cakra
"Kakakmu cewek?" tanya Tinita merasa bahwa wajahnya mungkin mirip dengan kakaknya Cakra.
Cakra tertawa "Nggak, dia cowok, dia tipe yang ambisius kayak lo.... Bisa dibilang dia versi cowok dari lo dan lebih manusiawi tentunya."
Tinita menendang kaki Cakra, tidak terima dibilang tidak manusiawi.
"Sekarang dia lagi depresi karna bangkrut, gue heran kenapa dia bisa tumbang padahal dia sudah bekerja keras. Jadi gue pikir apa gunanya bekerja keras kalau ujung-ujungnya tetap sama, seharusnya ia menuruti kata Papa untuk meneruskan usaha keluarga."
Hening diantara mereka berdua, Cakra tak berniat untuk mengatakan apapun dan Tinita berpikir sejenak sebelum mengatakan sesuatu.
"Kamu tidak boleh mengatakan hal seperti itu, bukan salahnya jika ia gagal, mungkin itu hanya karena hujan," kata Tinita "hidup tanpa tujuan, itu sama saja dengan mayat hidup."
Cakra terdiam.
"Dan... aku akan berusaha untuk tidak emosi lagi menghadapimu, kalau boleh jujur itu cukup sulit," kata Tinita, mengingat dulu ia juga melakukan hal yang sama pada Angle, dan meski ia sudah meminta maaf pada cewek itu Tinita masih saja suka implusif saat marah.
Ah... ingatkan dirinya untuk minta maaf pada Angle.
"Untuk saat ini, gue belum nemu tujuan pasti," ucap Cakra, "tapi kalo ada gue bakal pastiin lo yang pertama tahu."
Cakra lalu melangkahkan kakinya ke luar namun saat menggeser pintu gudang, ia malah dihadapkan dengan sesosok cewek.
"Eh... ha-hai Cakra, Tinit" sapa Angle sambil tersenyum kikuk, ketahuan menguping.
"Hai beautifull stalker~" sapa Cakra balik sambil mengacak-ngacak rambut Angle
"Oi! Oi! Hentikan ish! Dasar nyebelin!" ucap Angle sambil menyingkirkan tangan Cakra yang menganiaya rambut indahnya.
Cakra segera kabur dengan langkah seribu sebelum mendapatkan tambahan omelan dari Angle.
"Jadi kusut deh," gumam Angle lalu merapikan rambutnya
"Angle,"
"Eh? I-iya?"
"Sejak kapan sudah ada disana?" tanya Tinita
"Um... dari sejak kalian.... masuk?" jawab Angle ragu sambil memalingkan wajah
"Aku minta maaf membentakmu kemarin," ucap Tinita
"Nggak, itu bukan salah Tinita, itu salahku..." tolak Angle
"Bagaimana kalau kita pergi menonton film sepulang sekolah nanti?" tanya Tinita
"Eh? Beneran? Wah akhirnya kita bisa jalan Tinit!" ucap Angle sambil memeluk Tinita gemas.
***
Keesokan harinya Tinita berjalan di lorong sekolah dengan mata yang mengantuk, sedangkan Angle berjalan di sampingnya sambil berbicara dengan ceria meski tidak terlalu ditanggapi oleh Tinita.
Seharusnya Tinita tidak memilih film animasi itu, seharusnya ia memilih untuk menonton film anak-anak saja. Meski berbentuk animasi namun adegan pembunuhan dan penuh darah itu masih melekat di benak Tinita. Meski ia sudah berusaha untuk menyingkirkannya dengan belajar namun tetap saja gambaran itu akan muncul ketika a menutup mata.
Jadilah ia tidak bisa tidur semalaman, sial.
"Sumpah kita harus nonton film keduanya! Argh!! Endingnya bagus sekali! Aku tidak percaya akhirnya Fred menyatakan cintanya pada Vega, yah meski lamarannya nggak romantis," kata Angle menjelaskan adegan yang paling ia sukai
Tinita berasa muntah mendengarnya, ya adegan lamaran itu kurang romantis karena di tengah-tengah kuburan dengan mayat zombie dimana-mana.
"Tinita!" panggil Cakra sambil berlari dari kejauhan, Tinita dan Angle menghentikan langkah mereka.
Cakra dengan sigap meraih tangan Tinita dan berlutut di depannya begitu sampai di depan gadis itu, Angle dan beberapa siswa yang ada terkaget, Tinita juga.
"Tinita, hari ini gue mau nyatain... kalo gue bakal jadi saingan lo buat meraih rangking pertama," ucap Cakra dengan wajah berbinar bak menyatakan cinta lalu mengecup punggung tangan Tinita
Entah kenapa, Angle dan para penonton merasa sakit hati mendengarnya.
"Oh," balas Tinita lalu melepas tangannya dari Cakra dan kembali berjalan menuju ke kelasnya dengan wajah datar seperti biasanya. Tidak memperdulikan teriakan keheranan siswa yang lain.
Meski sebenarnya Tinita sangat ingin memijit keningnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top