1-4

Tinita turun dari mobil jemputannya, perasaannya campur aduk sekarang, nilai pretesnya turun drastis. Ia tidak bisa fokus belajar semalam, pertengkarannya dengan Angel membuat Tinita tidak bisa berkosentrasi.

...cara mengajar lo yang killer itu

Ucapan Oda di perpustakaan membuatnya tidak bisa tidak memikirkan bagaimana caranya mengajari Angle.

Rasanya ia sudah mengajari cewek itu sesuai dengan materi dan juga latihan soal yang bertahap, Tinita bahkan menyisihkan waktu berharganya hanya untuk menyiapkan materi dasar.

Atau memang... ia terlalu keras terhadap Angle?

Tinita segera mengganti bajunya, dan turun ke lantai bawah rumah menuju kolam kecil yang ada di samping rumah. Ada tanaman bambu hias juga sehingga tempat itu tidak terlalu panas tertimpa cahaya matahari.

Tinita berjongkok mengamati kolam itu, hingga dari balik daun teratai, seekor kura-kura kecil muncul. Tinita mengambil kura-kura itu dan meletakkannya di pangkuan Tinita yang duduk di beranda samping rumah.

"Hei popo apa yang harus aku lakukan?" tanyanya sambil mengusap tempurung kura-kura kesayangannya.

Rasa marah dan bersalah masih mengaduk-ngaduk hati Tinita, ia canggung tiap bertemu Angle, mungkin karena pertengkarannya kemarin.

"Haish...ini menyebalkan," ucap Tinita merebahkan diri. Ia lalu merentangkan tangan menutupi setengah pandangannya.

Kalau saja ia masih di kelas saat semester 3 dulu, mungkin ini tidak akan terjadi, dan ia tidak perlu mendapat omelan Bu Ratna tentang pretestnya.

Tinita diam, merenungi apa saja yang telah ia lakukan belakangan ini.

Ting tong....

"Sepertinya ada yang datang," gumam Tinita lalu meletakkan kembali popo ke dalam kolam. Dan berjalan menuju ke gerbang utama rumah.

***

Angle menunggu dengan harap-harap cemas, setelah berpikir ia akan meminta maaf pada Tinita secepat mungkin. Tidak perlu lewat telepon ataupun SMS, Tinita bisa mengabaikannya.

Lebih baik langsung ke rumahnya!

Pintu gerbang itu lalu dibuka oleh penjaga, dan Angle dapat melihat Tinita yang berdiri ketika pintu gerbang kecil itu terbuka sepenuhnya.

"Ah halo," sapa Angle agak kaku,

"Ayo masuk," ucap Tinita lalu berjalan terlebih dahulu.

Angle mengikuti langkah Tinita, Angle memperhatikan taman depan rumah Angle. Kalau dipikir-pikir lagi, rumah Tinita terlihat cukup besar untuk disebut sebagai rumah.

Ada banyak tanaman bunga yang berada di halaman depan rumah, serta sebuah air mancur kecil.

"Ternyata rumahmu luas juga ya," komentar Angle ketika mereka memasuki ruang tamu.

"Hm," sahut Tinita sambil tetap berjalan.

Ah... Angle tidak tahu apakah Tinita masih marh atau tidak? Cewek itu terlalu datar dan hampir tidka menunjukkan emosi lain.

Tipe orang yang tidak terlalu suka beramah tamah.

"Oh ya, bicaranya di kamarku tidak apa?" tanya Tinita

"Nggak-gak kenapa," sahut Angle cepat

Mereka menaiki tangga menuju ke lantai dua, hiasan di lantai dua tampak lebih sederhana dibandingkan dengan di lantai pertama.

Tinita membuka pintu yang berada di kamar paling sudut, ada tempelan stiker beruang putih yang tampak usang di pintunya.

"Silahkan masuk, maaf kalau kamarnya berantakan," ucap tinita

Angle terdiam sebentar sebelum masuk ke dalam kamar Tinita. Kamar milik Tinita jauh dari kata berantakan, malahan terlihat lebih adem dan cerah disaat yang bersamaan.

Mata Angle lalu tertuju pada sticky note yang tampak banyak menempel dinding namun tidak membut dinding terlihat kotor. Serta cermin hias di ruangan itu yang juga ditempeli lima stiky note.

Melihat-lihat kamar Tinita membuat Angle hampir lupa dengan tujuannya.

"Tinita a-"

"Aku minta maaf atas sikapku kemarin."

Tinita memotong perkataan Angle, matanya melihat ke arah samping seolah tak berani menatap Angle secara langsung.

"Setelah kupikirkan, ternyata sikapku terlalu berlebihan, aku minta maaf kalau itu membuatmu tidak nyaman," lanjutnya.

Mendengar ucapan Tinita membuat Angle semakin bersalah, seharusnya kemarin ia tidak bertindak egois dengan lari dari masalah. Kalau memang ia merasa terganggu dengan cara mengajar Tinita harusnya ia bilang secara langsung.

"Uh-hu-huwaa!!!"

Angle langsung memeluk Tinita sambil menangis.

"Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah merepotkanmu sejauh ini, huwaa!!!"

Tinita menepuk-nepuk punggung Angle, membiarkan cewek itu menangis sepuasnya.

"Maaf karena aku egois, huwaa!! Maaf Tinit huwaaa!!"

Tinita jadi bingung karena Angle menangis makin keras, ia tidak tahu lagi harus berbuat apa selain menepuk-nepuk punggung cewek itu.

Entah berapa lama Angle menangis, yang Tinita tahu, langit sudah tampak kemerahan saat Angle mengelap sisa airmatanya dan duduk tenang di atas kasur bersama Tinita.

"Aku tidak menyangka kamu bisa se-emosional ini," ungkap Tinita saat Angle membuang tissu terakhirnya.

"Hum... jadi Tinita nggak marah lagi?" tanya Angle hati-hati

Tinita menggeleng, "Lagian tindakanmu waktu itu ada alasannya, meski itu memang membuatku marah, tapi marah-marah terlalu lama itu tidak baik untuk kesehatan mental dan fisik."

Angle tersenyum senang, "Jadi... apa kamu mau..."

"Kita akan tetap melakukan latihan seperti biasa, tapi aku akan memotong durasinya, jadi kita akan latihan saat jam istirahat pertama dan pulang sekolah, tempatnya di perpus saja agar tidak terlalu mengganggu. Aku juga akan berusaha untuk tidak terlalu emosional saat mengajarimu."

"Makasi Tinit!" ucap Angle sambil memeluk Tinita erat.

***

Tinita akhirnya merasa tenang kembali, perasaan tidak enak yang mengganggunya beberapa hari lalu telah menghilang.

Ia sekarang berada di perpustakaan bersama dengan Angle yang masih berkutat dengan soal latihan. Ia sudah berusaha untuk mengontrol emosinya ketika mengajari Angle.

Akhirnya Tinita mengerti perkataan Pak Samuel di hari pertamanya mengajar di kelas.

"Untung bapak menjadi guru disini, jadi tidak terlalu susah."

Hari itu Tinita belum mengerti apa maksud dari kalimat itu, sampai Tinita mengalaminya sendiri. Mengajari seseorang memang terlihat mudah namun nyatanya begitu sulit, apalagi jika orang yang diajari benar-benar tidak dapat mengerti apa yang kamu ajarkan, tentunya harus memutar otak untuk menentukan metode mana yang lebih efektif.

"Oh ya Tinit, apa kamu mau menonton latihanku nanti?"

"Kamu benar-benar bermain sebagai pemain di klub drama kan?" tanya Tinita agak sangsi, masalahnya Angle terlihat ekspresif, ya memang seorang aktor atau aktris memang harus ekspresif pada saat memainkan perannya.

Namun ini berbeda, Angle hampir selalu ekspresif bahkan disetiap langkahnya.

"Kau meragukanku?" ucap Angle tak percaya, "Tinita, apa kamu tidak tahu kalau aku ini model dan bintangnya klub drama?"

Tinita diam sebentar, "Aku hanya tahu kalau kamu itu pernah menjadi model dan punya banyak penggemar, aku sangat ingat dulu ada antrian panjang di depan gerbang sekolah ketika hari valentine dan membuatku susah untuk masuk ke dalam, menyebalkan."

Angle tertawa canggung, ya dia ingat kejadian itu juga. Hanya saja sebagai pemeran utama saat itu ia tidak tahu harus berbuat apa, selain menerima hadiah orang-orang itu satu persatu sambil berterima kasih.

***

Tinita melihat Angle yang terlihat berbicara dengan beberapa siswa sebelum mereka masuk ke dalam ruang latihan. Tinita juga dapat melihat raut memohon Angle, sepertinya cewek itu memang serius mengajaknya menonton latihannya sebagai ucapan terima kasih.

Angle lalu menghampiri Tinita ketika sudah selesai berbicara.

"Ayo masuk! Masuk!" ucap Angle sambil menarik tangan Tinita menuju ke dalam ruangan.

Ini pertama kalinya Tinita memasuki ruangan klub drama yang terkenal 'angker'. Bukan, bukan dalam artian sebenarnya. Namun memang sangat jarang ada yang dapat masuk ke dalam ruangan klub ini kalau bukan anggota sendiri atau OSIS.

"Angle ayo! Kau harus segera bersiap-siap!" panggil seseorang.

"Ah iya! Tinita kau bisa duduk di kursi itu!" kata Angle sambil menunjuk lima buah kursi yang berjejer di depan panggung, sebelum pergi menuju ke belakang panggung.

Tinita memperhatikan ruangan klub ini, terlihat persis seperti panggung di aula, hanya saja ruang untuk penontonnya yang lebih sempit.

"Hei, Lo Tinita kan?"

Seseorang menepuk pundaknya membuat Tinita menoleh, seorang cowok dengan wajah ramah menyapanya.

"Ya, dan kamu... Bram, ketua OSIS?"

"Iya haha, gue nggak nyangka bisa di notice ama cewek paling cool di sekolah ini, oh ya disini gue sebagai sutradara dan penulis naskah, hari ini kami bakal latihan untuk dua judul drama sekaligus, satu drama singkat musikal dan satu drama biasa yang cukup panjang durasinya."

Tinita mengangguk sebagai respon lalu melangkah menuju ke kursi yang telah disediakan, Bram juga duduk di kursi samping Tinita.

Setelah sepuluh menit latihan pun dimulai, diawali dengan kemunculan Angle yang membawa sebuah buket bunga palsu yang sepertinya memang disiapkan untuk latihan.

Angle juga mengganti pakaiannya dengan baju olahraga.

Di suatu kota kecil, seorang gadis penjual bunga tampak berdiri di pojok toko sepatu dengan tangan yang penuh membawa bunga.

Beberapa orang masuk sambil menari-nari, sedangkan Angle juga menari meski denga gerakan kecil di tempat, iringan piano yang terdengar seperti lagu balet pun terdengar.

Tinita melihat kearah samping panggung, terdapat seseorang yang bermain piano disana.

Di dunia yang sangat keras ini, Dia tak dapat menjual satu bunga pun bahkan bunganya mulai layu.

Kali ini ia tak menari di tempat, dengan anggun ia menari sambil berpindah-pindah tempat diantara pemain lainnya, wajahnya pun terlihat memohon ke setiap pemain agar bunganya data dibeli.

Dia tak punya uang untuk membeli sepotong roti untuk ibunya yang sedang terbaring sakit di rumah.

Angle mulai ditinggalkan sendiri oleh semua pemain, ia menari di tengah panggung dengan sorot cahaya yang fokus kepada dirinya.

"Kumohon, Tuhan. Permintaanku hanya satu. Berikanlah bunga yang kuat. Yang takkan pernah layu"

Pemain lain masuk, mereka menari di belakang Angle sambil berdialog.

Setelah menari beberapa saat mereka kembali keluar, latar pun diganti menadi lebih gelap.

Meski malam telah tiba, meski serigala melolong, meski tak ada seorang pun di sana, dia tetap berdiri dan berharap.

Angle tetap menari, backsound pun bertambah dengan lolongan serigala dan suara hewan malam.

Seorang pria bangsawan datang entah dari mana, menawarkan sebuah koin emas dan berkata "Berikanlah setengkai bunga yang paling indah"

Beberapa orang memasuki panggung sambil menari, seseorang menghampiri Angle mereka memberikan gestur orang yang sedang berbicara.

Meski dia mencari-cari di sekitar lengannya sudah tak ada satu pun bunga yang masih segar.

Angle terlihat memeriksa lengan dan bunganya, ia menari sedikit, sebelum akhirnya memperlihatkan raut wajah yang sedih.

"Kumohon, Tuhan" ia menggeleng dengan keras, Dia tak dapat menjual bunga yang layu, gadis itu pun menangis.

Pemain yang bertindak sebagai pria bangsawan tampak berusaha untuk meraih Angle, namun Angle selalu menghindar, mereka melakoninya sambil menari. Sedangkan pemain yang lain tampak berkurang namun masih ada beberapa yang ada dan menari sebagai penari latar.

Air mata dari gadis itu bersinar dengan kemilau tetesannya yang jatuh ke tanah berubah menjadi permata.

Tinita harus mengakui bahwa tarian yang dilakukan oleh Angle dan pemain-pemain yang lain sangat indah. Si bangsawan pun berhasil meraih Angle dan tampak menyeka wajah Angle yang basah oleh air mata.

Gadis itu seorang penjual bunga yang berdiri di pojok toko sepatu, dialah penjual bunga yang takkan layu dengan hatinya yang begitu indah.

Pemain lainnya pun masuk, mereka menari-nari namun tentu saja Angle dan bangsawan itu menjadi fokus. Mereka menari berpasangan.

Lalu denting piano pun berhenti terdengar dan para pemain berhenti menari dan membungkukkn badan.

Tinita tidak bisa untuk tidak bertepuk tangan, Tinita dulu tidak terlalu memperhatikan drama yang pentas tiap pembukaan tahun ajaran baru serta festival sekolah.

Tapi melihatnya sekarang membuat Tinita yakin bahwa pujian yang ia dengar di luar tentang klub ini bukan sekedar omongan di mulut saja. Angle juga tampak serius dan bersungguh-sungguh. 









NB : Cerita dalam drama diambil dari lagu Tsuyoi no Hana (Bunga yang Kuat) milik AKB48, refrensi terjemahan dari kazelyric.

Kebetulan lagi puter banyak lagu dari playlist lama, lalu kepikiran wah liriknya bagus juga, gimana kalau dimasukin ke dalam cerita 'eh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top