1-1

Saat itu adalah hari pertamanya seseorang memohon padanya.

Tinita menatap heran cewek yang sedang berlutut di depannya saat ia berjalan di lorong sekolah, semua siswa melihat ke arah mereka. Ada yang berbisik, ada yang berbicara dengan suara yang terdengar jelas.

Sial! Cobaan apa lagi ini?!

***

Hey Girl! You are myperfect target!

***

Angle menghela napas panjang, sepanjang latihan renang yang ia terus memikirkan hasil ulangannya akhir-akhir ini. Menyebalkan memang, ada beberapa nilai yang mengalami penurunan. Apa ia kurang berusaha? Atau karena jadwal lomba yang ia ikuti terlalu banyak?

Ia melihat kearah kolam, beberapa orang masih berenang.

"Nyebelin! Nyebelin!"

Angle menendang-nendang kakinya di tepi kolam renang.

Jika ia tidak mendapat nilai yang bagus untuk ulangan Kimia nanti, ia harus menerima tugas remedial dari gurunya, yang tentu saja menyita banyak waktunya.

Angle harus segera menemukan tutor terbaik!

cewek itu lalu bangkit, berniat untuk mengakhiri sesi latihannya lebih awal.

***

"Lo kenapa?"

Angle menengok, Rei dengan mata berair dan mulut yang menguap menghampirinya, kentara sekali sedang mengantuk berat, meski bel pulang sudah berbunyi Rei tampaknya masih diam di sekolah untuk tidur beberapa menit, dasar putri tidur.

Angle menegakkan tubuhnya di kursi, kelas sudah sepi hanya beberapa orang yang masih tinggal itu pun karena ada kegiatan ekstrakulikuler.

"Lagi galau," sahut Angle lesu,

Alis Rei naik satu, niatnya untuk menyapa singkat lalu pulang sirna. Ia tak jadi mengambil tas dan malah duduk di kursinya yang ada di depan meja Angel.

"Galau? Lo dibaperin?" tanya Rei lanjut, ia menumpukan dagunya di tangan sambil memperhatikan Angle, mungkin setelah menjomblo lama dan menolak ribuan surat cinta di hari valentine lalu, ada satu yang nyangkut di hati Angle.

Ya, itulah yang dipikirkan Rei.

"Nggak! Bukan gitu Rei!" ucap Angle sedikit kesal pada cewek di hadapannya, yang masih saja menatapnya dengan pandangan mengantuk.

"Truss?"

"Aku punya masalah, ulangan kimia nanti aku harus diatas KKM kalau enggak aku bakal remedial!"

"Ya truss?"

Entah kenapa Angle greget sendiri, "Aku ada pentas drama! dan itu tabrakan dengan jadwal remedial!"

"Udah nyari tutor?"

"Udah," ucap Angle agak enggan, "semua yang dipilih orang tuaku nggak bagus. Mereka semua ubanan."

"Bagaimana kalau teman sekelas? Hem... Tinita?"

Ah ya... Angle tau cewek itu, salah satu bintang sekolah, nilai akademiknya semua diatas 85, serba bisa dan nyaris sempurna.

Ia lalu menoleh pada meja di samping kanannya, itu adalah meja Tinita. Meski tempat duduk mereka berdekatan namun Angle sangat jarang berbicara dengannya.

Atau mungkin tidak pernah?

Angle tak terlalu mengingatnya.

"Coba aja gue yakin dia orang yang baik," ujar Rei sambil menumpukan satu lengannya lagi untuk menopang dagunya, wajahnya masih mengantuk namun tidak separah tadi.

"Aku tak pernah berbicara dengannya," ungkap Angle, "aku ragu kalau dia mau."

"Kalo lo tetep gini lo nggak akan maju."

"Kenapa nggak kamu saja yang mengajariku?" tanya Angle sambil menatap Rei penuh harap.

"Nggak mungkinlah!" tolak Rei, cewek itu berdiri dan mengambil tas selempangnya.

"Gue balik duluan, bye!"

Sepeninggal Rei, Angle mulai memikirkan sarannya. Mungkin memang bagus kalau yang mengajari kita adalah orang yang seusia, jadi lebih fleksibel.

Lagian Tinita memang bukan siswa bermasalah menurut Angle, setidaknya cewek itu tidak banyak tingkah saat di kelas.

Yosh! Angle! Semangat!

***

Tinita membaca catatan kecilnya sambil berjalan menuju kelas, harinya menoton dan biasa-biasa saja. Setelah berada di kelas 11 IPA1 rasanya tidak ada yang berubah. Meski Tinita mengakui bahwa orang-orang di kelas barunya ini banyak mempunyai rumor aneh dan tentunya berpotensial untuk menjadi penghalangnya mencapai rangking pertama.

Tidak ada waktu untuk berhela-hela meski ini sudah bulan kedua. Meski kabar soal rangking pertama semester lalu telah pindah sekolah, bukan berarti itu mudah bagi Tinita yang semester lalu berada di bawahnya untuk naik ke puncak.

Semua butuh usaha dan pengorbanan.

"Hi! Pagi Tinita!"

Langkah Tinita langsung berhenti, seorang cewek tiba-tiba menghalangi jalannya. Tinggal beberapa meter lagi ia akan sampai di kelas. Rambutnya yang bergelombang tampak sedikit berantakan.

"Pagi," sapa Tinita lalu bergerak ke samping untuk melanjutkan langkah, namun cewek itu kembali berdiri di depannya seolah menghalangi.

"Ada apa, Angle?" tanya Tinita, yang kini benar-benar memperhatikan cewek di depannya.

Salah satu teman sekelasnya, yang paling populer.

"Anu... itu... apa kamu bisa membantuku mengajari Kimia untuk ulangan harian nanti?" pinta Angle, tak lupa dengan tatapan memohon dengan harapan Tinita akan luluh.

"Tidak, cari orang lain saja sana," jawab Tinita langsung dengan datar.

Tinita tidak punya banyak waktu untuk mengurusi Angle, lagi pula bukannya lebih baik untuk mencari tutor diluar? Tinita yakin ada banyak tutor berkualitas yang bisa menuntaskan kendala Angle tanpa harus merepotkannya seperti ini.

Tinita kembali melangkah, namun kini Angle menghalanginya dengan eksrim.

Cewek itu bersujud di depannya!

"Aku mohon! Tinita Devaanggi! Tolong bantu aku!"

Kehebohan yang dibuat Angle langsung membuat mereka menjadi pusat perhatian. Beberapa ada yang memilih mengabaikannya, namun ada juga beberapa yang memilih untuk menonton sambil berkomentar.

Tinita memilih tidak menanggapinya dan segera pergi menjauhi Angle yang masih bersujud sambil terus memohon.

Astaga, Tinita merasa ketenangannya mulai terusik.

***

Entah sudah berapa kali penolakan Tinita layangkan pada Angle, namun cewek itu masih bersikeras untuk meminta bantuannnya. Entah apa yang ada di kepala Angle, pikir Tinita sambil melihat-lihat pilihan roti yang ada di kantin.

Setidaknya Angle tidak mengganggunya saat pelajaran di kelas berlangsung, cewek itu hanya terus menunjukkan buku dengan tulisan 'aku mohon' pada Tinita selama pelajaran berlangsung, ya itu tidak terlalu mengganggu karena tidak berisik.

Tangan Tinita ingin meraih roti mangga yang tersisa satu, namun tiba-tiba tangan lain menyambet roti itu terlebih dahulu.

"Kalau kau ingin roti ini kau harus menjadi tutorku!" kata Angle

Tinita tak memperdulikannya dan mengambil roti lain, lagi pula itu hanya sebuah roti mangga. Tidak apa menggantinya dengan roti lain, asalkan bisa mengganjal perut, juga isinya karbo.

Angle terus mengikutinya kemana-mana dan berisik seperti seekor lebah, Tinita berusaha untuk tidak menanggapi, meskipun ia tahu kesabaraban itu ada batasnya.

"Kamu mau masuk ke bilik toilet juga?" tanya Tinita saat tau Angle ikut masuk ke dalam toilet wanita, pintu bilik itu sudah terbuka dan mereka berdua sudah ada di depannya, tinggal selangkah.

"Tin-"

Brak!

Tinita langsung mendorong Angle masuk ke dalam bilik toilet, tak lupa menguncinya dari luar menggunakan gagang pel yang kebetulan ada disana, lalu segera pergi sekilat mungkin.

"TINITA!!!" teriak Angle sambil menggedor pintu toilet

***

Tinita duduk di kursi kelasnya, tampak tenang membaca buku saku miliknya, nanti ada pretest biologi ia harus mempertahankan nilai 100 di pretestnya minggu lalu. Sepertinya memang langkah yang tepat membungkam Angle di dalam toilet, perbuatannya tidak kejam oke? Seseorang pasti membantunya keluar, seingat Tinita cewek itu punya banyak fans dari kalangan cewek dan cowok. Hal kecil untuk meminta bantuan untuk keluar dari toilet.

Ya, nikmati dulu ketenangan yang sudah berjalan selama 15 menit ini.

BRAK!

Seseorang menggebrak mejanya, Tinita menoleh dan menatap Angle yang terlihat kesal padanya.

"Jahat! Tinit Jahat!"

Tinita tak menggubrisnya, meski ia merasa aneh saat Angle memanggilanya Tinit. Tunggu, dimana huruf a nya?

"Kamu jahat sekali tidak mau membantuku! Bahkan mengunciku di dalam toilet! Kau kejam! Kejam!" cecar Angle "Kenapa sih kamu nggak mau bantuin aku? Pliss Cuma untuk ulangan minggu depan!"

"Tidak."

"Denger ya Tinit, bantu orang itu dapet pahala, pa ha la."

"Aku benar-benar sedang tidak ingin mengajarimu."

Tinita kukuh pada pendiriannya, penolakannya kali ini lebih tegas. Tinita berharap kalau Angle tidak akan mengganggunya, dan membiarkannya kembali menjalani hari dengan tenang.

"Uh... oke."

Berhasil, Tinita kira Angle akan terus melanjutkan ocehannya. Mengingat cewek itu sangat gigih dari tadi pagi. Mungkin menguncinya di dalam toilet tadi memberikannya pencerahan? Entahlah Tinita tidak tahu, yang jelas sekarang ia harus kembali fokus.

Namun saking fokusnya, mungkin Tinita tak menyadari ekspresi Angle yang duduk di kursinya.

***

Menyerah secepat itu? Tidak mungkin!

Angle memperhatikan Tinita yang sedang menulis pada kertasnya. Wajah yang sering terlihat datar itu sekarang agak mengesalkan bagi Angle. Kalau saja tidak ada orang yang pergi ke toilet mungkin Angle akan berada disana sampai jam pulang sekolah. Mengingat letak toilet yang jauh dari kelas dan keramaian.

Sepertinya Tinita memang berencana 'membuangnya' saat itu.

Baiklah, rencana pertama gagal. Meminta Tinita dengan cara baik-baik sepertinya memang sulit, saatnya melancarkan rencana kedua.

***

Tinita keluar dari perpustakaan ketika sudah menemukan buku yang dicarinya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak beberapa jam lalu, lorong juga sudah sepi, terlebih tidak ada Angle yang berisik.

Tinita sangat bersyukur dengan itu.

"Oh! Tunggu dik Tinita!"

Panggilan itu membuatnya menoleh, Pak Samuel keluar dari balik pintu ruang guru yang baru beberapa langkah Tinita lewati.

"Ada apa ya pak?" tanya Tinita pada guru yang memiliki netra kebiruan itu.

"Minta tolong, bawa dokumen ini dan simpan di gudang atas." ucapnya lalu memberi beberapa buku laporan yang tampak usang padanya.

Tidak ada kata penolakan, jadi Tinita hanya mengiyakan meski dalam hatinya enggan sambil pergi ke lantai lima. Kakinya mulai menanjaki tangga.

Namun tiba-tiba seorang cowok muncul pada tikungan tangga, tanpa bisa di elak mereka berdua langsung bertabrakan, sempat berguling di tangga, sebelum akhirnya berhenti dengan posisi Tinita yang berada di atas cowok tersebut, menindihnnya.

"Tuan Putri, bisa bangun?"

Tinita yang awalnnya sempat terdiam, langsung berdiri. Cakra-si cowok berdiri, ia mencium sekilas punggung tangan Tinita.

"Maaf ya tuan putri tapi aku harus pergi, sampai jumpa!"

Belum sempat Tinita membalas perkataan cowok itu, Cakra langsung bergegas berlari kembali seolah-olah menggelinding di tangga tadi tidak memberikan efek kesakitan apa pun. Tinita lalu melihat sekitar, untung saja tidak ada orang.

"Yang tadi itu sakit sekali," keluhnya sambil memunguti buku-buku yang terjatuh.

Tanpa Tinita sadari Angle berdiri di balik sebuah pintu yang terbuka, bersembunyi sambil memegang erat ponselnya yang berisi foto Tinita yang menindih Cakra. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top