Bab 5. Calon Masalah

"Ste-Stella?" Suara gemetar Dinda membuat Rania tersenyum, tetapi ia tetap melanjutkan urusannya di balik layar komputer. "Ran, ini, gambarnya ... kenapa enggak sekalian aja diganti pengharum ruangan gitu?" protes Dinda sebal setengah mati.

Rania akhirnya tidak mampu untuk menyembunyikan tawa. "Tadinya gue juga mikir gitu, tapi coba lo lihat. Baik-baik, dengan penuh ketelitian. Lihat, itu beneran gue, tangan gue yang lagi pegang mawar," timpalnya kembali tergelak.

Dinda meletakkan ponsel Rania lantas memijat pelipisnya perlahan. "Kalau begini, enggak ada yang mau lihat profil lo, Ran. Serius, dong. Jangan pake fake akun."

"Fake? Gue daftar pakai data asli, kok. Itu, 'kan cuma nama dan foto profil aja. Toh, nanti kalau beneran meet up, gue akan datang sebagai Rania, kok," ujarnya membela diri.

Dinda menyandarkan punggung dengan banyak sekali keresahan di ujung pundak. Menatap Rania putus asa. "Ya, tapi bagaimana kalau nanti yang datang juga modelnya pakai akun palsu kaya gini, maksud gue pake foto profil kaya gini?" Berkali-kali Dinda memijat pelipisnya. "Sudah ada yang chat?" tanyanya lagi penuh selidik.

Rania melebarkan senyumnya. "Ada, tiga orang. Dua di Jakarta, satu di Semarang. Lagi pula, Din, gue enggak mau kolega-kolega gue tahu kalau seorang Rania ikut perjodohan online. Ya, Tuhan. Lagi pula ya, kenapa dari kemarin lu tuh, paham sangat sama nih aplikasi? Buat apa lu download Madam Rose?"

Dinda menarik diri dari hadapan Rania, bahkan bangkit serta bersiap melarikan diri. "Ya, gue, 'kan, riset. Supaya lu nyaman pakai aplikasi ini nanti," sergahnya.

"Ehmm ... enggak bermaksud cari papa baru Chiko dari Madam Rose, 'kan?" selidik Rania.

Tawa hambar Dinda terlepas. "Ngaco! Ya, enggaklah!"

Melihat Dinda mengipasi wajahnya sendiri, kecurigaan Rania semakin jadi. Dinda memang sudah dua kali gagal membina rumah tangga dan pernikahannya yang terakhir malah berakhir penuh drama.

Dinda kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Rania. "Ran, Pak Hambang sudah panggil untuk interview enggak?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Dahi Rania kembali berkerut. "Interview? Untuk apa?"

"Halah, 'kan lu tahu posisi sales manager kosong. Gue dengar kok, rencana Pak Hambang untuk merger departemen. Menurut beliau, lu sanggup pegang dua departemen."

Sebenarnya Rania sudah mendengar isu itu sejak dua bulan lalu, tetapi bukan berarti ia mau terlalu percaya diri, meskipun tidak ada kandidat kuat lain.

Rania meraih ponsel yang diletakkan Dinda, menatap logo aplikasi Madam Rose. Mungkin, kali ini ketimbang memikirkan karier, sebaiknya ia mulai berpikir untuk benar-benar membuka hati.

"Gue enggak mau berharap terlalu jauh. Kita lihat saja ke depannya bagaimana," timpal Rania.

Dinda hanya memberikan anggukan lemah sebelum akhirnya keluar dari ruangan.

Denting ponsel membuat Rania menggeser layar serta membaca satu pesan. Senyumnya mengembang sempurna.

'Di Semarang sudah sering hujan. Kamu jangan lupa minum vitamin.'

Rania meletakkan ponsel. Rasanya aneh sekali ada yang kembali memperhatikan hal kecil untuknya.

Cepat-cepat Rania menepis angan konyolnya. Bangkit lalu menyibak sedikit kerai plastik yang menutup jendela serta mengamati tim departemennya yang sibuk bekerja.

Rania menarik embuskan napas. Terkadang, ia mudah sekali terkesan hingga lupa memberikan seluruh hati pada seseorang yang berhasil merebutnya.

"Ini hanya alasan agar Tania bisa menikah," cicit Rania.

Sekali lagi ia menatap layar ponsel. Memperhatikan pesan yang baru saja diterima melalui aplikasi Madam Rose.

"Terlalu cepat menilai dia, tapi sepertinya dia serius cari jodoh di Madam Rose," gumam Rania lagi.

Mengumumkan kata jodoh dari bibirnya membuat Rania kembali diliputi kegetiran. Kenangan pahit yang dikira telah sepenuhnya terlupa perlahan menghampiri.

Beruntung, dering telepon di atas meja kerja, menyadarkan Rania sebelum ia jatuh lebih dalam.

"Halo? Ah, iya, Pak." Rania mengangguk-angguk sedangkan tangan kirinya dengan cekatan meraih buku agenda di samping keyboard. "Baik, Pak. Iya, saya segera ke ruangan."

Rania terdiam beberapa detik. Suara atasannya di ujung sambungan memang terdengar seperti biasa, tetapi ia bisa merasakan kegelisahan di dalamnya.

Setelah tiga kali membuang rasa cemas lewat embusan napas, Rania bergegas menuju ruangan atasannya dan sempat melirik meja Dinda yang kosong

"Masuk, Ran," titah Hambang setelah mendengar ketukan di pintu.

Rania mengulas senyum, sempat terkejut mendapati Dinda yang sedikit melambaikan tangan lalu duduk di sebelah kursi Dinda.

"Maaf, sudah mau pulang, saya malah panggil kamu untuk diskusi sebentar," sesal Hambang.

Rania kembali tersenyum. "Iya, Pak. Pasti urusannya mendesak sekali," timpalnya.

Ucapan Rania ditimpali kekehan pelan Dinda juga sikap canggung Hambang yang memang mencurigakan.

"Sebenarnya, masalah ini ingin dibicarakan setelah Ibu Retno pulang dari Samarinda, tapi karena ada beberapa masalah dan waktunya yang cukup mendesak, terpaksa saya sendiri yang harus membicarakan ini dengan kamu," tutur Hambang.

Rania mempererat genggaman di buku agendanya sembari fokus menanti kalimat selanjutnya dari Hambang.

"Begini, seperti yang kamu tahu, posisi sales manajer di perusahaan kita sudah agak lama kosong. Sebenarnya, saya berharap dan percaya kamu bisa handle dua departemen dengan baik, tapi—"

"Tapi apa, Pak? Apa Ibu Retno enggak percaya sama kredibilitas saya?" Tendangan pelan kaki Dinda menyadarkan Rania akan ucapannya yang penuh nada tidak suka.

"Bukan begitu, semuanya enggak ada yang meragukan kinerja kamu, tapi beberapa hanya khawatir kalau nantinya kamu akan sulit untuk fokus." Hambang mencondongkan tubuhnya ke arah Rania, merasakan kalau gadis itu benar-benar mulai tidak nyaman.

Alasan Hambang membuat dahi Rania mengerut. Batinnya berbisik, logikanya ikut berspekulasi dan hal itu ditangkap dengan baik oleh Hambang hingga ia terpaksa secepat mungkin mengakhiri pembicaraan.

"Dinda sedang mengurus semuanya. Mungkin, dalam waktu dua Minggu kandidat baru sudah bisa bergabung dengan kita juga—"

"Secepat itu? Berarti pembicaraan ini sudah dilakukan sejak lama. Maaf, Pak, saya tahu kalau memang bukan kewenangan saya juga menentukan calon sales manajer baru, tapi mengingat pekerjaan kami yang berkaitan, bukankan sedari dulu saya sering dilibatkan dalam proses interview?" potong Rania.

Hambang melepaskan kacamata laku memijat pelan ujung matanya sembari melirik Dinda, berharap sekertarisnya itu memiliki kalimat yang masuk akal untuk Rania.

"Tapi selama ini, walaupun kamu terlibat dalam proses rekrutmen, sales manajer kita paling lama bertahan kurang dari setahun," imbuh Dinda, "lagian, sikap perfeksionis kamu terkadang menghambat manajer lain," tambahnya.

"Maksudnya? Jadi, selama ini saya yang bermasalah?"

Dinda segera mengalihkan mata dari tatapan Ngalang Rania. "Bukan begitu maksudnya, Ran,"

Dehaman Hambang membuat suasana tidak begitu mencair, ia menutup buku agendanya lalu menatap Rania. "Kali ini kandidatnya dipilih langsung oleh Ibu Retno. Proses rekrutmen dilakukan secara online karena kandidat potensial berada di Surabaya. Saya berharap kedepannya kalian bisa bekerjasama dengan baik."

Rania mengigit bibir dalamnya lebih keras. Sebenarnya, tidak ada yang perlu dipermasalahkan, hanya saja pekerjaannya memang berkaitan dengan departemen sales, mengharuskan Rania untuk terus berhubungan dengan sang sales manajer.

Melihat Rania yang bungkam juga mulai tenang, Hambang kembali menarik napas dalam-dalam. "Baiklah kalau begitu. Kalau kamu mau melihat berkasnya, ada di Dinda. Terima kasih atas waktunya."

Rania mengangguk, tersenyum canggung lalu bergegas keluar ruangan dengan Dinda yang turut mengekori langkahnya.

"Ran, tunggu, Ran," pinta Dinda yang tergopoh menyamakan langkah. "Perlu lihat dokumennya?"

Mata Rania turun menatap map cokelat yang disodorkan Dinda, tangannya bergerak sendiri meraih dokumen itu, padahal ia benar-benar berusaha untuk tidak peduli.

"Masih muda, belum berkeluarga," bisik Dinda dengan matanya yang menggoda.

Ada desir aneh ketika kalimat itu tertangkap oleh telinga. Rania kembali menatap lekat-lekat map yang sudah ada di tangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top