Extra Part 1

"Kak Jess, Kakak cantik banget hari ini," puji seorang cowok yang berdiri berhadapan dengan Jessie. Lima menit lalu, dia mengajak Jessie berbicara berdua di koridor dekat aula ketika acara pensi hampir usai.

Rona merah merambat ke bagian tengkuknya sekarang. Kentara sekali dia menaruh minat yang besar pada Jessie, yang sebaliknya direspons biasa-biasa saja. Gadis itu tentu bisa menebak kalau cowok yang mengaku bernama Leon itu akan menyatakan perasaannya sebentar lagi.

Benar saja. Leon sedang berusaha menyampaikan isi hatinya walau dilakukan dengan susah payah.

"G-gue... hmm... sebenarnya gu-gue... gue ajak Kak Jessie ngobrol.... I-itu ka-karena... karena g-gue...."

Jessie tersenyum sebelum menyentuh pundak Leon dengan lembut. "Santai aja, Dek Leon. Lo pasti bisa ungkapin isi hati lo. Gue akan denger sampai selesai."

Jessie memang sebaik dan sesabar itu. Itulah sebabnya walau sudah mengetahui akan ditolak pada akhirnya, cowok-cowok yang telanjur mengagumi Jessie tidak menyesal untuk menyatakan perasaan. Bahkan jika mereka menyatakannya berkali-kali, Jessie tetap sabar mendengar semua itu karena dia paham, semua orang berhak mengagumi seseorang dan akan tidak pantas jika ditolak dengan kejam. Setidaknya, hargai dengan membiarkan mereka mengungkapkan perasaan sampai selesai. Seperti itulah prinsip Jessie.

"Makasih, Kak," ucap Leon dengan pancaran mata yang berbinar. "Kakak memang dewi sekolah. Hmm... sebenarnya gue suka sama Kakak. Walau gue tahu pasti bakal ditolak, tapi trims, ya, Kak, karena mau memberikan perhatian, padahal Kakak udah tahu gue mau bilang apa."

Jessie tersenyum. "Thanks, Leon. Makasih karena udah suka sama gue."

"Kalo boleh tahu... Kakak nolak gue karena udah suka sama Kak Genta, ya? Soalnya gue denger katanya Kakak deket banget sama Kak Genta, padahal sebelumnya belum pernah deket sama cowok mana pun."

Tepat pada saat itu, tanpa sepengetahuan mereka, Genta telah mendekat karena sejak tadi posisinya tidak jauh dan sejujurnya dia sudah mendengar percakapan keduanya. Tadinya, dia sedang mencari Jessie dan Judy barusan melapor bahwa ada adik kelas yang mengajak kakaknya berbicara.

Tepat seperti dugaannya, Jessie pasti sedang di-'tembak' oleh seseorang. Genta bermaksud melabrak langsung, tetapi tidak jadi ketika dia mendengar namanya disebut dalam percakapan itu. Genta memutuskan untuk bersembunyi di balik pilar untuk menguping.

Jessie tersenyum dan entah mengapa nadanya terdengar agak sinis. "Gue memang dekat sama Genta, tapi nggak seperti yang lo pikirin, kok."

"Kalau gitu... Kakak nggak pacaran sama Kak Genta, ya? Maaf, Kak, soalnya gue--"

"Nggak apa-apa, kok, Leon," potong Jessie. "Kami nggak pacaran. Kami hanya teman dekat aja."

Leon tersenyum simpul. "Itu berarti... gue punya kesempatan, dong! Kak, kalau gue pedekate sama Kakak... boleh, nggak?"

"Pedekate? Hng...."

"Siapa bilang boleh?" Terdengar suara Genta menimpali dari belakang, sukses menarik otot leher duo Jessie dan Leon untuk menoleh ke sumber suara.

Jessie tampak kaget sekaligus bingung dengan kemunculan mendadak Genta sementara Leon menunjukkan ekspresi tidak senang dengan kehadirannya seolah-olah terganggu.

Secara tidak terduga, Genta mengalungkan lengan di bahu Jessie dan mengabaikan ekspresi penuh kekagetan yang tidak hanya ditunjukkan Jessie saja, tetapi semua murid yang kebetulan melewati koridor.

"Gue nyari lo, Jes. Rupanya lo di sini," kata Genta dengan nada datar sekaligus dingin. Tatapan tersebut ditujukan pada Leon yang sarat akan tatapan penuh celaan seolah-olah mengusir.

"Lo bukan pacarnya, 'kan?" tanya Leon sengit, jelas sudah menghapus benteng bernama respek kepada Genta.

"Bukan urusan lo."

"T-tapi--"

"Jess, ayo bicara sama gue. Ada yang perlu gue bicarakan secara pribadi." Genta sengaja menekankan kata 'pribadi'. Lagi-lagi, dia menatap Leon dengan tatapan seolah mengusir sebelum menarik Jessie meninggalkan lokasi dengan mengganti rangkulan yang semula berada di salah satu pundaknya, berganti menggenggam erat tangannya.

Situasinya jadi terasa menguntungkan karena Jessie bisa bebas tersenyum tanpa ketahuan berhubung Genta berjalan lebih dulu, memimpin di depan.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Jessie sesampainya mereka di percabangan koridor lain merujuk perpustakaan. Area tersebut cukup sepi karena semua masih berkumpul di aula dan acara pensi belum berakhir.

"Bukannya perasaan gue udah jelas? Kenapa lo masih bilang ke adik kelas itu kalau kita nggak pacaran?"

"Emang kapan jelasnya?" tanya Jessie polos. Entah disengaja atau tidak, yang jelas, gantian dia bertanya balik.

"Bukannya waktu itu gue udah bilang kalau g-gue... hmm g-gue...."

"Lo udah ngaku kalau lo suka sama gue." Jessie membantu menyelesaikan perkataan Genta yang terbata-bata dengan nada datar. "Tapi lo nggak ngasih kelanjutan setelahnya. Jadi... nggak salah, dong, kalau gue bilang hubungan kita masih sebatas teman dekat?"

Kernyitan di dahi Genta masih tercetak dalam. "Hmm... memangnya beda, ya?"

Jessie lantas menggembungkan pipinya dengan kesal. "Jadi, maksudnya lo bilang suka itu artinya pacaran?"

"Memangnya habis bilang suka berarti belum pacaran?" Gantian Genta bertanya balik dengan ekspresi innocent.

"Lo belum jawab pertanyaan gue," pungkas Jessie dengan nada menuntut. "Lagian setelah kejadian itu, lo sama sekali nggak bilang apa-apa seolah-olah nggak terjadi apa-apa."

Entah kenapa Jessie merasa marah dan lagi-lagi bersikap seperti bukan dirinya di hadapan Genta. Tidak cukup dengan amarah, kini dia jadi merasa malu setelah menyadari arti ucapannya yang terkesan memaksa Genta untuk mengajaknya pacaran.

Oleh karena itu, untuk menutupi rona merah yang mulai menguasai wajahnya, Jessie segera berbalik, tetapi sayangnya Genta menarik menahan tangannya.

"Lo mau ke mana?"

Jessie menunduk, berusaha menghindari tatapan Genta. Beruntung ada kanopi yang menutupinya dari pancaran sinar matahari sehingga rona merahnya tidak sekentara itu. "Hmm... lupain aja semuanya, ya. Anggap aja gue nggak pernah bilang yang tadi."

"Maksud lo?"

Di saat seperti ini, sikap polos Genta malah jadi menyebalkan. Jika saja Jessie belum lama mengenalnya, kesannya pasti akan seolah-olah seperti Genta sengaja mengerjainya. Namun, untuk tipikal dia yang hampir tidak pernah berinteraksi terutama dengan cewek, Jessie lebih dari tahu kalau pertanyaan itu memang diajukan karena murni ketidakpahamannya.

"Pokoknya... anggap aja gue nggak bilang apa-apa. Kalau nggak ada yang mau dibicarain lagi, gue duluan, ya."

Namun, Genta tidak kunjung melepas genggamannya ketika Jessie berusaha menarik tangan. "Plis, jangan ngegantung gini. Lo harus jelasin ke gue. Jujur, gue nggak ngerti harus gimana tapi yang jelas, gue tahu satu hal kalau gue suka sama lo. Gue serius. Dan bukannya lo juga suka sama gue?"

Jessie menegakkan kepala dan sepasang netranya spontan beradu dengan manik mata Genta yang balas menatapnya dengan penuh harapan. Ada kesedihan di sana dan Jessie jadi sadar bahwa apa yang dia lakukan tadi benar-benar tidak beralasan alias kekanak-kanakan. Seharusnya dia tahu kalau Genta pastilah lebih tidak berpengalaman bila dibandingkan dirinya yang lebih sering berinteraksi dengan cowok random yang sering mendekatinya.

Oleh karena itu, dengan tekad melawan harga dirinya sebagai cewek, Jessie menarik seulas senyum dan berkata, "Sebenarnya gue agak malu aja karena kesannya tadi kayak minta inisiatif lo buat ngajak gue pacaran. Tapi gue baru nyadar lo kayak gini karena bener-bener nggak tahu apa yang harus dilakuin."

Genta mengangguk. "Gue memang nggak tahu, Jess. Gue kira setelah gue bilang suka sama lo, kita udah pacaran. Jadi... sekarang kita udah pacaran, kan, ya?"

Genggaman Genta turun ke tangan Jessie, lantas menggenggamnya erat. Tepatnya, dia berusaha memberanikan diri untuk melakukannya. Bagaimanapun, benar yang dikatakan Jessie. Dia cowok, bukankah seharusnya dia yang berinisiatif duluan?

Genta tersenyum lega saat tindakannya mendapat reaksi positif karena senyuman manis Jessie terbit sebelum mengangguk sebagai tanda bahwa dia menyetujui pertanyaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top