9). Different Perspective

Jessie dan Judy tiba di sekolah lebih awal pagi ini. Bagi sang adik, ini menjadi rekor yang layak dibanggakan karena biasanya mereka datang pada menit-menit mendekati jam masuk sekolah. Seperti yang mungkin bisa ditebak, Jessie-lah penyebab utamanya. Jika bukan karena bangun telat, dia lebih seringnya melakukan ritual 'berdandan ala-ala' yang durasinya tidak sebentar.

Duo bersaudara berpisah di persimpangan ujung koridor, di mana Jessie berbelok ke kanan yang merujuk ke anak tangga menuju lantai atas, sedangkan Judy tinggal melanjutkan beberapa langkah ke depan untuk sampai di kelasnya.

"Masih awal banget," bisik Judy selagi memperhatikan waktu dari jam dinding kelas yang menunjukkan pukul enam lewat seperempat. "Enaknya ngapain, ya?"

Tadinya, Judy mengira hanya dia satu-satunya yang tiba paling awal ketika mendadak ekor matanya menangkap penghuni lain. Dia adalah si pemilik bangku sebelah; Tomari Shinou.

Posisinya membelakangi Judy, sedang memandang ke luar jendela dengan sebelah tangan menyangga sisi kepala dengan santai. Sepertinya dia tidak sadar ada murid lain yang masuk, terbukti dari caranya bergeming dan sama sekali tidak menoleh saat pintu kelas dibuka dari luar.

Ingin rasanya Judy memukul kepala Tomari dari belakang atau mendorongnya sampai terjungkal atas balasan chat-nya semalam, tetapi tidak jadi ketika melihat bagaimana sepasang bahunya terangkat ke atas lalu terkulai lemah usai menghela napas panjang. Lantas, Judy berfirasat kalau ini bukan saat yang tepat untuk rencananya itu.

Firasatnya benar karena Tomari sama sekali tidak terpengaruh ketika dia mengempaskan tasnya dengan sengaja, menciptakan bunyi nyaring, bahkan menoleh pun tidak. Gayanya seolah menjelaskan bahwa dia menyadari eksistensi Judy, tetapi dia tidak sedang berada dalam suasana hati yang baik hingga tidak berminat untuk memberikan perhatian.

"Oh, elo." Tomari akhirnya bersuara setelah beberapa menit berlalu. Mungkin saja memberi perhatian ke luar jendela tidak lagi menyenangkan baginya. Namun, nada bicaranya terdengar bosan, mengisyaratkan seolah-olah Judy adalah orang terakhir yang ingin dia temui.

Cewek itu tentu saja merasa tersinggung. Setelah menghirup banyak-banyak oksigen, dia berujar datar, "Lanjutin saja aktivitas menikmati pemandangan. Anggap aja gue penghuni yang tak tampak. Oke?"

Tomari tertawa, sadar bahwa nada bicaranya tadi telah menyinggung Judy. "Kayaknya ada yang lagi sensi. Lo lagi kesel sama gue, ya?"

"Masih nanya lagi." Judy mau mengomel, tetapi tidak jadi. Instingnya mengatakan Tomari akan bersenang-senang jika emosinya meledak-ledak seperti kemarin. Jadi, dia memilih untuk tidak terpancing.

Tomari tertawa lagi, tetapi rupanya Judy lebih dari peka untuk sadar kalau itu bukan tawa alami yang biasanya. Jelas-jelas itu adalah tawa rasa getir, ditilik dari bagaimana tatapannya yang berbeda dari biasanya. Entah kenapa, Judy merasa Tomari seperti memaksakan diri untuk tersenyum.

Meskipun demikian, alih-alih bertanya secara langsung, Judy memilih diam dan menatap Tomari datar.

"Hng... ada sesuatu, ya, di wajah gue?" Cowok itu bertanya polos setelah jeda diisi oleh tatapan datar Judy yang tidak kunjung bersuara.

Dia akhirnya menghela napas, merasa kesal dengan ketidakpekaan cowok itu. "Saran gue kalau lagi nggak mood buat tertawa, mendingan nggak usah dipaksain aja. Lo nggak cocok jadi aktor."

"Hmm... jelas banget, ya?" tanya Tomari, mimik sedih akhirnya tergambar jelas di wajahnya.

Judy mengangguk. "Ya, iyalah. Gue nggak tau apakah gue kelewat jenius atau lo memang sejelas itu, tapi yang paling penting, lo nggak perlu berpura-pura hanya untuk berusaha menghibur diri atau orang lain. Kalau mau nangis, nangis aja. Itu lebih baik daripada lihat lo kayak gini. Kesannya menyedihkan banget, serius."

Tomari seperti hendak menjawab, tetapi diurungkannya di saat-saat terakhir. Alih-alih berkilah, rona merah mulai menjalari wajah hingga ke telinganya. Situasi ini hampir membuat Judy terbahak, tetapi cewek itu berusaha menahan diri karena tidak tega.

"I-iya juga, sih." Tomari akhirnya setuju usai mengembuskan napas berat berkali-kali.

Judy mengangguk. "Karena kebetulan gue memang nggak bisa berpura-pura dan paling anti sama yang namanya bermuka dua. Gue selalu mengucapkan sesuatu sesuai dengan apa yang gue rasa."

Saat itu, beberapa murid mulai masuk ke kelas dan menghuni bangku masing-masing, sehingga Tomari mendekatkan kepalanya ke arah Judy untuk berbisik, "Kalau gitu, gue boleh minta pendapat lo, nggak?"

"Boleh, dong. Gue udah biasa ditanyain pendapat sama orang lain. Lumayan banyak juga yang konsul sama gue—–kecuali soal asmara, ya, karena gue nggak ada pengalaman soal itu."

"Soal asmara? Wah, kalau soal itu, gue ahlinya. Terbalik dong kita—–" Tomari terhahak secara spontan, sedangkan Judy kelihatan tidak senang. Kesannya jadi terbalik sekarang walau hanya berlangsung sebentar. "—–hng, oke, kembali ke topik. Kalau misalnya suatu saat lo tahu rahasia orang tua lo, apa yang bakal lo lakuin? Hmm... rahasia ini lebih tepat disebut aib, sih, yang sengaja ditutup-tutupi."

"Hmm... tergantung. Kalau rahasia itu sesuatu yang nggak bener dan masih dilakuin sampai sekarang, itu yang nggak boleh."

"Kita andaikan aja. Nyokap gue sahabatan sama nyokap lo. Trus suatu kali, nyokap kita suka sama pria yang sama dan ternyata, pria itu sukanya sama nyokap lo. Mereka pacaran, trus mama gue punya ide buat merebut pria itu dengan fitnahan yang dibantu sama temennya. Rencana itu berhasil dan mereka akhirnya menikah. Menurut lo gimana?"

Judy tampak berpikir sejenak sambil menatap Tomari lamat-lamat, seperti sedang menyensor.

"Menurut gue, itu nggak salah-salah amat." Judy akhirnya merespons.

Tomari mengerutkan keningnya. "Nggak salah-salah amat?" ulangnya dengan nada seakan Judy tidak serius akan ucapannya.

"Coba lo pahami situasinya. Nyokap lo hanya memfitnah doang, kan? Oke, kalau kita beranggapan fitnah adalah suatu perbuatan yang salah, tapi menurut gue, sekalipun fitnah, pria itu pada akhirnya memilih nyokap lo, 'kan?"

"Ya, ta-tapi... andaikan pria itu nggak termakan fitnah, nggak mungkin mereka bisa menikah, kan? Maksud gue, karena fitnah itu jadinya—–"

"Justru itu," potong Judy. "Akhirnya mereka menikah. Itu tandanya pria itu juga suka sama nyokap lo. Kalau nggak suka, masa hanya karena fitnah saja, pria itu langsung mau-mau aja sama nyokap lo? Kecuali nyokap lo bunuh orang untuk menikah sama pria itu dan menyembunyikan kejahatannya. Itu baru kejahatan serius. Wajib masuk penjara itu."

Tomari, yang perlahan menyadari perkataan Judy yang masuk akal, entah kenapa merasa perasaannya jauh lebih baik.

"Dari ekspresi lo, kayaknya lo udah lebih baik. Jadi, gimana? Hebat, kan, gue? Tenang aja, rahasia lo aman, kok."

Tomari mendengkus spontan. "Siapa bilang itu rahasia gue? G-gue cuma ngomong lepas aja. Hmm... seperti yang lo bilang tadi, nggak baik berpura-pura. Jadi, daripada gue muka dua, lebih baik gue mengalihkan pembicaraan, 'kan?"

"Semerdeka lo aja deh, Tom, yang penting perasaan lo udah membaik. Itu kabar baik menurut gue. Saran gue sama orang yang lo ceritakan itu; tiap orang pasti punya rahasia yang nggak berani diceritakan ke orang lain. Asal nggak merugikan, menurut gue, semua berhak mempunyai satu rahasia dalam hidupnya."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top