8). What Exactly Happened (2)

Sejak Maya merintis karier dari nol sebagai karyawan di salah satu kantor bergengsi pasca kepindahannya tiga tahun yang lalu, wanita itu memang sadar atas konsekuensi yang harus dia terima, yaitu kedekatannya dengan Tomari pastilah akan jauh berkurang.

Awalnya Maya kira, kedekatan antara Tomari dengan Genta sedikit banyak akan teralihkan di saat dia sibuk bekerja, berhubung anak tunggalnya lebih sering menghabiskan waktu di rumah Genta. Namun, Maya yakin ada sesuatu yang tidak beres terutama sejak setahun belakangan.

Pertama, secara tidak terduga, Tomari memilih mendaftar di SMA yang berbeda dari Genta. Padahal di masa kepindahannya yang pertama, dia tidak berpikir dua kali saat ditanya. Lantas, Tomari juga yang akhirnya mengajukan permintaan lagi untuk dipindahkan ke SMA Berdikari pada tahun keduanya.

Okelah, ya, saat itu Maya berpikir positif mungkin saja Tomari memilih sekolah yang dekat dari rumah, tetapi kemudian menyesal setelah mencoba setahun penuh tanpa Genta di sisinya. Akan tetapi, Tomari jadi jarang mengunjungi rumah Genta dan selalu menghindar setiap Maya menyarankan dia untuk makan di rumah Kristo. Ada saja alasan yang mendukungnya untuk berdalih, tetapi insiden semalam benar-benar menegaskannya bahwa memang ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuannya.

Maya jadi teringat kata-kata Tomari saat dia baru saja pulang dan kaget karena lampu rumah tidak dinyalakan.

"Kamu kenapa nggak buka lampu, Nak?"

"Lupa."

"Lupa? Malas nyalakan, kali. Oh, ya, kamu nggak jadi makan di rumah Genta, ya?"

"Om Kristo yang nelpon?"

"I-iya, Tom. Om kamu khawatir karena nggak seperti biasanya kamu nggak berkabar. Jadi, Mama cepat-cepat pulang. Mama telepon kamu berkali-kali tapi nggak angkat."

"Maaf, Ma, aku lagi nggak mood. Aku masuk kamar dulu, ya."

Nada bicara Tomari terkesan menyindir, tidak seperti biasanya. Maya khawatir, itulah sebabnya dia merogoh ponsel dan mencari nama Genta di daftar kontak untuk meneleponnya. Waktu menunjukkan pukul satu siang, seharusnya Genta sudah pulang dari sekolah.

"Ya, Bibi Maya?" sapa Genta ramah.

"Hmm... ada sesuatu yang mau Bibi tanyain ke kamu. Apa bisa mampir ke kantor Bibi sekarang?"

Terdengar ada suara dalam pria dari kejauhan yang Maya yakini adalah suara Kristo. "A-apa? Oh... hmm... oke—–halo, Bi? Iya boleh, Bibi Maya. Sekalian kata Papa mau nitip bekal makan siang untuk Bibi. Aku ke sana sekarang, ya?"

"Oke, Nak."

Tut. Panggilan berakhir. Dari percakapan singkat tadi, Maya jadi mempunyai firasat bahwa Genta juga tahu sesuatu. Biasanya jika disuruh mengantar bekal ke kantornya, cowok itu akan mengajukan protes dan spontan mengalihkannya pada Tomari karena dia kurang suka berada di tempat umum.

Setengah jam kemudian, Maya mendapat telepon dari admin kantor yang mengatakan bahwa ada seseorang yang hendak menemuinya.

"Hai, Bi," sapa Genta begitu melihat siluet Maya yang mendekat di tengah keramaian. Wanita itu lalu mengajak Genta mampir ke cafe dekat kantor dan memesan dua gelas kopi.

"Genta." Maya memulai. "Hmm... gimana, ya, Bibi mau nanya sama kamu. Kamu merasa nggak kalau Tomari kayaknya... kayaknya agak sensitif akhir-akhir ini?"

Alih-alih menjawab, Genta malah lebih tertarik melihat isi cangkir di hadapannya seolah-olah ingin menguji bagaimana rasanya mempunyai tubuh super mini dan menenggelamkan diri di sana. Namun, apa pun itu, yang jelas, dia menghindari tatapan Maya.

"Ceritain sama Bibi, ya? Bibi tahu kamu yang paling deket sama Tomari. Dia hanya punya kamu sejak kami pindah ke sini. Cuma... Bibi heran aja, kok, akhir-akhir ini Tomari jarang main ke rumah kamu dan kayaknya menghindar. Awalnya Bibi kira kalian berantem, tapi sepertinya durasinya sudah terlalu lama. Apa... apa ada sesuatu yang terjadi?"

Genta tersenyum miris sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, Bi. Tomari memang lagi diem-dieman sama aku."

"Kalau gitu ceritakan ke Bibi... ada masalah apa di antara kamu sama Tomari? Mungkin Bibi bisa bantu."

"Sebenarnya ini ada kaitannya sama Bibi dan Papa. Hmm... sebenarnya... beberapa waktu yang lalu, Tomari nggak sengaja lihat buku harian Bibi."

"A-apa?" Rasanya seperti kelewatan satu anak tangga saat memijak. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Genta bisa melihat wajah Maya yang sangat pucat sekarang.

Maya kini tahu apa pokok permasalahannya.

*****

Tomari memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan pelan sembari membalas chat di aplikasi Whatsapp. Maya yang makan bersamanya di seberang meja juga melakukan hal yang sama. Bedanya, wanita itu sedang sibuk memikirkan sesuatu sehingga aktivitas makannya menjadi lebih lambat dari biasanya.

Hari ini Maya sengaja izin pulang cepat usai perbincangannya dengan Genta beberapa jam yang lalu. Dia merasa harus segera meluruskannya malam ini juga sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Juga, walau bagaimanapun usia Tomari masih remaja. Khawatirnya jika semakin ditunda, entah apa yang akan dia pikirkan dan Maya tidak mau konflik ini semakin keruh.

Masalahnya, Maya tidak tahu harus memulai dari mana. Itulah sebabnya, sedari tadi tidak ada interaksi yang terjadi sampai nasi mereka sudah dihabiskan separuh.

Tomari sedang chatting-an dengan Judy mengingat dia tidak punya teman lain di sekolah selain cewek itu. Ditambah, dia adalah teman sebangkunya yang tentu saja harus diteladani supaya Tomari bisa meningkatkan nilainya.

Tomari : "Hai Jud. Ini gue, penghuni bangku di sebelah lo."

Judy : "Oh."

Tomari : "Kok, nggak nanya balik?"

Judy : "Nanya balik gimana? Jelas-jelas lo nyebut penghuni bangku di sebelah gue, berarti gue juga penghuni bangku di sebelah elo-lah! Bego!"

Tomari (yang sedang menahan tawanya) : "Gue nggak bego! Lo sendiri yang nggak ngerti maksud pertanyaan gue! Maksud gue, harusnya lo nanya balik apa tujuan gue nyari lo! Nggak mungkin kan gue chat karena ada modus mau pedekate! Dih!"

Judy : "Kalau gitu, lo salah kasih pertanyaan. Seharusnya pertanyaannya begini, 'Tau nggak kenapa gue chat lo?' udah, gitu aja susah amat. Lagian, gue nggak sreg sama basa-basi, jadi tolong langsung ke intinya."

Tomari (yang lagi-lagi nyengir sambil menyuapkan nasinya lagi ke mulut) : "Ada. Ada hal penting yang mau gue bilang ke lo."

Judy : "...."

Tomari : "Hal pentingnya adalah gue penghuni bangku sebelah lo. Udah jelas dari awal, kan? Gue malah basa-basinya belakangan."

Judy hanya membacanya dan tidak membalas lagi. Tomari bisa membayangkan ekspresi Judy yang emosinya sedang di level tertinggi dan dia sangat menikmati momen itu.

Maya yang melihatnya ikut tersenyum dan bertanya, "Kamu lagi chatting-an sama siapa? Kayaknya seru banget."

Tomari mengunci tombol ponsel dan meletakkannya di atas meja. "Hmm... cuman teman sekelas aja."

Tomari menghabiskan sisa nasi dalam piringnya. Lantas, sebelum dia beranjak dari kursi, Maya tiba-tiba berbicara, "Tom. Kita bicara sebentar."

Tomari tidak jadi berdiri dan kembali duduk.

"Mama mau minta maaf sama kamu."

"Kenapa, Ma?"

"Karena sudah berpura-pura tidak mengenali Paman Kristo di depan kamu. Seharusnya tidak Mama sembunyikan seperti ini."

Tomari terdiam, tetapi ekspresinya kaget karena tidak menyangka Maya bisa mengetahui apa yang sudah dia ketahui.

Selama ini bukannya tanpa alasan dia memilih bungkam dan belum kunjung menanyai mamanya secara langsung. Walau hati nuraninya menolak untuk menerima kenyataan mamanya merebut pacar sahabatnya sendiri lewat bantuan teman lain, tetap saja tidak bisa mengubah fakta bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya.

"Sejak kapan Mama tahu kalau aku sudah tahu semuanya?" tanya Tomari pelan.

"Baru saja, Tom, karena Mama merasa ada yang tidak beres. Akhir-akhir ini kamu nggak seperti biasanya."

"Kalau gitu, apa alasannya Mama bohong soal udah kenal lama sama Paman Kristo?"

"Mama hanya tidak mau diingatkan lagi soal masa lalu. Jadi, walau kami dipertemukan kembali setelah sekian lama, kami sama-sama berharap bisa memulai semuanya dari awal lagi."

Tomari membuka mulutnya, tetapi dicegah oleh Maya yang mengangkat tangannya terlebih dahulu. "Kamu boleh diemin Mama selama yang kamu mau asal dengarkan Mama ceritakan semuanya dulu. Kamu boleh benci sama Mama, tapi Mama harap kamu bisa berbaikan lagi sama Genta—–"

"Ma, aku—–"

"—–karena Genta bukan orang yang harus kamu salahkan, Tom. Dia juga berada dalam posisi yang sama kayak kamu."

"Dia nggak mau jujur sama aku," kilah Tomari. "Seharusnya dari awal dia kasih tahu yang sebenarnya."

"Justru dia perhatian sama kamu, makanya nggak mau kamu terluka. Bagaimana dengan perasaan dia ketika tahu mamanya dipisahkan dengan orang yang dia cintai—–awalnya?"

Penekanan kata per kata dari Maya seolah-olah menyadarkan Tomari. Apa yang dikatakan mamanya benar, alih-alih menyalahkan, bukankah Genta juga sakit hati?

"Itu murni adalah kesalahan Mama sama Paman Kristo. Sebenarnya porsi kesalahan yang besar ada pada Mama," ujar Maya sambil menerawang dengan tatapan yang sedih. "Dulu... waktu Mama masih muda, Mama berteman baik sama Anggun, mamanya Genta. Namanya seanggun watak dan perilakunya. Kami bekerja di kantor yang sama setelah lulus dari perguruan tinggi."

Maya berusaha tersenyum, tetapi rupanya gagal sehingga lebih cocok disebut sebagai seringai. "Suatu hari, ada pertukaran kepala cabang dari luar kota sesuai tradisi di kantor. Takdir mempermainkan kami karena kami berdua jatuh cinta sama Arata Shinou, kepala cabang yang baru dipindahkan itu. Mama hanya bisa diam sewaktu Anggun mengakui kalo dia suka sama Arata. Maka, sangat wajar jika hanya Mama yang merasakan sakit hati sendirian ketika mereka resmi jadian pada akhirnya."

Tomari tetap mendengarkan dengan kepala tertunduk. Kini, dia merasa menyesal karena bersikap kekanakan. Seharusnya dia mendukung keputusan Maya untuk tidak mengungkit kenangan lama.

"Kristo adalah rekan kerja Mama yang baru-baru ini naik jabatan. Rupanya sudah sejak lama Kristo jatuh cinta sama Anggun, hanya saja Anggun sudah sering menolaknya. Lantas ketika tahu perasaan Kristo, mendadak Mama punya ide. Dengan kejamnya Mama mengajak Kristo bekerja sama untuk memisahkan mereka. Kami menciptakan fitnah dan tidak disangka-sangka rencana tersebut berhasil. Anggun dan Arata putus. Mama menikah dengan Arata dan Kristo menikah dengan Anggun. Karena situasi canggung dan tersirat rasa bersalah, Mama mengajak papamu pindah dan memulai hidup baru di Jepang.

Setetes air mata berhasil jatuh dari pelupuk mata Maya setelah menggenang sedari tadi. Deru napasnya tersendat-sendat di antara kata demi kata yang diucapkannya, membuat Tomari merasakan ada yang tercekat di dalam tenggorokannya.

"Apakah Mama dihukum untuk membayar perbuatan Mama? Jawabannya, iya." Maya berhenti sebentar untuk menarik napas, tetapi yang terjadi adalah derai air mata yang seakan-akan berlomba untuk meluncur turun. "Jadi, Mama sering bertanya-tanya; jika saja Mama tidak pernah mempertahankan dengan perasaan ini, apakah takdir akan berubah? Akankah Arata berumur lebih panjang? Atau... akankah berlaku sama pada Anggun?"

Tomari tidak tahan lagi. Dia mengulurkan tangan dan mengusap kedua tangan Maya yang terkepal di atas meja. "Maafin aku, Ma."

Maya menggeleng. "Ini bukan salahmu, Nak. Juga bukan salah Genta. Ini kesalahan kami. Kalian hanyalah anak tidak beruntung karena mempunyai orang tua bejat seperti kami. Maafin Mama ya, Nak."

Maya menarik tangannya dan membenamkan wajahnya di sana. Isak tangis menggema di dalam ruangan, terdengar kentara karena minimnya perabot di sana. Tomari yang tidak tega segera berdiri dan merengkuh mamanya dengan erat.

Benar yang dikatakan Judy pada dirinya barusan. Tomari memang sebego itu.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top