4). Genta as Bullied Student
Bel pulang sekolah telah berdering lama, sekitar setengah jam yang lalu. Situasi kelas sudah kosong melompong, bahkan mereka yang kedapatan tugas piket telah meninggalkan ruang kelas.
Namun tetap saja, siswa bernama Genta Harvey masih betah di kelas XII IIS-3. Bukan apa, rasanya malas saja bila ikut berdesakan sementara ukuran tubuhnya yang jumbo hampir selalu membuat siapa pun merasa risi.
Biarpun namanya keren, faktanya tidak selaras dengan penampilan yang dia miliki. Bisa jadi, ini yang menjadi sebab mengapa dia tidak pernah mempunyai teman dekat. Terhadap Rinto mungkin iya, tetapi sayangnya mereka tidak pernah sekelas. Malahan, dia selalu sekelas dengan Jessie Mayline sejak kelas X.
Suatu hal yang disayangkan oleh Rinto, tetapi Genta justru berharap bisa bertukar posisi dengan calon Ketua OSIS itu.
Pasalnya, penampilan Jessie yang sempurna jadi berefek padanya, kesannya seolah-olah menegaskan standar apa yang diidam-idamkan oleh semua kalangan, tidak hanya berlaku bagi kaum yang sejenis dengan Jessie.
Tubuh Genta gemuk, menjadikannya sebagai pemecah rekor konteks apa pun yang bermakna 'lebar'; mulai dari ukuran wajah hingga sol sepatunya. Tambahannya, dia tidak menarik sama sekali. Seperti yang biasa diceritakan di film-film, orang-orang gendut pasti diintimidasi dan dikucilkan, padahal mereka tidak pernah mencari masalah.
Yang benar adalah; orang gendut selalu mencari makanan.
Benar saja, jari-jari gemuk Genta sedang menjinjing sekantong penuh berisi cemilan dan memakannya sedikit demi sedikit dalam perjalanannya pulang.
Langkah kaki Genta tiba-tiba berhenti saat mendapati sekelompok siswa bertampang jail di hadapannya. Ekspresi mereka mirip predator yang kesenangan karena ada mangsa empuk yang bersuka rela mampir di habitatnya.
Salahkan Genta sebab dia terlalu terlena dengan cemilan yang dia santap sehingga langkahnya secara spontan membawanya ke area tongkrongan preman sekolah.
Sudah terlambat bagi Genta jika ingin melarikan diri. Lagi pula, massa tubuhnya tidak pernah bisa diajak kerja sama.
"Lo lagi, Genta. Kebetulan banget, nih. Lo pasti bisa baca pikiran gue, 'kan?" Yang bersuara adalah Billy, seangkatan sama Genta tetapi beda kelas. Kelasnya sudah pasti di urutan terakhir sesuai akhlaknya yang kurang.
"Asikkk! Beruntung, deh, mangsa kita tuh si Genta. Soalnya di mana ada dia, pasti ada banyak makanan di pelukannya! Bagi-bagi, ya?" timpal teman di sebelah Billy, name tag-nya terbordir nama Jason.
"Lo, mah, udah kelebihan berat badan, jadi bagi-bagi ke kita, ya? Kita mah kekurangan gizi, nggak kayak lo yang kelebihan! Diet aja kenapa, sih?" Kali ini Vino yang berkomentar.
Total perundung hanya tiga orang, tetapi Genta terlihat yang paling lemah padahal ukuran tubuhnya mendominasi. Cowok itu lantas mengutuk diri sendiri karena selalu saja masuk ke dalam lubang masalah.
"Oke, ini buat kalian semua. Jadi... masalahnya udah selesai, 'kan? Gue mohon hari ini lepasin gue, ya?"
Billy terbahak, disusul temannya yang lain seakan Genta sedang mengajak bercanda. "Lo bercanda, ya? Sejak kapan gue lepasin mangsa hanya dalam waktu lima menit doang? Lo paham nggak arti sesungguhnya dari merundung? Gue kasih tau, ya. Merundung itu... hmm... gimana jelasinnya, ya? Hng, pokoknya... lo taulah intinya merundung itu... ya nggak bakalan kasih lo cepat pulang!"
Vino menertawakan Billy, tetapi segera dihentikan oleh Jason yang menusuk pinggangnya dengan tatapan penuh ancaman.
"Plis... Jangan buli gue. Gue nggak akan lapor ke siapa-siapa. Gue janji! Gue—–"
Billy terbahak lagi. "Apa? Ya iyalah nggak mungkin lo berani lapor! Hadap guru aja kagak berani! Jangankan adu tatap, baru jarak dua meter aja lo udah kejang-kejang duluan!"
Tawa mereka semakin membahana. Genta yakin dia tidak akan pulang dalam keadaan baik-baik saja, kecuali....
Mendadak, Genta teringat sesuatu. Dengan gerakan buru-buru, dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mencari nomor kontak seseorang. Namun sayangnya, Jason lebih cepat darinya. "Berani banget lo nyari backing-an di depan kita-kita? Lo nggak takut mati, ya?"
"Yang bener itu... kalian nggak takut mati, ya?" Suara bernada sopran terdengar nyaring dan menggema. Refleks, Genta mengembuskan napas lega. Tanpa menoleh pun, dia bisa mengenali siapa pemilik suara itu.
Seolah-olah dikelilingi aura menakutkan, langkahnya terdengar berwibawa selagi mendekat. Angin sepoi-sepoi yang menyapu rambutnya ke belakang menambah kesan dramatis.
Jika ditilik dari cara ketiga preman menyorot waspada, bisa dipastikan sebesar apa pengaruhnya.
Dia, si perundung sekaligus pahlawan dan terpintar di sekolah; Judy Meline.
Cewek itu tidak membutuhkan kaki tangan karena dalam sekejap ketiga korban yang awalnya berstatus sebagai perundung harus berakhir jatuh ke tanah usai dibanting keras tanpa ampun oleh Judy. Mereka segera melarikan diri semampu kaki mereka bisa menjauh, tidak lupa mengembalikan camilan curian pada Genta yang menyambutnya dengan penuh suka cita.
"Thanks, Judy. Kalo nggak ada lo, gue mungkin nggak bisa pulang dalam keadaan utuh," ucap Genta tulus sekaligus kagum dengan kehebatan Judy.
"Lo nggak perlu ngucapin terima kasih sama gue, tapi ngucapinnya ke Tuhan aja karena kalau bukan karena kebetulan, lo udah pasti tamat. Pas banget gue nggak langsung pulang karena urus ini-itu di ruang Tata Usaha. Biasalah, Mbak Tuti minta bantuan."
Genta menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. "Nggak, Judy. Tetap aja gue harus ngucapin terima kasih. Thanks, ya."
"Iya, deh, sama-sama. Saran gue, lain kali kalau bisa jangan lewat sini lagi, ya. Memang sih ini jalur yang paling deket sama gerbang, tapi di sini banyak penunggu premannya berhubung terhalang sama tembok tinggi, jadi ketutup sama guru yang lewat. Di sini juga jadi spot yang bagus buat yang biasanya sering telat ke sekolah, biar nggak ketahuan sama guru piket."
Genta menggaruk bagian belakang kepalanya, menunjukkan kecanggungan yang kentara. "Iya, lo bener. Thanks, ya, udah ingetin."
Saat itu, keduanya tidak sadar ada sepasang mata yang menatap tajam sedari tadi.
*****
Genta menutup pintu di belakang dengan hati yang masih berbunga-bunga sampai-sampai tidak sadar ada sepasang mata yang sudah mengintainya sedari tadi.
Karena tidak tahan dengan sikapnya, akhirnya dia menyeletuk, "Ada yang lagi jatuh cinta, nih, kayaknya."
Genta tersentak kaget hingga bagian keningnya terantuk pintu kamar. Lantas, dia melempar pandangannya ke sumber suara sembari mengusap-usap bagian yang sakit.
"Tomari? Sejak kapan lo di situ?"
Sebelum pertanyaan Genta terjawab, pintu kamar yang letaknya di ujung dibuka dari dalam oleh seorang pria paruh baya. Meski usianya sudah memasuki kepala lima, parasnya masih layak masuk kategori om-om yang menolak tua. Bisa jadi, potongan rambut super pendek dan wajah yang bebas dari istilah berewokan membuatnya kelihatan lebih muda.
"Kamu udah pulang ya, Genta? Papa yang suruh Tomari ke rumah buat makan siang bareng kita karena Bibi Maya lembur hari ini."
Bibi Maya adalah panggilan untuk mamanya Tomari sedangkan yang barusan berbicara adalah Kristo, papanya Genta.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top