3). Another Perfect One
Bel istirahat yang selalu dinanti-nanti akhirnya tiba. Selain mengisi perut dengan makanan di kantin, para murid biasanya mampir ke toilet untuk menuntaskan panggilan alam. Namun di antara dua aktivitas umum tersebut, ada pula yang mager dan memilih berbaring atau mendengar lagu lewat earpods.
Jessie Mayline adalah salah satunya. Sama seperti hari-hari lain, dia tidak pernah menghabiskan waktu istirahat di kantin atau berjalan santai di luar kelas. Entah kenapa alih-alih kesepian, dia justru terbiasa dan menikmati kesendiriannya itu.
Maka tidak heran, dia tidak mempunyai sahabat dekat selama dua tahun terakhir. Bukannya sombong, hanya saja tidak ada yang bisa beradaptasi dengan kebiasaannya mengingat hampir mustahil menemukan teman yang bisa melewatkan jam istirahat tanpa makan sesuatu. Lagi pula kalaupun keluar kelas, dia hanya mampir ke kelas Judy, adiknya, sekadar meminjam perlengkapan tulis atau seragam sekolah karena adiknya selalu disiplin dan tidak pernah lalai.
Hari ini menjadi buktinya. Jessie sedang mencari earpods di dalam tas ketika mendadak dia teringat barang miliknya ketinggalan di rumah.
Lantas, dia beranjak dan melangkah menuju kelas Judy. Satu hal yang patut Jessie syukuri adalah kelasnya dan kelas unggulan Judy berada dalam satu gedung, tepatnya berada satu lantai di bawah kelasnya sehingga dia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di sana.
Posisi bangku Judy Meline tidak pernah berubah. Dia selalu memilih bagian tengah sebagai zona favoritnya. Benar saja, Jessie bisa melihat tas segede gaban yang menjadikan miliknya paling dominan dan beda dari tas-tas yang lain.
Namun sayangnya, sang adik tidak berada di kelas sejauh mata Jessie bisa mengeksplor, membuat gadis itu mengurungkan niat sebelum sekelebat bayangan asing terbidik oleh lensa matanya.
Walau jarang mengunjungi kelas Judy, Jessie bisa menghafal wajah teman-teman adiknya. Dia yakin belum pernah melihatnya, tetapi seketika teringat tentang berita yang baru dirilis di forum sekolah, yang otomatis menjadi trending topic news. Katanya, ada murid pindahan yang bergabung di kelas unggulan XI, berwajah tampan yang sefrekuensi dengan nama Jepang yang disandangnya.
Sedangkan Tomari, dia tidak sedang lapar sehingga memilih santai di kelas untuk hari ini. Lantas, tatapannya refleks bertemu dengan netra Jessie ketika bermaksud melihat pemandangan ke luar kelas. Secara kebetulan, posisinya berdiri dilatarbelakangi oleh siluet cahaya matahari dan entah bagaimana caranya, pantulan tersebut memaksimalkan visualnya, mirip-mirip salah satu adegan FTV yang sedang diatur dalam mode slow motion.
".... Disebut perfect karena masing-masing mempunyai sisi kesempurnaan yang bisa bikin cewek-cewek insecure. Si Jessie itu cantik pake banget! Udah gitu seksi dan menawan pula! Pokoknya sekali lihat, lo pasti jatuh hati sama dia!"
Tiba-tiba saja terngiang ucapan Rinto di dalam pikiran Tomari selagi dia berpikir untuk menanyakan sesuatu. Apa jangan-jangan....
Tadinya, Tomari mengira Jessie pasti akan berbasa-basi atau setidaknya bertanya di mana Judy saat ini, tetapi ternyata perkiraannya salah. Cewek itu hanya menganggukkan kepala sopan sebelum berbalik untuk meninggalkan kelasnya.
Tomari sukses terheran-heran. Lantas, dia spontan bertanya, "Lo... nyari Judy, ya?"
Jessie berbalik dan mengangguk. "Lo tahu Judy di mana?"
Bahkan di saat dia berbalik, imajinasi Tomari berulah lagi, yang mana gerakannya lagi-lagi diatur ke mode slow motion hingga aura kecantikannya bertambah; bagaimana rambut hitamnya yang ringan seolah-olah dirawat tiap hari di salon langganan, bagaimana ukuran wajahnya yang kecil tetapi memiliki sepasang netra yang besar yang sepaket dengan kelopak mata ganda, dan bagaimana bentuk tubuhnya yang proporsional dengan tinggi badan melebihi ukuran rata-rata cewek remaja pada umumnya.
Dia cantik banget. "Hmm... sebenarnya gue nggak tahu soalnya baru ngenal dia. Atau... gimana kalau lo tunggu di sini aja? Siapa tahu bentar lagi balik."
"Hmm... nggak apa-apa, deh. Nggak gimana penting juga. Thanks, ya."
Suaranya juga merdu banget. "Oh, oke. Lo kakaknya, ya?"
Pertanyaan itu sukses membuat Jessie mengernyitkan sebelah alis sementara Tomari berusaha setengah mati untuk tidak mengumpat karena menanyakan hal yang dirasa terlalu sensitif untuk dipertanyakan di awal perkenalan, kesannya jadi seperti sok dekat.
Namun sayangnya, ekspresi yang ditunjukkan Tomari terlalu kentara hingga Jessie hampir saja tertawa. Beruntung, dia bisa menahan dengan baik tanpa perlu menambah rasa malunya. Sebagai gantinya, cewek itu bertanya, "Kok, tahu? Bukannya lo baru pindah hari ini?"
"Kalau gitu, kok, lo bisa tahu gue pindahan baru?" balas Tomari.
"Hng... berita tentang lo masuk forum sekolah, terus jadi viral. Lagian nama lo unik, jadi banyak yang penasaran sama lo."
"Hmm... sama juga, sih. Gue tahu lo sekilas karena ada yang gosipin dan terus terang... gue nggak sengaja denger."
Keduanya terdiam selama beberapa detik sebelum tersenyum lebar di saat bersamaan. Lantas, Jessie berinisiatif untuk mendekati bangku Tomari dan mengulurkan tangan kanannya.
"Kalau gitu kita kenalan secara langsung aja, ya. Gue Jessie Mayline, kakaknya Judy. Salam kenal."
Tomari tersenyum lebih lebar lagi hingga menunjukkan deretan giginya. Tanpa berpikir dua kali, dia segera menyambut uluran tangan Jessie dengan erat.
Astaga, kulitnya aja bisa lembut banget. "Salam kenal juga. Gue Tomari Shinou."
"Walau gue setingkat di atas lo, jangan sungkan sama gue, ya. Gue harap lo juga bisa akrab sama Judy karena temennya Judy itu temen gue juga."
Gila aja! Udah cantik, langsing, suara merdu, ramah lagi! "Oke. Kak Jessie."
"Cuma beda setahun. Nggak perlu panggil gue 'Kak'. Gue berasa tua, loh. Panggil nama aja. Oke?"
Saat itu, keduanya tidak sadar ada sepasang mata yang menatap tajam sedari tadi.
*****
Tomari menahan sisi kepala dengan telapak tangan dan mengarahkan wajah ke teman sebangkunya. Di sebelahnya, Judy Meline, tampak sedang mencorat-coret sesuatu di buku catatan yang sama sekali tidak dia pahami isinya.
Jam istirahat pertama telah berlalu, termasuk pertemuannya dengan si cantik Jessie. Tomari sendiri tidak tahu apakah ini namanya cinta pada pandangan pertama atau sekadar mengagumi. Yang jelas, dia akhirnya mengakui kebenaran dari apa yang dikatakan Rinto tadi pagi.
Judy akhirnya sadar kalau dia sedang diperhatikan. Dia lantas mengajukan pertanyaan dari matanya, tetapi bagi Tomari, tatapan sangat menantang, seolah-olah ingin mengajak tawuran.
Jauh banget, ya, sama Jessie si cantik.
"Ada sesuatu di wajah gue?"
"Nggak. Nggak ada. Mulus, kok. Cakep."
Judy mendeteksi adanya sindiran, lalu memicingkan matanya dengan galak. "Kalo nggak ada apa-apa, nggak usah natap gue!"
"Idih, suka-suka gue, dong. Kan, gue punya mata!"
Untung saja kelas sedang heboh-hebohnya gegara diskusi untuk menentukan struktur organisasi kelas, sehingga tidak ada yang mendengar adu debat keduanya.
Kedua mata Judy otomatis membuka maksimal, tetapi tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja dia tersenyum miring.
Tomari berhasil dibuat bingung dan level clueless-nya semakin mengental saat Judy mendekatkan wajahnya secara mendadak.
"Mau gue ceritakan sesuatu, nggak?"
Suara itu berupa bisikan sehingga terdengar misterius seakan hendak menceritakan sesuatu bertemakan horor. Namun herannya, Tomari menurut saja. Dia ikut mendekatkan kepala ke arah Judy.
"Gue kenal salah satu perundung paling menakutkan di sekolah ini. Sekali lirikan, semua pasti kabur. Lo tahu nggak kenapa banyak yang takut sama dia? For your information, padahal dia cewek."
"Kenapa memangnya?" tanya Tomari polos.
Bisikan itu semakin pelan sehingga Tomari harus menundukkan kepala. Saking dekatnya jarak di antara mereka, dia bisa mencium aroma tubuh Judy yang mirip dengan bau minyak kayu putih.
Gaya bahasa Judy seperti sedang membicarakan sesuatu yang top secret. "Padahal nih, ya. Tampang cewek itu nggak ada vibes premannya sama sekali, cuman gue akui... dia itu jago judo. Kalo lo tantang dia, lo pasti kalah. Lucunya, tomboy-tomboy gitu tahu-tahunya terpintar di sekolah. Lo pasti sering denger, anak preman itu pada bego semua, 'kan? Makanya ada peribahasa 'tong kosong nyaring bunyinya'. Anak preman biasanya punya nilai paling jelek, jadi seneng merundung anak yang lemah buat diancam."
Tomari masih menyimak. Dia seperti sedang menyadari sesuatu meski belum paham apa jawabannya selagi sepasang mata Judy menantangnya untuk menunjukkan reaksi.
"Terus kalau dia pinter di sekolah, buat apa juga dia merundung orang?" tanya Tomari, masih tidak paham.
"Nah, itu dia menariknya. Perundung ini sering menguntungkan sekolah karena statusnya itu kayak pahlawan, selalu menolong murid-murid yang nggak bersalah dari perundung-perundung yang seperti gue bilang tadi; mengancam untuk sesuatu yang tidak benar. Contohnya, kayak porotin uang jajan atau minta contekan. Perundung yang cerdas ini bisa melindungi mereka dari serangan perundung yang semena-mena tersebut."
"Oh, gue mulai paham. Kalau gitu, siapa memangnya perundung yang cerdas itu—–oh, iya. Gue baru nyadar. Kenapa lo tiba-tiba ngasih tahu soal ini? Apa gara-gara gue ngelirik lo? Sori sebelumnya, ya. Gue bukannya tertarik sama lo, tapi gue—–"
"Gue... adalah... si... perundung... yang... cerdas... itu." Judy menuturkan kata per kata secara perlahan, tetapi sarat akan ketegasan yang kentara. Dilengkapi tatapan mata tajam dan seringai dalam, otamatis membuatnya seolah-olah memiliki jiwa yang tak ada bedanya dengan psikopat.
Berbeda dari perspektif yang Tomari lihat dari Jessie, kali ini dia mengimajinasikan salah satu adegan thriller yang mengerikan. Bahkan, ada kilat yang memancar dari mata Judy.
Tomari menelan salivanya dengan susah payah. "Jadi...."
Judy tersenyum lagi, kali ini sarat akan kepuasan yang hakiki. "Nah, jadi... sudah paham, 'kan, Tomari Shinou? Mohon kerja samanya dan jangan macam-macam sama gue!"
Hanya memerlukan sedetik bagi Tomari untuk segera menjauhkan diri sampai ke ujung bangku sementara Judy tertawa penuh kemenangan dalam hati.
Rasain lo!
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top