26). Confession
"Berhubung Genta udah balik ke kelas, Bapak mau kalian semua berkumpul dengan teman sekelompok untuk menganalisis puisi kontemporer yang udah Bapak jelaskan tempo hari."
Setelah beberapa menit dipenuhi oleh huru-hara karena harus pindah dan menarik kursi untuk bergabung dengan teman kelompok mereka masing-masing, Pak Nano membagikan selembaran berisi puisi pada ketua kelompok. Jessie tidak perlu repot-repot pindah karena teman kelompoknya berada di belakang, jadi dia hanya perlu memutar bangku. Namun berhubung beban bangkunya cukup berat, Genta berinisiatif untuk berdiri dan membantu gadis itu.
Keduanya tidak sadar kalau sedari tadi sedang diperhatikan oleh semua murid di kelas, termasuk Pak Nano. Bahkan ketika Genta tidak sengaja menyentuh tangan Jessie saat memutar bangku itu, terdengar pekikan di mana-mana seolah-olah mereka sedang menonton variety show yang bintang tamunya adalah sepasang suami-istri yang baru menikah.
Sebenarnya bukan lebay, tetapi faktanya, situasi tersebut seolah-olah memberi mereka panggung untuk menjadi pusat perhatian. Lihat saja bagaimana cara Genta berekspresi canggung usai menarik tangannya yang menempel di atas tangan Jessie, sedangkan cewek itu berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap biasa-biasa saja, padahal detak jantungnya berdegup abnormal dan tidak berakhlak.
"Kok, kayaknya mereka serasi banget, ya? Pas banget lagi kelompoknya cuman berdua." Terdengar celetukan Santi dengan nada yang sangat iri sambil menopang dagu dengan tangannya.
"Yahhh... kalau tahu ending-nya bakal kayak gini, gue mah rela ngajak Genta berteman," timpal Mutiara tanpa memelankan suaranya sehingga sukses menarik Pak Nano untuk tersenyum.
"Sudah Bapak duga dari awal kalau ini bakal menarik," bisik Pak Nano pelan. Setelah bermonolog, beliau berujar dengan suara yang lebih lantang. "Sudah... sudah, kalian fokus sama puisi. Kalau hasilnya banyak yang bagus, akan Bapak masukkan ke dalam nilai akhir kalian. Jadi, jangan patah semangat."
"Ini penjelasan tentang puisi kontemporer. Pak Nano jelasinnya pas lo lagi rapat," kata Jessie seraya menyerahkan buku catatannya ke Genta.
"Oh, oke." Genta merespons pelan tanpa membalas tatapan mata Jessie. Kepalanya tertunduk, bersikap seolah-olah teori puisi sangat menarik padahal dia sedang tidak fokus.
Sejujurnya, ini kali pertama dia duduk berhadap-hadapan dengan Jessie seperti ini berhubung sebelumnya hanya sampai batas Jessie memiringkan tubuh atau duduk bersebelahan dengannya.
Berhadapan seperti ini; kepala dengan kepala dan mata dengan mata, benar-benar membuat Genta jadi gagal fokus.
Menit demi menit telah berlalu, tetapi Genta belum kunjung berani menatap mata Jessie, padahal mereka sudah berbagi pendapat beberapa kali. Awalnya, Jessie tidak mengindahkan sikapnya demikian dengan beranggapan bahwa mungkin saja, cowok itu masih canggung gegara insiden pengakuannya terakhir kali. Namun, Jessie tidak tahan setelah setengah jam diskusi terlewati dan Genta masih saja menghindari matanya. Jujur saja, gadis itu mulai merasa terganggu dan tidak senang dengan situasi ini.
"Genta," panggil Jessie.
"Ya?" Genta menjawab dengan mata yang masih memelototi lembaran puisi yang dibagikan Pak Nano. Jessie yakin jika situasi nyata ini difantasikan, dia tidak ada bedanya dengan Harry Potter yang masuk ke dalam Pensieve usai mendekatkan kepalanya.
For your information, Pensieve adalah baskom yang terbuat dari batu untuk melihat kenangan. Jika ingin bernostalgia, tinggal mendekatkan kepala ke arah wadah tersebut dan dalam waktu singkat, kita bisa bereksplor ke dalam dunia ingatan itu. Di sini, gaya Genta persis seperti Harry saking seriusnya dia menatap tulisan lekat-lekat.
Lantas, bagaimana Jessie bisa mengenal dunia Harry Potter yang notabenenya rilis sebelum dia lahir? Jawabannya, ini semua berkat Judy si jenius yang rasa keponya jarang terobati. Lagi pula, era Harry Potter viral secara konsisten selama satu dekade lebih, jadi jangan heran jika hampir semua generasi kategori Z masih familier dengan serial fantasi tersebut.
"Tatap mata gue," bisik Jessie dengan intonasi nada yang cukup didengar oleh mereka berdua saja.
"Ap-apa?" Wajah Genta kontan memerah setelah dengan gugup menatap balik mata Jessie.
"Kenapa lo hindari gue?" tanya Jessie yang mulai sadar kalau sikapnya semakin mirip dengan Judy setiap berhadapan dengan Genta. Diawali pengakuan perasaannya dengan berani dan kini dia juga memberanikan diri untuk memaksa Genta menatap matanya.
Genta membuka mulut dan menutupnya lagi, persis yang dilakukan Tomari barusan saat Jessie menguping pembicaraan mereka. Tidak tahan dengan situasi ini, Jessie tersenyum seakan sedang membicarakan hal yang sama sekali tidak penting, tetapi sayangnya apa yang dia lakukan gagal sehingga ekspresinya lebih cocok disebut sebagai senyuman yang sinis. "Gue nggak masalah kalau lo nolak gue, tapi tolong jangan ngorbanin persahabatan kita."
Jessie sendiri tidak sadar sejak kapan dia berubah. Kata-katanya jadi lebih menusuk, padahal dia selalu mengomentari cara bicara Judy yang tidak memikirkan perasaan lawan bicaranya. Herannya terhadap Genta, yang notabene adalah cowok yang dia sukai, membuatnya tidak berpikir dua kali saat berkata-kata.
Mengapa? Apakah gegara dia telanjur nyaman berada di sekitar Genta? Entahlah, Jessie jadi clueless.
"Gue... bukannya menghindar."
"Trus apa?"
"Gue...."
"Sekali lagi, Genta. Kalau ini ada kaitannya dengan pengakuan gue waktu itu, gue harap lo lebih profesional dan jangan sampai ngorbanin persahabatan kita. Gue terima, kok, kalau lo sukanya sama—–"
"Gue udah yakin kalau gue—–"
"—–kalau lo sukanya sama Judy—–"
"Dengerin dulu, Jes. Gue sebenarnya—–"
"—–gue malah dukung kalau misalkan lo suka sama adik gue. Gue janji nggak akan mencampuradukkan perasaan—–"
"Iya, awalnya gue memang suka sama dia, tapi setelah kejadian itu dan waktu kita ngomong berdua, gue sadar kalau gue—–"
"—–lo nggak perlu merasa nggak enak hati karena gue udah nembak—–"
"Gue suka sama lo, Jess!" Genta tidak sadar menaikkan nadanya seoktaf. Sialnya, aksinya juga menaikkan antusias yang lain sehingga lagi-lagi mereka jadi tontonan yang menarik, malah dua kali lebih mengesankan daripada acara di televisi.
Tak terkecuali Pak Nano. Semua berekspresi sama, sama-sama terperangah. Jessie juga demikian, meski ketegangannya lebih layak diacungi jempol sebab gerakannya membeku parah jika ditilik dari sebelah tangan yang menggantung ganjil di udara atas usahanya memotong pembicaraan Genta barusan.
Genta hanya bisa mengumpat dalam hati sekaligus berharap mempunyai kekuatan magis agar bisa berteleportasi atau kalau perlu, melebur bersama angin saat ini juga. Intensinya jadi mirip Jessie ketika ketahuan menguping pembicaraan dari balik pilar di koridor sejam yang lalu.
"CIEEEE!" Terdengar ledekan di mana-mana, berhasil memperparah rona merah yang menyebar di seluruh wajah Genta, begitu pula Jessie yang telah menurunkan tangannya. Kini, tidak hanya Genta yang ingin melebur bersama angin, tetapi Jessie juga berharap agar tidak terus-terusan menjadi pusat perhatian.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top