16). Aim The Goals!
Bagi Genta Harvey, menurunkan berat badan adalah tantangan terbesar. Bagaimana tidak? Jika dia harus menjabarkannya dalam persentase, mencari makanan adalah prioritas utama seolah-olah inderanya sudah diatur lebih peka setiap membaui atau merasakan ada sinyal makanan di sekitarnya.
Bayangin saja, sejak kecil Genta sudah dibiasakan untuk makan banyak. Kristo mungkin bukan salah seorang koki ternama, tetapi masakannya selalu yang terbaik. Tidak hanya jago memasak makanan yang mengenyangkan perut, papanya juga ahli membuat aneka dessert dan camilan lainnya.
Jadi, bagaimana bisa seorang Genta berhenti mengunyah?
Awalnya, Genta mau menyerah. Dia begitu tersiksa harus menahan rasa lapar dan memaksakan diri untuk berolahraga, tetapi pada akhirnya, seolah-olah ada sirine peringatan yang menyala di dalam pikirannya ketika teringat insiden di koridor sekolah, tepatnya di saat Judy membentak dan menyadarkannya untuk lebih berani.
Semua yang dikatakan cewek itu benar adanya, bahkan Genta benar-benar berterima kasih karena telah membantunya selama ini. Kalau bukan karena Judy, mungkin Genta sudah lama depresi atau yang terburuk, mungkin saja dia sudah pindah ke sekolah lain.
Tahun ini adalah tahun terakhirnya di SMA Berdikari dan dia akan menunjukkan pada semua orang bahwa dia bisa lepas dari sasaran empuk para perundung. Oleh karenanya, cowok itu benar-benar menekuni tekad dan usahanya dalam menurunkan berat badan. Awalnya memang terasa sulit, tetapi secara perlahan-lahan, cowok itu mulai terbiasa membatasi porsi makannya. Bahkan, camilan jumbo yang biasa menemaninya di mana pun dia berada, bisa berkurang sedikit demi sedikit.
Dalam hal ini, Genta juga bersyukur memiliki Tomari dan duo perfect siblings di sisinya. Ketiganya mendukungnya untuk diet, bahkan cowok itu mempunyai firasat bahwa mereka sudah berdiskusi sejak awal untuk berbagi tugas agar Genta bisa mengoptimalkan usahanya; mulai dari Tomari yang secara berkala mengingatkan Kristo untuk mengurangi porsi makan Genta
(sebenarnya sang papa belum terbiasa karena dia selalu memasak lauk porsi jumbo di rumah), Judy yang selalu gercep merebut setiap ekor matanya menangkap makanan jenis apa pun yang dipegang Genta setiap ada kesempatan, hingga Jessie yang selalu mengajaknya jogging pagi-pagi sekali sewaktu matahari belum benar-benar keluar dari peraduan.
Rinto adalah orang yang paling heboh dengan perubahan pola makan Genta ketika suatu hari mereka bertemu.
"Lo beneran Genta yang gue kenal, 'kan?" tanya Rinto memastikan sembari menyensor cowok itu dari atas ke bawah dengan matanya yang besar. "Gue yakin Genta seharusnya lebih gemuk dari ini. Tapi, kok... kacamata dan name tag-nya mirip sama kepunyaan Genta dannn... seragam super besarnya juga sama. Lo... bukan kembarannya, 'kan? Setahu gue, Genta nggak punya kembaran, deh."
Genta tertawa. "Ngaco, deh! Gue memang Genta. Gue akhirnya berhasil nurunin 10 kilo meski belum cukup, sih, sebenarnya."
Mata Rinto membelalak kaget. "A-apa? 10 kilo? Apa itu berarti lo udah berhasil keluarin sekarung beras dari badan lo? Tapi... lo memang nampak beda, sih. Lebih kempis aja maksud gue."
Lantas, Rinto memeluk Genta secara mendadak yang membuat cowok itu kaget. "Apaan, sih? Lepasin gue!"
Alih-alih melepas pelukannya, Rinto malah berkomentar, "Wah... gila, sih! Lo beneran udah kurusan banyak. Yahhh... udah nggak empuk lagi, deh!"
Genta melepas paksa rangkulan dari Rinto dengan ekspresi kesal, tetapi itu tidak berlangsung lama karena kemudian cowok itu nyengir. "Gue punya alasan kuat kenapa gue harus diet. Ini demi masa depan gue, Bro."
Rinto menipiskan bibir, lalu memasukkan masing-masing tangan ke dalam saku celananya. "Iya, gue paham banget. Gue udah denger semuanya dari teman-teman. Hmm... soal lo yang sering dirundung. Lo tenang aja, gue nggak diem aja lihat lo diperlakukan nggak adil kayak gitu. Gue udah laporin ke guru BK, jadi lo nggak usah khawatir. Kalau masih ada yang buli lo, laporin aja ke sana atau boleh juga lo kabarin gue. Gue nggak akan biarkan mereka lepas kali ini."
Rinto mengepalkan tangan dan meninju udara. Meski terkesan dramatis, rupanya Genta merasa tersentuh dengan usahanya.
"Selama ini gue diem aja. Lo tahu, nggak, alasannya kenapa?" tanya Genta sambil melemparkan pandangannya ke lapangan basket di arah pukul dua.
"Kenapa?" tanya Rinto, mengikuti tatapan Genta. Kesannya jadi mirip pasangan muda-mudi yang menatap ke satu titik guna mendapatkan pose estetik saat photoshoot prewedding.
"Alasannya karena gue nggak tega kalau perundung itu akhirnya dihukum. Nilai mereka yang udah buruk pasti makin buruk lagi atau yang terparah... orang tua dipanggil ke sekolah dan mereka bakal diskors." Genta tersenyum lebar seraya menggaruk tengkuknya. "Mungkin kalau yang lain tahu alasan gue ini, mereka bakal nertawain dan bilang gue bego, kali, ya."
"Lo memang bego dan gue mau nertawain lo sekarang. Hahaha...." Rinto terbahak-bahak, membuat Genta menyesal saat itu juga.
Tawa itu mendadak berhenti sejurus kemudian. "Gue cuma bercanda. Nggak usah tersinggung gitu, kali, Bro!"
Rinto menepuk pundak Genta ala kebapakan dan tidak lupa dengan tatapan teduhnya yang cukup berlebihan. "Masa depanmu masih jauh, Nak. Bapak akan selalu mendukungmu. Yang penting jangan terlalu paksakan diri, ya, karena yang namanya kemampuan itu ada batasnya. Kamu tidak bisa memaksakan sesuatu yang tidak bisa kamu capai. Ingat itu, Nak."
Genta tidak berkata apa pun selain memasang ekspresi penuh simpatik dan balas menepuk pundak Rinto sebelum membalikkan punggung dan meninggalkan cowok itu.
"Tuh, kan! Lagi dan lagi! Kenapa, sih, gue belum selesai ngomong udah langsung main cabut aja? Heh, gue nggak ngomong sama lo hanya untuk menyaksikan punggung lo, tauk!"
*****
Genta kembali ke kelas dan tatapannya langsung bertemu dengan manik milik Jessie yang menatapnya dengan penuh semangat. Cewek itu mengangkat jempolnya tinggi-tinggi sementara Genta berjalan mendekati bangkunya.
"Gue salut sama lo. Progress lo cepat banget," puji Jessie yang sisi tubuhnya menghadap meja Genta. "Kayaknya nggak lama lagi lo bisa mencapai berat badan ideal. Semangat, ya! Gue traktir lo makan enak, deh, kalau lo udah berhasil."
Genta tersenyum. "Ini berkat kalian; lo, Judy, sama Tomari. Kalau nggak ada kalian, gue mungkin nggak bakalan bisa nurunin berat badan soalnya setiap kali lihat gue bawa makanan, selalu kalian sembunyikan. Hahaha... dan lo juga banyak berusaha buat gue karena tiap pagi lo bersedia nemanin gue lari pagi."
"Iya, bener. Gue, kan, juga mau jaga bentuk badan gue. Eh, tapi... tunggu dulu. Ada satu hal penting yang nggak boleh lo lewatkan kalo udah saatnya tiba. Lo harus gemparkan satu sekolah!"
"Gemparkan?" ulang Genta tidak mengerti sebelum Jessie memberikan isyarat kepada Genta untuk mendekat dengan jari tangannya.
Jessie lantas membisikkan sesuatu ke telinga Genta, membuatnya seketika membeku di tempat.
"Eh, lo kenapa? Kok wajah lo merah banget?" tanya Jessie heran. Genta segera memaksakan diri untuk berwajah netral seolah-olah tidak terjadi apa pun.
"Hmm... nggak, kok. Gue lagi gerah aja."
Tatapan Jessie berubah menjadi iba. "Kasihan banget, sih, lo. Wajar kalau merasa gerah soalnya lo tiap hari keringatan, sih. Yang sabar, ya. Lo udah mencapai bagian tengah perlombaan. Tinggal beberapa langkah lagi menuju garis finish."
"Thanks, Jes. Semangatin gue terus, ya."
"So pasti, dong." Jessie menyambut senyuman lebar Genta dengan tarikan ujung bibir yang persis sama.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top