7. Kekesalan Kia
Langit yang cerah sedikit membuat perasaan Kia tenang. Dia keluar dari mobil dan berjalan lebih dahulu memasuki area makam. Hari ini hari Jumat, baik dirinya, Arfan, dan Mbok Sum memutuskan untuk mendatangi makam almarhum orang tuanya. Selain itu Kia juga ingin berdoa untuk kedua orang tuanya sebelum melakukan ujian nasional hari Senin nanti.
Wajah Kia mulai berubah sedih. Dia menatap dua gundukan tanah yang terawat di depannya dengan perasaan sakit. Dia merindukan kedua orang tuanya. Kia merindukan masa kecil di mana keluarganya masih utuh.
"Ayo, berdoa." Arfan mulai duduk dan memimpin doa.
Kia tidak banyak berbicara hari ini. Dia lebih banyak menurut karena memang tidak mau berdebat dengan Arfan. Sudah bagus pria itu mengingatkannya untuk menginjungi makan kedua orang tuanya sebelum ujian. Ada rasa syukur tapi ada juga perasaan sedih karena Kia harus kembali sadar dengan kenyataan yang di mana dia hanya sendiri di dunia ini.
Setelah berdoa, Kia bergerak untuk membersihkan sekitar makam dengan tangannya. Dia tersenyum tipis dan mengelus batu nisan kedua orang tuanya.
"Doain ujian Kia lancar ya, Pa.. Ma.."
Mbok Sum mengelus bahu Kia pelan. Dia sangat mengerti dengan perasaan gadis itu. Dia juga pernah kehilangan suami dan rasanya sungguh menyakitkan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan anak majikannya yang harus kehilangan kedua orang tua di usia muda.
"Kia sayang sama kalian." Air mata Kia keluar saat dia mengucapkan kalimat itu dengan lirih.
Arfan yang sedari tadi diam mulai bergerak untuk ikut menyentuh batu nisan. Entah apa yang dia pikirkan tapi Arfan menatap batu nisan Pak Surya dengan lekat. Dia seolah sedang berbicara, tapi hanya boleh dirinya sendiri yang tahu. Belum saatnya Kia mengetahui semuanya.
"Kita harus pulang," ucap Arfan saat merasa telah selesai dengan semuanya.
Kia sedikit merapikan bunga segar yang ia tabur dan mulai berdiri, "Aku pulang dulu ya, Pa.. Ma.. Minggu depan habis ujian aku ke sini lagi." Kia tersenyum dan menghapus air matanya.
Kia, Arfan, dan Mbok Sum mulai keluar dari area makam. Keadaan masih begitu hening. Sepertinya perasaan Kia belum bisa kembali ke semula. Lagi-lagi dia merasa sedih setelah mengunjungi makam orang tuanya.
"Kita makan dulu," ucap Arfan mulai menjalankan mobil.
"Mas Arfan nggak kerja?" tanya Kia pelan. Tatapan matanya masih tertuju pada jalanan di depannya. Hari dia memang libur sekolah untuk hari tenang menjelang ujian.
"Saya ke kantor habis makan siang." Arfan melirik sebentar, "Kamu nggak papa?" tanya Arfan melihat Kia yang tidak bersemangat.
Kia menoleh sebentar dan menggeleng, "Nggak papa."
"Kamu nggak cocok kalau diem kayak gini."
Kia melirik sinis, "Diem salah, cerewet salah. Emang cuma Mas Arfan aja yang bener."
Arfan tersenyum tipis mendengar gerutusan Kia, "Saya kan cuma tanya, kenapa kamu marah?"
"Tau ah, males." Kia mulai memejamkan matanya.
Arfan melirik Mbok Sum yang duduk di belakang, "Emang saya salah ya, Mbok? Kan saya cuma nanya. Aneh kan liat Kia diem?"
Mbok Sum tersenyum tipis. Dia tahu jika Arfan sedang berusaha untuk mengembalikan suasana. Jujur saja, Mbok Sum juga lebih senang melihat Kia marah-marah dari pada diam seperti ini.
"Udah deh, Mas. Nggak usah mulai. Darahku udah naik ini." Kia menatap Arfan kesal.
"Mau makan apa?" tanya Arfan akhirnya mengalihkan pembicaraan.
"Terserah," jawab Kia tak acuh.
"Kalau kamu nggak jawab kita langsung pulang. Biar kamu makan telur goreng aja di rumah."
Kia menyipitkan matanya kesal. Kenapa Arfan kembali membuatnya kesal? Tidak sadarkah pria itu jika perasaan Kia sedang tidak baik saat ini?
"Terserah, Mas!"
"Ya udah, makan terlur aja."
"Ih, nggak mau!" Kia mulai merengek kesal.
"Makan apa?" tanya Arfan sekali lagi.
"Ayam di restoran cepat saji," jawab Kia asal.
Arfan menggeleng dan berbelok, "Nggak sehat, kita makan soto aja."
Kia menatap Arfan kesal. Jika sudah memutuskan makanan apa yang dipilih kenapa harus bertanya padanya? Saat mobil sudah berhenti di depan restoran, Kia dengan cepat keluar dari mobil. Tak lupa dia juga membanting pintu mobil dengan keras.
Mbok Sum dan Arfan yang masih berada di dalam mobil menghela napas lelah. Arfan menatap Kia dari kejauhan dengan tatapan menerawang.
"Ternyata susah ya Mbok urus Kia," gumam Arfan.
"Mas Arfan yang sabar ya. Mbak Kia mood-nya lagi nggak bagus. Mbok yakin suatu saat nanti Mbak Kia bakal ngerti."
Arfan melepas sabuk pengamannya dan menggeleng pelan, "Baru dua bulan, Mbok. Apa bisa dalam waktu empat tahun Kia berubah?"
"Mas, perubahan hanya bisa terjadi kalau Mbak Kia sendiri yang mau. Mas Arfan nggak bisa nuntut, yang bisa Mas Arfan lakuin sekarang adalah buat Mbak Kia percaya dan perlahan mulai membuka dirinya sendiri."
"Saya tahu," gumam Arfan, "Meskipun nggak gampang tapi demi wasiat Pak Surya, saya akan coba bertahan, Mbok."
Mbok Sum tersenyum, entah kenapa dia melihat ada sedikit harapan baik untuk masa depan Kia. Dengan didikan Arfan, Mbok Sum yakin suatu saat nanti Kia akan bisa menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Bukan tanpa alasan Pak Surya mempercayai Arfan untuk menjaga Kia. Selain karena sudah mengenal lama, Arfan adalah pria yang bertanggung jawab. Bisa dibilang jika Arfan adalah pria yang jauh dari kata negatif. Meskipun sedikit kaku tapi itu tidak menghilangkan kesan positif Arfan di mata Pak Surya.
***
Minggu ujian sudah tiba. Bukan hanya Kia yang dipusingkan dengan kegiatan belajar tapi Arfan juga. Dia juga ikut turun tangan untuk mengajari Kia. Seketika dia menyesal karena lupa untuk tidak mendaftarkan Kia ke bimbingan belajar. Tidak, Kia bukan gadis yang bodoh. Hanya saja dia harus membutuhkan banyak motivasi agar mau belajar. Seperti saat ini, Arfan harus ikut mengawasi Kia yang tengag belajar untuk ujian matematika besok.
"Ini bener nggak?" tanya Kia menunjukkan bukunya pada Arfan.
Arfan melirik dan berdecak, "Salah, kamu hitung lagi. Itu ada step yang kamu lewatin."
Dengan kesal Kia mengacak rambutnya kesal. Dia menjatuhkan kepalanya di atas meja dengan wajah yang masam.
"Baru empat materi kenapa udah capek?" Tangan Arfan terulur untuk mengambil buku Kia, "Sini, saya kasih tau cara cepatnya."
Kia mengangkat kepalanya dan menatap Arfan kesal, "Kenapa nggak bilang dari tadi?! Kenapa harus nunggu aku kesel dulu?!"
"Kamu nggak nanya," jawab Arfan santai.
Sudah dua jam Kia belajar dengan bimbingan Arfan dan selama itu pula entah sudah berapa kali dia mengeluh. Dia ingin menyudahinya tapi Kia yakin jika Arfan tidak akan membiarkannya.
"Kamu coba kerjain soal ini, pakai cara yang saya ajarin tadi." Arfan menunjuk salah satu soal.
"Capek, Mas. Kepala aku panas." Kia kembali merengek.
"Kamu lemah di materi ini, ayo dicoba dulu."
"Aku laper, pingin mie instan."
"Ada nasi di dapur," jawab Arfan cepat.
Dengan kesal Kia menatap bukunya dan mulai mengerjakan soal di depannya dengan terpaksa. Dia tidak sepenuhnya kesal pada Arfan, justru dia berterima kasih karena pria itu mau turun tangan untuk mengajarinya beberapa hari terkahir ini, tapi Kia terlalu gengsi untuk mengucapkan terima kasih. Ada positif dan negatifnya, Arfan mengajarinya cara cepat tapi ia juga meminta Kia untuk terus belajar untuk mengasah materi yang ia dapat. Kia akui jika Arfan adalah pria yang jenius, tapi ke-jeniusan pria itu terhalang oleh sifat menyebalkannya.
"Udah, aku udah paham. Udah ya, Mas. Aku capek." Kia mulai membereskan bukunya.
"Masih jam delapan Kia." Arfan kembali menarik buku Kia.
"Capek!" Kia bersandar pada sofa dan menutup wajahnya. Entah kenapa dia merasa lelah hari ini. Sejak dia kembali dari makam orang tuanya, perasan hatinya tidak kunjung membaik. Kia malah selalu teringat dengan nasibnya yang menyedihkan. Seharusnya di saat seperti ini ada orang tuanya yang menyemangatinya, bukan malah Arfan yang menyebalkan dan selalu memaksanya.
"Kia, kamu coba soal yang ini." Arfan melingkari soal-soal yang harus Kia kerjakan, mengabaikan Kia yang masih duduk sambil menutup wajahnya.
"Aku capek, Mas," gumamnya dengan suara serak.
Mendengar suara lirih itu, Arfan menatap Kia cepat. Dia terkejut melihat mata gadis itu yang mulai basah. Kia menangis?
Dengan pelan, Arfan mulai menutup buku-buku Kia, "Ya udah, kamu istirahat sana."
Mendengar itu, Kia dengan cepat berlalu menuju kamarnya. Dia tidak ingin Arfan melihat wajahnya yang basah karena air mata. Sampai di kamar, Kia menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Dia menatap foto kecil di atas nakas, foto masa kecilnya dengan kedua orang tuanya. Air mata Kia kembali mengalir melihat itu.
"Aku kangen kalian," bisik Kia menghirup udara dalam, berusaha untuk tidak menangis terlalu keras sampai kesulitan bernapas.
"Seharusnya kalian ada di sini, nemenin aku, semangatin aku. Maaf kalo selama ini Kia belum bisa jadi anak yang baik," lirihnya.
Di pintu kamar, Arfan mendengar itu semua. Dia tidak bisa menyalahkan Kia, perasaan gadis itu memang sedang tidak baik sekarang. Entah kenapa hati Arfan merasakan sakit. Bukan hanya Kia, tapi Arfan juga merasa kehilangan. Bisa dibilang jika dia sudah menganggap orang tua Kia sebagai orang tuanya di kota.
Arfan memutuskan untuk meninggalkan kamar dan berjalan ke dapur. Dia mengambil dua mie instan dan mulai memasaknya. Arfan harap makanan ini mampu untuk meredakan emosi Kia dan membuat perasaannya membaik.
Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, Arfan sudah selesai dengan masakannya. Dia membawa dua mangkok itu menuju kamar Kia. Tanpa mengetuk pintu, dia membuka pintu dengan lengannya.
Kia terkejut melihat pintu yang terbuka. Dengan cepat dia bangkit dan meraih selimut untuk menghapus air mata di wajahnya. Dia menoleh saat mencium aroma nikmat dari makanan yang Arfan bawa.
Arfan duduk di atas karpet dan meletakkan makanan yang ia bawa, "Ayo, temenin saya makan."
Melihat itu, Kia tersenyum tipis dan mengusap ingus di hidungnya. Dengan cepat dia turun dari kasur dan duduk di hadapan Arfan, "Makasih, Mas."
"Hm," jawab Arfan tak acuh.
Kia tersenyum dan mulai memakan makanan yang sedang ia inginkan saat ini. Memang benar jika mie instan buatan orang lain akan jauh lebih nikmat. Bahkan hanya dalam hitungan menit, Kia sudah menghabiskan makanannya.
"Kenyang," gumam Kia mengelus perutnya.
Arfan berdiri dan membawa mangkok kosong miliknya dan Kia, "Sekarang kamu istirahat, besok bangun subuh dan belajar sebentar," ucapnya sambil keluar dari kamar.
Kia yang mendengar itu membulatkan matanya tidak percaya. Dengan kesal dia meraih bantal dan melemparkannya ke arah pintu, "Nyebelin!" teriaknya kesal.
Memang hanya Arfan yang mampu menciptakan perasaan nano-nano di hatinya. Dasar pria menyebalkan!
***
TBC
Gemes banget sama Arfan, pingin getok palanya 😫
Kia be like :
Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top