11. Perasaan Aneh
Hari Minggu kali ini tidak digunakan Arfan untuk beristirahat seperti biasa. Di pagi hari, Nadia sudah berada di rumahnya untuk membicarakan masalah perusahaan. Sebagai sekretaris, Nadia termasuk orang yang cakap dan tanggap. Tak salah Pak Surya mempekerjakan wanita itu.
Meja makan menjadi tempat mereka bekerja saat ini. Dengan ditemani sarapan sederhana dan potongan buah, mereka tampak lebih santai dari pada di kantor. Arfan sendiri masih fokus pada Ipad-nya.
"Saya sudah pesan tiket pesawat untuk besok, Pak."
"Untuk Pak Johan?" tanya Arfan memakan mangganya.
"Sudah juga, Pak, tapi Pak Johan minta berangkat sore."
Arfan mengangguk pelan, "Nggak masalah selama dia sudah ada di Bali besok lusa."
"Aman, Pak."
"Oke, kita sarapan dulu," ucap Arfan.
Nadia tersenyum dan menyingkirkan laptop serta map-map yang ia bawa. Untuk pertama kalinya dia melakukan rapat secara pribadi di rumah Arfan. Dia pikir Arfan adalah pria yang kaku tapi ternyata juga bisa bersikap santai. Mungkin karena akhir pekan, itu yang membuat Arfan tidak mau ke kantor.
"Aku pulang!" Suara nyaring dari depan rumah menghentikan gerakan Arfan. Dia menghela napas lega saat tahu jika Kia sudah kembali pulang.
"Loh, Mbak Nadia di sini?" tanya Kia terkejut.
"Iya, Dek." Nadia tersenyum. Dia memang sudah mengenal Kia karena Pak Surya sering meminta bantuannya untuk membereskan kekacauan yang Kia lakukan dulu.
"Bawa apa kamu?" tanya Arfan.
Kia kembali tersenyum lebar dan menghampiri Arfan. Dia menarik tangan pria itu dan menciumnya, "Aku bawa oleh-oleh."
Dahi Arfan berkerut, "Tumben?"
Kia terkekeh dan ikut duduk di meja makan, "Kan uang jajannya banyak kemarin."
Bukan tanpa alasan wajah Kia tampak cerah pagi ini. Setelah diizinkan pergi berlibur, Arfan juga mengizinkannya untuk menambah hari. Oleh karena itu dia sangat berterima kasih pada Arfan yang sudah menuruti permintaannya.
"Kia ada rencana kuliah di mana?" Nadia memecah keheningan.
Kia mengambil selembar roti dan berpikir, "Kayaknya luar kota, Mbak."
Arfan menghentikan makannya mendengar itu. Dia menatap Kia tajam, tapi sepertinya gadis itu tidak menyadarinya.
"Luar kota?" Ulang Nadia.
"Iya, Mbak. Kalau nggak Jogja ya Malang."
"Kamu yakin banget diterima di sana?" Pertanyaan Arfan terdengar menohok.
Kia mendengkus, "Ya usaha lah, siapa tau keterima."
"Nggak perlu jauh-jauh."
Mata Kia menyipit. Dia kembali waspada, seolah menangkap sinyal jika Arfan akan kembali memulai peperangan.
"Maksudnya?" tanya Kia kesal.
"Kuliah di sini aja."
Benar dugaannya!
"Nggak mau! Apa-apaan sih Mas Arfan?!"
Arfan mengelap bibirnya dengan tisu dan menatap Kia sabar, "Kita bahas nanti. Saya kerja dulu."
Dengan kesal Kia berdiri dan mengambil kembali oleh-oleh yang ia berikan pada Arfan tadi, "Nggak perlu diomongin, aku udah males," ucapnya dan beralih pada Nadia yang masih terkejut melihat interaksi Kia dan Arfan, "Ini oleh-olehnya buat Mbak Nadia aja!"
Setelah itu Kia berlalu pergi menuju kamarnya, mengabaikan Arfan yang berteriak memanggil namanya.
"Kia, makan dulu!" teriak Arfan.
"Males!"
Arfan menghela napas lelah dan mengusap wajahnya kasar.
"Kenapa Kia nggak boleh kuliah ke luar kota, Pak?" tanya Nadia hati-hati.
"Saya nggak bisa awasin dia nanti."
"Tapi Kia udah besar, Pak."
Arfan menatap Nadia lekat. Nadia yang ditatap seperti itu mulai gugup dan menunduk.
"Saya sudah janji sama almarhum Pak Surya buat jaga Kia. Sebisa mungkin saya akan melakukannya," ucap Arfan mantap.
***
Arfan duduk di ruang kerjanya dalam keheningan. Perlahan tangannya terulur untuk membuka laci mejanya. Di sana sudah ada beberapa brosur perguruan tinggi yang dia pilih untuk Kia. Meskipun gadis itu ingin mandiri dan hidup sendiri, tapi Arfan tidak akan mengizinkannya.
Kia adalah tanggung jawabnya.
Suara pintu yang diketuk membuat Arfan mengangkat kepalanya. Ada Mbok Sum yang datang dengan secangkir teh hangat.
"Saya liat Mas Arfan belum tidur jadi saya buatin teh."
Arfan tersenyum tipis, "Makasih ya, Mbok. Kia udah makan?"
"Udah, Mas."
"Habis?" tanya Arfan mulai meminum teh-nya.
"Habis, Mas. Kayanya Mbak Kia kelaperan deh."
Arfan tersenyum tipis, "Dia kebanyakan marah-marah."
"Mbak Kia kenapa lagi, Mas?" tanya Mbok Sum penasaran.
"Dia minta kuliah di luar kota."
Mbok Sum terkejut. Sangat tidak mungkin jika Arfan membiarkan Kia jauh darinya. Dia juga yakin jika Arfan tidak akan mengizinkannya.
"Terus, Mas?" tanya Mbok Sum.
"Saya nggak bisa izinin, Mbok."
Mbok Sum mengangguk paham, "Saya harap cepet ketemu jalan keluarnya ya, Mas. Jangan marahin Mbak Kia keras-keras ya."
Arfan kembali tersenyum tipis, "Mana bisa saya marahin dia keras-keras, Mbok," gumamnya lelah.
"Kalau gitu saya tidur dulu ya, Mas."
Arfan mengangguk, "Iya, makasih teh-nya."
"Sama-sama, Mas."
Arfan kembali berkutat dengan pekerjaannya. Dia memang tampak sibuk hari ini karena harus mempersiapkan pekerjaannya untuk besok. Arfan harus pergi ke Bali selama lima hari lamanya.
Setelah merasa cukup larut, Arfan keluar dari ruang kerjanya sambil membawa kumpulan brosur perguruan tinggi di tangannya. Kamar Kia menjadi tujuannya.
"Kia?" panggil Arfan sambil mengetuk pintu.
Tidak mendengar sahutan, akhirnya Arfan memilih untuk masuk. Terlihat Kia tengah tertidur dengan keadaan yang berantakan. Sepertinya gadis itu ketiduran karena laptop-nya yang masih menyala.
Arfan meletakkan brosur yang ia bawa ke atas meja belajar dan berjalan mendekat. Dia mengambil laptop Kia dan mematikannya. Setelah itu dia meraih selimut dan menutupi tubuh gadis itu.
Arfan tidak langsung keluar. Dia memilih untuk duduk di ujung kasur dan menatap Kia yang masih tertidur pulas.
"Kenapa kamu nggak pernah mau nurut?" gumam Arfan, "Kalau udah tau semuanya apa kamu bakal nurut?"
Arfan menggeleng sebagai jawaban. Tentu Kia tidak akan menurut, lebih tepatnya dia tidak akan terima. Gadis itu terlalu keras kepala untuk menerima semua kenyataan yang ada.
"Selamat malam," ucap Arfan mengelus kepala Kia dan mengecup keningnya pelan. Setelah itu dia berjalan keluar, tak lupa untuk mematikan lampu kamar Kia.
Setelah pintu kamar tertutup, mata Kia terbuka. Dia memang sedang tidur tadi, tapi kembali terbangun saat merasakan selimut yang membungkus tubuhnya. Tahu jika itu adalah Arfan, Kia memilih untuk tetap memejamkan mata. Dia terlalu malas untuk berbicara dengan pria itu setelah apa yang terjadi tadi pagi.
Tangan Kia bergerak untuk menyentuh keningnya yang dicium oleh Arfan. Setelah itu tangannya turun ke dada. Rasanya sangat aneh. Kenapa jantungnya terasa bergemuruh? Kenapa pria itu mencium keningnya setelah banyaknya pertengkaran yang terjadi di antara mereka selama ini?
"Dasar cabul!" rutuk Kia kesal, "Terus apa maksudnya tadi? Apa yang nggak aku tau?" lanjutnya.
Kia yang memang mengantuk tidak ingin berpikir panjang dan kembali tidur. Dia harap semuanya hanyalah mimpi buruk. Saat membuka mata besok, maka kehidupannya akan kembali normal.
Kia sangat berharap akan hal itu.
***
TBC
Heh Mas Arfan! Ngapain cium-cium?!
Quote untuk Kia, Arfan, dan Readers 🤣
Follow ig viallynn.story
Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top