1. Kehidupan Baru
ADA YANG BARU NIHH! Gila sih produktif banget aku 😂 skripsi apa kabar? 😭
***
Dengan mata yang bengkak, Kia menatap kertas di tangannya dengan nafas yang tertahan. Sepulang dari pemakaman, tangisannya tak kunjung berhenti. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, yaitu menghadiri pemakaman ayahnya sendiri, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Sekarang dia hanya sendiri, tidak ada yang menemani.
"Ini apa, Pak?" tanya Kia pada Pak Harris, pengacara ayahnya.
"Surat dari ayahmu, Kia."
Tangis Kia kembali pecah. Kematian ayahnya benar-benar menjadi pukulan terhebat dalam hidupnya. Kia merasa bersalah. Andai saja waktu bisa berputar tentu dia tidak akan pernah mengecewakan ayahnya.
Dear, Azkia..
Anakku tersayang
Ayah harap kamu nggak lagi nangis sekarang. Kamu kuat, Sayang.
Maaf Ayah nggak bisa temenin kamu lebih lama lagi. Tuhan ternyata sayang banget sama Ayah.
Saat kamu baca surat ini, artinya Ayah udah tenang sama Ibu kamu, Nak. Kamu harus kuat ya, Ayah nggak akan biarin kamu sendirian.
Arfan, kamu kenal Mas Arfan kan? Dia yang akan nemenin kamu mulai dari sekarang. Mas Arfan adalah wali kamu sekarang. Jangan nakal ya..
Ayah percaya sama Mas Arfan, jadi kamu juga harus percaya sama dia.
Perlu Kia tau, Ayah sayang banget sama Kia.
Kia menutup wajahnya saat air mata kembali mengalir. Dia belum siap untuk membaca surat wasiat ini. Dia membutuhkan waktu untuk mencerna semua yang telah terjadi.
"Mbak, Kia." Mbok Sum mengelus bahu Kia pelan. Berusaha untuk menenangkan tangisannya yang semakin menjadi.
"Yang sabar, Mbak. Jangan sedih terus, nanti bapak ikut nangis di atas sana."
Ucapan itu membuat Kia menahan tangisnya dan kembali mengangkat wajahnya. Dengan kasar, dia mengusap wajahnya yang sudah basah karena air mata. Perlahan dia mulai menatap Pak Harris dan mengangguk pelan, meminta pria paruh baya itu untuk kembali meneruskan pembacaan surat wasiat.
"Saya tau ini berat, tapi saya harus membacakan surat permintaan dari ayahmu, Kia."
"Saya paham, Pak. Lanjutin aja."
Pak Harris mengangguk dan kembali berbicara, "Di dalam surat itu, ayahmu mempercayai Arfan untuk jadi wali kamu."
Mata Kia beralih pada pria yang duduk di depannya. Sedari tadi pria itu memilih untuk diam. Apa benar ayah meminta Arfan untuk menjadi wali Kia? Arfan begitu dingin dan Kia tidak yakin dengan keputusan ayahnya itu.
"Untuk saat ini, Arfan yang akan gantiin ayah kamu. Arfan yang akan urus semua perusahaan dan keperluan kamu."
Kia menatap Pak Harris tidak percaya. Bagaimana bisa ayahnya mempercayai Arfan yang notabenya adalah orang luar? Bukan hanya perusahaan, tapi ayah juga mempercayai Arfan untuk menjaganya. Omong kosong dari mana itu?
Kia memang mengenal Arfan, tapi tidak begitu dekat, bahkan jarang berbicara. Pria itu sudah bekerja dengan ayahnya selama bertahun-tahun. Seperti yang Kia tahu, Arfan adalah wakil ayahnya di perusahaan. Ayahnya mempercayai Arfan untuk mengurus semuanya.
"Kenapa harus Mas Arfan yang urus perusahaan? Anaknya itu saya, Pak." Kia bertanya tidak terima.
"Saya udah tebak kamu pasti ngomong gini." Pak Harris tampak kembali membaca kertas di tangannya. "Di sini tertulis kalau Arfan akan gantiin ayah kamu sampai kamu siap. Saat kamu udah lulus kuliah, semuanya akan kembali sama kamu, Kia."
"Saya nggak mau!" ucap Kia keras. Dia tidak bisa hidup diatur seperti ini.
Kia melirik Arfan tajam, berharap jika pria itu juga akan menolak wasiat konyol ayahnya. Masih diam, Arfan terlihat tidak ingin membantah. Pria itu memilih bungkam dengan pandangan yang kosong.
"Mas Arfan hasut ayah, kan?!" tanya Kia kesal.
Arfan melirik sebentar dan beralih pada Pak Haris, "Lanjutkan, Pak." Itu kata pertama yang dia ucapkan.
"Saya tau ini berat, Kia. Saya yakin ayahmu punya alasan. Kamu belum lulus SMA, kamu perlu wali untuk mengawasi kamu," ucap Pak Haris.
"Nggak lama lagi saya lulus," ucap Kia ketus.
"Itu tidak mengubah permintaan ayah kamu, Kia. Maaf saya nggak bisa bantu lebih."
Kia kembali menatap Arfan tajam. Diamnya pria itu membuatnya kesal. Kia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Arfan pikirkan? Apa dia senang dengan keputusan ayahnya? Tentu saja, wasiat ayahnya benar-benar menguntungkan Arfan.
"Mas Arfan setuju?" tanya Kia kesal.
Tanpa ragu pria itu mengangguk. Kia hanya bisa mengumpat dalam hati melihatnya.
"Kenapa Mas Arfan setuju sama permintaan ayah?" Kia masih tidak habis pikir.
Untuk pertama kalinya Kia melihat Mas Arfan tersenyum, meskipun begitu tipis dan samar. "Nggak ada alasan untuk saya menolak, Kia."
"Dasar matre!" umpat Kia pelan.
"Untuk selebihnya, kalian bisa rundingkan berdua." Pak Harris mulai bersiap untuk pergi.
"Saya nggak harus tinggal sama Mas Arfan kan, Pak?" tanya Kia menahan tangan Pak Harris.
"Semua tergantung Arfan, Kia. Dia wali kamu sekarang. Dia yang bertanggung jawab atas diri kamu mulai dari sekarang."
Kia memejamkan matanya kesal. Jawaban Pak Harris tidak membuatnya puas sama sekali. Demi apapun, dia tidak bisa hidup dengan orang asing. Kenapa ayahnya mempercayai Arfan? Meskipun tidak selamanya, tapi waktu empat tahun bukanlah waktu yang singkat.
"Arfan, kamu bisa hubungi saya kalau ada apa-apa," ucap Pak Harris menjabat tangan Arfan.
"Baik, Pak. Terima kasih banyak."
Melihat pintu rumah yang sudah tertutup rapat, Kia jatuh terduduk dengan kepala yang berdenyut. Tak lama Mbok Sum datang dengan secangkir teh hangat.
"Aku nggak mau kalo Mas Arfan tinggal di sini," ucap Kia pada Arfan.
"Nggak masalah, kamu yang akan tinggal di rumah saya."
Tangan Kia terkepal mendengar itu. "Aku nggak mau!" teriaknya.
Arfan menatap Kia santai. Tanpa emosi tapi semakin membuat Kia kesal.
"Jangan lupa kalau saya adalah wali kamu sekarang. Semua keperluan kamu, saya yang penuhi. Kalau kamu nggak terima, saya bisa cabut semua fasilitas kamu," kata Arfan dan beralu pergi.
"Kok ngatur?!" teriak Kia kesal.
"Sabar, Mbak. Turutin aja ya, Mbok yakin permintaan Bapak nggak salah," ucap Mbok Sum.
"Gimana mau sabar, Mbok. Belum apa-apa aja udah main cabut fasilitas. Gimana aku bisa betah hidup empat tahun sama dia?!"
Kia menunduk dan menutup wajahnya erat. Merasa kesal dengan apa yang sudah terjadi. Kepergian ayahnya sudah membuatnya cukup sedih, jangan lagi ditambah dengan masalah ini.
Kia yakin jika dia bisa hidup sendiri. Dia tidak butuh wali, apalagi wali seperti Arfan. Diamnya saja sudah membuat Kia kesal apalagi jika berbicara? Dan itu benar terjadi, saat berbicara pria itu jauh lebih menyebalkan.
Kenapa ayah bisa bertahan selama bertahun-tahun dengan wakil direktur seperti Arfan?
"Coba jalanin dulu, Mbak. Ada Mbok yang nemenin Mbak Kia."
Demi semua fasilitas agar tidak dicabut, Kia memilih untuk menerima dan bersabar.
Kita akan lihat, siapa yang akan menyesal karena memilih untuk hidup bersama?
***
TBC
Ada cogan baru nih namanya Mas Arfan 😘🙈🥰
Follow ig viallynn.story
Jangan lupa vote dan commemtnya ya 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top