Bab 7 - Yang Terbaik
Hayyy... akhirnya bisa update juga hehe.. maaf yaa kemarin2 aku sibuk uas, dan sebentar lagi aku uprak..
Intinya aku ingin ngucapin terimakasih banyakkkk untuk kalian yg dengan setia nunggu cerita ini,aku jadi terharu*lapairmata :D
Langsung aja deh.. happy reading yaa.. jangan lupa votte dan commentnya :)
**********
Lili POV
Menyebalkan sekali, padahal aku sudah berangkat pagi-pagi tapi masih saja telat, lagipula kenapa dia pulang ke Indonesia begitu cepat. Apakah dia tidak melihat kalung pemberiannya yang masih kupakai, ohh benar, malam itu aku mengenakan syal. Aku terus menggerutu sepanjang perjalanan. Kulirik jam tanganku, masih pukul sepuluh, lebih baik aku berjalan-jalan saja. Kuliahku juga sedang free.
Saat asik berjalan aku melihat toko bunga, wahh sudah lama aku tidak membeli bunga lily. Bunga cantik itu selalu mengingatkan aku tentang mommy, meskipun aku tidak ingat kebersamaan kami tapi aku selalu ingat kasih sayangnya.
Baru akan mengambil bunga lily yang hanya tinggal serangkai itu seseorang mengambilnya juga. Aku mendongak untuk meminta bunga itu, enak saja, aku yang pertama kali melihat bunga itu.
"Loh.. kau Lili kan?" tanya orang bermata biru itu.
Aku mengerutkan kening. "Yaa.. Anda siapa?"
Pria itu tertawa ringan. "Kau lupa denganku? aku pria yang kau tolong saat mabuk, ingat?"
"Oh.." kutepuk keningku astaga iyaa aku ingat. "Kau Darren? astaga aku lupa.."
Dia terkekeh geli, kemudian berjalan untuk membayar bunganya. Yahh tidak apalah, nanti aku bisa mencari bunga itu lagi di toko lain. Darren mengajakku ngobrol di luar toko bunga, cukup lama kami mengobrol, ia bertanya tentang kuliahku di sini.
"Kau di sini sendiri?" aku mengangguk mendengar pertanyaannya. "Oh.. bunga ini untukmu saja, aku bisa mencarinya di toko lain." Darren mengulurkan rangkaian bunga lily putih itu.
"Hey, tidak usah, kau yang telah membayarnya,"
"Haha tidak papa, anggap saja sebagai balas budi, ohh kau pulang sendiri kan? aku antar saja bagaimana? kebetulan aku ingin pergi ke daerah dekat rumahmu."
"Baiklah terimakasih Darren, okeyy jika tidak merepotkan aku sih mau saja," jawabku dengan santai. Lumayan, aku tidak perlu mengeluarkan ongkos. Darren membukakan pintu mobil untukku, dan aku menyabutnya dengan senyum.
Di mobil, kami kembali mengobrol banyak hal, ternyata dia mahasiswa kedokteran namun ayahnya menyuruh untuk terjun langsung ke perusahaan keluarganya. Alhasil ia tidak menjalankannya dengan baik hingga kini perusahaan ada di ambang kebangkrutan.
"Untunglah ada pengusaha dari Indonesia yang ingin membeli perusahaanku," jelasnya.
"Ohh yaa? kalau begitu kau beruntung, tapi apa orang yang membeli perusahaanmu itu tidak takut rugi?" tanyaku yang mulai tertarik.
Kepala Darren menggeleng. "Dia pengusaha sukses, aku yakin perusahaan akan kembali maju ditangannya,"
Aku hanya ber oh ria, sisa perjalanan kuhabiskan untuk memandang jalan sekaligus memikirkan keputusanku hingga beberapa menit kemudian kami sampai di depan rumahku. Aku mengucapkan terimakasih padanya dan hendak keluar dari mobil namun tangannya menahanku.
"Aku ingat sekarang, dulu kita pernah bertemu di rumah sakit Jakarta, kau tidak sengaja menabrakku, dan kau seperti takjub dengan mata biruku, apa kau ingat?"
Aku mengerutkan kening. "Maaf? kau yakin itu aku? aku sama sekali tidak ingat.."
"Hemm yahh wajar saja, itu hanya pertemuan sekilas, aku juga awalnya tidak ingat, kau masih sama cantiknya sejak pertama kali bertemu,"
Aku tertawa dan kupukul bahunya pelan. "Bisa saja.. yasudah aku masuk ya.. thanks untuk tumpangan dan bunganya, see you Darren.." kubuka pintu mobilnya lalu berjalan ke dalam rumah. Huhh ternyata Darren tidak seburuk itu, kupikir dia hanya seorang pemabuk.
Sebuah senyum tercetak di bibirku, kupandangi bunga lily yang berada di genggamanku. Hemm, lebih baik aku meletakkan bunga ini di vas, pasti akan terlihat sangat cantik.
"Loh.. sugar, kau sudah pulang? bagaimana? apakah kau sudah bertemu dengan Aldric?" tanya daddy yang baru saja keluar dari dapur. Aku tersenyum dan berlari kearahnya, kulingkarkan lenganku pada lengan kekar daddy.
"Tidak dad, dia sudah pulang ke Indonesia," jawabku.
Dad mengelus rambutku dengan lembut. "Lalu kenapa kau senyum-senyum begitu? Dad pikir kau senang karena Aldric." Aku hanya menggelengkan kepala, karena akupun tidak tau kenapa sedari tadi rasanya ingin terus tersenyum. "Yasudah, kau belum makan apapun sejak pagi.. makanlah dulu, setelah itu kau harus ke kamar daddy. Dad ingun bicara padamu dan kakakmu,"
Aku mengangguk dan segera ke ruang makan. Nasi goreng, wahhh, aku tidak pernah bosan dengan masakan Indonesia ini. Dengan lahapnya ku makan sepring nasi goreng ini. Pasti daddy yang memasak ini, rasa masakan daddy memang sangat khas, lezat sekali.
Selesai menghabiskan nasi gorengku, aku segera menuju kamar daddy, sesuai perintahnya. Di sana kakak dan daddy seolah sudah menungguku, mereka tersenyum lembut padaku. Aku tau apa yang akan mereka bicarakan, sangat tau.
"Apa kau sudah mengabil keputusan?" tanya daddy.
Aku menggelengkan kepala. "Dad sepertinya aku tidak bisa kembali.." jawabku dengan lirih. Kepalaku mendongak takut pada daddy dan kak Bian. selama perjalanan pulang tadi aku memikirkan itu, dan hasilnya adalah aku tidak siap.
Daddy menghela nafasnya. "Kau yakin? ini adalah hari penting kakakmu.. kasian dia sayang,"
Aku menundukkan kepalaku, daddy, aku sangat ingin ikut, teriakku dalam hati. Aku ingin menghadiri hari bahagia kakak itu, lagi pula aku juga ingin sekali menyelesaikan masalahku di sana tapi apa daya, dengan kondisiku yang seperti ini ketika tertekan tidak menutup kemungkinan penyakitku akan kambuh di sana, jika itu terjadi maka pengobatanku selama ini akan sia-sia. Kembali ke Indonesia pasti akan membuatku sangat tertekan akan kenangan buruk itu.
"Biarkan saja Dad, Bian yang salah, seharusnya Bian menikah saat Lil benar-benar siap untuk kembali," ucap kak Bian.
Cairan bening menetes dari mataku namun aku segera menghapusnya. "Kakak tidak salah, maaf Lil membuat semuanya kecewa, Kak.. kau memang harus segera menikah, lihatlah umurnya yang sudah tua.." aku mencoba mencairkan suasana.
Kak Bian menghampiri dan mengacak rambutku. "Tapi dengan menikah kakak tidak bisa full menjagamu," dengarkan. Ini yang membuat aku selalu merasa seperti benalu, hanya bisa menyusahkan orang-orang yang ku sayang.
"Aku bukan bayi, berhenti memperlakukan aku begitu Kak,"
Kak Bian tersenyum dan meminta maaf padaku.
"Baik.. kau menikahlah Bian biar dad dan Lil tetap.."
"Tidak!!! Dad harus tetap datang, Daddy dan bi Novi harus kembali ke Indonesia, ayolah.. ini hari bahagia kakak," potongku. Aku yakin daddy tidak akan setuju tapi aku akan tetap memaksanya, alangkah mengenaskan jika dipernikahan kakak, daddy turut absen.
Daddy nampak ragu. "Lalu siapa yang mengurusmu di sini?"
"Ada Clara dan Josh Dad.. mereka tidak akan membiarkan aku sendiri kelaparan," hiburku. Mendengar kedua nama sahabatku daddy terlihat lega kemudian mengangguk.
Malam ini semua sudah dipersiapkan. Kak Bian sibuk mengurus keberangkatan semua. Aku mencoba terlihat bahagia meskipun sebenarnya sedih, aku ingin ikut. Aku rindu semua, aku hemm, baiklah aku juga merindukan Aldric, jujur saja aku belum puas melihat wajahnya.
Di balkon kamarku, kuputar ponselku, aku ingin menelpon Alex tapi rasanya sangat takut. Dia pasti marah sekali padaku.
Keraguan segera kuusir, jika bukan sekarang, kapan lagi. Nada sambung kali ini terdengar seperti ancaman eksekusi bagiku.
"Halo Assalamualaikum," sapa seseorang disebrang sana. Aku tersenyum, ini Alex. Meski bertahun-tahun tidak menghubunginya aku tidak akan melupakan suara ini.
"Waalaikumsalam, ha-hay Alex, ini.. ini aku Lili," jawabku pelan dengan hati-hati. Terdengar hening disebrang sana. Apa Alex tidak mendengarku. "Alex.. kau masih disana???" tanyaku memastikan.
"Lili.." jawabnya dengan lirih. "Kau Lili Anissa Pradipta?"
Aku tertawa, namun yang keluar justru tawa kesedihan. "Yahh.. Alex ini aku, kau ingatkan dengan orang yang tak tau diri ini?"
"Lili.. astaga... kemana saja kau?? hilang seperti ditelan bumi, kemarin Aldric sempat mengabari bahwa dia melihatmu, katanya kau baik-baik saja dan aku tidak perlu khawatir,"
Ohh Aldric, ternyata benar, dia hanya pura-pura tidak mengenalku. "Ohh hemm iya aku bertemu dengannya di restaurant, Alex.. bagaimana kabarmu? maafkan aku Alex hiks maaf karena tidak pernah memberi kabar.."
Terdengar helaan nafas Alex. "Yang terpenting untukku adalah keadaanmu baik, tidak apa jika kau tidak ingin memberi kabar,"
Dengan pemakluman ini aku semakin merasa bersalah, mulai sekarang aku tidak akan menghindar. "Alex.. aku tidak akan menghindar lagi,"
Dengan kalimat singkat itu aku yakin Alex akan mengerti maksudku. "Benarkah? bagus kalau begitu, ini baru sahabatku. Kau tau? selama beberapa tahun ini aku merasa kehilangan sahabatku yang berani dan tegar dalam setiap cobaan, kau seperti menjadi orang lain Lil, pengecut dan lari dari masalah bukanlah Lili yang kukenal."
Perkataan Alex menohokku, aku tidak merasa sakit hati. Justru semua perkataan Alex benar, aku hanyalah seorang pengecut yang takut akan masalalu.
"Kata-katamu menyakitkan Alex," gurauku. "Kau benar.. haha aku memang pengecut, jadi, maukah kau memaafkan sahabatmu yang pengecut ini?"
"Tentu, meskipun aku sangat kesal denganmu aku akan tetap memaafkan orang yang sudah kuanggap adik kandungku sendiri,"
Pembicaraan kami berlanjut hingga larut malam, entah disana sudah jam berapa. Rasanya memutuskan pembicaraan ini sangatlah berat. Aku masih merindukan sahabatku ini.
"Ohh iya Lil sebentar lagi aku dan Ana akan menikah, Ara dan Rion juga,"
Gawat.. aku tidak mengenal semua orang yang disebutkan Alex barusan. "Benarkah? wah kau tega sekali meninggalkan aku, aku saja disini masih single,"
"Lohh.. Aldric masih menunggumu Lil, tenang saja.."
Aldric menungguku, memangnya apa hubungan kami berdua. Aku ingin bertanya tapi jika Alex tau aku tidak mengingat semua, ia pasti khawatir. "Haha iya Alex aku tau, emm yasudah yaa.. sepertinya daddy membutuhkan bantuanku, besok ku telpon lagi, sampaikan salamku untuk Ana dan yang lainnya," setelah mengucapkan salam menutup aku segera meletakkan ponselku di nakas.
Aku duduk termenung menatap bintang, sekarang aku yakin, hubunganku dengan Aldric lebih dari sahabat. Namun melihat tingkahnya dengan Nadia kemarin aku juga mendapatkan fakta, hati Aldric telah berpaling.
Ujung bibirku terangkat, yahh aku tersenyum. Mungkin ini yang lebih baik untuk kami. Melanjutkan hidup kami masing-masing adalah pilihan paling tepat agar tidak ada rasa sakit dikemudian hari.
Karena mungkin aku tidak akan kembali ke Indonesia seperti halnya dengan Clara.
*******
Part selanjutnya akan aku buat secepatnya yaa.. doain semoga aku lancar terus nulisnya ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top