Bab 6 - Permintaan Mama
Hayyyy readers.. benerkan aku update..meskipun agak lama wkwk
Yaudah langsung aja deh.. Happy reading guys..
Jangan lupa votte dan commentnya..
********
Aldric POV
Keningku berkerut, ini hampir setengah jam dan Lili belum keluar dari toilet. Nadia memanggilku, ia menanyakan rencana pertemuanku selanjutnya dengan Mr. Darren. Kujelaskan dengan rinci rencana yang sedari tadi sudah ada di otakku.
Sebuah hentakan kaki membuat kepalaku reflek menoleh, Lili. Aku menatapnya bingung namun dia justru berlari pada pria yang tadi berciuman dengannya. Kemesraan mereka membuatku geram. Shitt!! Pemandangan itu membuatku jengah. Siapa pria itu, ada hubungan apa diantara mereka.
Mereka beranjak pergi namun kembali, tunggu, Lili dan pria itu berjalan kearah kami. Aku berusaha membuat wajah sedatar mungkin, menjadi CEO membuatku belajar berekspresi datar untuk menghadapi klien. Pria itu berbisik pada Lili, mereka terlihat sangat aneh.
Lili tersenyum kaku dan meminta maaf lagi padaku. Aku menjawab dengan santai lalu pria yang berdiri di sampingnyaitu menimpal kata-kata Lili. Flowers, dia memanggil Lili dengan nama itu. Nama panggilan khusus, tidak salah lagi, mereka memiliki hubungan spesial.
"Flowers? semacam panggilan khusus?" tanyaku. Lili nampak terkejut, aku tersenyum dalam hati. Bodoh, kenapa aku tidak berfikir, Lili pasti memiliki seseorang spesial di sini. Aku saja yang terlalu naif, mengharapkan Lili tetap menungguku.
Kuajak mereka berdua untuk duduk dengan kami, kasian, pasti Lili pegal berdiri lumayan lama. Lili juga ternyata memiliki panggilan khusus untuk pria itu, Josh bodoh, ohh namanya Josh. Aku bertanya apakah mereka berpacaran karena rasa penasaran semakin membesar, aku terkejut mengetahui bahwa dia dan pria ini hanya sahabat, beritahu aku, apakah sahabat itu sampai pada tahap berciuman di bibir? tidak,, bahkan Lili dengan Alex tidak begitu, padahal aku yakin Alex adalah sahabatnya yang paling dekat.
Lili mengguncang lenganku, dia merajuk, ohh mungkin itu perasaanku saja. Aku bertanya siapa namanya, hanya basa-basi. Bukankah aneh jika baru kenal namun tidak menanyakan nama.
Kuperkenalkan Nadia, Theo, dan Endra pada Lili dan Josh. Selama beberapa menit aku bicara banyak hal dengan Lili, bisa kulihat bahwa dia menikmati obrolan kami, sampai aku menoleh pada Nadia yang sedang serius dengan makanannya.
Aku tersenyum, dengan polosnya Nadia makan sampai tidak sadar di bibirnya ada noda saus. Kuusap ujung bibirnya. "Ada saus di bibirmu, makanlah pelan-pelan," ucapku.
Nadia tampak gugup dengan tindakanku, dalam hati aku tertawa geli melihat pipinya yang merona, cantik. "Oh, hehe iya," jawabnya.
Aku tidak bisa menahan tawaku lagi, ini benar-benar seru, melihat Nadia merona itu sangat jarang, biasanya sikap Nadia itu sangat tenang seperti air. Mungkin menggoda Nadia akan menjadi hobi baruku, kuacak rambut Nadia dengan gemas. "Good girl," gumamku. Aku kemudian tersadar, astaga, aku lupa Lili ada di sampingku. Aku menoleh padanya, bisa kulihat wajahnya memerah, tidak mungkinkan dia cemburu padaku.
Lili tersenyum padaku, ia pamit pulang dengan alasan tidak ingin membuat daddynya khawatir karena pulang terlambat. Om Ares, aku sangat ingin bertemu dengannya, beliau sosok yang bijaksana dan aku kagum dengannya.
"Yah, lagi pula ini sudah malam, senang bertemu denganmu Lili, semoga nanti kita bisa bertemu lagi," ucapku. Yah, semoga kita akan bertemu dan kamu bisa menjelaskan dengan pasti hubunganmu dengan Josh itu, batinku.
Lili mengangguk dan tersenyum, senyum yang sejak dulu aku rindukan. Ia dan Josh bersalaman dengan kami berempat lalu berjalan pergi. Kutatap kepergiannya, masih ada waktu hingga tiga hari lagi. Semoga saja kami bisa bertemu lagi di sini.
Aku dan Nadia kembali kehotel. Kusuruh dia untuk cepat beristirahat karena besok aku memiliki rencana untuk kembali kekantor milik Mr. Darren itu. Saat memasuki kamarku, aku langsung merebahkan diri. Pertemuan yang mengejutkan, ini pertemuan pertama kami setelah beberapa tahun berpisah, kenapa momennya justru sangat buruk.
"Arrggg!!!" teriakku prustasi. Kuambil ponselku lalu ku telpon seseorang yang harus tau pertemuanku tadi, Alex. Yahh, aku tau di sangat merindukan Lili, mungkin kabar ini bisa membuatnya tenang, setidaknya sahabatnya itu baik-baik saja.
"Hallo Assalaualaikum," sapaku.
"Waalaikumsalam, hoaamm kau ini apa-apaan? ini masih dini hari!!" gerutu Alex. Kutepuk keningku. Haha bodoh, aku lupa akan perbedaan waktu.
"Gue punya kabar penting," jawabku to the point. "Gue ketemu sama Lili, lo tenang aja.. dia baik, sehat,"
"Kau serius?? la-lalu kau bertanya mengapa dia tidak menghubungi kita semua selama ini?"
Pertanyaan Alex membuatku tertawa getir, bagaimana ingin bertanya dengannya, ingat denganku saja tidak. "Enggak, udah deh gue ngantuk, intinya dia baik, lo kasih kabar anak-anak aja, byee!!" kumatikan ponselku.
Atap kamar ini menjadi tumpuan pandanganku. Pikiranku fokus pada pertemuan tadi. Dari obrolan Lili dengan Josh tadi aku menangkap info penting. Lili sering terjatuh, apa dia belum benar-benar sembuh.
Tapi ini sudah sangat lama. Apa penyakit itu sangat sulit disembuhkan.
Mataku mulai berat hingga akhirnya jatuh tertidur. Paginya aku terbangun dan langsung menjalankan kewajibanku. Sepertinya udara pagi ini sangat segar.
Kubuka pintu balkon kamarku. Benar, udaranya sangat segar. Aku tersenyum dan bersyukur, hari ini aku masih bisa menikmati matahari pagi hari. Yahh bersyukur setiap pagi itu rutinitasku. Karena jika aku tidak bisa menikmati pagi berarti hanya ada dua kemungkinan, aku telah tiada atau dunia sudah kiamat.
"Huhh!!" suara orang menghembuskan nafas membuatku menoleh. Kulebarkan mata, astaga, apa dia tidak berfikir bahwa dengan menggunakan pakaian seperti itu bisa membuat tatapan lapar pada para pria.
Nadia, dengan kemeja putih tipis sepaha, aku bahkan bisa melihat apa yang ada di balik kemeja itu. Bodoh!! kemeja itu hampir transparan. Dalaman yang ia kenakan pun sangat kontras, hitam.
"Ehhmm!!" aku berdeham agar dia sadar bahwa ada orang selain dia.
Nadia reflek menoleh kearahku lalu melebarkan mata. "Aaaa!!" teriaknya. Ia langsung menutupi apa yang bisa dia tutupi. Sebenarnya percuma, aku sudah melihatnya.
Pipi Nadia kembali memerah menahan malu, aku tersenyum geli. "Gantilah pakaianmu, apa kau tidak sadar? kemejamu terlalu transparan.." ucapku dengan santai.
Nadia melebarkan mata, aku bisa melihat cairan bening mulai keluar. Heyy apa ucapanku salah. "Aaa hiks hiks." Aduh, dia menangis. Aku segera melompati balkon kamarku. Kamarku dan kamarnya memang bersebelahan.
"Heyy.. kau kenapa menangis?" tanyaku. Aku benar-benar bingung.
"Ma-malu Mr. sa- hiks hiks saya malu.."
Pernyataannya membuatku melongo. Kupikir ucapanku ada yang salah, ternyata dia malu. Yah wajar saja.
Aku ragu untuk menepuk bahunya, nanti dia akan mengira aku adalah bos yang suka mencari kesempatan.
Sudahlah kutepuk saja, daripada dia menangis semakin kencang. "Sudahlah Nadia, cepat ganti bajumu, nanti kau bisa sakit, anginnya lumayan kencang.." ucapku. Bukan apa-apa, aku pria normal jangan sampai aku tergoda dengan Nadia dan melakukan sesuatu yang dilarang. Bukankah sudah kubilang bahwa Nadia memiliki tubuh yang diingini semua wanita.
Nadia mengangguk ragu, ia mendongak, sekarang bukan hanya pipinya yang memerah namun seluruh wajahnya. Aku tersenyum padanya, terselip ide jail diotakku. "Tenang, saya tidak akan menceritakan pada siapapun apa yang sudah saya liat,"
"Aaaa.." dia kembali berteriak dan lari masuk kedalam kamarnya. Aku tertawa geli, aishh sudah lama sifat jailku hilang. Kenapa sekarang muncul lagi.
Aku melompat kembali kebalkon kamarku. Menyenangkan sekali, pagi-pagi mendapat hiburan.
Ponsel di tempat tidurku berdering. Siapa pagi-pagi sudah menelpon. Merusak pagi indahku saja.
Alisku terangkat, untuk apa Ara menelponku. "Assalamualaikum Ra.. ada apa?"
"Al.. hiks tante masuk rumah sakit, tadi pagi Tante pingsan, kata dokter penyakit jantungnya kambuh.. sekarang aku lagi di rumah sakit sama Rion."
Aku melebarkan mata. "Terus gimana keadaan Mama sekarang?"
"Tante masih belum sadar,tapi kata dokter kita nggak perlu cemas, Tante hanya butuh istirahat,"
"Ra.. aku minta tolong banget, jagain Mamaku, aku akan segera pulang, please Ra.. aku percayakan Mama sama kamu," pintaku.
"I-iya Al.. aku akan jagain tante terus, Om juga sedang menuju Jakarta sekarang,"
Ohh iya, papa juga sedang ada di luar kota. Beruntung Ara tinggal di rumah kami. Jika tidak ada Ara, aku tidak tau bagaimana nasib mama karena bi Inah sudah tua dan pasti akan susah menolong mama.
"Ra.. nanti kalau ada perkembangan tolong kabari aku yaa.."
"Iya.. pasti Al.. yaudah, Assalamualaikum, take care Al.."
"Ya.. thanks Ra.. Waalaikumsalam," aku segera menutup telpon dan pergi mandi. Sepelas mandi aku menghubungin Theo untuk mengurus kepulanganku dan Nadia.
Pukul tujuh kurang aku segera keluar kamar dan mengetuk pintu kamar Nadia. Ia kelihatan bingung melihatku menarik koper.
"Kita pulang sekarang Nadia, mamaku masuk rumah sakit,"
"Astaga.. Ibu Dania sakit?" aku hanya menganggukkan kepalaku. "Baik saya akan bersiap-siap, Anda tunggu di lobby saja, nanti saya akan segera menyusul."
Aku kembali mengagguk dan berjalan meninggalkannya. Di lobby sudah ada Theo. Ia menundukkan kepala hormat.
"Sudah saya siapkan semua, tapi Mr. bagaimana dengan rencana pertemuan Anda?"
"Saya percayakan semua padamu, ibu saya sedang sakit, saya harus pulang, nanti kabari perkembangan yang kamu dapat, saya akan memantau dari jauh,"
"Baik Mr. saya akan berusaha sebaik mungkin,"
Nadia datang dengan kopernya. Kamipun segera berangkat ke bandara.
Selama di pesawat aku hanya diam dan berdoa untuk kesembuhan mama. Mama memang memiliki penyakit jantung sejak tiga tahun lalu, itu yang selalu membuatku ketar-ketir jika meninggalkan mama.
"Mr. Orlando.. tenanglah, pasti bu Dania akan baik-baik saja,"
Aku menoleh pada Nadia. "Apa aku terlihat sangat cemas?"
Nadia tersenyum dan mengangguk. "Sangat.. saya yakin bu Dania pasti baik-baik saja.."
Sikapnya yang menenangkan membuat aku ingat pada Lili, dulu dialah yang selalu menenangkan aku jika sedang gusar.
"Yahh terima kasih Nadia." Ia tersenyum padaku dan menganggukkan kepala.
Sisa perjalanan kuhabiskan untuk tidur, hanya itu yang dapat membuatku tenang. Nadia benar, mama pasti akan baik-baik saja.
Kami tiba di bandara Soekarna-Hatta. Orang suruhanku telsh menunggu di bandara.
"Selamat datang tuan,"
Aku membalas dengan gumaman. Kuajak Nadia masuk kedalam mobil. "Antarkan Nadia ke apartemennya dulu,"
"Emm Mr. saya boleh ikut kerumah sakit saja? saya ingin menjenguk bu Dania."
Aku menoleh padanya. "Kau yakin? lebih baik kau istirahat, besok kita harus kembali kerja,"
Nadia menggelengkan kepala. "Saya tidak lelah,"
"Yahh baiklah, Pak.. langsung kerumah sakit saja.."
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku memandang keluar jendela, seperti biasa, macet.
Setibanya di rumah sakit aku langsung menuju ruang rawat mama. Di depan ruangan aku melihat Ara dan Rion.
"Al.. hiks tante belum sadar." Ara memelukku. Kuelus rambut panjangnya.
"Tananglah, mamaku pasti baik-baik saja, aku masuk dulu Ra, ayoo Nadia,"
Aku dan Nadia masuk kedalam ruang rawat. Di sana, wanita yang paling kucintai sedang tertidur pulas dengan wajah pucat.
Aku mengelus pipi mama. "Ma.. Ando sudah pulang,"
Tangan mama yang berada di genggamanku bergerak sedikit. Aku tersenyum lega, kukecup dahinya dengan penuh sayang.
"Ando.." panggil mama.
"Yaa Ma.. Ando di sini,"
"Bukannya kamu sedang di Jerman?"
"Huhh bagaimana aku bisa tenang di sana saat mendengar wanita yang paling cantik ini masuk rumah sakit.." jawabku sedikit merajuk. Tidak peduli ada Nadia di sini.
Mama tertawa lemah. "Haha maaf sayang, mama enggak papa, kemarin cuma sedikit kecapean aja,"
"Mama.. kan Ando sudah bilang, jangan terlalu banyak aktivitas, mulai besok Ando akan mencari asisten rumah tangga yang lebih banyak. Bi Inah sudah tua Ma.. biar bi Inah bertugas untuk menemani Mama saja,"
Mama mengerucutkan bibirnya. "Mama bosen diam terus di rumah, makanya kamu cepat nikah, biar mama ada temannya,"
Aku terdiam, menikah dengan siapa? calon saja aku tidak punya. Terkadang permintaan mama itu memang aneh.
"Lohh ada Nadia juga, apa kabar sayang?" tanya mama.
"Ohh baik Bu.." Nadia memang veberapa kali bertemu dengan mama saat di kantor.
"Panggil tante aja, nggak usah terlalu formal," pinta mama.
"Iya tante, cepat sembuh yaa.. maaf saya tidak bawa apa-apa soalnya tadi dari bandara langsung kemari,"
"Haha nggak papa sayang, ohh iya tante ingin bicara berdua dengan anak tante dulu yaa Nad,"
Aku mengerutkan kening, tumben sekali mama ingin bicara berdua. Firasatku kurang enak.
"Iya tan tidak papa, lagi pula saya juga ingin pamit," Nadia menyalami mama. "Saya pulang yaa tante,"
Kini tinggal aku dan mama, wajah mama berubah menjadi serius, ia mengelus rambutku. "Sayang, mama ingin kamu segera menikah.."
Degg..
Benar saja, pasti ada yang tidak beres. "Mama ini bagaimana? Ando nggak punya calon Ma.. mau nikah sama siapa?"
"Nadia?"
Mataku langsung melebar. "Nadia? Ma.. Ando dan dia hanya sebatas rekan kerja, lagian Mama ini kenapa si? tiba-tiba minta Ando menikah,"
Mama terdiam dan menangis. Ohh jurus andalannya agar segala permintaannya kuturuti. "Mama mau cepet-cepet punya cucu Ando.. hiks hiks.. mama sadar umur mama semakin menua, sudah penyakitan, mama mau sebelum mama pergi mama bisa liat kamu naik kepelaminan dan memiliki anak,"
"Sttt.. Mama bicara apa si? umur Mama masih panjang, Ando janji akan mencarikan menantu terbaik untuk Mama tapu bukan sekarang Ma.. fokus Ando sekarang adalah perusahaan keluarga kita,"
"Nadia baik sayang.. dia pantas menggantikan sosok Lili, bukalah hatimu nak, Lili sudah memilih untuk pergi.." mama terdia sebentar. "Mama memang lebih setuju kamu dengan Lili tapi mau bagaimana? dia pergi meninggalkan anak kesayangan mama, mama tidak ingin melihatmu sedih terus,"
Aku kembali terdiam, kuhela nafasku. "Aku akan menikah, mungkin tidak dengan Nadia ataupun Lili, biar takdir mengalir hingga jodohku datang, entah itu siapa tapi aku yakin dia adalah yang terbaik untuk menjadi bidadari ku dan anak-anakku,"
Mama tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Anak mama semakin dewasa, baiklah terserah kamu saja, tapi kamu harus menuruti permintaan mama yang satu ini,"
"Apa ma?"
"Cobalah membuka hati untuk Nadia, siapa tau dia bidadarimu,"
Aku tersenyum dan mengangguk. Apapun untuk wanita di depanku ini. Yah aku akan mencoba membuka hati, bukan hanya untuk mama tapi untuk diriku sendiri.
********
Eaaaa.. siapa yang mau jadi bidadari Aldric????
Ngantri di belakang author yaa :D
Ingat vomment guys :* :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top