Bab 5 - Jealous
Hayyyyy semuaa..
Maaf baru bisa update karena ide sempat ngandet wkwk
Langsung aja yaa happy reading dan jangan lupa vommentnya guys ;)
*********
Lili POV
Aku terdiam sembari menetralisir degub jantungku. Aishh, ini sangat menyebalkan, sepertinya aku tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. Cara pria itu menatapku membuat aku merasa istimewa. Sebenarnya dia siapa, itu pertanyaan yang sedari tadi menari di otakku.
Ponselku bergetar menandakan pesan masuk, aku membuka fitur pesan di smartphoneku itu.
Kau ingin membasuh mata atau membersihkan toilet???
Kukerjapkan mata, astaga, aku baru sadar bahwa aku sudah berdiri di toilet lumayan lama. Pasti Josh sakarang memasang tampang kesal. Aku segera keluar dari toilet. Saat akan melewati meja pria itu aku melirik sekilas, huhh dia sedang bicara serius dengan perempuan yang duduk di sampingnya, pasti mereka sepasang kekasih. Rasanya aku ingin mendorong perempuan itu agar tidak berdekatan dengan pria aneh itu.
Tanpa sadar aku menghentakkan kaki kesal hingga pria aneh itu menoleh, aku terkesiap dan langsung berlari ke Josh, bodoh.., rutukku dalam hati.
"Kenapa lari-lari begitu?" tanya Josh.
Aku memilih duduk di samping Josh dan menyandarkan kepalu di bahunya "Josh.. jantungku berdebar tak karuan," ucapku memelas.
"Kenapa? kau sakit jantung? kenapa tidak bicara padaku?"
Kugelengkan kepala, aku juga tidak tau kenapa, apa benar ini efek dari penyakitku dulu. "Josh kita pulang saja, aku lelah," aku berdiri dan mengambil tasku namun Josh menariknya.
"Biar aku yang membawanya." Josh menyipitkan matanya lalu menarik tanganku. "Kenapa tanganmu memar sampai begini?"
Aku yang memang sudah malas hanya menjawab sekenanya. "Dicengkram oleh pria aneh,"
"Siapa yang berani melakukan itu?"
Sedetik kemudia aku tersadar, aisshh sepertinya mulutku harus kulakban. Aku menggeleng keras lalu mengajak Josh keluar namun ia tidak mau. Aku tetap memaksa Josh hingga Josh menyerah, kami berjalan keluar namun aku teringat sesuatu, yahh aku harus meminta maaf sekali lagi pada pria itu. Jangan sampai pria aneh itu mengirim tagihan untuk menggantikan jasnya, karena yang aku lihat jas itu sangat mahal.
Kutarik tangan Josh untuk menghampiri meja pria aneh itu. Kebetulan sekali pria itu sedang melihatku, tunggu, ini kebetulan atau memang sedari tadi dia memperhatikanku, ahh percaya diri sekali aku ini.
Josh menarik tanganku kemudian berbisik. "Hey, kau kenal dengan pria berjas itu? kenalkan aku dengannya.. dia tampan!!" aku melirik kesal padanya lalu kuinjak kaki Josh dengan keras.
"Kau tidak lihat? kekasih pria itu duduk di sampingnya, awas kau jika berani main mata dengannya," ancamku. Aku kembali menoleh pada pria itu, bisa kulihat ia sedang mengerutkan keningnya melihatku dan Josh. Apakah kami berdua sangat aneh.
"Emm.. Aldric sekali lagi aku ingin minta maaf atas jasmu, aku benar-benar tidak sengaja menumpahkan air itu," jawabku dengan penuh sesal. Semoga ia bisa luluh dan membebaskanku. Aku melihat wajahnya yang tersenyum tipis padaku. Kukerjapkan mata karena terkesima.
"Lupakan saja, aku juga salah," jawabnya dengan enteng. Sepertinya ia terganggu dengan kehadiranku. Aku melirik sekilas pada perempuan yang duduk di sampingnya, perempuan itu menatap sebal ke arahku dan aku hanya bisa tersenyum kecut. Ternyata memang aku sangat mengganggu.
"Astaga flowers!! kau berbuat ceroboh lagi? sampai kapan kau akan terjatuh begitu? seperti anak kecil saja," ucap Josh.
Aku mencibir. "Kan ada kau, jika aku jatuh kau pasti menolongku," jawabku dengan asal kemudian dihadiahi jitakan oleh Josh.
"Flowers? semacam panggilan khusus?" tanya Aldric. Aku melebarkan mata, bagaimana dia bisa tau. "Oh, kemarilah, duduk saja bergabung dengan kami, daripada kalian berdiri,"
Aku melirik Josh untuk meminta pendapat dan Josh menganggukkan kepala, kami berdua ikut bergabung. Aku duduk disamping Aldric. "Flowers memang panggilan yang diberikan si Josh bodoh ini untukku," jelasku pada Aldric.
"Josh bodoh? panggilan khusus juga? kalian berpacaran?"
Aku dan Josh terdiam, beberapa detik kemudian tawa kami berdua pecah, "Tentu saja tidak, Josh dan aku hanya bersahabat,"
"Ya.. kami tidak berpacaran, bagaimana mungkin aku mau memiliki pacar yang sangat ceroboh seperti dia," ucap Josh. Aku mengerucutkan bibirku kesal, kupukul bahunya dengan kencang.
Aku menoleh pada Aldric yang sedang memandangku, aku memanggilnya namun ia tidak merespon hingga aku meraba wajahku sendiri. "Aldric.." panggilku sembari mengguncang bahunya. Aku kaget dengan sikapku barusan, aku merajuk pada laki-laki yang baru kukenal, percayalah aku bukan perempuan sepert itu. Aldric mengerjapkan matanya. "Kenapa kau melihatku begitu? apa ada yang salah denganku?"
Aldric terdiam. "Tidak ada yang salah, ohh iya siapa namamu?"
"Lili," jawabku dengan semangat.
"Lili? senang berkenalan denganmu," ucap Aldric dengan datar sama sekali tidak munjukkan kesenangan. Tapi aku tetap menganggukkan kepala, karena rasanya begitu senang bisa sedekat ini dengannya.
Aldric memperkenalkan aku dan Josh dengan tiga orang yang datang dengannya. Saat menyalami perempuan itu, aku bisa merasa tanganku sedikit dicengkram. Perempuan itu namanya Nadia, cantik, terlihat pintar, sangat cocok dengan Aldric. Memikirkan itu aku hanya bisa tersenyum kecut. Kami melanjutkan obrolan, Aldric orang yang menarik, wawasannya begitu luas.
Aldric menoleh pada Nadia yang sedang memakan menu utama. Ia tersenyum lembut pada Nadia, tangannya terulur kearah bibir Nadia. "Ada saus di bibirmu, makanlah pelan-pelan,"
Nadia terlihat kikuk dan tersenyum salah tingkah. "Oh.. hehe iya,"
Aldric tertawa pelan dan mengacak rambut Nadia. "Good girl," gumamnya.
Aku terdiam, pemandangan itu membuat rasa sakit merasuk begitu saja. Jam di tanganku menunjukkan pukul sembilan malam, untunglah, aku tidak tahan melihat pemandangan mesra mereka, bagaimana ini, tidak mungkinkan aku bisa jatuh cinta secepat ini. "Emm Aldric, sepertinya aku dan Josh harus pulang, daddyku akan khawatir jika aku terlambat," jelasku. Sebenarnya aku masih ingin bersama dengan Aldric tapi mau bagaimana lagi, aku tidak ingin membuat daddy merasa cemas.
"Yah, lagi pula ini sudah malam, senang bertemu denganmu Lili, semoga nanti kita bisa bertemu lagi,"
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala, aku dan Josh bersalaman dengan mereka berempat lalu pamit pulang. Di mobil Josh tidak henti-hentinya bicara tentang Aldric, aku hanya menimpalinya beberapa kali karena jujur, aku masih berpikir, apa yang terjadi pada diriku saat ini. Mobil Josh berhenti di depan rumah. Ia memutuskan langsung pulang.
Rumah nampak sepi. Mungkin daddy sedang di kamarnya. Bi Novi muncul dari dapur, ia menyambutku. "Non, bibi buatkan susu dulu yaa, ohh iya, bapak sedang di kamar dengan den Bian."
Mataku melebar, kak Bian sudah kembali, sudah lebih dari sebulan kaka ke Indonesia, ohh aku merindukannya, sangat. "Tidak usah membuat susu bi, Lil sudah minum susu tadi, Lil naik keatas yaa bi.." aku mencium pipi bi Novi lalu berlari kekamar daddy.
Pintu kamar daddy terbuka, kak Bian sedang mengobrol dengan daddy. Sepertinya obrolan mereka sangat asik sampai kehadiranku sama sekali tidak mereka sadari. Aku berdeham agar perhatian mereka beralih padaku, kak Bian mengerutkan kening. "Kau darimana? kenapa berdandan cantik begitu?"
Daddy tertawa geli. "Adikmu sedang jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri Bian.." ledek daddy.
"Hah? dengan Josh? bukankah dia.. gay?" tanya kak Bian dengan ragu. Daddy dan kak Bian memnag tau Josh itu gay. Josh sendiri yang menceritakan itu, bahkan Josh meminta bantuan pada dad dan kak Bian untuk mengembalikan dia menjadi normal.
"Tentu saja tidak.. aku hanya dinner iseng dengannya kak," jawabku. Aku duduk di tengah mereka berdua. "Kak Bian.. bagaimana kabar opa dan oma? lalu papa, mama, ayah dan bunda bagaimana?" tanyaku dengan pelan. Aku sudah lama tidak berkomunikasi dengan mereka. Hanya dari daddy dan kak Bian aku mengetahui kabar mereka.
Kak Bian mengelus rambutku. "Berkunjunglah ke Indonesia, mereka semua merindukanmu Lil, apa kau tidak kasian pada oma dan opa yang sudah tua?"
Kembali ke Indonesia itu sama saja membuka luka lamaku, ini pilihan sulit. Luka lama itu sudah lama kukubur dalam-dalam semenjak aku memutuskan pindah kemari.
"Lil hanya bertanya kabar mereka kak, suatu saat nanti jika Lil siap pasti Lil akan berkunjung kesana," jawabku pelan dengan menundukkan kepala.
Daddy mengangkat daguku. "Dengarkan daddy.. masa lalu itu berfungsi untuk membuat manusia belajar sayang, belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik, kau tidak perlu menguburnya dalam-dalam.." ucapan daddy terhenti. Dad mengusap air mataku yang tanpa sadar menetes. "Sakit? memang.. tapi apakah kau akan terus berlari? sejauh apapun kau berlari masa lalu tidak akan hilang, karena itu ada di pikiranmu."
Kak Bian mengelus pundakku. "Dad benar sayang, di sana ada keluargamu, ada sahabat-sahabatmu. Ingatlah.. jika kau takut dengan masa lalu yang buruk, ingatlah di sana kau memiliki kenangan yang indah pula,"
Aku terdiam, kenangan indah, aku bahkan lupa kenangan indah apa saja yang tercipta di sana. "Biarkan Lil berpikir kak, Li benar-benar belum siap. Tolong mengertilah," pintaku.
Kak Bian menganggukkan kepala. "Lil, minggu depan kakak akan menikah,"
Mataku melebar, ini kabar yang membahagiakan. "Wahh, selamat kak.. aku tidak menyangka sebentar lagi akan mempunyai kakak ipar, cepat buatkan aku keponakan yaa!" seruku.
Kak Bian mencubit pelan pipiku. "Dasar..emm tapi Lil, kakak akan menikah di Indonesia, kau mau datang kan?"
Aku membatu, tidak, aku tidak bisa. "Emm.. kenapa tidak di sini saja kak? nanti aku akan membantu menyiapkan pestanya,"
"Tidak bisa Lil, calon istri kakak orang Indonesia, walinya berada di sana, ayolah.. ini hari bahagia kakak, kakak ingin kita semua berkumpul."
Aku mencoba untuk tersenyum, tidak mungkin aku menolak secara terang-terangan. "Emmm, ehh Lil akan memikirkannya kak, yasudah Lil keluar yaa.. night daddy, kakk, bye," aku langsung berdiri dan keluar.
"Lili!!" panggil daddy saat aku sampai di ambang pintu. Apa lagi ini, batinku. Aku menoleh pada daddy dan menatap seolah bertanya padanya. "Kau mendapatkan ini dari mana?" tanya dad sembari menunjukkan kartu nama.
Aku menyipitkan mata. "Ahh haha terjatuh yaa.." aku berjalan menghampiri daddy. "Ini milik pria yang tadi bertemu di restoran dad," jawabku dengan tenang.
Daddy nampak bertukar pandang degan kak Bian, kak Bian mengambil kartu nama itu. Matanya melebar seolah ada yang ganjil.
"Kenapa? ada yang aneh?" tanyaku.
"Orang yang memiliki kartu nama ini mengenalmu?" tanya kak Bian dengan ragu.
Kugelengkan kepala. "Tidak, kami baru saja berkenalan tadi,"
"Sugar.. Orlando Arsenio Aldric adalah sahabatmu di Indonesia!" ucapan daddy membuatku benar-benar kaget.
"Tidak daddy, mana mungkin??? kami bicara cukup lama dan dia sama sekali tidak mengenalku, bahkan tadi dia bertanya namaku, mungkin dad salah orang," elakku.
Daddy menggeleng yakin. "Ini sahabatmu sugar, dad yakin, cobalah buka sosial mediamu,"
Astaga, sejak pindah ke Jerman aku tidak pernah membuka media sosialku karena aku fokus pada pengobatan selama lebih dari tiga tahun. Baru-baru ini saja aku membuka lagi, itupun dengan akun baru.
Aku segera berlari kekamar. Ada sesuatu yang harus ku cek, satu-satunya yang masih kuingat adalah emailku.
Ada bayak sekali notifikasi pesan pada emailku. Aku melebarkan mata, di sana ada nama Aldric. Segera kubuka pesan-pesan itu dari yang terlama. Ditahun pertama semua menucapkan doa-doa untuk kesembuhanku, ada nama-nama asing di sini, Ana, Rion, Abil, Sean, Vano, Ara dan tunggu dulu, Monica, bukankah dia musuhku sejak kecil.
Aku membuka email darinya, ucapan cepat sembuh juga. Sebenarnya seberapa banyak kenangan yang hilang dalam memoriku. Email ditahun-tahun berikutnya lebih sering menanyakan kabarku dan daddy serta menanyakan kapan aku kembali ke Indonesia.
Kulihat email Aldric berhenti di satu setengah tahun terakhir, apa dia lelah, apa dia marah padaku sampai tadi dia pura-pura tidak mengenalku, kuraba wajah lalu menggeleng pelan. Wajahku tidak terlalu berubah, mustahil dia lupa padaku hanya karena aku menggunakan make up.
Kubuka email-email terakhir. Ada email dari Alex yang berisi omelannya. Aku tersenyum getir, rasanya seperti kacang lupa pada kulitnya. Sejak dulu Alex telah baik padaku tapi apa balasanku.
Email Aldric, aku tersenyum, ia mengirimkanku email dua bulan lalu, aku segera membukanya dengan semangat.
Aku hanya ingin mengabarkan Sean dan Vano meninggal..
Hari ini mereka akan dimakamkan, mungkin memang kamu ingin melupakan semua, setidaknya aku minta, tolong doakan sahabatmu-sahabatmu ini, aku meminta sebagai sahabat Vano dan Sean karena yang kutau mereka berdua menyayangimu sebahagai seorang sahabat meskipun kamu ingin melupakan mereka
Ohh iya, jangan khawatirkan aku, aku sudah menganggapmu sahabat, hanya itu. Jadi kamu tidak perlu takut aku akan menggodamu.
Satu lagi, jika kamu ingin melepaskan kalung itu, lepaskan saja. Anggap ucapanku saat itu hanya candaan saja.
Aku meneteskan airmataku, kututup mulutku dengan telapak tangan. Sahabat macam apa aku, kenapa aku bisa sejahat ini. Pantas Aldric marah padaku, kenapa aku tidak menyadari itu. Dari cara bcaranya yang datar sekali saja harusnya aku tau bahwa dia sangat marah. Bukan hanya marah, dia pasti kecewa padaku.
Kugenggam kalung ini, apa dia melihat aku masih menggunakan kalung ini.
Aku teringat percakapan bahwa dia menginap di hotel dekat restoran tadi. Aku harus bicara dengannya besok. Yah setidaknya untuk mengucapkan maaf meskipun ia tidak mau memaafkanku.
-----
Keesokan harinya aku langsung pamit pada daddy dan kak Bian tanpa menyentuh sarapan yang sudah disiapkan bi Novi. Bukan tidak menghargai tapi aku sedang buru-buru.
Aku langsung mengunjungi semua hotel yang berada disekitar restora. Tidak sulit, karena hanya ada beberapa hotel mewah di tempat ini.
Aku memulai dari yang terdekat dengan restoran. Nihil, tidak mau putus asa, aku segera berlari menuju hotel selanjutnya.
Sekarang adalah hotel kelima, tenagaku hampir habis karena berlari. Sebelum bertanya pada resepsionis, aku mengatur nafasku yang terengah-engah.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanya pegawai resepsionis itu dengan ramah.
"Yaa.. saya ingin bertanya, apakah ada tamu yang bernama Orlando Arsenio Aldric?"
"Orlando Arsenoi Aldric? sebentar akan kami cek," resepsionis itu melihat komputer di mejanya. "Oh ya, Mr. Orlando, tapi ia sudah check out pukul tujuh pagi,"
Aku menghela nafas, terlambat. Ku ucapkan terimakasih pada resepsionis itu. Aku berjalan gontai, dia pasti sudah kembali ke Indonesia. Heyy, bukankah kakak akan menikah di Indonesia. Aku bisa menemuinya di sana.
Kugelengkan kepala kuat-kuat. Apa aku siap untuk kembali, tapi aku benar-benar merasa bersalah pada keluargaku, Aldric dan sahabat-sahabatku.
Kembali ke Indonesia, kata-kata itu terus menari di otakku.
*********
Nahhhhh see you in the next chapter ;)
Inget yaa jangan lupa vommentnya :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top