Bab 4 - Pertemuan

Hayyy berhubung semalem lagi hujan deres aku cepet update deh*apahubungannya

Hehe intinya kemaren lagi ada ide aja.. yaudah langsung caw nulis...

Liat yang di mulmed ya, itu wajah Lili pas dinner..

Langsung deh yaa happy reading guys jangan lupa vommentnya ;)

*********

Author POV

Lili semakin mendekatkan kepalanya. Saat ia merasa hembusan nafas Josh, Lili membuka mata, ia menikmati wajah kaget Josh. Lili tertawa kencang melihat wajah Josh yang pucat, matanya sampai mengeluarkan cairan bening karena terlalu banyak tertawa.

Josh menatap sebal Lili kemudian mengambil buku yang ada di tas Lili. Jantungnya masih berdebar, bukan karena gugup namun karena takut. Josh phobia jika berdekatan dengan wanita apalagi seperti yang baru saja terjadi. Meski semenjak dengan Lili phobianya sedikit berkurang tapi tetap saja jarak yang begitu dekat masih membuatnya takut.

Masa lalu yang membuatnya seperni ini, sejak kecil ibunya pergi meninggalkan Josh dan ayah Josh. Ibu Josh memilih pergi dengan selingkuhannya, ia bahkan secara terang-terangan membenci Josh hingga sekarang. Karena itu Josh benci dan takut dengan wanita, ia takut disakiti seperti ayahnya, beruntung ia tidak membenci Lili, itupun karena usaha keras Lili agar bisa berteman dengan Josh. Lili merasa harus menolong Josh karena masa kecil Josh tidak jauh dari masa lalu daddynya.

Melihat Lili yang masih saja tertawa dengan puas Josh langsung memukul wajah Lili dengan buku yang tebal, tidak keras, hanya agar Lili menghentikan tawanya karena mereka sudah menjadi pusat perhatian. Lili mengaduh dan mengusap wajahnya "Jahat.. make up ku bisa luntur bodoh!"

Josh memeletkan lidahnya meledek "Haha bodoh, itu balasan untukmu, kau mau menggunakan bedak atau tidak tetap saja jelek." Lili melotot pada Josh lalu melemparnya dengan buku.

Mereka memesan makanan, Lili mulai membaca bukunya. Ia sesekali bertanya pada Josh jika ada sesuatu yang tidak ia mengerti. Lili merasa diperhatikan, ia mengitari pandangannya lalu menggelengkan kepala kemudian lanjut membaca bukunya.

Setelah lelah membaca Lili melempar bukunya ke meja "Huhh aku tidak kuat Josh, mataku perih, aku ke toilet dulu,"

"Bodoh.. untuk membawa kacamata saja kau lupa, sana!! Basuh matamu, aku akan kemobil untuk mengambil kacamata, sepertinya kau pernah meninggalkan kacamata di mobilku." Josh berdiri dan keluar menuju parkiran.

Lili menghela nafas, sungguh ia juga lelah dengan daya ingat yang kurang ini, ia berjalan gontai menuju toilet hingga ia tersandung dengan kakinya sendiri. Lili meringis, ia bisa merasakan bahwa ia menyenggol gelas dan gelas itu tumpah. "Aisshh bodoh," gumamnya dengan pelan. Lili mendongakkan kepala dengan takut, matanya terpaku dengan mata hitam legam penuh emosi milik pria di depannya ini. "Uppss, sorry," cicit Lili. Ia takut menatap mata pria ini.

"Sorry buat kesalahan lo yang mana?" tanya pria itu.

Lili melebarkan matanya "Ka-kau dari Indonesa?"

Pria itu mendengus, ia memegang pergelangan tangan Lili dengan keras hingga Lili meringis kesakitan. Pria itu terus menatap Lili dengan penuh kemarahan.

"Auu ma-maaf tanganku sakit, bisa kau lepaskan?" tanya Lili dengan hati-hati. Lili melihat pria itu mengerjapkan mata lalu melepas cengkramannya. Lili segera melihat tangannya, ia ternganga melihat pergelangan tangannya yang membiru, dilirik pria itu dengan tatapan kesal, ia mengeluarkan sapu tangan dari tasnya lalu mengelap tumpahan minum di jas pria itu "Kau tidak perlu semarah itu, aku pasti bertanggung jawab," ucapnya tanpa berhenti membersihkan jas pria itu.

"Termasuk untuk sakit yang gue rasain?" gumam pria itu.

Lili mengerutkan keningnya "Apa air ini membuatmu sakit?"

Pria itu menggelengkan kepala "Mana tanganmu yang sakit? biar kulihat." Lili menatap pria aneh itu, ia mengulurkan tangannya yang membiru. Pria itu mengusap pergelangan tangan Lili dengan perlahan hingga Lili merasaan gelayar aneh, seperti ada ribuan kupu-kupu terbang diperutnya. Jantungnya berdebar lebih cepat "Maaf," gumam pria itu pelandengan lirih.

Lili bisa merasakan rasa bersalah yang besar saat mendengar pria itu mengucapkan kata maaf, "Oh.. emm tidak apa-apa, aku yang ceroboh, sekali lagi maaf yaa, aku permisi." Lili berjalan namun tangannya ditarik sehingga ia berbalik dan menabrak tubuh tegap pria itu, Lili terkesiap kaget. Aroma ini begitu familiar, tangannya yang tepat berada di dada pria itu menunjukkan detak jantung pria itu sama cepatnya dengan dirinya.

Pria itu melepaskan tangan Lili lalu mengeluarkan dompet dari sakunya "Itu kartu namaku, jika ada apa-apa dengan tanganmu kau bisa menghubungi nomer itu,"

Pipi Lili terasa panas, ia dengan ragu mengambil kartu nama itu lalu membacanya "Orlando Arseno Aldric, oke Orlando.."

"Aldric," potong pria itu.

"Yahh Aldric, terimakasih, aku permisi." Kali ini Lili benar-benar pergi.

Lili mengusap wajahnya, ada yang tidak beres dengan jantungnya saat berdekatan dengan pria itu.

-------

Aldric POV

Aku mengajak Nadia, Theo dan Endra makan malam di restoran dekat hotel tempat kami menginap. Yah ini semacam syukuran akan keberhasilan kami. Setibanya di restoran kami langsung masuk.

Di pintu masuk aku mematung, aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk meyakinkan diri. Tidak salah lagi, yang berada di depanku itu Lili, meskipun penampilannya kini lebih dewasa dengan make up di wajahnya aku tetap hapal betul setiap lekuk wajah Lili. Astaga, kenapa gue bisa lupa kalau Lili ada di Jerman, batinku

Aku tersenyum bahagia, Lili baik-baik saja, itu fakta yang terpenting. Sedetik kemudian aku melihat Lili mendekatkan wajahnya ke pria yang ada didepannya itu. Aku meneguk saliva ku menahan sakit, kenapa begitu menyakitkan. Selama ini, aku memikirkannya hingga aku prustasi, sedangkan dia, dia justru melupakan semuanya. Aku mengepalkan tangan hingga buku jariku memutih. Kupalingkan pandanganku sebelum bibir Lili menempel ada bibir pria itu. Sungguh aku tidak rela melihat orang lain menyentuh Lili.

"Mr. Orlando.. Anda tidak apa-apa?" pertanyaan Nadia membuatku tersadar. Aku menoleh padanya dan tersenyum, sekilas kulirik Lili yang sedang tertawa puas entah kenapa. Sudah terlanjur, ingin pergi dari sinipun percuma. Aku masuk dan memilih tempat duduk yang tidak terlalu jauh dari Lili.

Kami memesan makanan, konsentrasiku pecah. Yang kupikirkan hanya Lili, beritahu aku bagaimana aku tidak memikirkannya, sudah enam tahun lebih aku tidak melihat orang yang kucintai itu dan saat bertemu aku harus pura-pura tidak mengenalinya.

Aku memperhatikan Lili yang sedang membaca dengan serius, tidak, pertahanan yang telah lama kubangun hancur hanya dengan hitungan menit. Aku ingin memeluknya, aku sangat merindukannya, bahkan rasa kecewaku padanya tidak bisa menutupi rasa rinduku. Seperti sadar telah diperhatikan Lili memandang kepenjuru restoran, aku memalingkan wajah.

Beberapa menit kemudian kulihat ia bicara pada pria itu kemudian pria itu pergi keluar. Lili terdiam dengan wajah murung, kurang ajar, awas saja jika pria itu menyakiti Lili.

Lili berjalan gontai kearahku, ia tersandung hingga menumpahkan gelas di mejaku, jas yang kupakai basah. Aku menggeram kesal karena mau tidak mau aku harus bicara dengan Lili. Kudengar Lili bergumam menyalahkan dirinya. Ia mendongak dan terdiam melihatku, apa dia mengingatku, aku berdoa dalam hati semoga ia masih mengingatku sedikit saja. "Uppss, sorry," cicit Lili. Ia takut menatapku. Aku terenyak, harapanku sirna sudah, emosiku yang telah kupendam memuncak.

"Sorry buat kesalahan lo yang mana?" tanyaku sarkalis. Lili melebarkan matanya, ia kaget mendengar aku menggunakan bahasa Indonesia. Aku merasa bodoh karena berharap, aku merasa bodoh karena menunggu, dan aku merasa bodoh karena terlalu mencintainya.

Aku mendengus, tanpa sadar kucengkram pergelangan tangan Lili dengan keras hingga Lili meringis kesakitan. Ini dalah puncak emosiku, aku kalap.

"Auu ma-maaf tanganku sakit, bisa kau lepaskan?" tanya Lili dengan hati-hati. Aku mengerjapkan mata, sadar akan kesalahanku aku segera menarik tanganku, Lili segera melihat tangannya, aku syok melihat hasil perbuatanku, rasa bersalahku langsung muncul, Lili melirikku kesal, ia mengeluarkan sapu tangan dari tasnya lalu mengelap tumpahan minum di jasku. Perbuatan sederhana yang membuatku menatap nanar dirinya. "Kau tidak perlu semarah itu, aku pasti bertanggung jawab," ucap Lili tanpa berhenti membersihkan jasku.

"Termasuk untuk sakit yang gue rasain?" gumamku, jangan mendekat Lil, aku bisa kalap dan tidak akan membiarkanmu lepas lagi, batinku.

Lili mengerutkan keningnya "Apa air ini membuatmu sakit?"

Aku menggelengkan kepala, kuminta tangannya yang sakit, kuusap pergelangan tangannya yang biru itu dengan hati-hati. "Maaf," ucapku dengan lirih. Aku mengucapkan kata maaf dengan penuh rasa bersalah.

"Oh.. emm tidak apa-apa, aku yang ceroboh, sekali lagi maaf yaa, aku permisi."

Lili berjalan pergi meninggalkanku namun dengan reflek aku menarik tangannya sehingga ia berbalik dan menabrakku, Lili nampak kaget sama denganku. Detak jantungku berpacu dengan cepat. Seandainya bisa aku ingin berada dekat dengan Lili seperti ini saja.

Kulepas tangan Lili dengan tidak rela, aku mengeluarkan dompet  "Itu kartu namaku, jika ada apa-apa dengan tanganmu kau bisa menghubungi nomer itu,"

"Orlando Arseno Aldric, oke Orlando.."

"Aldric," potongku.

"Yahh Aldric, terimakasih, aku permisi." Kali ini Lili benar-benar pergi dan aku hanya bisa memandang punggungnya.

Aku terduduk di kursiku kembali, mataku menatap kosong kearah depan. Hingga seseorang menepuk bahuku.

"Anda kenal dengannya?" tanya Theo.

Aku meminum orange juice milikku. "Theo, cari tahu tentang gadis itu, latar belakangnya, tempat tinggalnya, teman-temannya, kekasihnya, aku ingin data yang akurat dan selengkap-lengkapnya, secepatnya kabari aku, kau mengerti?" Theo mengangguk paham.

Kulihat Nadia menatapku bingung namun aku mengabaikannya. Yang terpenting saat ini adalah Lili sudah kutemukan.

*******

Nahh yg request Aldric sama Lili ketemu udah kesampean yaa ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top