Bab 31 - Finally

Hello guys!! Hehe usaha untuk cepet update sebelum sibuk lagi sama kuliah.

Langsung aja yaaa... happy reading 😘😘😘 hope you like this chapter 😉

🎵🎵🎵

Aldric menuruni tangga dengan kepala tertunduk, dia memikirkan cara agar bisa menemukan Darren sebelum pagi tiba.

Ponselnya berdering tanpa pesan masuk. Dia langsung membaca pesan itu.

Taman Viktoria sekarang

Aldric melebarkan matanya, ini pesan dari Darren. Taman viktoria adalah taman yang berada tidak jauh dari rumah ini. Taman itu dulu sering menjadi tempat bermain dirinya dengan Lily dan sahabat-sahabatnya yang lain.

Aldric segera pergi ke taman itu tanpa pikir panjang. Mungkin ini kesempatan terakhirnya. Dia berlari secepat mungkin, membawa mobil akan menarik perhatian para sahabatnya. Dia ingin menyelesaikan semuanya sendiri.

Tiba di taman itu Darren telah menunggu di salah satu kursi taman.  Aldric menghampiri pria itu dengan nafas yang tersengal.

"Terima kasih kau akhirnya mau menemuiku," ucap Aldric.

Darren tersenyum sinis, dia mencengkram kerah kemeja Aldric. "Jangan terlalu senang, aku mengajakmu bertemu untuk memberitahumu bahwa aku akan tetap melanjutkan pernikahanku dengan Lil!" bentaknya.

Aldric melepaskan cengkraman itu, dia tersenyum tipis. "Kau memang berhak marah atas semuanya, tapi seperti kau yang tidak bisa kehilangan Lil akupun begitu, aku akan tetap memohon padamu agar kau membatalkan pernikahan ini," jawabnya.

Darren meninju rahang Aldric. "Berengsek!! aku tidak akan melepaskan Lil!" berangnya.

"Lil bukan barang!! aku tidak memintanya, aku hanya ingin kau mendengarkan ucapanku," bentak Aldric. Dia tidak berniat untuk membentak Darren tapi pria itu sudah keterlaluan.

Aldric mengatur nafas agar dapat mengontrol emosinya. "Lily dan aku sudah bersama sejak kami SMA, dimalam perpisahan dia mengalami kecelakaan parah  sampai dia harus pergi ke Jerman untuk pengobatannya, kau pasti sudah dengar tentang penyakitnya," jelas Aldric.

Aldric duduk di kursi taman dengan mata menerawang. "Dia melupakan aku dan yang lainnya karena penyakit itu, sepuluh tahun aku menunggu dia,  yaa selama lebih dari sepuluh tahun aku tetap menunggu," getirnya.

Darren melebarkan matanya, ternyata Aldric telah menunggu selama itu. "Kenapa kau tidak berusaha untuk membuat Lil ingat padamu?" tanyanya.

Aldric tersenyum miring, dia menatap langit gelap tanpa bintang. "Bagiku yang terpenting adalah kesehatan Lil," dia menoleh pada Darren. "Seandainya kau jadi aku, saat kau mencoba untuk membuat Lil mengingatmu tapi kondisinya justru memburuk apa kau akan tetap melanjutkan rencanamu?" tanyanya dengan nada getir.

Darren terdiam, dia akan melakukan hal yang sama dengan Aldric. Dia tidak akan memaksa Lily untuk mengingatnya.

"Aku tidak bisa melakukan apapun, yang kubisa hanya menunggu dan ternyata semua terlambat, kau datang untuknya," lanjut Aldric. "Aku meminta kesempatan untuk kami sekali saja, Lil memberikan itu saat dia kembali ke Indonesia, jangan salahkan dia karena aku yang bersalah disini."

Darren mengingat dengan jelas, itu adalah alasannya untuk pulang ke Indonesia lebih cepat. Tangannya mengepal keras.

Aldric menghela nafas panjang, matanya terpejam menikmati angin malam yang menerpa wajahnya. "Satu hal yang harus kau tahu, Lily sudah mengingatku," ucapnya. "Aku memang meminta hal yang sulit kau lakukan, ini memang sangat egois, tapi aku tidak bisa berbohong. Tolong batalkan pernikahanmu dengan Lil," ucapnya dengan lugas.

Darren tidak bisa menahan lagi, dia menghajam Aldric hingga pria itu tidak bisa berdiri. Darah segar mengalir dari hidung dan mulut Aldric.

Aldric terbatuk, dia menundukan kepalanya. Sengaja dia tidak membalas semua perbuatan Darren karena dia merasa pantas mendapatkan ini dari pria itu.

Darren mengusap kasar air mata yang mengalir dari matanya. "Aku tetap akan melanjutkan pernikahan ini," ucapnya dengan dingin.

Aldric kembali terbatuk, dia menggelengkan kepalanya. Mungkin ini adalah usaha terakhir yang bisa dia lakukan. Dia mencoba sebisa mungkin untuk bangkit. Dengan bersusah payah akhirnya dia bisa berdiri dengan benar.

Tangannya menepuk bahu Darren. "Aku menghargai keputusanmu," ucapnya. "Tolong jaga Lily, buat dia bahagia karena aku tidak mampu. Jangan biarkan dia menangis karena gadis itu sudah terlalu banyak menangis," lanjutnya dengan susah payah.

Aldric mencoba untuk tersenyum, sebelum pergi dia kembali menepuk bahu Darren. "Aku berdoa agar Lil mendapatkan yang terbaik, jika itu kau aku percaya."

Darren menatap kepergian Aldric, dia menggeleng pelan. Pria itu berjalan dengan tertatih. Rasanya dia tidak yakin Aldric mampu berjalan jauh. Kepalanya kembali menggeleng, itu bukan urusannya. Darren segera berbalik dan pergi dari taman itu.

Aldric mengerjapkan mata karena pandangannya mengabur. Dia kembali terbatuk, lenganya mengusap darah yang menetes dari hidungnya.

Tidak sanggup lagi berjalan Aldric akhirnya terjatuh, wajahnya membentur jalanan. Dia meringis pelan menahan sakit di seluruh tubuhnya. Mungkin dirinya tidak bisa hadir ke pernikahan Lily dan Darren besok. Bukankah itu lebih baik, jika dirinya hadir maka Lily akan semakin sulit menjalani pernikahan itu.

Satu air mata Aldric menetes saat matanya sudah mulai terpejam. Kesadarannya telah hilang. Dalam ambang kesadarannya kembali terlihat semua kenangannya dengan Lily.

🎵🎵🎵

Lily berjalan mondar-mandir di kamarnya. Entah kenapa perasaannya tidak enak sejak tadi, dia terus berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada Aldric. Tangannya terus menggenggam ponsel untuk menunggu kabar dari pria itu.

Ponselnya berdering, Lily langsung tersenyum sumringah. Senyumnya memudar saat melihat nama di ponselnya. Ini Darren bukan Aldric.

"Yaa Darren," ucap Lily.

"Besok adalah hari pernikahan kita, bagaimana perasaanmu?" tanya Darren.

Lily menghela nafasnya. "Kau bahagia?" tanya Lily.

"Yaa sangat," jawab pria itu.

"Kalau begitu aku juga bahagia," ucap Lily. Terdengar helaan nafas pria itu, Lily ikut menghela nafas.

"Kau tidak bertanya apa aku gugup? yaa biar aku yang bercerita, aku gugup aku menghafalkan lafal ijab kabul nanti, kau ingin dengar?" tanya Darren.

Lily meneteskan air matanya. "Benarkah? ayo coba aku akan dengarkan," ucapnya dengan suara serak.

Darren tertawa getir, dia tahu saat ini Lily sedang menangis. "Saya terima nikah dan kawinnya Lily Anissa Pradita binti Ares William Pradipta dengan mas kawin tersebut tunai, aku tidak akan salah mengucapkannya aku tidak ingin mengulang nanti."

Lily mengusap air matanya. "Darren, daddy memanggilku. Sudah dulu yaa?" lirihnya. Dia terpaksa berbohong, jika tidak nanti Darren akan mendengar tangisannya.

"Yaa, aku mencintaimu Lil," ucapnya.

Lily membalasnya dengan dehaman, saat hendak menutup sambungan teleponnya dia mendengar suara lirih Darren.

"Meski kau tidak mencintaiku," itu kata-kata Darren yang dia dengar.

Kenapa harus serumit ini, Lily menghempaskan tubuhnya di ranjang. Pikirannya masih tertuju pada Aldric. Sejak tadi dia menghubungi pria itu tapi tidak ada jawaban.

Matanya terpejam hingga jatuh tertidur. Lily berharap semua ini hanya mimpi. Saat bangun nanti dia harap itu bukanlah hari pernikahannya. Dia harap hari itu adalah hari dimana dia bisa terus bersama Aldric seperti dulu. Menemani pria itu bermain basket, makan siang bersama dengan tawa renyah yang menyenangkan dan hal-hal lain yang selalu dia lewati bersama.

Pagi ini Nadin menghampiri Lily di kamarnya. Wanita itu menatap wajah lelah Lily yang masih tertidur. Matanya membengkak, bagaimana mungkin di hari pernikahannya seorang gadis terlihat seperti telah disiksa.

"Sayang bangun, kamu harus bersiap," bisiknya pada cucu perempuan satu-satunya ini.

Lily terbangun, dia tersenyum pada omanya. "Dimana Aldric?" tanyanya.

Nadin menggelengkan kepala. "Belum ada kabar sayang, Kakakmu, Alex dan yang lainnya masih berusaha mencari dia," jelasnya.

Lily menundukan kepala, apa ini semua belum cukup sampai sekarang Aldric harus menghilang. "Aku harus mencarinya Oma," isaknya.

Nadin menggeleng cepat, "no sayang, ini hari pernikahanmu." Dia mengusap lembut kepala Lily. "Mandi yaa, sebentar lagi periasnya datang," ucapnya.

Lily mengangguk dengan terpaksa, dia segera mandi dan mempersiapkan dirinya. Matanya menatap cermin. Pantulan wajahnya terlihat mengerikan dengan mata membengkak kemerahan.

"Hey apa ada wajah nelangsa begitu di hari pernikahan?" tanya Josh.

Lily menoleh, dia memperhatikan sahabatnya itu. "Dimana Clara?" tanyanya.

"Dibawah, ayolah flower kau harus tersenyum setidaknya sedikit saja," bujuknya.

Lily tersenyum kecil, dia mengusap pelan wajah sahabatnya itu. "Kau harus disampingku nanti," ucapnya. Josh mengangguk, tanpa diminta dia akan selalu ada di samping Lily.

Penata rias tiba, mereka langsung mengurus Lily dimulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sebenarnya mereka bingung melihat wajah sedih gadis ini karena yang mereka tahu calon suami dari gadis ini sangat tampan dan baik.

Dengan tampilan make up yang sempurna wajah kacau Lily tertutupi dengan apik. Lily terlihat sangat cantik menggunakan kebaya itu. Semua sesuai bayangan sebelumnya, kebaya ini sangat pas di tubuh ramping Lily.

Hari ini wartawan banyak berkumpul di depan rumah Lily dan di taman raya yang akan dijadikan sebagai tempat resepsi nanti.

"Anak Daddy sudah siap?" tanya Ares.

Lily memeluk daddynya, dia menyembunyikan tangisan itu. "Daddy, Lil harus bagaimana?" tanyanya.

Ares ikut bersedih melihat putrinya menangis seperti ini. Dia mengusap kepala Lily, "jangan menangis, jangan tunjukan kesesihanmu di depan orang-orang kasihan Darren," bisiknya.

Bian ikut mengusap kepala Lily. "Maaf karena Kakak tidak bisa menemukan Aldric," ucapnya. "Semua sudah menunggu, ayo kita turun."

Lily menuruni tangga, disamping kanannya ada Ares dan disamping kirinya ada Bian. Semua mata tertuju padanya.

"Wahh cantik banget," gumam Ana.

Alex mengangguk setuju, sahabatnya itu memang sangat cantik tapi sayangnya tidak ada aura bahagia di wajah itu. Aura yang seharusnya sangat terlihat di hari penting seperti ini.

Para wartawan berebut untuk mewawancarai Lily tapi Lily hanya tersenyum pada semuanya. Dia langsung masuk ke mobil dan pergi menuju tempat acara ijab dan resepsinya.

Iringan mobil keluarga besar Lily tiba. Lily segera dikawal untuk turun dan menuju tempat yang telah disediakan. Banyak flash kamera yang menerpa wajahnya. Ungkapan selamat terucap dari orang-orang di sekitarnya.

Lily melihat semua telah berkumpul di meja yang telah disediakan. Pesta ini benar-benar impian Lily. Darren mewujudkan semuanya.

"Lily kau disini dengan Clara dan Ana, setelah ijab selesai baru Lily bisa duduk di samping Darren," jelas Ares.

Lily menganggukan kepalanya, dia duduk dengan wajah tenang. Kepalanya tertunduk tanpa peduli sekitar.

Ana mengusap bahu Lily. "Kita disini untuk lo," ucapnya.

Clara tersenyum dan mengangukan kepalanya. "Kau tidak sendiri," lanjutnya.

Mendengar ucapan sahabatnya ini Lily hanya bisa tersenyum dan menganggukan kepalanya. Setengah jam lagi acara ijab kabul akan dimulai. Sekarang dia hanya tinggal menunggu.

Sebentar lagi statusnya akan berubah, mungkin dunianya juga akan berubah.

🎵🎵🎵

Darren merapikan dirinya di depan cermin. Dia tersenyum menatap pantulan dirinya sendiri dengan tuxedo berwarna abu-abu yang pas di badannya.

Sebentar lagi dia akan berangkat ke tempat dimana acara pernikahannya berlangsung. Semua telah menunggunya di bawah.

"Darren ada temanmu di depan," ucap Mama Darren.

Darren mengerutkan keningnya, sekarang siapa lagi yang akan membujuknya untuk menghentikan pernikahan ini. Dia pergi keluar dan melihat Nadia berdiri disana.

Nadia melambaikan tangannya. "Hay Darren," sapanya.

Darren mendekati Nadia dengan wajah curiga. "Ada apa?" tanyanya to the point.

Nadia justru tersenyum, dia menghela nafasnya. "Bisa kita bicara sebentar?" ajaknya.

"Aku harus berangkat sekarang," tolak pria itu.

"Sebentar saja," mohon Nadia.

Darren berdecak kesal, dia akhirnya mengangguk dan mengajak Nadia untuk duduk di taman samping rumahnya.

"Kau memukuli Aldric," gumam Nadia setelah mereka duduk di kursi taman itu.

Darren menganggukan kepalanya, "yaa aku memukulinya, kenapa? kau seharusnya senang setidaknya pria itu dapat sedikit pelajaran. Dia mempermainkanmu bukan?" tanyanya.

Nadia tersenyum miring, "kau tahu? aku yang meninggalkan dia, aku mengatakan padanya kalau aku tidak siap menikah agar dia bisa memperjuangkan Lily," jawabnya.

Darren menyipitkan matanya, emosinya kembali meningkat. Jika yang dihadapannya bukan perempuan maka sudah dia hajar sekarang juga.

"Kalau kau tidak mencintai dia jangan buat dia mengambil Lily dariku, urus urusanmu sendiri!" serunya.

"Aku mencintainya! aku kemari bukan untuk memohon agar kau membatalkan pernikahanmu, aku tahu itu permintaan yang tidak mudah untuk kau wujudkan," jelas Nadia.

Nadia menepuk bahu Darren hingga pria itu kini menatapnya. "Aku ingin menjelaskan suatu hal sebelum kau berteriak pada semua orang bahwa kau mencintai seseorang," lanjut Nadia.

Darren diam menunggu ucapan Nadia selanjutnya.

"Aku mencintai Aldric, dia pria yang aku impikan, aku ingin hidup dengannya, dan caraku mencintainya adalah meninggalkan dia. Kau tahu kenapa?" tanya Nadia.

Darren tidak menjawab, dia hanya mengalihkan pandangannya. "Karena definisi cinta adalah bahagia saat orang yang kita cintai juga bahagia, saat kita memiliki seseorang tapi ternyata orang itu tidak bahagia apa itu namanya cinta?" tanyanya.

Nadia menggeleng, "itu bukan cinta, itu keegoisan, dan di dalam cinta tidak boleh ada keegoisan, aku memberitahu ini agar kau mengerti karena bagaimanapun kau akan menikah dengan Lily. Sebelum mengatakan kau mencintai dia tolong belajarlah tentang arti mencintai," lanjutnya.

Nadia bangkit, dia mengulurkan tangannya. "Selamat atas pernikahanmu," ucapnya.

Darren menerima uluran tangan itu dengan kepala tertunduk. "Kau tidak perlu khawatir, Aldric bersamaku dia tidak akan menghalangi pernikahanmu karena dia percaya Lily akan bahagia denganmu." Nadia berbalik pergi meninggalkan Darren yang masih terdiam di tempatnya.

Darren mengacak rambutnya, dia berteriak menahan kesal. Sudah tidak ada waktu lagi, dia harus berangkat karena ijab kabul akan berlangsung sebentar lagi.

🎵🎵🎵

Lily melihat jam di pergelangan tangan Clara. Sepuluh menit lagi semua akan dimulai. Dari suara riuh di depan sepertinya Darren telah memasuki tempat ijab kabul.

Sekarang mungkin penghulu sedang memeriksa berkas-berkas pernikahan mereka. Jemari Lily saling bertautan, keringat menetes dari keningnya. Ana membantu mengusap wajah Lily agar make up itu tidak berantakan.

"Ana tolong sampaikan pada Aldric, setelah aku menikah nanti dia tidak boleh kacau. Tolong jaga dia untukku," isak Lily dengan tangan gemetar.

Ana ikut menangis dan memeluk Lily dengan erat. "Lil," isaknya.

Suara doa pembuka telah terdengar, tangan Lily semakin dingin dia memeluk Ana dengan erat. Dia tidak peduli dengan make up yang hancur karena air matanya.

"Bismillahirrahmanirrahim, Ananda Orlando Arsenio Aldric aku nikahkan kau dengan putriku Lily Anissa Pradipta dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas seberat seratus gram dibayar tunai." Suara Ares terdengar lantang dan tegas.

Tidak lama suara yang sangat Lily kenal menyusul. "Saya terima nikah dan kawinnya Lily Anissa Pradipta binti Ares William Pradipta dengan mas kawin tersebut tunai." Dalam satu tariak nafas kata-kata itu terucap dengan lantang tanpa ada nada gugup sedikitpun.

"Sah?" tanya penghulu.

"Sahh," teriak semua orang dengan nada gembira.

Lily mengerjapkan matanya berkali-kali. Kenapa dia justru mendengar suara Aldric. Dia menoleh pada Ana dan Clara yang sedang memandangnya dengan pandangan berkaca-kaca.

Lily melebarkan matanya, apa ini bukan halusinasinya. "Aldric?" bisiknya dengan lirih.

Ana dan Clara mengangguk bersama. Pria di hadapan penghulu itu Aldric bukan Darren. Bagaimana itu bisa terjadi Lily tidak tahu.

Saat ini yang dia inginkan hanyalah bertemu dengan pria itu. Beberapa orang menjemput Lily untuk keluar dari ruangan.

Lily menatap Aldric yang juga sedang menatapnya. Wajah pria itu tampak memar meski terlihat samar-sama. Kaki Lily melangkah mendekat, rasanya seluruh tubuhnya lemas. Dia benar-benar tidak menyangka akan menjadi istri Aldric setelah semua yang terjadi.

"Hay," sapa Aldric.

Lily menahan isaknya, tanpa malu dia langsung memeluk Aldric. Air matanya kembali tumpah. Tepuk tangan tumpah dari para tamu. Beberapa orang bingung kenapa mempelai laki-laki berubah tapi melihat wajah bahagia dari pasangan itu merekapun ikut bertepuk tangan.

Aldric mengusap punggung Lily. "Ssstt banyak orang disini, apa kamu akan terus menangis?" bisik Aldric.

Lily tidak peduli, dia masih tetap menangis di pelukan Aldric. Rasanya ini seperti mimpi.

"Bisa dilanjutkan nanti? ada yang harus kalian tanda tangani," ucap penghulu.

Lily melepaskan pelukannya, dia tersenyum malu pada orang-orang yang tertawa melihat tingkahnya. Mungkin dirinya terlihat konyol sekarang, tapi hari ini dia terlalu bahagia untuk peduli dengan masalah kecil itu.

Setelah semua proses telah dilakukan, doa kembali melantun indah. Senyum Lily terus menghiasi wajah cantik itu. Meski riasannya sedikit berantakan karena menangis tadi.

Saat ini Aldric memasangkan cincin di jari manis Lily. Setelah itu dia mengecup kening Lily.

Lily terus menatap wajah Aldric dengan pandangan tidak percaya hingga membuat Aldric gemas. "Jangan bangunkan aku," gumamnya.

Aldric tertawa dan mengusap kepala Lily. "Aku juga mengira ini mimpi, tapi ini nyata sayang, kita harus berterima kasih pada dia," ucap Aldric sembari menunjuk Darren yang berdiri di dekat tempat Lily dan Aldric.

Lily bangkit dan langsung menghampiri Darren. "Darren? kau tidak apa?" tanyanya.

Darren tersenyum lebar, dia mengusap pipi Lily. "Kau bahagia?"

Lily mengangguk dengan air mata bahagia yang terus mengalir. "Sangat Darren," ucapnya dengan suara serak.

"Kalau begitu aku juga bahagia," ucap Darren membalik perkataan Lily semalam. Lily tertawa dan langsung memeluk Darren.

"Terima kasih Darren, aku tidak tahu harus membalas apa," ucap Lily.

Darren melepaskan pelukan Lily, dia mengusap air mata gadis yang terpaksa harus dia lepas ini. "Dengan hidup bahagia, maka semua pengorbananku akan lunas," jawabnya.

Aldric menghampiri keduanya, dia berpelukan dengan Darren. "Thanks brother," ucapnya sekali lagi.

Tadi saat dirinya sudah pasrah tanpa diduga Darren datang ke rumah sakit tempatnya di rawat. Pria itu datang dengan Nadia dan membawa dirinya kemari.

"Aku akan mengambilnya kalau kau tidak mambuat dia bahagia,"

Hanya itu yang diucapkan Darren padanya tadi. Aldric tidak tahu apa yang Nadia bicarakan pada Darren hingga akhirnya pria itu mau membatalkan pernikahannya.

Aldric mencari keberadaan Nadia. "Dimana Nadia?" tanyanya.

"Dia sudah pergi, katanya hari ini dia akan kembali ke rumah orang tuanya. Nadia mengundurkan diri, katanya titip salam saja untukmu dan Lily," jelas Darren.

Lily menatap kedua pria ini dengan pandangan bingung. "Ada apa?" tanyanya.

Aldric tersenyum dan merangkul pinggang Lily. "Nadia banyak membantu kita," jelasnya.

Lily langsung mengerti maksud Aldric. Nadia ikut serta dalam hal ini, dia tahu gadis itu adalah orang yang baik dan yang pasti gadis itu sangat mencintai Aldric.

Lily dan Aldric menyalami semuanya. Saat ini mereka sedang berkumpul dengan semua sahabatnya. Aldric terus merangkul pinggang Lily agar gadis itu tetap berada di sampingnya.

"Ini benar-benar mengharukan, kau tahu saat mendengar suara Aldric yang melafalkan ijab kabul aku ikut gemetar," oceh Clara.

Ana mengangguk setuju, yang tidak tahu bahwa mempelai laki-laki telah diganti memang hanya mereka bertiga.

Rion dan Abil tertawa dan merangkul pasangan itu. "Bukan hanya kalian, kita yang melihat Al saja masih takjub. Seperti mimpi," ucap Rion.

Lily terkekeh, dia menyandarkan kepalanya di bahu Aldric. "Tadi aku sempat mengira kalau itu hanya halusinasi," katanya.

Semua tertawa, mereka sangat senang karena pada akhirnya Aldric dan Lily bisa bersatu. Meski jalannya panjang, banyak lika-liku tajam tapi semua berujung manis.

"Sayang!!!" panggil Dania yang baru mendapat kabar bahwa anaknya telah menikah.

Wajahnya tampak sangat bahagia, dia langsung memeluk Lily. "Mama senang kamu jadi menantu Mama," ucapnya.

Lily tertawa dan menganggukan kepalanya. "Lil juga senang Ma," balasnya.

"Mana Daddymu? Mama ingin bertemu besan!!" hebohnya.

Aldric menutup wajahnya sendiri. "Dimana Papa?" tanyanya.

Dania menunjuk ke arah belakang. "Mama tinggal, jalannya lama," kekehnya. Dia mengecup kedua pipi Lily. "Mama kesana yaa sayang," ucapnya sebelum pergi.

Papa Aldric memeluk Aldric. "Papa senang Ando bahagia," ucapnya.

Aldric tersenyum, "doakan Ando dan Lil Pa," ucapnya.

Papa Aldric beralih pada Lily. Dia memeluk menantunya itu. "Papa yakin, Lil yang terbaik untuk Ando sejak dulu," ucapnya.

Lily terkekeh, "terima kasih Pa," lirihnya.

Setelah menyalami semuanya, Aldric dan Lily langsung dipanggil untuk berganti pakaian. Mereka masuk ke dalam kamar yang telah disediakan.

Lily duduk di ranjang untuk melepas aksesorisnya. Aldric duduk disampingnya dan membantu Lily untuk melepaskan semuanya.

Aldric menyelipkan helaian rambut Lily di belakang telinga. Mata tajamnya menatap Lily dengan hangat. Senyumnya mengembang melihat wajah cantik Lily.

Lily mengalungkan lengannya di leher Aldric. "Ingin memandangiku sampai kapan?" tanyanya.

Kening Aldric berkerut, dia tersenyum mengejek. "Inginnya lebih, tapi nanti saja sekarang kita harus bersiap karena semua sudah menunggu," ucapnya.

Lily duduk di pangkuan Aldric, "bisa kita disini saja?" ucapnya dengan manja.

Aldric tertawa geli, dia mengusap kepala Lily. "Aku juga ingin," kekehnya. Dia mengecup singkat bibir tipis Lily. "Ganti pakaianmu, sebentar lagi perias akan datang," ucapnya.

Lily cemberut kesal, dia bangkit dan mengganti pakaiannya. Saat ini dia hanya ingin menghabiskan waktu dengan Aldric. Dia keluar setelah selesai mengganti gaunnya.

Aldric sedang merapikan tuxedo yang seharusnya di pakai oleh Darren. Lily memeluk suaminya itu dari belakang. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Aldric.

Aldric hanya tersenyum menikmati manjanya Lily saat ini. Dia merapikan dasinya sebelum berbalik pada gadis itu.

Lengannya meranggil pinggang Lily agar gadis itu semakin mendekat. Mereka saling menatap dengan senyuman bahagia. Aldric mendekatkan dirinya pada Lily.

"Sayang tata riasnya sud.. ehh maaf yaa Mama mengganggu," ucap Dania.

Aldric dan Lily langsung menjauh, mereka tersenyum malu. Lily langsung menghampiri ibu mertuanya dan tersenyum salah tingkah.

Dania gemas dengan sikap keduanya. Dia mengusap pipi Lily. "Mama tahu kalian sudah tidak sabar, tapi sekarang kalian harus kembali kesana secepatnya."

Dania menarik lengan Aldric. "Kamu keluar saja dulu, biar Lily dirias oleh mereka," ajaknya.

"Sebentar Ma," ucap Aldric. Dia mendekati Lily dan mengecup bibir Lily sebelum keluar dari kamar.

Lily hanya tersenyum malu karena semua memperhatikannya.

Dania ternganga melihat tingkah putranya. "Anak itu, ahh sudahlah kamu siap-siap yaa sayang," ucapnya sebelum pergi.

Lily duduk di depan meja rias, dia memejamkan matanya. Perubahan ekspresinya dirasakan oleh penata rias ini.

"Aura bahagia akhirnya terlihat, sekarang Anda benar-benar terlihat cantik," ucap seorang perias setelah memoles make up di wajah Lily.

Lily membuka matanya, dia menatap pantulan dirinya di cermin. Senyumnya mengembang sempurna. Dia segera bangkit dan melangkah pergi.

"Ehh tunggu dulu! Anda belum memakai sepatunya."

Langkah kaki Lily terhenti, dia meringis kecil dan berbalik.

"Sudah tidak sabar bertemu suami yaa? padahal tadi habis berduaan," kekeh perias yang menata rambut Lily.

Lily tertawa dan menganggukan kepalanya. Dia tidak sabar untuk bertemu Aldric lagi. Rasanya dia ingin terus berdiri di samping Aldric agar dia tidak kehilangan pria itu lagi.

🎵🎵🎵

See you in the last chapter 😉😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top