Bab 30 - Penentuan
Holaaa maaf karena lama bangett updatenya hehe yang tanya ini dilanjut nggak jawabannya pasti dilanjut kok 😂😂
Lanjut yaaa happy reading guys 😘😘😀
🎵🎵🎵
Lily menggeram kecil, matanya perlahan terbuka. Cahaya lampu kamar menyilaukan matanya. Dia mengerutkan kening saat melihat Aldric duduk tertidur di kursi. Dia mencoba untuk mengingat kenapa sampai pria itu bisa berakhir di kamarnya.
Beberapa detik otaknya bekerja hingga Lily kembali ingat bahwa tadi penyakitnya kembali kambuh. Matanya langsung kembali memanas. Aldric pasti tahu kalau dirinya akan kembali kambuh. Aldric masih memikirkannya sebanyak itu meski dirinya mungkin sudah menyakiti hati pria ini.
"Al," panggil Lily.
Kening Aldric berkerut, mata dengan alis tebal itu terbuka. Sinar hitamnya bertemu dengan mata coklat muda yang jernih milik Lily.
"Maaf aku tertidur, bagaimana keadaanmu?" tanya Aldric.
Lily tersenyum, "sudah lebih baik," jawabnya.
Aldric ikut tersenyum, dia menganggukan kepalanya. "Syukurlah, Opa akan sedih kalau melihatmu menangis," ucap Aldric.
Lily terdiam, dia mencoba untuk bangun dan Aldric membantunya. Dirinya duduk bersandar pada bantal yang sudah Aldric siapkan. Matanya menatap nanar, menerawang, semua perkataan opa kembali muncul di otak Lily. Pandanganya jatuh pada Aldric.
"Opa ingin aku bahagia," ucap Lily.
Aldric mengangguk. "Aku tahu, bukan hanya Opa, kami semua ingin kamu bahagia."
Lily menata mata Aldric, mereka sama-sama terdiam sekarang. Ada banyak kata yang sebenarnya ingin mereka sampaikan satu sama lain, tapi tidak ada yang keluar sama sekali. Hanya mata mereka yang bicara tentang kerinduan yang dalam.
"Aku harus pergi," ucap Aldric. Dia bangkit dan merapikan pakaiannya. "Jika butuh apa-apa panggil Ana, dia dan yang lain di bawah," ucapnya lagi sebelum berbalik.
Kening Aldric berkerut dalam, pintu kamar Lily terkunci dari luar. Dia berusaha membukanya tapi tidak bisa. "Ada orang di luar?" tanya Aldric dengan sedikit berteriak.
Tidak ada jawaban, Aldric kembali mencoba untuk membuka pintu itu.
"Ada apa?" tanya Lily.
"Pintunya dikunci," jawab Aldric.
Lily melebarkan matanya, tidak mungkin ada yang mengunci pintu. Ini pasti disengaja. "Al coba telpon yang lain," usulnya.
"Ponselku di mobil," jawab pria itu.
Lily menunduk lesu, ponselnya juga ada di bawah. "Maaf pasti ini ulah Ana dan yang lain," ucapnya.
Aldric tersenyum geli, ada saja situasi yang membuatnya harus terjebak dengan Lily. Niatnya ingin menghindar, tetapi pada akhirnya justru semakin dekat. Dia kembali duduk di kursi.
"Apa boleh buat, mungkin sebentar lagi akan ada yang datang dan membuka pintu."
Lily tersenyum melihat sikap Aldric yang mulai santai. Setidaknya suasana diantara mereka tidak terlalu mencekam seperti kemarin-kemarin. "Bagaimana kabar Nadia?" tanya Lily.
"Baik, maaf dia belum sempat kemari," jawabnya.
Lily menghembuskan nafas panjang, dia tersenyum menatap langit-langit kamar. "Bukankah semuanya terlihat lucu? kenapa kita harus ditempatkan pada situasi ini setelah semua hal yang panjang yang cukup menyakitkan," gumamnya.
Aldric menganggukan kepalanya. "Kita bisa tertawa bersama karena aku sependapat denganmu," jawabnya dengan nada bercanda.
Lily mendengus geli, dia memukul bahu Aldric. "Tidurlah di sofa, aku ambilkan selimut," ucapnya sembari bangkit menuju lemari besarnya.
Keduanya terdiam sembari menatap langit kamar. Lily sibuk memikirkan ucapan opa begitupun Aldric. Pesan terakhir itu jelas mengarah pada hubungan mereka berdua saat ini.
"Opa menitipkanmu padaku," ucap Aldric pada akhirnya.
Lily tersenyum kecil, dia memiringkan tubuhnya agar bisa menatap Aldric yang sedang berbaring di sofa. "Tidak usah dipikirkan, Opa bicara begitu karena cemas melihatku."
"Aku tidak bisa mengabaikan itu," ucapnya sebelum bangkit untuk duduk. Mata tajamnya menatap Lily dengan serius. "Tolong jawab aku dengan jujur, apa kamu mencintai Darren?" tanya Aldric.
Lily mengerjapkan matanya, mulutnya bungkam. Pertanyaan itu tidak bisa dia jawab begitu saja.
"Seperti beberapa tahun lalu, pria yang mengisi hatiku masih pria yang sama. Pria yang membuat aku harus menunggu di cafe hingga tengah malam karena dia harus bertemu dengan cinta pertamanya," jawab Lily dengan jujur. Kepalanya tertunduk dalam untuk menyembunyikan tetesan air matanya.
Aldric mengerjapkan matanya, wajahnya terlihat kaget. Ternyata Lily telah mengingat semuanya. Sejak kapan itu terjadi, dia tidak pernah tahu. Gadis ini selalu bisa menyembunyikan semua dengan sangat apik.
"Kamu mengingatku," gumam Aldric.
Lily tertawa getir, "yaa tapi terlambat," lirihnya.
Aldric tersenyum kecil, dia berdiri untuk menghampiri Lily yang masih tertunduk. Lengannya terulur pada Lily. "Untuk semua masa lalu, aku ingin meminta maaf."
Lily mendongak, dia menerima uluran tangan itu. "Untuk melupakanmu, aku minta maaf," balasnya.
Aldric mencoba untuk tertawa, kepalanya mengangguk. Dia menghela nafas lega. Setelah perjalanan yang sangat panjang akhirnya Lily bisa mengingat semuanya.
"Aku akan bicara pada Darren," ucap Aldric.
Lily mengerutkan keningnya. "Bicara apa?" tanyanya dengan wajah bingung.
Aldric berlutut di hadapan Lily. Sinar matanya menghangat seperti biasa saat dia menatap Lily. "Aku ingin ada kesempatan untuk kita berdua," ucapnya.
Mata Lily langsung melebar, semua terdengar mustahil. "Lalu Nadia?" tanyanya.
"Aku tidak ingin menyakiti Nadia lebih dari ini jika aku dan dia tetap melanjutkan semuanya. Egois memang tapi kita tidak bisa terus begini Lily."
Senyum Lily mengembang tipis, dia mengerti maksud ucapan Aldric barusan. "Nadia tidak akan dengan mudah melepaskanmu, ini terlalu tidak adil untuknya. Kalau kamu ingin denganku hanya karena pesan Opa, tolong jangan lakukan itu," ucapnya.
"Bukan karena Opa, tapi karena aku ingin ini. Aku lelah membohongi semua orang, nyatanya aku mencintaimu dan hidup denganmu itu impianku Lil tolong mengertilah!" wajah Aldric tampak sedih. Mata hitam itu menyaratkan kejujuran akan setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Lily menggigit bibirnya sendiri menahan isaknya. Mungkin saat ini memang waktunya untuk memperjuangkan sendiri kebahagiaanya. "Aku akan bicara jujur pada Darren," lirihnya.
Mendengar perkataan Lily, Aldric tersenyum lega. Mungkin jika sejak awal Lily melakukan itu maka masalah ini tidak akan sampai pada tahap serumit ini. Setidaknya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Jika nanti Nadia ataupun Darren tidak bisa menerima dan tetap ingin melanjutkan semuanya maka setidaknya mereka pernah berusaha hingga tidak akan ada rasa menyesal nantinya.
"Sekarang tidurlah, aku akan menunggumu disini," ucap Aldric.
Lily mengangguk, dia berbaring dan menarik selimutnya. Tangannya terulur pada Aldric.
"Apa?" tanya Aldric.
"Tanganmu," minta Lily dengan manja.
Aldric tersenyum lebar, dia mengulurkan lengan kanannya untuk di genggam oleh Lily. Lengan kirinya sibuk mengusap kepala Lily hingga gadis itu tertidur nyenyak.
🎵🎵🎵
Pintu kamar Lily akhirnya terbuka, di ambang pintu Alex tersenyum tipis. Kakinya melangkah mendekati ranjang tempat Lily tertidur.
"Maafkan tingkah Ana," ucap Alex.
Aldric mengangkat bahunya. "Sudah biasa, dimana Darren?" tanyanya langsung.
"Di bawah, Ana menahannya," jawab Alex dengan pandangan geli.
Aldric mengangguk, dia mengusap kepala Lily sebelum pergi. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk bicara dengan Darren.
Di bawah, wajah Darren nampak emosi tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Jelas saja, yang menahannya adalah para perempuan dan melawan seorang perempuan adalah pantangan besar untuknya.
"Cukup Ana, gue ingin bicara dengan dia," ucap Aldric.
Melihat kesungguhan di mata itu, Ana mengangguk dengan senyum lebar. Sepertinya tidak sia-sia dia menahan Darren tadi. Pasti Aldric dan Lily sudah membicarakan semuanya.
Aldric dan Darren berdiri berhadapan. Darren dengan pandangan emosi sedangkan Aldric dengan tatapannya yang tenang namun menakutkan.
"Aku mencintai Lily," ucap Aldric dengan tegas.
Darren mendengus geli. "Lancang, yang kau cintai adalah calon istriku kalau kau lupa," jawabnya.
Aldric menganggukan kepala, dia tidak lupa dengan fakta itu. "Maaf, tapi aku memohon padamu lepaskan Lily," ucapnya sembari menundukan kepala. Kata-kata itu terdengar jahat, dia tahu ini salah tapi dia harus melakukan ini.
"Tidak akan, apapun yang terjadi antara kau dan Lily itu hanya masa lalu," jawab Darren.
Aldric menelan salivanya, ini memang tidak akan mudah. Dia berlutut di depan Darren dengan kepala menunduk dalam-dalam. "Untuk semuanya aku meminta maaf," ucapnya.
Dari dalam, Ana melihat semuanya. Dia meneteskan air matanya, kakinya melangkah untuk bergabung dengan Aldric dan membantu sahabatnya itu. Selama ini dirinya tidak bisa membantu banyak, mungkin sekarang dia bisa sedikit membantu dengan membujuk Darren membatalkan pernikahannya.
"Tolong pikirkan Lily, aku tahu ini menyakitkan untukmu tapi jika dilanjutkan itu juga akan menyakitimu," ucap Ana.
Darren tertawa getir, semua mudah mengatakan itu karena mereka tidak mengerti perasaannya. Bagaimana mungkin dia membatalkan pernikahannya dengan gadis yang paling dia cintai selama ini. Ditambah lagi pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi.
"Kau tahu, Lil melanjutkan pernikahan ini karena dia tidak ingin menyakitimu," lanjut Josh yang baru saja ikut bergabung.
Darren menggelengkan kepalanya. Dia tidak mampu bicara apapun, percuma karena apa saja yang dia bicarakan akan salah dimata semua yang sedang berada disini. Tidak akan ada yang mengerti kalau dirinya juga sakit disini.
"Darren," panggil Lily.
Semua menoleh, disana Lily berjalan dengan Alex. Wajah Lily putih pucat, tidak ada rona disana. Matanya meneteskan cairan bening menatap Aldric yang masih berlutut dihadapan Darren.
Lily tidak menyangka Aldric sampai harus berlulut seperti ini. Selama ini yang Lily tahu pria ini memiliki harga diri yang tinggi. Matanya beralih pada Darren yang juga sedang menatapnya.
Senyum Lily mengembang tipis, dia berjalan pelan menghampiri semuanya. Lengannya mengusap wajah Darren. "Kau tahu apa yang membuatku kesal pada diriku sendiri?" bisiknya.
Darren mengalihkan pandangannya. Dia tidak ingin melihat wajah sedih itu dihadapanya.
"Darren aku bicara padamu," ucap Lily hingga pria itu dengan terpaksa kembali menatapnya. "Dihadapanku ada pria baik yang mencintaiku dengan tulus tapi aku tidak bisa membalas perasaannya," ucap Lily.
Darren melebarkan matanya, akhirnya Lily berani jujur akan perasaannya.
Lily menundukan kepalanya dalam-dalam. "Untuk semua rasa sakit yang aku berikan padamu aku meminta maaf," lirihnya. Darren tahu permintaan maaf itu benar-benar tulus Lily ucapkan.
"Sudah terlambat, seharusnya kau memberitahu aku sebelum ini. Sekarang hari pernikahan kita sudah dekat jadi persiapkan dirimu, aku akan menganggap kau tidak bicara apapun hari ini," ucap Darren sebelum berbalik.
Lily melebarkan matanya, dia segera menahan tangan pria itu dan ikut berlutut di samping Aldric. "Apa aku bisa memintamu untuk membatalkan pernikahan kita?" tanya Lily.
"Tidak," jawab Darren dengan nada final.
Lily tersenyum sedih, apalagi yang dia harapkan setelah menyakiti Darren. Memaksa pria itu untuk membatalkan pernikahan ini. Dia mendongak hingga bisa menatap wajah pria itu.
"Izinkan aku untuk jujur sebelum hari pernikahan kita tiba," ucap Lily. Dia menoleh pada Aldric yang sedang munundukan kepalanya. "Aku mencintai pria ini Darren, maaf karena aku mencintai dia," lirihnya.
Aldric menggelengkan kepalanya, "Darren tolong lepaskan Lily, aku berjanji akan melakukan apapun untukmu asal kau lepaskan Lily," ucap Aldric.
Darren melepas genggaman tangan Lily dan pergi meninggalkan semuanya. Lily menahan Aldric yang hendak mengejar Darren.
"Cukup Al, kita sudah berusaha," isak Lily.
Aldric menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh menyerah karena ini adalah hal terakhir yang bisa dia lakukan untuk hubungannya dengan Lily. Kalau dia berhenti disini maka dia akan benar-benar kehilangan gadis itu.
Dari balik dinding, Nadia mendengar semua. Dia menangis sembari membekap mulutnya agar tidak bersuara. Semua tidak boleh tahu kalau dirinya telah mendengar semua.
Akhirnya Aldric memutuskan untuk memperjuangkan Lily. Ada rasa senang karena akhirnya Aldric menyadari hal yang seharusnya pria itu lakukan sejak awal tapi dia tidak bisa membohongi perasaannya. Hatinya terasa sakit saat mendengar Aldric sampai memohon-mohon untuk memperjuangkan gadis lain.
"Seharusnya aku tidak perlu bertemu dengan dia," gumam Nadia menyesali pertemuannya dengan Aldric. Dia mengusap kasar wajahnya dan segera berlari pergi. Kemanapun asalkan otaknya bisa kembali tenang.
🎵🎵🎵
Aldric melepas jasnya, dia memutuskan untuk pulang ke kantor setelah dari rumah keluarga besar Pradipta. Keningnya berkerut dalam mendengar isak kecil samar-samar. Kepalanya menggeleng, tidak mungkin ada hantu disini. Dia sudah biasa menghabiskan malam-malamnya disini.
Kakinya melangkah pelan menghampiri sumber suara. Dia menyipitkan mata melihat gadis berambut panjang sedang duduk dan memeluk lututnya sendiri.
Aldric menyentuh pelan bahu gadis itu hingga membuatnya mendongak kaget. "Nadia?" tanya Aldric sama kagetnya.
"Al," panggil Nadia. Nadia segera mengusap air matanya. Dia bangkit dan merapikan pakaiannya. "Maaf tadi aku mengambil berkas yang tertinggal," ucapnya.
"Nadia aku.."
"Cukup!" potong Nadia. Kepalanya mendongak, dengan berani dia menatap Aldric dengan tajam. "Ada yang aku ingin bicarakan," ucapnya.
Aldric menganggukan kepalanya, dia mengajak Nadia masuk ke ruangannya. Mereka duduk di sofa yang bersebrangan. Aldric menunggu Nadia untuk bicara meski dirinya juga ingin bicara hal yang penting.
"Aku ingin membatalkan pernikahan kita," ucap Nadia.
Aldric melebarkan matanya, kenapa tepat sekali. "Nadia," panggil Aldric.
"Aku tidak bisa meneruskannya, aku tidak siap untuk menikah apalagi denganmu, kita bahkan belum mengenal satu sama lain," lanjut Nadia. Dia sengaja berbohong agar Aldric tidak perlu terbebani untuk memutuskan pertunangan ini. "Seperti yang kamu katakan, aku gadis yang cantik, aku tidak ingin menikah dengan terburu-buru aku ingin mencari pria yang tepat untukku." Nadia berusaha tertawa kecil meski air matanya terus mengalir.
Aldric tersenyum lega, dia menyandarkan tubuhnya. "Lalu kenapa kamu menangis?" tanyanya.
Nadia kembali tertawa, "aku bingung ingin mengatakannya padamu, aku terlalu takut kalau nanti kamu akan marah karena membatalkan pernikahan kita, tapi sekarang setelah bicara denganmu rasanya aku lega," jelasnya.
Aldric tidak percaya ini bisa terjadi, suatu kebetulan yang sangat aneh. Apapun itu dia mengucapkan terima kasih banyak pada Nadia atas pengertian gadis itu selama ini.
Malam ini Aldric mengantar Nadia ke apartemen gadis itu. Aldric tidak tahu kalau malam ini adalah hari terakhirnya mengantar Nadia karena gadis itu sudah berencana untuk pergi meninggalkan kota ini.
"Aku berharap kau bahagia Nadia, semoga kau bisa mendapatkan pria yang terbiak," ucap Aldric.
Nadia tersenyum dan menganggukan kepalanya. Dia segera turun dari mobil Aldric dan masuk ke dalam gedung apartemennya.
Setelah mengantar Nadia, Aldric langsung kembali ke kantor. Besok dia berencana untuk mendatangi Darren.
🎵🎵🎵
Darren menghilang, Aldric tidak bisa menemukan pria itu dimanapun. Seolah disengaja Darren sepertinya menghindari semua orang.
Malam ini semua sedang berkumpul karena besok adalah hari pernikahan Lily dan Darren. Suasana disini ramai seperti hal biasanya yang terjadi setiap malam sebelum hari pernikahan.
Ares sibuk mengurus semuanya dibantu oleh yang lainnya. Orang tua Darren ikut membantu karena sepertinya pria itu tidak menceritakan apa yang terjadi di hari meninggalnya Arsen.
Aldric sedang duduk dengan Alex dan Josh di ruang tengah. Mereka menatap Aldric yang wajahnya nampak nelangsa. Mau bagaimana lagi, Darren tidak bisa ditemukan. Hanya Darren yang berhak membatalkan pernikahan ini.
"Sekarang bagaimana?" tanya Alex.
Aldric menghela nafas berat, kantung mata terlihat jelas. Pria ini kelelahan itu sudah pasti, karena beberapa hari ini dia harus mencari Darren kemanapun. Ditambah lagi pekerjaan yang tetap tidak bisa dia tinggalkan.
"Entahlah, dimana Lily?" tanya Aldric.
Alex ikut menghela nafas. "Di kamar dengan Ana dan Isha," jawabnya.
Aldric menganggukan kepalanya, dia bangkit dan pergi ke kamar Lily. Sejak kemarin dia belum bertemu dengan gadis itu.
"Hay," sapa Aldric di ambang pintu.
Ana tersenyum melihat Aldric datang, dia menggengam lengan Lily. "Bicaralah dengannya, gue keluar yaa," pamitnya sembari menggendong putrinya keluar kamar.
Aldric masuk tanpa menutup pintunya. Dia duduk di sofa dan Lily menghampirinya. "Aku belum bisa menemukan Darren," ucapnya.
Lily tersenyum dia mengusap kepala Aldric. "Daripada mencari Darren lebih baik kamu istirahat, lihat wajahmu di cermin, kamu terlihat sangat kacau Al," ucapnya prihatin.
Aldric tersenyum getir, bagaimana tidak kacau kalau besok adalah hari pernikahan gadis yang dia cintai tapi dia tidak bisa melakukan apapun.
Lily menggenggam lengan itu, kulit Aldric terasa dingin di kulit Lily yang hangat. Pria ini pasti sedang sakit, batin Lily. "Dengarkan aku Al," ucapnya. "Kamu sudah berusaha semampumu, kalau pernikahan ini tetap terjadi itu berarti memang sudah jalannya," lanjutnya.
Lily mengusap air mata Aldric yang menetes. "Manusia bisa berusaha tapi keputusan akhirnya bukan ada pada kita Al."
Aldric menganggukan kepalanya. Dia sangat mengerti maksud dari ucapan Lily. Mungkin ini memang harus terjadi. Matanya menerawang jauh pada moment saat mereka melewati masa indah SMA bersama. Perdebatan-perdebatan kecil yang konyol diantara persahabatan mereka.
"Aku akan tetap berusaha, masih ada beberapa jam sebelum pernikahanmu," ucap Aldric. "Sekarang aku ingin istirahat sebentar, boleh?" tanyanya.
Lily menganggukan kepalanya, dia menuntun kepala Aldric ke pangkuannya. Lengannya mengusap kepala pria yang saat ini sedang memejamkan mata.
"Aku berharap yang terbaik untuk kita," lirih Lily.
Aldric tersenyum, matanya kembali terbuka. Ada semangat yang dapat Lily lihat dari mata itu. Meski rasanya sangat tidak mungkin untuk membatalkan pernikahan ini.
Aldric kembali bangun, "sudah cukup, aku harus mencari Darren lagi," ucapnya. Lama dia kecup kening Lily. "Tolong doakan aku," bisiknya.
Lily tertawa kecil, dia menganggukan kepala dengan yakin. Satu-satunya cara adalah mendukung Aldric.
Ares yang berniat memanggil Lily jadi melihat semuanya. Dia tersenyum melihat semangat Aldric, dia juga selalu berdoa yang terbaik untuk putrinya.
"Daddy," panggil Lily.
Ares berjalan masuk, dia mengusap kepala Lily dan Aldric. "Aku merestui kalian," ucapnya.
Aldric mengangguk dan langsung memeluk Ares. Pria yang sudah dia anggap sebagai ayahnya sejak dulu. Pria yang mengajarkan dirinya agar dapat menjadi seorang yang kuat dalam menjalani apapun.
"Aku akan berusaha untuk Lily," yakinnya.
Ares mengangguk dan menepuk-nepuk bahu Aldric. Menyalurkan kehangatan seorang ayah kepada putranya.
🎵🎵🎵
See you in the next chapterrr 😉😉😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top