Bab 29 - Kepergian Arsen

Halooo selamat malam minggu semuaaa.. huehe selamat berlibur dengan keluarga teman sahabat dll😘😘😀

Bagi pembaca NADW nanti buka lapaknya yaa ada info penting dari aku untuk kalian tercintahhh😘

Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘😘

🎶🎶🎶

Lily menatap pantulan dirinya di kaca. Pakaian ini melekat sempurna pada tubuhnya. Gaun putih dengan gradiasi warna coklat keemasan yang indah. Sangat indah, tapi rasanya dia benar-benar tidak tertarik untuk mengagumi gaun ini.

Melihat wajahnya sendiri di depan kaca, Lily hanya bisa meringis kecil. Sepertinya berat badannya kembali berkurang karena pipinya nampak semakin tirus, ditambah kantung hitam dibawah matanya. Penampilannya mengerikan, ini bukan wajah seorang gadis yang sebentar lagi akan menikah.

"Lily sayang, udah dicoba gaunnya? sini keluar Mom ingin lihat!" teriak ibu Darren di depan ruang ganti.

Lily menghela nafasnya sebelum keluar, dia kembali memasang senyuman untuk wanita yang sudah baik padanya itu. "Sepertinya sudah pas Mom," ucapnya.

"Wow, menantu Mom benar-benar cantik," gumam wanita paruh baya itu dengan mata berbinar senang. Bayangkan bagaimana mungkin Lily menghancurkan hati wanita ini.

Lily terkekeh pelan, dia menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. "Tidak secantik Mommy," ucapnya.

"Mom sepertinya aku.. Woww," ucap Darren yang juga baru selesai berganti pakaian. Pria itu tampak sangat tampan dengan texudo hitamnya. "Apa ini Lily calon pengantinku? sepertinya dia bidadari," ucapnya.

Lily mendengus geli dan memukul lengan Darren. "Jangan menggombal," jawabnya.

Darren tertawa dan merangkul bahu Lily agar berdiri di sampingnya. "Bagaimana? kami cocok?" tanya pria itu dengan senyum lebarnya.

Ibu Darren tertawa dan mengangkat jempolnya. "Meskipun Lil terlalu cantik untukmu, tapi karena kamu anak Mommy jadi Mom akan bilang kalau kalian cocok," jawab.

Mereka kembali tertawa, hanya Lily yang tersenyum tipis menanggapi interaksi antara anak dan ibu ini. Entah, minatnya pada tawa sudah hilang. Menyunggingkan senyum tipis saja sudah malas.

Pakaian check list, gedung check list, make up sudah di persiapkan dengan baik. Semua persiapan sudah matang. Undangan hanya tinggal dibagikan. Tinggal menunggu hari pernikahan yang semakin dekat saja.

Lily menatap ponselnya, banyak pesan masuk dari sahabat-sahabatnya yang belum dia balas. Menyiapkan semua ini ternyata menyita banyak waktu. Dia sampai tidak ada waktu untuk sekedar berkumpul dengan mereka.

Ana dan Alex, rasanya dia ingin pergi kerumah sahabatnya itu dan bermain dengan Varisha. Mungkin dengan Varisha dia bisa mengobati sedikit rasa sesaknya. Karena dengan Varisha, Lily mempunyai kenangan indah dengan Aldric.

"Ada apa?" tanya Darren.

Lily mendongak, dia memperlihatkan layar ponselnya pada Darren. "Aku ingin pergi ke rumah Ana, boleh?" tanya Lily.

"Tentu saja, untuk apa aku melarang. Perlu kuantar?"

"Tidak usah, aku naik taxi saja," jawab Lily. Dia mengambil tasnya. "Aku pergi dulu," pamitnya sebelum pergi meninggalkan butik itu.

Lily menyetop taxi dipinggir jalan dan langsung mengatakan alamat tujuannya pada supir. Selama diperjalanan dia lebih memilih untuk menatap jendela, menikmati hiruk pikuk jalanan Jakarta yang sudah lama ia tinggalkan.

Rumah Alex terlihat sepi, Lily menekan bel disamping pagar rumah ini. Seorang satpam keluar dan menyambut Lily yang memang sudah sering kemari.

"Ibu ada?" tanya Lily.

"Ada, sedang di taman belakang, semua sedang berkumpul sekarang," jawab satpam itu.

Lily mengangguk dan langsung masuk ke dalam. Semua sedang berkumpul, baguslah dia jadi bisa bergabung dengan mereka semua.

Di taman belakang mereka sedang berkumpul. Para pria duduk di saung dekat kolam renang dengan Aldric yang menjadi target bulan-bulanan mereka.

"Pokoknya pas malem pertama lo harus minum jamu!" ucap Abil.

Rion menganggukan kepalanya. "Gue bisa ngasih jamu sebagai hadiah pernikahan lo nanti," usulnya lagi.

"Akhirnya bujang ini nikah juga men," kekeh mereka.

Ana memutar bola matanya, "dasar otak mesum! enyah sana!" omelnya.

Abil dan Rion tertawa geli dan lanjut meledeki Aldric yang sejak tadi santai saja menutup telinganya. Dia tidak ingin otaknya terdoktrin oleh ucapan-ucapan mengerikan kedua sohibnya itu.

"Berisik!" omel Aldric sembari mengambil minuman.

"Ehh Lil?" panggil Ana kaget.

Aldric yang sedang minum langsung tersedak, dia batuk-batuk hingga harus menundukan tubuhnya. Ana pasti mengisenginya. Saat menoleh untuk mengomeli Ana matanya jatuh pada Lily yang juga sedang menatapnya.

Beberapa minggu setelah pertunangannya, dia memang belum bertemu dengan Lily lagi. Gadis itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Melihat kondisi Lily saat ini Aldric jadi mengingat beberapa tahun lalu saat Lily sakit.

"Ehhmm kita cuma batu kok jadi abaikan aja," ucap Abil.

Rion melotot kesal, dia menjitak kepala Abil karena bercanda tanpa mengerti situasi. Aldric memalingkan wajahnya lebih dulu, dia menatap ke segala arah untuk mengurangi rasa canggungnya.

"Ehh Lil yaampun, baru gue mau ajak lo tapi karena lo sibuk jadi kita nggak enak," ucap Ana sembari menghampiri Lily.

Lily berusaha untuk tersenyum. "Maaf aku terlalu sibuk," ucapnya.

"Mommy!!! Mom!!" teriak Varisha yang sedang duduk di pangkuan Alex.

Lily melambaikan tangannya. Dia mengucapkan kata hay tanpa suara dan itu membuat Varisha minta untuk turun dan berlari kecil pada Lily.

Lily berjongkok menyambut Varisha. Dia terkekeh kecil saat Varisha memeluk dan menciumi pipinya. "Isha sedang apa?" tanya Lily.

"Ainn!! yoo Momm ainn.." Varisha menarik jemari Lily agar mommynya itu mengikutinya. Varisha berhenti di depan Aldric. "Main maa Paa.." pintanya.

Lily melebarkan matanya, bukan hanya Lily yang kaget. Sepertinya semua juga ikut kaget termasuk Aldric.

Aldric menggendong Varisha. "Main dengan Mom dulu yaa, Papa ingin ke toilet," ucapnya dengan senyum gemas.

Varisha menggeleng keras, dia merangkul leher Aldric. "Mau Mom ama Paa.." rengeknya.

Alex menahan senyumnya, dia pura-pura cuek dengan mereka. Bukan membantu dia justru pergi menghampiri Ana yang sedang bingung menatap Aldric dan Lily.

"Ayo masuk," ajak Alex pada Ana sembari merangkul pinggang istrinya itu.

Lily meneguk salivanya. Dia berdiri canggung di depan Aldric. Dia tidak tahu kalau Aldric juga ada disini, kalau tahu mungkim dia akan memilih untuk tidak datang ke rumah ini.

Sahabat mereka satu persatu masuk ke dalam rumah hingga menyisakan Lily, Aldric dan Varisha di taman belakang ini.

Aldric memilih untuk bicara dengan Varisha agar mengurangi rasa gugupnya. "Isha ingin main apa?" tanya Aldric.

Varisha menunjuk bola kecil miliknya. Anak itu mengajak Aldric untuk mengambil bola itu. Jadilah mereka bermain lempar bola bersama. Lily dan Aldric terpaksa memasang senyuman agar Varisha nyaman.

"Aduh Mom haus, Isha main sama Papa yaa.. Mom harus minum, oke?" tanya Lily.

Vasiha mengangguk, dia berdada ria pada Lily sebelum mommynya itu masuk ke dalam rumah.

Akhirnya Lily bisa mengambil nafas lega, akhirnya dia tidak perlu berakting kuat dihadapan Aldric. Lily menghampiri Ana yang sedang sibuk membuat kue dengan Ara.

"Ehh udah selesai mainnya?" tanya Ana.

Lily mengangguk, dia mengambil gelas dan mengisi gelas itu dengan air mineral. Sebenarnya alasan tadi tidak sepenuhnya bohong. Dirinya benar-benar haus.

"Ana tolong ambilin gue minum," ucap Aldric yang baru saja masuk ke dalam dapur.

Lily mendesah kesal, kenapa Aldric justru ke dapur. Sepertinya Aldric juga kaget melihat Lily ada di dapur. Pria itu awalnya ingin berbalik pergi tapi Ara menarik lengannya.

"Lil tolong ambil minum untuk Aldric, kamu dekat kan?" tanya Ara.

Lily mengangguk kaku, dia mengambil satu gelas dan mengisinya dengan air mineral. "Ini," ucapnya.

Aldric menerima gelas itu. "Thanks," jawabnya.

Ponsel Lily berdering menandakan pesan masuk. Lily membuka notifikasi pesan dari daddynya.

Ke rumah sakit Pelita sekarang, Opa kritis sayang.

Lily melebarkan matanya. Dia membekap mulutnya sendiri. Tadi opanya masih terlihat sehat. "Opa," gumamnya.

"Ada apa Lil?" tanya Ana.

"Opa kritis, aku harus ke rumah sakit sekarang," jawab Lily. Dia segera menyambar tasnya. "Aku pergi dulu Ana," pamitnya.

"Denganku saja, aku juga ingin lihat Opa," ucap Aldric. Tanpa berpikir Lily langsung mengangguk, baginya yang terpenting sekarang adalah sampai ke rumah sakit dengan cepat.

Sepanjang jalan, Lily hanya bisa bergerak gelisah. Pikirannya mulai kacau sampai tidak sadar kalau beberapa kali Aldric melirik ke arahnya.

Tiba di rumah sakit, Lily langsung turun dan berlari ke kamar yang sudah di kirim daddynya. Di belakangnya Aldric hanya mengikuti. Mereka berdua datang saat beberapa orang sedang berada di depan kamar.

"Daddy.." panggil Lily.

Ares menoleh, dia mengerutkan keningnya saat melihat putrinya datang dengan Aldric.

"Bagaimana keadaan Opa?" tanya Lily dengan wajah khawatir.

Ares tersenyum, dia mengusap lembut kepala putrinya. "Masih belum sadar, tapi tenang saja dokter sudah menanganinya," jawabnya.

Mendengar itu barulah Lily bisa menarik nafas lega. Dia menyandarkan tubuhnya pada dinding, lengannya menutup wajah. Rasanya benar-benar takut saat mendapat kabar bahwa tadi opanya kritis.

"Bisa bicara dengan keluarga pasien?" tanya dokter yang baru saja keluar ruangan.

Ares mengajukan diri, dia adalah anak tertua. Tidak mungkin juga Mommynya yang ikut ke ruang dokter. Sementara Ares pergi, Lily langsung masuk ke ruangan rawat.

Lily tersenyum melihat opanya yang sedang menatap kosong sekitar. Air matanya kembali jatuh. Perlahan dia mendekat.

"Opa," panggilnya sepelan mungkin.

Lemah, Arsen menoleh sedikit pada Lily. Saat ini jantungnya terasa nyeri, dia hanya bisa tersenyum samar. Masker oksigen membantunya dalam bernafas jadi dia tidak bisa bicara dengan jelas sekarang.

"Opaa Lil takut," lirih anak itu sembari memeluk lengan opanya. "Jangan sakit Opa, Lil tidak kuat melihat Opa sakit," isaknya.

Tangan tua itu terangkat untuk mengusap puncak kepala Lily. Kelembutannya masih terasa sama. Ingatan Lily kembali saat dirinya kecil, opanya yang selalu menemani dia bermain. Opa yang selalu menenangkannya saat dia menangis. Dulu tidak ada daddynya karena daddy sedang sakit tapi ada opa yang seperti super hero untuknya.

Opa bukan hanya seorang kakek untuk Lily. Opanya sudah seperti ayah, apa yang tidak diberikan opa untuknya.

"Lily cucu yang tercantik," ucap Arsen dengan suara yang tidak jelas.

Lily menganggukan kepalanya. Dia mendekatkan diri agar bisa mendengar dengan jelas suara opanya.

"Jangan menangis, dulu Lil menangis karena daddy sakit, saat daddy sudah sembuh Lil pun menangis karena Lil sendiri yang sakit," ucap Arsen. Dia mengatur nafasnya beberapa kali untuk melanjutkan ucapannya. "Saat ini apa Opa tidak bisa lihat Lil bahagia?" tanya Arsen.

Lily terdiam, dia terisak. Beberapa kali dia menciumi lengan ringkih itu. "Asal Opa sembuh Lil akan bahagia," ucapnya.

Arsen menggelengkan kepalanya. "Sekali, Opa ingin lihat Lil bahagia. Jangan takut untuk bahagia sayang, Opa akan sangat senang jika bisa melihat Lily bahagia. Percayalah itu keinginan terakhir Opa," bisiknya.

Lily menggelengkan kepalanya. "Opa masih akan hidup lama, kita akan main bersama di taman dengan Oma dengan Daddy, Papa dan Mama juga, bahkan Ayah dan Bunda," isaknya.

Arsen tersenyum, dia menoleh ke arah pintu. "Omamu sedang menangis diluar?" tanyanya masih menatap pintu kamar itu.

Lily menganggukan kepalanya. "Kami semua menangis karena Opa seharusnya tidak disini," ucapnya.

Arsen terkekeh pelan, dia kembali menatap Lily. "Aldric, anak itu disini bukan?" tanya Arsen lagi.

Lily melebarkan matanya, "bagaimana Opa bisa tahu?" tanyanya dengan wajah kaget.

"Anak itu selalu ada saat aku sakit, kau tidak tahu karena kau tidak disini, panggil dia," ucap Arsen.

Lily menatap ragu opa, tapi melihat mata itu dia tidak bisa menolak permintaannya. Dia menganggukan kepalanya dan pergi memanggil Aldric yang masih diluar ruangan.

"Aldric, Opa ingin bicara," ucap Lily saat sudah diluar.

Aldric menoleh, dia mengangguk dan langsung melewati Lily begitu saja. Pria itu langsung menghampiri orang tua yang sudah dia anggap sebagai kakeknya sendiri sejak lama.

"Ada apa Opa?" tanya Aldric.

Arsen tersenyum. "Jagoan yang berandal ini sudah dewasa," canda Arsen.

Aldric terkekeh, itu panggilan opa Arsen untuknya dulu. "Opa harus sembuh, seperti kemarin Opa pasti kuat," ucapnya.

"Haha aku sudah tua, sudah puas menatap dunia. Kau ini yang masih muda. Anakku, bisa kupercayakan Lily padamu?" tanya Arsen.

Aldric melebarkan matanya. "Apa yang Opa bicarakan? jangan bicara aneh," protesnya.

"Jangan takut pada sesuatu yang belum tentu terjadi, itu pesan yang bisa kuberikan padamu," potong Arsen. "Selama ini kau terlalu takut, takut menyakiti Lily, itu salah satu hal yang menghambat kalian," lanjutnya.

Aldric terdiam, dia meneguk salivanya. Selama ini dia tidak pernah memikirkan itu. Dia mungkin terlalu takut, takut jika penyakit Lily kambuh meski beluk tentu akan kambuh. Takut membuat Lily semakin sakit padahal belum tentu gadis itu akan semakin sakit.

"Aku ingin melihat cucuku bahagia, dan aku percaya kau bisa membuatnya bahagia. Bisa aku menitipkannya padamu?" lanjut Arsen.

Aldric menundukan kepalanya, ini tidak mungkin baginya. Dia bahkan sudah bertunangan dengan Nadia dan kurang dari dua minggu lagi Lily akan menikah dengan Darren.

"Aku akan bahagia jika melihat cucuku bahagia meski aku melihatnya dari sana," lirih Arsen. Aldric mendongak, dia menggeleng pelan.

"Opa harus bertahan," ucap Aldric.

Arsen menyentuh dadanya yang terasa semakin sesak.

Aldric menggenggam lengan itu dengan erat. "Opa bertahan," ucapnya. Dia menekan tombol emergency agar dokter cepat kemari. Beberapa menit dia menunggu hingga dokter dan timnya kembali ke ruangan.

Aldric keluar dari ruangan, wajahnya terlihat pucat. Di luar kamar sudah berkumpul keluarga Pradipta dan sahabat-sahabatnya yang ternyata tadi ikut menyusul.

Aldric menghampiri Lily yang duduk di kursi tunggu sembari menangis. Dia berjongkoh di hadapan Lily. "Jangan menangis, Opa ingin kamu tersenyum," ucapnya.

Lily terisak, dia menutup wajahnya. "Aku tidak ingin Opa pergi," isaknya.

Aldric menghela nafas. "Dokter akan berusaha menyelamatkannya, yakinlah."

🎶🎶🎶

Keadaan Arsen semakin menurun. Saat ini Nadin terus disamping suaminya itu. Malam sudah semakin larut dan semua masih berada di rumah sakit.

Darren datang dan terus berada di samping Lily. Mencoba untuk menguatkan calon istrinya itu.

"Kamu belum makan, ayo kita keluar dulu," ajak Darren.

Lily menepis lengan itu. "Aku ingin disini," jawabnya.

Darren terdiam, dia menghela nafas berat. Lily sejak tadi belum makan, gadis ini tidak sadar kalau kesehatannya mulai menurun sejak kemarin.

Di dalam kamar rawat, Nadin dengan telaten mengurus suaminya. Dia ingin melihat mata itu kembali terbuka. Ada banyak hal yang masih ingin dia lakukan dengan suaminya.

Lily masuk ke dalam ruang rawat. Dia menghampiri oma dan opanya. "Malam Opa," sapanya.

Nadin tersenyum, dia mengusap kepala Lily. "Sudah dengar permintaan Opa?" tanyanya dengan wajah pengertian.

Lily menganggukan kepalanya. Dia menghapus tetesan air matanya. "Opa akan lihat Lil bahagia," lirihnya. "Lil janji akan bahagia disini," bisiknya di dekat telinga Arsen.

Mata yang terpejam itu mengeluarkan tetesan air bening. Nafas Arsen terdengar sangat halus dan pelan, perlahan nafas itu semakin tidak terdengar dan hingga pada akhirnya benar-benar hilang.

Lily menangis dan memeluk Nadin. "Omaa.." isaknya.

Dokter dan para tim medis kembali, mereka sudah berusaha semampunya tapi memang inilah waktu Arsen untuk pergi setelah mendapatkan kepastian yang ingin dia dengar. Tugasnya di dunia telah selesai dan hari ini adalah waktunya kembali ke tempat yang sebenarnya.

Di luar semua yang sudah siap dengan kabar inipun ikut menangis. Aldric duduk di kursi tunggu dengan menundukan kepalanya. Tidak dia sangka kalau pembicaraan tadi benar-benar pembicaraan terakhirnya dengan opa Arsen.

Setelah mengurus semuanya, jenazah Arsen segera dibawa pulang dengan ambulans. Di rumah beberapa orang sudah menyiapkan segala keperluannya.

Rumah sudah mulai ramai dan nanti akan semakin ramai mengingat sosok Arsen yang memang terkenal dikalangan para pembisnis.

Lily langsung pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Sepertinya semua masih sulit dipercaya. Sangat sulit dipercaya. Saat menatap cermin, dia melihat matanya sudah membengkak dan merah. Sudah pasti karena dirinya terus menangis.

Tidak ingin berlama-lama, Lily langsung kembali turun ke bawah. Untuk malam ini, malam terakhir ini dia ingin terus berada disamping opanya. Dia ingin terus menemani opanya hingga nanti opa akan dikuburkan.

Lily mengusap-usap kepala opa, dia mencoba untuk tersenyum meski airmatanya terus mengalir. "Opa harusnya Lil kembali sejak dulu, waktu kita berkurang banyak karena Lil," ucapnya.

Semalam Lily tetap berada di samping Arsen. Para tamu datang silih berganti, di depan banyak wartawan yang sudah menunggu untuk meliput berita.

Di depan rumah, Josh berjaga dengan Abis dan Rion. Memastika tidak ada satupun wartawan yang meliput kedalam.

Pagi ini setelah dimandikan dan dikafankan, Arsen dibawa ke masjid terdekat dan setelah itu semua langsung menuju pemakaman.

Lily memperhatikan setiap tanah yang perlahan menutup tubuh opanya. Dia tidak tahan hingga akhirnya tubuhnya limbung. Josh dan Darren langsung membawa Lily kembali ke rumah karena kondisinya tidak memungkinkan.

🎶🎶🎶

Aldric hanya diam, pria itu seperti tidak sadar. Entah kemana kesadarannya sampai dia terlihat linglung. Setelah pemakaman dia langsung memilih untuk pulang.

Dia mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Semua pesan terakhir dari opa Arsen membuatnya terus berpikir. Bisakah dia membahagiakan Lily.

Lily, gadis itu tadi terlihat sangat raput. Dia tidak tega melihat wajah sedih itu. Sedih, tertekan itu pasti yang dirasakan Lily saat ini. Menyadari pikirannya itu Aldric langsung menginjak rem mobilnya.

Tidak dia hiraukan suara nyaring klakson dibelakangnya. "Lil tertekan, sial kenapa aku tidak berpikir sampai situ!" geramnya. Dia langsung memutar arah tujuannya, Lily belum sembuh total. Dia khawatir Lily akan kambuh sekarang.

Aldric langsung turun dari mobil dan masuk kedalam rumah yang masih ramain ini. Dia menoleh ke segala arah.

"Aldric kenapa kembali? ada yang tertinggal?" tanya Ares.

"Lily, dimana Lily sekarang?" tanya Aldric to the point.

Ares mengerutkan keningnya. "Di kamarnya, ada apa?" tanya Ares.

"Iya kenapa kau mencari calon istriku?" tanya Darren dengan tajam. Pria itu sepertinya baru saja datang.

Aldric mendengus kesal, "Om Ares, aku izin untuk menemui Lil," ucapnya.

Darren menarik kerah Aldric dengan pandangan emosi. Kali ini dia tidak ingin diam dan pura-pura buta. "Untuk apa?" tanyanya dengan tajam.

Ares menghela nafas, dia maju untuk memisahkan keduanya. "Jika ingin bertengkar keluarlah, tolong mengerti keadaan rumah ini."

Darren menarik Aldric keluar rumah. Pria itu tidak berhak bertemu dengan Lily sekarang. "Pulanglah, aku sudah ada untuk Lil," usirnya.

Aldric berdecak kesal, kali ini dia yang menarik kemeja Darren. "Apa menurutmu saat ini adalah waktu untuk cemburu tidak jelas?" tanya Aldric. "Lil sakit dan aku harus melihatnya!" bentak Aldric. Tanpa peduli tanggapan Darren, Aldric langsung kembali masuk dan naik ke atas tempat kamar Lily berada.

Pintu putih itu diketuk pelan oleh Aldric. Tidak ada jawaban dari dalam, rasa khawatirnya semakin meningkat. Aldric segera mendobrak pintu itu.

"Lil!!" panggil Aldric melihat gadis itu berbaring di lantai sembari menangis. Dia langsung menghampiri Lily dan memeluk erat tubuh kecil itu. "Lil tenanglah," bisik Aldric.

Lily tetap menangis, dia menggelengkan kepalanya. "A-aku, Al.." isaknya.

Aldric mengusap kepala Lily. "Ssstt aku mengerti, aku disini," ucapnya dengan lembut.

Lama Lily menangis hingga gadis itu tertidur. Perlahan Aldric membopong tubuh Lily dan membawa gadis itu ke ranjang. Dengan hati-hati dia membaringkan Lily.

"Kenapa kamu bisa sekurus ini?" gumam Aldric sembari mengusap pipi itu dengan lembut.

Aldric menghembuskan nafasnya, dia menarik kursi ke dekat ranjang dan duduk disana sembari menatap Lily yang tertidur lelap.

Tangan Aldric kembali mengusap wajah Lily saat melihat gadis itu menangis dalam tidur. Pantas saja penyakit Lily kembali kambuh.

"Tidurlah, aku disini," bisik Aldric sebelum mengecup kening Lily.

🎶🎶🎶

Darren ditahan oleh Ana, Ara dan Moniqa. Saat ini mereka tahu kalau Aldric sedeng berada di kamar Lily. Tidak ada yang boleh mengganggu kedua orang itu.

"Sesuai pesan Opa Arsen, aku mohon agar kamu membatalkan pernikahanmu dengan Lily. Kamu ingin lihat Lil bahagia kan?" tanya Ana.

Darren tersenyum sinis, dia menatap orang-orang dihadapannya. "Lil tidak pernah bicara apapun, darimana kalian tahu kalau Lil akan bahagia dengan Orlando??" tanyanya dengan emosi.

"Lil mencintai Aldric!!" bentak Ana. "Dia tidak bisa bilang karena takut menyakiti kamu dan keluarga kamu!" lanjutnya.

Darren menggelengkan kepalanya. "Selama Lil tidak bicara langsung, aku tidak akan percaya." Meski dirinya bisa melihat jelas itu, tapi tetap saja semuanya sangat sulit.

Ana menahan tangan Darren agar pria itu tidak masuk ke kamar Lily. "Ra kunci kamarnya!!" perinta Ana dengan cepat. "Maaf karena kami bersikap begini padamu. Kami hanya ingin kalian semua tidak menyesal nantinya," ucap Ana sebelum pergi meninggalkan Darren yang terdiam.

Darren menarik rambutnya, kepalanya terasa pusing. "Aaarrrggghh!!" teriaknya untuk melepaskan semua amarah yang telah menumpuk selama beberapa minggu terakhir ini.

🎶🎶🎶

See you in the next chapter 😉😉😉




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top