Bab 28

Update kilatzzz mumpum kemarin feelnya lagi kumpul hehe.. selamat menikmati part2 akhir dari perfect moment.. dan selamat menebak-nebak ini akan happy ending or sad ending 😂

Happy reading guys!! Hope you like this chapter 😉😘😀

🎶🎶🎶

Aldric membopong Nadia ke dalam apartemen itu. Sepertinya sahabat Nadia sedang tidak ada di rumah sekarang. Dengan hati-hati dia membaringkan Nadia di sofa.

"Nadia bangun," ucap Aldric sembari menepuk-nepuk pipi gadis itu.

Tidak ada respon dari Nadia. Jujur Aldric kaget saat tiba-tiba gadis itu pingsan. Mungkin tawarannya ini terlalu mengagetkan tapi siapa sangka reaksi Nadia adalah pingsan di tempat.

"Nadia bangun," ucapnya lagi. Kali ini dia mengguncang bahu Nadia sedikit keras hingga mata gadis itu perlahan terbuka.

Mata jernih itu mengerjap indah, pandangannya jatuh pada mata Aldric yang setajam elang. "Aldric," gumamnya.

Aldric menganggukan kepalanya. "Iya ini aku," ucapnya.

Nadia menggeleng pelan, jadi tadi bukan mimpi. Dia memijat keningnya, kepalanya terasa sangat pusing sekarang. Semua terlalu mengagetkan.

"Kenapa kamu tiba-tiba melamarku?" tanya Nadia dengan suara lirih.

Aldric terdiam, dia menundukan kepalanya. Wanita manapun akan marah jika alasannya adalah karena ingin melupakan seseorang. Dia tidak ingin menyakiti Nadia.

"Aku ingin memulai semuanya dari awal, dengan kamu aku yakin bisa melakukan itu," jawabnya. Nadia memang wanita yang bisa mengimbanginya. Gadis ini cantik dan berotak cerdas, kepribadiannyapun baik dan sopan.

Nadia menatap Aldric dengan ragu, dia tidak yakin dengan alasan itu. Jujur dirinya sangat senang, tapi bukan berarti dia bisa menerima lamaran itu begitu saja.

"Bukan karena Miss Lily sekarang telah bertunangan dan akan segera menikah?" tanya Nadia dengan telak.

Aldric tersenyum penuh arti, dia tahu Nadia pasti akan dengan mudah menebaknya. "Jujur itu salah satunya, maafkan aku tapi aku benar-benar ingin memulai hubungan baru."

Kejujuran itu membuat Nadia sakit, tadi gadis itu berusaha untuk tetap tersenyum. "Kenapa harus aku?" tanyanya dengan pandangan menantang dan senyuman jailnya agar suasana disini lebih nyaman.

Aldric menghela nafas, dia duduk dan menatap langit-langit ruangan ini. "Mungkin karena takdir, jujur kamu gadis yang mendekati perfect. Tidak sulit untuk jatuh cinta pada gadis sepertimu," jawabnya.

Nadia tersenyum sedih, faktanya selama ini Aldric tidak pernah meliriknya meski hanya semenitpun. Pria di hadapannya ini terlalu setia pada Lily. Jika saat ini pria itu berpaling maka sudah jelas alasannya pasti sangat kuat. Dia kembali mengingat obrolannya dengan ibu dari pria ini beberapa waktu lalu.

"Kamu tahu? cinta bisa datang karena terbiasa, dulu Ando itu mencintai Ara dan Lily hadir saat Ara pergi. Tidak mustahil kan jika sekarang kamu juga menggantikan Lily?"

"Memang tidak, tapi apa mungkin Nadia bisa menggantikan Lily yang sepertinya memang sangat penting untuk Aldric?"

"Jika itu kamu, tante percaya kamu pasti bisa," 

Nadia menggigit bibirnya, dia juga mengingat kata-kata Ara saat di pesta dulu. Jika itu dirinya maka mungkin saja Aldric berpaling. Apa benar dia mampu menggantikan sosok Lily untuk Aldric suatu saat nanti.

"Bagaimana?" tanya Aldric.

Nadia menggelengkan kepalanya. "Jujur aku bingung, ini terlalu cepat. Bisa aku memikirkan semuanya dulu?" tanya Nadia.

Aldric tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya. "Setidaknya kamu tidak langsung menolak," jawabnya.

Nadia tertawa dan memukul pelan bahu Aldric. Dia tersenyum manis pada pria ini. Tidak bisa dipungkiri kalau dirinya mencintai pria yang duduk dihadapannya ini.

"Kapan kamu akan memberikan jawabannya?" tanya Aldric.

Nadia mengangkat bahunya. "Secepatnya," jawabnya dengan wajah santai.

---

Di restoran Lily duduk dengan gelisah, dia terus menatap keluar jendela. Sesekali dia menghela nafas dan kedua orang yang sedang bersamanya ini jelas merasakan ketidaknyamanan Lily saat ini.

"Ada apa sayang?" tanya ibu Darren.

Lily mengerjapkan matanya. "Ehh?? emm maaf aku kurang fokus saat ini, bisa kita tunda saja? besok mungkin," ucapnya dengan tidak enak hati. Masalahnya jika dilanjutkan maka semua akan percuma. Pikirannya saat ini tidak ada disini.

"Ohh yasudah, Mom mengerti kamu pasti gugup kan? itu wajah dialami pasangan yang akan menikah," kekehnya.

Lily berusaha untuk ikut tertawa, dia menganggukan kepalanya. Saat ini yang dia inginkan hanyalah pulang dan beristirahat di kamarnya.

"Ada apa? kamu terlihat aneh?" tanya Darren setelah ibunya pergi meninggalkan restoran.

Lily menundukan kepalanya. "Aku cuma kelelahan," jawabnya pelan.

Darren menghela nafasnya, dia tidak terlalu buta sampai tidak mengerti kalau sikap Lily sekarang ini karena kehadiran Aldric tadi. Bagaimana gadis di hadapannya ini tetap tidak mengakui semuanya.

"Ayo kuantar pulang, kamu memang butuh istirahat," ucap Darren sembari merangkul pinggang Lily.

Mereka pulang ke rumah keluarga besar Pradipta. Tempat dimana Lily tinggal setelah kembali ke Indonesia.

"Masuklah," ucap Darren.

Lily menganggukan kepalanya. "Take care Darren," ucapnya.

Darren menahan lengan Lily saat gadis itu akan keluar dari mobil. Matanya menyorot lembut seperti biasa. "Tidak ada kalimat perpisahan manis seperti biasa? kenapa aku merasa seperti sedang bersama Lily yang berbeda dengan Lily saat di Jerman?" tanya Darren dengan raut wajah sedih.

Lily menggigit bibirnya menahan diri untuk tidak menangis di hadapan Darren. Dia membuang pandangannya. "Maaf aku hanya kurang enak badan, kamu juga tahu apa yang baru saja menimpaku," elaknya.

Darren tersenyum kecil, "yaa aku mengerti, maaf terlalu menuntut banyak," ujarnya sembari melepaskan lengannya dari Lily.

Lily tidak menanggapi ucapan itu, dia langsung keluar dari mobil dan buru-buru masuk ke dalam rumah. Dia berlari ke kamarnya dan langsung mengunci pintu.

Di kamar ini, dirinya bebas menumpahkan semuanya. Lily berjongkok di dekat pintu dan menangis disana. Ini terasa sangat berat, bukan ini yang dia harapkan atas hubungannya dengan Aldric.

Dia pikir dirinya akan bisa menjalani semua dengan normal tapi nyatanya berusaha mengabaikan Aldric saat pria itu ada rasanya sangat sulit.

Dari luar semua bisa mendengar tangisan Lily yang terasa sangat menyakitkan. Arsen menoleh pada istrinya. Mereka tidak bisa berbuat apapun karena semua keputusan ada pada Lily.

"Biarkan dia menenangkan diri," ucap Arsen pada Nadin yang akan mengetuk pintu itu. Saat ini yang cucunya butuhkan mungkin memang kesunyian untuk menumpahkan air mata.

Malam ini Lily belum juga turun meski sudah waktunya makan malam. "Anak itu bisa sakit kalau terus begini," ucap Nadin khawatir.

Ares memijat kepalanya. "Apa yang harus aku lakukan? aku sudah mengingatkannya untuk jujur pada Darren tapi dia tidak mau," ucapnya.

Arsen menepuk-nepuk lengan putranya. "Dia terlalu baik sampai mengabaikan perasaannya sendiri, biarkan dia menemukan jawaban untuk masalahnya sendiri dengan begitu anak itu akan menjadi lebih kuat," ucapnya menenangkan.

Ares tersenyum lelah, dia mengangguk. Apa yang diucapkan ayahnya memang benar. Lily harus melewati semua ini.

"Maaf aku terlambat," ucap Lily yang baru saja datang ke meja makan.

Nadin langsung bangkit dan menyiapkan makanan untuk cucunya yang tersayang. "Lil ingin makan apa?" tanyanya.

Lily mengambil piring itu dari tangan neneknya. "Lil ambil sendiri yaa Oma," ucapnya.

Lily seperti tidak peduli, atau mungkin tidak sadar kalau saat ini semua sedang menantapnya. Dia tetap makan dengan santai sembari menundukan kepalanya.

Setelah makan malam selesai, Arsen mengajak Lily untuk duduk di ruang keluarga. Dulu disana mereka sering menghabiskan waktu bersama.

"Dulu kamu sering duduk dipangkuan Opa disini," gumam Arsen.

Lily tersenyum dan menganggukan kepalanya. Setelah ingat semua, dia merasa sangat lega karena tidak perlu berbohong pada keluarganya lagi. "Iyaa, dulu Opa masih tegap dan tampan," jawabnya dengan pandangan menerawang.

"Haha sekarang Opa hanya orang tua yang menyusahkan," ucap Arsen.

Lily menoleh dengan wajah kesal. Dia menggelengkan kepalanya. "Opa masih pria yang tegap dan tampan," koreksinya. Kepalanya bersandar pada bahu opanya seperti dulu. "Opa? apa menurut Opa yang Lil pilih ini sudah benar?" tanya Lily.

"Benar dan salah itu tergantung dari sudut pandang masing-masing, tanyakan pada hatimu sayang, salah tidak jika tetap menikah tapi hatimu masih milik pria lain?" tanya Arsen.

Lily menundukan kepalanya, cairan bening itu kembali menetes begitu saja. "Apa yang harus Lil lakukan Opa? Lil sudah terlanjur menerima lamaran Darren saat di Jerman dulu," lirihnya.

Arsen mengusap kepala cucunya. "Jika sudah ada satu kata terlanjur, jangan buat kata terlanjur yang selanjutnya sayang."

Lily terdiam, tangisnya semakin menderas. Dia memeluk opanya dan menumpahkan semuanya disana.

---

Nadia menatap keseluruhan desain restoran yang sudah diubah dengan nuansa yang sangat romantis. Dia tersenyum dan menganggukan kepalanya.

"Manis," gumamnya.

Aldric ikut menganggukan kepalanya. "Ku rasa juga begitu, jadi terima aku karena kalau tidak kasian sekali yang sudah mendesain ini," ucapnya dengan nada bercanda.

Nadia mendengus geli, Aldric ini saat melamar saja menggunakan kata-kata ancaman. Memangnya tidak ada kata manis lain yang bisa diungkapkan.

Selama beberapa hari ini dirinya memikirkan dengan baik-baik. Meminta pendapat dari banyak pihak dan malam ini dia sudah mengatakan pada Aldric akan memberitahukan keputusannya.

Nadia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa nervous. "Aldric, aku sudah memikirkan semuanya," ucapnya.

"Lalu?" tanya Aldric.

"Aku menerima lamaran kamu," jawab Nadia dengan lugas. "Tapi ada satu syarat, berjanjilah kamu akan berusaha memulai semuanya dengan aku," ucapnya. Itu keputusan yang dia ambil pada akhirnya.

Menerima lamaran Aldric dengan segala resiko yang akan dia tanggung. Dia juga ingin memperjuangkan orang yang dia cintai. Apa salahnya dia mencoba, toh dia sama sekali tidak merebut Aldric dari siapapun.

Aldric menghela nafas lega, dia tersenyum kecil. Entah ini yang terbaik atau justru membuatnya semakin buruk. Dia menganggukan kepalanya, dirinya akan berusaha melupakan Lily dan mencoba untuk memulai hubungan yang baru dengan Nadia.

"Kita persiapkan pertunangan kita secepatnya," ucap Aldric dengan yakin.

Mata Nadia membulat, "kenapa harus buru-buru?" tanyanya dengan wajah bingung.

Aldric menjawil hidung Nadia. "Karena aku mencari istri bukan pacar," jawabnya.

Nadia terdiam, Aldric sudah mulai menjalankan janjinya dengan cara sedikit membuka dirinya dan bersikap santai. Nadia tersenyum, dia percaya Aldric akan memegang janji itu.

---

Segala persiapan dilakukan, Dania jelas senang karena akhirnya putra satu-satunya ini mau membuka hati dan melanjutkan hidupnya. Dengan semangat Dania membantu semua persiapannya.

Tidak ada yang tahu tentang rencana pertunangan antara Aldric dan Nadia temasuk sahabat-sahabat Aldric. Semua memang sengaja Aldric atur.

Mereka semua baru tahu rencana itu saat undangan datang ke tangan mereka. Dengan wajah kaget mereka menatap nama yang tertulis di undangan itu. Antara percaya dan tidak percaya jika pada akhirnya Aldric akan bertunangan dengan Nadia.

Mereka ingin menanyakan tentang semua itu tapi sepertinya Aldric sengaja menyibukkan diri hingga pria itu sangat sulit untuk ditemui.

Ana sampai gemas setengah mati dan memutuskan untuk tetap duduk di ruangan Aldric agar bisa bertemu dengan pria itu.

"Naahh akhirnya gue bisa bertemu dengan lo yang sibuknya mengalahkan presiden RI," ketus Ana.

Aldric memutar bola matanya, seberusaha apapun dia menghindr pasti akan bertemu juga dengan sahabat-sahabatnya. "Ada apa?" tanya Aldric.

Ana ternganga dengan wajah kesal. "Ada apa lo bilang? setelah lo menggemparkan kita semua dengan undangan pertunangan lo dan Nadia, lo cuma nanya ada apa?" tanya Ana dengan emosi.

Aldric menghela nafas, dia duduk di kursi kerjanya. "Maaf karena tidak mengabari kalian dulu, kuharap kalian akan datang," jawabnya.

Ana berdecak kesal, dia duduk di kursi yang ada di hadapan meja Aldric. "Apa benar semuanya tidak bisa diperbaiki? gue masih belum rela lo dan Lily harus pisah dengan cara nggak adil begini," ucapnya melunak.

Aldric bertopang dagu, dia menatap pena yang ia genggang. "Sudah sejauh ini, apa yang harus diperbaiki?" tanya Aldric.

Ana ikut bertopang dagu, dia juga sudah pasrah dalam hal ini. Sebenarnya dia ing8n marah saat mendapatkan undangan itu tapi sepertinya tidak adil. Aldric juga berhak untuk bahagia dan melanjutkan hidupnya.

Sebenarnya jika ada pertanyaan siapa yang paling syok atas undangan itu jelas sekali semua akan menjawab Lily. Gadis itu sangat syok. Rasanya seperti pecah berkeping-keping, perih dan sakit. Saat itu Lily sadar, mungkin ini adalah perasaan Aldric saat pria itu mendapatkan undangan pertunangannya dengan Darren. Hari itu Lily hanya bisa terus menangis dikamarnya sembari menggenggam undangan itu.

"Besok malam kami akan datang," ucap Ana. Dia bangkit dan pergi meminggalkan ruangan Aldric.

Kali ini sunyi kembali menemani Aldric dan kesunyian selalu membuat Aldric kembali memikirkan Lily. "Sialan," desisnya. Dia buru-buru memfokuskan pikirannya pada pekerjaan yang sudah menumpuk di mejanya.

---

Malam ini rumah besar keluarga Aldric telah dirombak menjadi tempat pesta yang nyaman. Acara pertunangan akan diselenggarakan setengah jam lagi. Para tamu saat ini sedang menikmati pesta dan hidangan yang tersedia.

Lily datang dengan Darren, Clara dan Josh. Dia memandang sekeliling untuk mencari keberadaan Aldric.

"Ehh itu, yaampun ganteng yaa," ucap para gadis di dekat Lily. Lily langsung reflek menoleh ke arah tangga, dia menatap nanar Aldric yang sedang menuruni tangga dengan Nadia disampingnya.

Getir sekali rasanya, Lily berkali-kali harus menggigit bibirnya agar tidak meneteskan air mata. Dia harus ikut bahagia malam ini.

Dari tangga Aldric bisa melihat Lily yang sedang berdiri diapit oleh Darren dan Josh. Dia langsung membuang pandangannya saat melihat wajah sedih Lily.

Nadia memperhatikan itu, dia tersenyum dan mengusap bahu Aldric. "Ingin melanjutkannya atau berhenti sampai disini?" tanya Nadia.

Aldric mendengus kesal, dia mencubit pipi Nadia. "Kamu ingin kita membatalkan pertunangan ini?" tanyanya dengan sinis.

Nadia tertawa dan mengangkat bahunya dengan santai.

Di bawah, para tamu menyambut pasangan ini dengan meriah. Mereka sepakat bahwa pasangan ini sangat serasi. Aldric yang tampan dan Nadia yang cantik benar-benar membuat orang-orang iri melihatnya.

Nadia tersenyum ramah kepada para tamu hingga pandangannya jatuh pada Lily yang juga sedang menatap kearahnya.

"Sebentar yaa.. aku ingin kesana dulu," ucap Nadia pada Aldric.

Aldric menganggukan kepalanya, dia juga sedang sibuk bicara dengan rekan-rekan bisnisnya.

"Hay Miss Lily," sapa Nadia.

Lily tersenyum, dia menganguk. "Apa kabar Nadia? aku belum mengucapkan terima kasih atas kejian kemarin," ucapnya.

Nadia tertawa, "saya baik-baik saja, tidak perlu dipikirkan," jawabnya santai.

"Selamat atas pertunanganmu dengan Orlando," ucap Darren.

Nadia menganggukan kepalanya, "Miss Lily maaf ada waktu sebentar?" tanya Nadia.

Lily mengerutkan keningnya, dia mengangguk ragu dan Nadia langsung menarik tangannya. "Saya ingin bicara sesuatu," ucap Nadia sembari menarik Lily.

Mereka menjauh dari keramaian. Nadia masih tersenyum ramah pada Lily. "Sebelum semuanya terlambat, saya ingin bertanya, Anda serius melepaskan Aldric?" tanya Nadia.

Lily terdiam, dia mengerjapkan matanya. "Apa maksud kamu?" tanya Lily.

"Pikirkan baik-baik Miss, Anda dan hanya memiliki satu kesempatan sebelum semuanya terlambat. Waktu tidak bisa berputar kembali, sekali membuat kesalahan Anda akan menyesal karena itu pikirkan semuanya," ucap Nadia panjang lebar.

"Nadia sekarang adalah malam pertunanganmu dengan Aldric, apa tidak salah kamu bicara begitu?" tanya Lily. Gadis ini benar-benar gila, bagaimana kalau dirinya mengatakan tidak melepaskan Aldric. Apa pertunangan ini akan dibatalkan begitu saja.

Nadia menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin salah langkah, maka sekarang dia akan bertanya pada Lily untuk terakhir kalinya. "Jika Miss mengatakan akan kembali pada Aldric maka pertunangan ini akan batal sekarang juga," ucapnya.

Lily menatap takjub Nadia, gadis ini benar-benar mencintai Aldric hingga berani berkorban sampai pada tahap ini. Senyum Lily terbit, mungkin Nadia memang yang paling tepat untuk Aldric.

"Sebentar lagi aku akan menikah dengan Darren, mana mungkin aku tetap bertahan dengan Aldric?" tanya Lily.

"Miss!!" ucap Nadia.

"Aku mengerti maksud baikmu, tapi semua tidak semudah itu," ucap Lily dengan tegas.

Nadia menghela nafasnya, matanya terpejam cukup lama. "Ini penawaran terakhir, setelah pertunangan ini saya akan mempertahankan Aldric, saya tidak akan melepaskan Aldric meski Miss memohon pada saya. Apa Miss sudah siap?" tanya Nadia serius.

Lily menangkap raut kesungguhan disana. Dia mengangguk meski tidak ingin. "Selamat atas pertunanganmu," ucapnya.

Nadia menganggukan kepalanya. "Semoga Miss tidak menyesal," gumamnya sebelum meninggalkan Lily.

Lily memejamkan matanya, mengatur sesak yang kembali dia rasakan. Setelah nafasnya mulai teratur dia kembali masuk dalam rumah besar itu.

Acara pertunangan sepertinya sudah dimulai. Aldric dan Nadia sedang berdiri berhadapan dibawah tatapan para tamu.

Aldric mengambil cincin yang telah di siapkan oleh ibunya. Dia menggenggam lengan kiri Nadia. Matanya masih menatap Nadia. 

Aldric memasangkan cincin dengan batu permata biru itu pada jari manis Nadia. Jujur dikepalanya dia membayangkan bahwa gadis dihadapannya ini adalah Lily. Seberapa kalipun dia meyakinkan diri bahwa ini Nadia tetap saja otaknya tidak searah dengan itu.

Dari jarak sedekat itu Lily harus memalingkan wajahnya agar tidak melihat semuanya. Josh yang mengerti langsung menuntun kepala Lily menuju dadanya agar tidak melihat semuanya.

Lily meneteskan airmatanya dan Aldric melihat itu. Dia ingin kesana saat ini juga jika bisa tapi gadis itulah yang telah memilih untuk tetap bersama Darren dan meninggalkan dirinya.

Darren mengepalkan tangannya keras-keras. Dia tidak sebodoh itu untuk mengerti situasi saat ini, yang dia butuhkan hanyalah penjelasan Lily yang tetap diam seolah tidak terjadi apa-apa. Jika memang gadisnya ini mencintai Aldric kenapa sejak awal Lily tetap memaksakan semuanya dan menerima lamarannya saat itu.

🎶🎶🎶

See you in the next chapter 😉😉😉😉




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top