Bab 26 - Penculikan

Langsung ajaa yaa

Happy reading semuaa 😘😘 Maafkan karena baru bisa update ini ceritaa

-----

Lily menatap kearah taman yang ada di depannya, dia memikirkan apa yang harus dijelaskan pada Aldric yang sudah duduk disampingnya sembari menunggu dia bicara.

Mereka sudah cukup lama berdiam diri, tapi Aldric tetap memutuskan untuk menunggu saja sampai Lily mau bicara.

"Darren akan pulang," gumam Lily.

Aldric tersenyum dan mengangguk, "aku tau," jawabnya. Dengan getir Aldric menghembuskan nafasnya.

"Kami akan segera merencanakan pernikahan," lanjut Lily lagi.

Aldric mencengkram lengannya sendiri hingga buku jarinya memutih karena aliran darah yang tersumbat. "Aku juga dengar itu," geramnya. Hanya itu yang bisa ia katakan sekarang.

Dengan memberanikan diri Lily menoleh pada Aldric yang sedang menunduk. "Aku tidak bisa membatalkan semuanya begitu saja Aldric, bagaimanapun dialah yang selalu ada saat kamu pergi."

Aldric menoleh dan mereka bertatapan cukup lama, "lalu apa keputusanmu?" tanya pria itu, dia sudah siap apapun yang terjadi karena sejak awal ini salahnya sendiri.

Lily menunduk, air matanya hampir saja kembali menetes tapi dia tahan. Kali ini ia harus kuat dan menyelesaikan masalah yang sudah runyam ini. "Seindah apapun kisah kita itu hanya masa lalu Al, aku tidak bisa mengingat semuanya. Yang ku ingat hanya masa indah saat kau datang ke Jerman dan pergi begitu saja meninggalkan aku dengan semua kenangan indah itu tapi tetap itu semua masa lalu, selama seminggu ini kita berusaha untuk mengembalikan masa lalu itu tapi kita melupakan sesuatu, masa lalu itu semu, yang ada hanya saat ini dan masa depan."

Lily diam, ia membuang muka tidak ingin Aldric melihat dirinya sangat berat mengucapkan ini. "Aku memilih Darren, dia adalah masa depanku. Tolong lupakan aku Aldric lupakan semua tentang kita." Lily mengambil nafas, agar isakannya tidak keluar. Ini yang terbaik karena jika ia dan Aldric bersatu maka akan lebih banyak orang yang terluka. Darren, seluruh keluarga Darren, dan Nadia karena Lily bisa merasakan bahwa gadis itu menyukai Aldric.

"Lil tolong pikirkan lagi, aku.. aku benar-benar tidak bisa melepaskanmu," suara Aldric terdengar lirih ini memang memalukan. Memohon di depan gadis yang jelas menolaknya.

"Stopp Al, semua sudah menjadi keputusanku. Kita akhiri semuanya."

Aldric menatap kedua mata gadis itu. Ada kesungguhan yang membuatnya sakit, Lily serius akan ucapannya. "Baiklah.." jawab Aldric, ia tersenyum dan mengulurkan tangan. "Kita selesai sampai disini, semoga kamu bahagia dengan pilihanmu," lanjutnya.

Lily menahan nafas, ia tersenyum paksa dan menjabat tangan Aldric. "Thank you for everythink Al, sorry" ucap Lily.

Aldric mengangguk, wajahnya terlihat masih tenang meski itu hanya sebuah topeng tipis. Dia berbalik pergi dengan hati yang hancur. Lagi-lagi dirinya harus kehilangan Lily. Lagi-lagi dirinya harus melepas Lily dan lagi-lagi dirinya harus merasakan sakit karena ditinggal pergi.

Melepaskan Aldric memang sakit untuk Lily, tapi yang lebih sakit lagi adalah menghancurkan hati Aldric seperti sekarang. Seandainya ada pilihan, dia tidak mungkin melepas pria yang sangat dia cintai.

Lily mematap pungung tegap itu hingga punggung itu hilang ditelan kegelapan. Setelah dirinya hanya ditemani gelapnya malam, baru isaknya keluar. Dia menangis sampai tubuhnya terasa lelah dan seseorang datang membantunya.

Josh seperti biasa selalu datang menolong Lily. Pria itu melepas jaketnya dan menutupi tubuh Lily. Tangannya mengusap rambut sahabatnya itu dan membimbing kepala Lily untuk bersandar di bahunya.

"Kau tau? kau tidak seharusnya melepaskan Aldric. Jika memang dia kebahagiaanmu maka kejarlah sebelum kau menyesal," ucap Josh.

Lily menutup wajahnya, dia ingin berteriak sekencang-kencangnya. "Seandainya semudah itu.." lirih Lily.

---

Darren tiba di Indonesia, Lily sudah menunggu kedatangan pria itu di bandara. Saat pria itu muncul, tangan Lily melambai. Senyumnya mengembang meski terlihat tipis.

"Bagaimana perjalananmu?" tanya Lily setelah memeluk Darren.

"Cukup menyenangkan," jawabnya. Darren mengusap kepala Lily. "Kau terlihat lelah," bisiknya.

Lily terdiam, dia bergerak gelisah. Pasti Darren mengetahui semua berita itu meskipun pria itu tidak membahasnya sama sekali. Rasanya saat ini dia sedang menyembunyikan sebuah perselingkuhan.

"Kita bicara di rumahku yaa? Daddy dan yang lain sudah menunggumu," ucap Lily. Darren mengangguk dan mereka berjalan dengan tangan pria itu merangkul pinggang Lily posesif.

Dirumah semua sudah menunggu Darren. Mereka menyambut pria itu dengan sangat baik. Ares memperkenalkan Darren pada seluruh anggota keluarga di rumah ini.

"Keluargamu sangat baik, aku suka berada di tengah mereka," ucap Darren saat mereka duduk di saung dekat kolam renang.

Lily tersenyum, dia menganggukan kepalanya. "Aku senang kalau kau senang." Jemari Lily bertautan, dia menggigit bibirnya. "Darren, aku ingin menjelaskan semuanya," ucap Lily.

Darren menghela nafasnya, dia menoleh pada Lily. "Hanya satu pertanyaan, apa kau memiliki hubungan spesial dengannya?" tanya Darren. Matanya tajam menusuk hingga rasanya Lily sulit untuk berpaling.

Lily menggelengkan kepalanya. "Kami bersahabat, hanya saja dulu aku memiliki hubungan yang dekat dengannya," jawabnya jujur.

Darren mengangguk, dia mengusap kepala Lily. "Kalau begitu aku tidak masalah dengan berita itu." Begitulah Darren, dia selalu mempercayai Lily sepenuhnya dan karena itulah Lily akan sangat merasa bersalah saat berbohong pada Darren.

Lily hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Darren. Semoga pilihannya adalah yang paling tepat karena Darren adalah pria yang baik. Meskipun Aldric juga baik.

Darren mengajak Lily pergi ke rumah orang tuanya. Karena Lily sudah beberapa kali bertemu dengan orang tua Darren saat di Jerman jadi dia dengan mudah beradaptasi dengan keluarga itu. Semua acara pertunangan sudah direncanakan beserta tanggal pernikahan yang akan dilaksanakan dua bulan setelah pertunangan mereka.

----

Hari ini Lily sedang fitting baju untuk rangkaian acara mulai dari pertunangan hingga resepsi pernikahannya nanti. Wajahnya nampak pucat tanpa semangat, matanya menyorot sedih. Dia menatap pantulan tubuhnya dengan kebaya sederhana berwarna pastel yang sangat pas ditubuhnya. Seminggu lagi pertunangannya dengan Darren akan diresmikan.

"Lo nggak apa?" tanya Ana.

Lily menundukan kepalanya, dia mencoba untuk tersenyum. "Tentu saja, aku akan menikah mungkin aku terlalu bahagia," ucapnya. Ana tau itu bohong, dia tau kalau saat ini Lily sedang berada diantara pilihan yang sulit. Ini bukan hanya tentang memilih siapa yang terbaik tapi memilih siapa yang sebenarnya ada di hatinya.

"Lo keluar duluan aja yaa, gue ke toilet dulu," ucap Ana pada Lily setelah Lily selesai.

Lily mengangguk, dia berjalan keluar butik. Saat akan membuka pintu mobil Lily tersentak saat mulutnya disumpal dengan sapu tangan, matanya melebar dan kesadarannya menghilang akibat aroma yang terlalu kuat dari benda yang menyekap hidung dan mulutnya.

Masih setengah sadar Lily mendengar sekelebat suara berat beberapa pria. Matanya masih sulit untuk terbuka, kepalanya pusing. Dia mengerang pelan, ada rasa sakit pada pergelangan lengan dan kakinya. Perlahan matanya mulai terbuka, ruangan gelap dan pengap menyambutnya. Samar dia melihat beberapa orang bertubuh besar.

"Yang ini sudah sadar bos," ucap pria itu.

Pria dengan jas hitam itu tersenyum sinis. "Bagus, tinggal tunggu satunya saja," ucapnya.

Lily mengerutkan keningku, satunya. Dia menoleh ke samping, matanya langsung melebar. Nadia duduk disampingnya dengan keadaan tidak jauh berbeda. "Nadiaa.." panggil Lily serak.

Nadia mengerutkan keningnya, dia membuka matanya perlahan. "Miss Lily?" panggil suara itu. Dia menatap sekitar. "Ada apa ini?" tanya Nadia. Lily menggelengkan kepalanya dia juga tidak tau tentang itu.

"Nahh sekarang sudah sadar semua." Pria itu mendekat, dia menyentuk dagu Lily dan Nadia. Matanya menatap dua gadis itu secara bergantian. "Jadi disini siapa kekasih Orlando sombong itu?"

Lily menelan salivanya, Aldric, sejak malam itu dia tidak pernah mendengar kaar dari pria itu sama sekali. "Apa maksudmu?" tanya Lily. "Siapa kamu?" bentaknya. Plakk, pipi Lily ditampar keras hingga gadis itu hanya bisa memejamkan mata menahan rasa sakit itu.

"Miss!!" teriak Nadia. Dia menatap tajam pria di hadapannya, seandainya Aldric tau kalau Lily diperlakukan sepertii itu matilah pria yang ada dihadapannya ini. "Apa yang Anda lakukan? ahh apapun itu Anda tidak akan pernah mengalahkan Mr. Orlando!!" teriak Nadia. Tidak jauh berbeda, Nadia juga ditampar keras.

"Jangan banyak bicara! sadarlah dengan situasi kalian saat ini," desis pria itu. Dia adalah Fadli saingan bisnis Aldric yang bulan kemarin jatuh bangkrut karena kalah persaingan dengan perusahaan Aldric. "jadi siapa kekasih orang itu?"

"Menurut pengamatan kami, keduanya dekat dengan musuh bos itu," jelas salah satu pria besar di dekatnya.

Fadli tersenyum geli, dia menganggukan kepala dengan gaya menyebalkan. "Ohh kalau begitu habisi saja keduanya, kirim mayatnya ke depan rumah orang itu," ucapnya.

Lily dan Nadia melebarkan mata, disini yang tau akan situasi hanya Nadia sedangkan Lily, dia bahkan masih bingung dengan semuanya. Kembali pipi Lily dan Nadia ditampar berkali-kali hingga kedua gadis itu mengeluarkan darah dari hidung dan mulut.

"Stopp!" lirih Nadia. Dia menatap Lily yang kesadarannya hampir hilang. "Dia memejamkan matanya, "aku calon istrinya, dia hanya sahabat Aldric. Tidak ada gunanya menghabisi dia, kalian tidak tau dia adalah keluarga Pradipta," lirihnya dengan sedikit berbohong. Jika Lily sampai mati disini maka Aldric sudah pasti akan hancur dan dia tidak bisa melihat kehancuran pria itu.

"Hemm begitu yaa, kalau begitu habisi gadis cantik ini," gumam Fadli sembari mengusap wajah Nadia. Dia juga tidak ingin berurusan dengan keluarga Pradipta.

Lily melebarkan matanya, dia menatap ngeri Nadia yang dipukuli dan ditendang seperti itu. Air matanya mendengar saat melihat banyak darah yang keluar dari tubuh Nadia. "Cukup!!!" teriak Lily saat ada balok kayu yang hendak memukul kepala Nadia. Lily menjatuhkan tubuhnya hingga yang terkena balok kayu itu adalah lengannya sendiri.

"Arrgg," erang Lily.

Tepat setelah itu Aldric datang, dia melebarkan matanya. Dengan emosi dia hajar orang-orang yang memukuli Lily dan Nadia. Tanpa diduga, dari arah pintu belakang gerombolan itu bertambah, mereka menyeringai seram. Aldric terkurung oleh orang-orang itu.

Aldric merutuk dalam hati. Sehebat apapun dia dalam bela diri jika lawannya sebanyak ini dan semua membawa senjata maka akan susah juga. Dia memasang kuda-kuda, tidak ada cara lain selain melawan. "Maju kalian," ucapnya dingin.

Pria itu melawan habis-habisan hingga tenaganya terkuras. Wajahnya penuh dengan lebam dan musuhnya tidak berbeda jauh. Dia mengelap kasar mulutnya yang mengeluarkan darah. Matanya tajam menusuk.

Lily menangis, bukan karena tubuhnya yang terasa sakit tapi karena Nadia yang sudah kehilangan kesadaran dan Aldric yang kondisinya mengerikan. Dalam hati dia terus berdoa agar ada bantuan yang datang, karena kalau tidak maka mereka bertiga bisa dipastikan akan mati disini.

"Al!!" jerit Lily saat melihat tubuh Aldric jatuh dan diinjak oleh pria besar di dekatnya. Lily ingin menghampiri Aldric tapi dia tidak bisa karena lengan dan kakinya masih terikat.

Kepala Lily tiba-tiba terasa sangat sakit saat melihat banyaknya darah disini. Sekumpulan memori datang secara bersamaan. Semua kumpulan puzzle itu telah kembali sekarang. Dirinya di malam perpisahan, saat sebuah mobil melaju cepat dan menabrak dia sampai membuat tubuhnya terlempar. Kisahnya dengan Aldric dan Ara ditengah mereka.

"Al.." panggil Lily.

"Lil!!" teriak Alex yang baru datang dengan Rion dan Abil. Ketiganya langsung membantu Aldric dan menghajar sisa orang yang sudah luka-luka karena perlawanan Aldric tadi.

Alex langsung menghampiri Lily. Dia mengusap air mata itu. "Sssttt every think will be okay, sugar.." bisiknya. Lily tidak mengucapkan apa-apa, dia hanya terisak dan menutup wajahnya.

Aldric menyaksikan Lily menangis, matanya memburam. Tadi dia sempat mendengar Lily memanggilnya. Dia mencoba untuk bangkit. Kakinya melangkah mendekat tapi bukan untuk Lily, dia duduk didekat Nadia.

Perlahan Aldric menuntun kepala Nadia ke pangkuannya. "Nadia.." panggil Aldric serak. "Nadia bangunlah, kau harus bertahan," ucapnya lagi sembari menepuk pipi gadis itu. "Gue harus bawa dia," gumamnya. Dia membopong Nadia meski tubuhnya sekarang tidak memungkinkan.

Lily melihat itu semua, dia hanya bisa membekap mulutnya. Ini semua salahnya, jika Aldric berpaling itu hal yang paling wajar setelah beberapa tahun pria itu telah sabar menunggunya.

"Kau tidak apa?" tanya Alex.

Lily mencoba untuk tersenyum, dia menganggukan kepalanya. "Sepertinya," gumamnya.

Alex langsung membopong Lily. Mereka langsung menuju rumah sakit. Saat ini Lily, Nadia dan Aldric sedang mendapatkan perawatan. Nadia kritis sedangkan Aldric belum sadarkan diri. Kondisi Lily masih jauh lebih baik. Dia masih bisa sadar, lengannya sakit tapi untungnya tidak mengalami patah tulang.

Lily duduk di kursi samping brangkar Aldric. Dia mengusap kepala pria itu yang saat itu dibalut perban. Matanya menatan nanar wajah penuh lebam itu. Dia menundukan kepalanya.

"Maafkan aku Al.." isaknya. Dia menggenggam lengan Aldric. Rasanya hatinya saat ini jauh lebih sakit dibanding tubuhnya. Wajah Aldric yang terlihat sangat panik saat melihat Nadia. Pria itu tadi bahkan tidak melihatnya sama sekali.

Darren menyaksikan semuanya dari ambang pintu, dia memalingkan wajahnya. Rahangnya mengeras dengan tabgan terkepal menahan emosi. Dia menghela nafas berat lalu berjalan menghampiri Lily.

"Dia akan baik-baik saja," ucap Darren.

Lily mendongak kaget, melihat Darren datang dia langsung memeluk pria itu. Tangisannya kembali tumpah, dia ingin menceritakan semua pada Darren tapi rasanya sekarang untuk bicara saja sulit.

Darren hanya bisa tertegun melihat Lily yang begitu histeris. Lembut dia usap kepala Lily. "Ssttt dia akan baik-baik saja," hiburnya.

"Aldric.." lirihnya.

----

Ana memeluk Lily yang masih saja menangis, dia berusaha menenangkan sahabatnya itu. Tangannya mengusap kepala Lily. "Tenang, sebentar lagi Al pasti sadar," ucapnya.

Lily mengusap air matanya. "Aku ingat semua," lirihnya. Tangisan ini bukan hanya karena Aldric yang masih belum sadar tapi juga karena memorinya sudah kembali dan itu tepat disaat semuanya sudah terlambat.

Tanggal pernikahannya dengan Darren sudah ditentukan. Acara juga sudah mulai disiapkan. Rasanya Lily ingin berteriak sekarang.

"Serius?" tanya Ana kaget. Lily tersenyum kecil, dia menganggukan kepalanya.

"Terlambat yaa?" pertanyaan itu terlontar dengan nada getir. Suaranya bergetar serak karena terlalu banyak menangis.

Ana menggelengkan kepala. "No, nggak ada kata terlambat, Al pasti senang karena lo udah inget semua," ucapnya.

"Kalau aku bilang padanya, apa dia akan membaik atau semakin sakit?" tanya Lily. Ana terdiam, Lily memikirkan semua dampak bagi Aldric nantinya. Apalagi sekarang Lily sudah memiliki Darren.

Ana menghela nafas, dia menyandarkan tubuhnya di kursi. "Kenapa sih dari dulu takdir nggak pernah berpihak sama lo dan Al," gumamnya dengan mata menerawang.

Lily tersenyum miris, dia mengangkat bahunya. "Mungkin belum, atau tidak akan pernah terjadi," jawab Lily.

Hari ini semua menunggu di rumah sakit termasuk Darren yang menemani Lily. Pria itu membantu mengurus Lily yang juga membutuhkan perawatan. "Istirahatlah," ucap Darren.

Lily menggelengkan kepalanya. "Apa Al sudah sadar?" tanya gadis itu.

"Belum, sahabatmu masih menunggu diruangannya," jawab Darren.

Lily memejamkan matanya. "Nadia?"

Darren menghela nafas, dia mengusap kepala Lily. "Dia masih dalam keadaan kritis." Mendengar itu Lily semakin sedih, dia tau tadi Nadia melindunginya. Gadis itu mengorbankan nyawanya untuk dia.

Lily bangkit dari brangkar. Dia berjalan keluar ruang rawatnya meninggalkan Darren begitu saja. Kakinya melangkah menuju ruang ICU tempat Nadia dirawat.

Matanya menatap Nadia yang masih berbaring dari balik kaca. Lily kembali menangis, dia mengusap kaca itu. Langkah kaki mendekat dan berhenti di sampingnya. Dia pikir itu Darren yang menyusul tapi saat menoleh dia melebarkan matanya.

Aldric datang dengan wajah pucat, pria itu menatap Nadia sama seperti dirinya tadi. Lengan pria itu membawa botol cairan infus. "Al kamu harus istirahat," ucap Lily.

Aldric menggeleng, dia menoleh dan saat itu Lily melihat tatapan sedih itu. "Maaf karena membuatmu terlibat," ucapnya.

"Sebenarnya siapa orang-orang itu?" tanya Lily.

"Lawan bisnisku yang telah kalah, aku juga tidak menyangka dia akan membalas dengan cara sepengecut ini," geramnya. "Kamu tidak apa?" tanya pria itu saat menatap wajah Lily.

Lily menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik saja," jawabnya.

Aldric membuang pandangannya, dia berdecak. "Jangan mengatakan baik-baik saja padahal tidak," ucap pria itu dengan nada dingin.

Lily terdiam, ucapan itu mengandung banyak makna. Dia mencoba untuk tersenyum di depan Aldric. "Aku pernah melewati yang jauh lebih parah daripada ini, dan kamu pasti tau tentang itu," balas Lily dengan pandangan mata yang serius.

Kali ini Aldric yang terdiam, mereka saling menatap tanpa bicara apapun. Tatapan yang seolah menyalurkan semuanya, perasaan cinta, rasa rindu, serta rasa sakit yang terselip diantaranya. Aldric kalah dalam lomba tatapan itu, dia mengalihkan pandangannya.

"Istirahatlah," ucap Aldric. Pria itu kembali menatap Nadia yang masih memejamkan matanya. Lily mengerti, dia mengusap bahu Aldric sebelum meninggalkan pria yang sejak dulu sudah menjadi pemilih hatinya.

"Kuharap kamu bahagia meski bukan denganku," ucap Lily selirih hembusan angin. Aldric mendengarnya dengan jelas karena Lily mengucapkan itu tepat disaat gadis itu melewatinya.

Aldric mengepalkan tangannya. "Kuharap kamu juga begitu," ucap Aldric meskipun Lily sudah jauh. Gadis itu tidak akan mendengar ucapannya dan dia memang tidak butuh didengarkan.

----

Akhirnya bisa update ceritaa ini setelah lamaa terbengkalaii.. hampir lupa jalan ceritanya karena terlalu banyak tugas dan emang menargetkan cerita NADW selesai karena itu cerita sejaman sama LYD hehe maapkan yaakks 😂

Semoga masih ada yg nunggu ini ceritaa 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top