Bab 23 - Time For Us

Hayyyyy semuaaa akhirnya bisa update jugaaa*legaa

Ini part 23 yang udah selesai yaa kemarin belum :D

Happy reading and don't forget give your vomment guyss ;)

*********

Author POV

Lily memandang semua pakaian yang ia bawa, rasanya saat ini semua pakaiannya terasa jelek. Dengan berbalut handuk, Lil berjalan mondar-mandir. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan ia belum bersiap-siap.

"Aduh.. yang mana yaa," ucapnya dengan prustasi. Matanya jatuh pada dress simpel yang berada paling bawah. Senyumnya mengembang, yang ini bagus juga, ucapnya dalam hati.

Segera ia mengenakan dress itu. Dengan keahliannya, ia menggunakan make up tipis tapi terlihat begitu pas. Wajahnya kini semakin terlihat cantik. "Emm ku gerai sajalah," gumamnya sembari merapikan rambut panjangnya. Saat pintu kamarnya di ketuk, Lil segera berlari ke arah pintu dan membukanya.

Lily melihat penampilan Aldric yang terlihat sangat santai, tidak formal seperti biasa. "Ayo.. aku sudah siap,"

Yang diajak bicara hanya bisa terdiam melihat Lily yang semakin cantik. "Cantik," gumam Aldric tanpa sadar.

Lily tertawa geli melihat wajah kagum Aldric, dalam hati ia bersyukur karena tidak sia-sia sudah berdandan.

Aldric mengulurkan lengannya dan dengan senang hati Lily menerima uluran tangan Aldric. Dalam diam mereka melangkah, menikmati setiap detik yang bergulir, detik-detik penting dalam perjalanan hidup mereka. Suara hati ingin berteriak girang namun pada realitanya hanya ada suara langkah pasti dari kedua orang yang memiliki perasaan cinta begitu dalam. Pertemuan yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh sang pria dan tanpa sadar sang wanitapun tidak kalah menunggu pertemuan itu.

"Hoy..baru dateng!!" teriak Abil.

Lily segera berlari kearah para wanita yang sedang berkumpul dengan anak-anaknya masing-masing kecuali Clara yang sedang diam seperti patung. Clara tidak biasanya begini, ia selalu mempunyai bahan pembicaraan. "Clara.. kau kenapa?" tanya Lily.

Mata Clara mengerjap. "Ehh tidak.. emm aku hanya kelelahan," jawabnya dengan suara pelan. Jelas ada yang tidak beres. Kini Lily beralih pada Josh. Matanya menatap bertanya pada Josh namun Joshpun hanya mengedikkan bahunya. Dengan rasa penasaran yang masih tinggi Lily mulai makan malamnya, sesekali ia memperhatikan Clara yang masih saja terdiam dengan mata menerawang.

"Mom.. mom.." panggil Varisha.

Lily tersenyum melihat baby kecil ini mengulurkan tangan padanya. Ia mengambil Varisha dari pangkuan Ana. "Ayo makan dengan mommy," ucapnya dengan semangat untuk mengurangi rasa khawatirnya.

Semua telah selesai makan malam, Clara segera pamit ke kamarnya dan meninggalkan tanda tanya besar pada semua. Lily segera berjalan kearah Josh. "Kenapa dengan Clara? bukankah sejak tadi ia hanya di kamar?" tanya Lily.

Josh menarik nafas. "Sepertinya ada yang terjadi setelah kita sampai, tadi ia pamit untuk berkeliling hotel, setelah kembali wajahnya sudah sepucat itu," jelas Josh yang sejak tadi berjalan dengan Clara. Yang lain hanya bisa menatap bingung Lily dan Josh karena memang mereka baru-baru ini mengenal Clara.

"Apa itu ada kaitannya dengan seseorang yang pernah Clara ceritakan pada kita dulu? kau ingat?"

Josh mulai berpikir, kemudian kepalanya mengangguk pelan. "Aku ingat, mungkin.. tapi sebaiknya kita tunggu ia bicara."

Lily melangkahkan kaki untuk menyusul Clara namun Aldric menarik tangannya. "Biarkan dia selesaikan masalahnya sendiri dulu, aku yakin dia akan menceritakan semua saat dia siap," ucap Aldric.

"Tidak bisa, aku khawatir Al.."

Aldric tersenyum dan mengusap rambut Lily. "Clara sudah besar, ada saatnya seseorang ingin menyelesaikan masalahnya sendiri, saat dia pikir tidak mampu untuk memendam semua pasti dia akan mencari sahabatnya, kamu harus memberinya waktu," jelas Aldric. Lily terdiam, membenarkan segala ucapan Aldric, dengan pasrah akhirnya ia mengangguk.

Mereka lanjut dengan obrolan seputar masa lalu saat SMA, Ana dengan semangat bercerita tentang bagaimana kisah cintanya dengan Alex yang memiliki sifat sangat lempeng, tidak pernah cemburu sampai ia pernah curiga kalau Alex tidak mencintainya dan berpacaran hanya karena diminta oleh Lily.

"Serius lo sama Alex pernah berantem? haha gue kira hubungan lo adem ayem aja," tanya Abil.

Ana memutar matanya. "Apa yang terlihat baik-baik aja nggak sepenuhnya sempurna, lagian hubungan nggak akan seru kalau rukun terus, nggak ada bumbunya gitu deh," jawab Ana.

Abil mengangguk setuju. "Bener setuju, gue sama Monica juga nggak luput dari masalah, dan gue rasa itu yang ngebuat hubungan kita semakin kuat." Monica tersenyum dan melingkarkan lengannya pada sang suami. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Abil dengan manja seolah kehadiran Gavin di tengah mereka tidak dianggap.

"Mommy.." teriak Gavin yang tidak terima mommynya bermesraan dengan daddynya. Mereka semua tertawa termasuk Lily.

Lily menoleh ke samping melihat Aldric yang memang duduk di sampingnya. Aldric tertawa mengajak bicara Alya yang sedang di pangkuan Rion. Tanpa sadar senyumnya mengembang, Lily suka tatapan hangat itu, Lily suka ketenangan itu, dan Lily suka setiap melihat interaksi Aldric dengan anak-anak.

"Lil.." panggilan itu membuat Lily kaget dan menoleh menatap Ara.

"Yaa?" tanya Lily.

"Gimana kehidupan kamu selama di Jerman?" tanya Ara.

Lily tersenyum dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Yahh menyenangkan, di tahun pertama aku bertemu Clara, dia adalah orang yang baik dan kamipun bersahabat, setelah itu aku bertemu dengan Josh," Lily terkekeh kecil, "kalau dengan Josh aku harus berjuang sedikit sampai bisa bersahabat dengannya," jelas Lily. Josh mendengus dan mengacak rambut Lily yang duduk di hadapannya.

"Kalian sangat dekat, aku jadi ingat kau dengan Alex," ucap Monica.

"Haha, Josh memang sudah seperti Alex, bedanya Alex sangat lembut, sedangkan Josh dia itu cuek sekali, tapi dibalik sifat cueknya itu dia benar-benar melindungiku," jawab Lily dengan bangga.

Alex tersenyum karena bisa melihat Lily kembali tersenyum bersamanya. "Aku harus berterimakasih padamu Josh karena telah melindungi adik perempuanku ini." Josh tertawa dan menganggukkan kepala. Lama mereka bercengkrama menikmati moment yang sudah lama tidak dilewati. Membicarakan tentang apa saja mulai dari yang penting hingga hal paling tidak penting dan konyol.

Aldric kini sedang bertopang dagu menatap Lily yang sejak tadi senyumnya tidak pudar, ada sinar bahagia di mata coklat indahnya. Sejak tadi dirinya memang irit bicara, ia lebih senang diam, bermain dengan anak para sahabatnya atau begini, hanya diam dan menatap wajah orang yang paling dicintainya.

Pandangan Lily jatuh di mata Aldric yang sedang menatapnya, ia mengerutkan kening bingung. "Kenapa? ada yang aneh dengan wajahku?" tanya Lily. Aldric menggeleng masih dengan memandangi wajah Lily. "Al.. aku malu, jangan menatapku begitu," rengek Lily.

Aldric tertawa dan mengusap pipi Lily. "Ayo ikut aku," ia menarik Lily begitu saja. Semua memandang kedua orang ini dengan senyum.

"Gue berharap mereka bisa nyatu lagi," lirih Ana. Alex menoleh pada istrinya ia mengusap rambut sang istri dengan penuh sayang.

"Lebih baik kita kembali ke kamar, Isha sudah mulai ngantuk," ucap Alex. Ia menari lembut tangan Ana dan melingkarkan lengannya di pinggang ramping Ana. Satu tindakan yang sangat disukai Ana karena merasa perlindungan dari Alex.

Aldric menggenggam tangan Lily dengan erat seolah longgar sedikit saja, gadis ini bisa lenyap meninggalkan bayangan. Mereka berjalan menapaki pasir pantai, aroma khas laut dan suara gemerisik ombak membuat ketenangan yang berbeda.

Mereka duduk, menatap lautan. "Ingat? malam sebelum aku kembali ke Indonesia," tanya Aldric tanpa menoleh pada Lily.

"Yaa.. malam itu langit sangat indah, sama seperti sekarang," jawab Lily yang sedang mendongak menatap taburan bintang yang sangat indah menghiasi langit yang berwarna biru gelap. "Rasanya berbeda Al.." lirih Lily. "Setelah kamu kembali ke Jakarta dan hilang tanpa kabar, menatap langit dengan banyak bintang rasanya berbeda.. meski itu tempat yang sama dan langit yang sama,"

Aldric menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. "Maaf, aku memang bodoh," jawabnya.

Lily kini menoleh pada Aldric, ia tersenyum dan menggeleng pelan. "Kamu tidak perlu minta maaf, kamu benar, banyak orang yang lebih membutuhkanmu di sini, aku tidak bisa memaksakan diri untuk menjadi prioritas utamamu,"

"Aku ingin memperbaiki semua, memperjuangkan agar aku dan kamu bisa menjadi kita," ucap Aldric dengan lugas tanpa keraguan sedikitpun.

"Apa itu mungkin, kamu tau statusku sekarang Aldric," jawab Lily dengan suara selirih hembusan angin malam.

Aldric menganggukan kepala. "Aku sangat tau, tapi tolong.. beri aku kesempatan, kamu bisa memutuskan di akhir. Kalau memang keputusanmu adalah tetap bersama tunanganmu aku iklas," tangannya kini menggenggam erat tangan Lily. Matanya memancarkan harapan besar hingga akhirnya Lily mengangguk ragu. "Terimakasih," bisik Aldric sebelum memeluk Lily.

Semoga keputusanku benar, batin Lily.

Mereka kembali terdiam menikmati pemandangan langit. Rasa canggung mulai terasa setelah pelukan itu. Baik Aldric ataupun Lily lebih memilih diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Lily bersenandung kecil hingga Aldric menoleh, memandang Lily yang terlihat menikmati lagu yang dinyanyikannya. Itu lagu yang dinyanyikan saat malam perpisahan sekolah. Aldric ingat betul, malam yang membuat segala mimpi buruknya datang di setiap malam.

Ia menelan saliva menahan getir, ingat insiden itu membuatnya terasa perih. "Lil, jangan nyanyikan lagu itu,"

Lily menoleh dengan kerutan di keningnya. "Kenapa? aku suka lagu itu," ia lanjutkan senandungnya tanpa mempedulikan Aldric.

"Lagu ini.."

"Lagu ini adalah lagu yang kita nyanyikan sebelum aku mengalami kecelakaan, right?" Lily memotong ucapan Aldric.

"Kamu tau?" tanya Aldric sedikit kaget.

Lily tertawa kecil. "Yaa.. tidak semua, tapi sekilas-sekilas," jawabnya dengan santai. Ia sengaja tidak memberitahu tentang pertemuannya dengan Friska. "Al.. apa yang kamu pikirkan tentang lagu itu?"

"Entah, hanya tidak nyaman mengingat malam itu saja, dan yahh takut mungkin.."

Suara tawa Lily terdengar sangat geli. "Takut apa?"

Aldric mendengus mendengar pertanyaan Lily yang seolah mengejek. "Bodoh, tentu saja takut kamu pergi sama seperti dulu," jawab Aldric. Kini ia mengalihka pandangannya karena salah tingkah.

"Aku tidak akan pergi, seseorang bilang padaku cara menghilangkan ketakutan adalah dengan menghadapinya.. sekarang kamu harus mendengarkan aku bernyanyi, dan kamu juga harus bernyanyi," Lily mulai kembali bersenandung, tangannya menarik-narik pakaian Aldric hingga akhirnya Aldric ikut bernyanyi dengannya.

"Suaramu bagus Al.."

Aldric tersenyum geli. "Tentu saja, memangnya siapa yang mengajarimu bernyanyi.." cibir Aldric.

Lily memiringkan kepalanya. "Ehh.. kamu yang mengajariku?" tanya Lily. Aldric mengangguk santai. "Wow kukira aku belajar dengan daddy.."

"Yah mungkin itu bakat yang diturunkan dari daddymu tapi dulu masih tersembunyi, aku hampir frustasi mengajari bermain musik," gerutu Aldric.

Lily mengerucutkan bibirnya. "Memang aku sebodoh itu?"

Aldric mengangguk sembari tersenyum miring. Ia senang melihat wajah Lily yang merengut kesal. "Marah?" tanya Aldric setelah cukup lama Lily diam dan mengalihkan wajahnya. "Ohh aku lupa, kamu tidak akan bisa marah padaku," lanjutnya dengan gaya pongah.

Lily segera menoleh dan matanya melotot marah. "Siapa bilang? aku bisa marah," jawabnya sangsi. Aldric menaikkan alisnya dan sialnya nampak sangat keren dimata Lily. Sial, ternyata benar aku tidak bisa marah padanya, batin Lily. Kini ia hanya menghela nafas, dan mengerucutkan bibirnya. "Bagaimana dulu aku bisa menyukai orang menyebalkan sepertimu," gerutu Lily.

"Seandainya kamu ingat, reaksiku begitu kaget saat tau kamu menyukaiku. Dulu aku hanya anak laki-laki yang suka mempermainkan perempuan, cerewet, dan masih banyak kekurangan lainnya." Ia terdiam sejenak, "bahkan sekarangpun aku bukan pria yang sebanding denganmu, aku bukan pria yang baik,"

Lily ikut terdiam, sedikit terperangah melihat seorang Aldric kehilangan kepercayaan diri. "Semua orang baik dengan caranya sendiri, termasuk kamu," ucapnya dengan pelan. "Akupun bukan orang yang sempurna, aku juga bukan gadis yang sangat baik, kamu tau.. aku ini gadis egois, keras kepala dan masih banyak lagi. Tapi disitulah makna kehidupan, setiap harinya kita belajar untuk memperbaiki diri agar menjadi manusia yang lebih baik."

"Kita tau itu baik karena ada yang tidak baik, semua harus melewati proses. Bahkan bernafaspun kita butuh proses hingga udara yang kita hirup bisa memasuki paru-paru kan?"

Aldric terdiam, sejak dulu hingga sekarang gadisnya tidak pernah berubah. "Dan aku membutuhkanmu untuk menjadi seorang yang lebih baik," tegas Aldric.

Lily tersenyum sangat manis. "Kita saling membantu," bisiknya. Aldric mengangguk dan bangkit dari duduknya.

"Sekarang kamu harus tidur, besok tidak ingin melewati sunrise kan?" pertanyaan Aldric langsung disambut dengan girang oleh Lily. Sudah lama dirinya tidak melihat sunrise di pantai.

-------

Pagi ini dengan mata setengah tertutup Lily menatap ponselnya yang berdering. Karena sedang ngantuk ia mengangkat telpon tanpa melihat nama di layar ponselnya.

"Halo.." jawabnya dengan malas.

"Morning dear, emm biar kutebak. Sekarang matamu pasti masih setengah terpejam," jawaban disebrang membuat Lily terdiam. Betapa jahatnya dia yang sampai melupakan adanya Darren. "Halo? kau tidur lagi?"

"Ehh ti-tidak Darren.. kau kenapa baru menelponku?" tanya Lily sembari berusaha untuk tenang. Ia sendiri yang mengancam Darren untuk tidak macam-macam tapi ternyata justru dirinya sendiri yang melakukan itu.

"Yahh maaf aku sangat sibuk, tapi percayalah kalau kau menelponku aku pasti mengangkatnya. Jadi, kenapa kau tidak menelponku juga?" degg. Lily hanya bisa diam tidak ingin bernohong lebih banyak. "Haha yaa aku mengerti, nikmati waktumu sayang.. aku tau ini adalah waktu untukmu dan keluargamu,"

"I-iya Darren, emm yasudah.. kau tidur yaa istirahat, jangan terlalu lelah jaga kesehatan,"

"Emm ada kata yang tertinggal?"

Lily mengerutkan kening. "Apa?"

"Biasanya kau akan bilang i love you," Darren tertawa pelan. "Tapi aku saja yang mengucapkannya duluan.. i love you my sweet cupcakes,"

Lily menggigit bibir bawahnya menahan getir. "Love you more.." bisiknya. Ia langsung mematikan sambungan telponnya. Semua ini karena keegoisannya, tapi ia sudah memberikan kesempatan pada Aldric dan dalam hati kecilnya ia tidak ingin membuat Aldric kecewa.

Matanya menerawang jauh, mencoba mengingat setiap detail masa lalu. Tapi semua butuh waktu, dan sayangnya ini belum waktunya untuk ingat semua. Lily hanya bisa pasrah dengan harapan semua bisa menjadi lebih baik.

Ia bangkit untuk menjalankan kewajibannya. Usai solat ia langsung berlari ke balkon untuk menikmati udara pagi dan mentari yang muncul dari peradabannya.

Saat membuka tirai jendela, gradiasi warna jingga nan indah menyambutnya. Semburatnya menerpa wajah polos tanpa make up Lily. Ia berdiri dibalkonnya dengan lilitan selimut dan rambut yang diikat asal tapi disitulah letak kecantikan Lily, kesederhanaan.

Di samping balkon kamarnya ada balkon kamar Aldric. Mereka berdua sama-sama sedang menikmati kehangatan sinar mentari. Seolah ada yang menarik Lily untuk menoleh ke balkon kamar Aldric. Ia menoleh dan mendapati pria itu sedang menatap langit dengan senyum.

Aldric yang hanya mengenakan t-shirt dengan wajah bangun tidurnya membuat Lily tersenyum.

"Sudah puas memandangiku?" tanya Aldric. Lily melebarkan mata karena tertangkap basah. Jadi sejak tadi dia sadar

"Emm ja-jangan terlalu percaya diri."

Aldric akhirnya menoleh pada Lily. Senyumnya membuat Lily merasa meleleh. "Boleh aku kesana?" tanya Aldric, dan sudah pasti tidak butuh jawaban karena sekarang ia sudah melompat ke balkon kamar Lily.

"Apa?"

"Kalung itu," tunjuk Aldric. Lily menggenggam kalung di lehernya. "Aku memberikannya sebelum aku pergi ke Amerika dan itu saat kamu koma," lanjutnya.

"Kalung yang sangat cantik, terima kasih Al," ucap Lily dengan tulus.

Aldric mengangguk. Ia mengambil sesuatu di kantung celananya. Sebuah kotak kecil berwarna merah, dan langsung mengulurkan kotak itu pada Lily.

"Apa ini?"

"Buka saja," jawab Aldric yang sudah memandang ke depan lagi.

"Aldric, bagus sekali!! pasangan dari kalung ini?" tanya Lily dengan riang.

"Yaa.. aku tidak sengaja lihat, jadi yahh kubeli saja untukmu," jawabnya bohong. Karena sudah lama ia memesan gelang yang sama persis dengan kalung di leher Lily.

Lily mencibir pelan, dasar tidak romantis, masa memberikan hadiah dengan cara begitu, sangat berbeda jauh dengan Darren, gerutunya dalam hati. "Terimakasih," ucap Lily dengan nada kesal. Ia memakai gelang itu sendiri tapi sedikit susah.

Aldric meraih lengan Lily, ia memakaikan gelang itu dalam diam. "Jangan lepas gelang itu," perintahnya. Tiba-tiba kilasan bayangan mulai kembali. Meski bayangan itu  gelap tapi ia hapal suara perintah itu adalah suara Aldric.

Lily tersenyum senang karena memorinya sedikit demi sedikit telah kembali. Ia mengulurkan lengannya di depan wajah Aldric. "Bagus tidak?"

"Hemm," jawab Aldric.

"Hemm? aku bertanya bagus atau tidak Al!!" gerutu Lily.

Aldric tertawa geli melihat wajah kesal di depannya. "Yaa yaa bagus, dasar cerewet," ledek Aldric. Ia tersenyum jail dan menarik kunciran Lily hingga kini rambut panjangnya tergerai indah.

"Al!!! jail sekali sih!" seru Lily. Tangannya terulur mencubit pinggang Aldric.

"Ehh, oke-oke maaf," permintaan maaf itu tidak ditanggapi Lily. Ia tetap mwnghujani cubitan pada Aldric hingga pria itu mengucapkan ampun berkali-kali.

"Huuu rasakan!!"

"Wahh parah,  KDRT ni!" seru Aldric dengan heboh sembari menunjuk lengannya yang membiru. Lily terbahak-bahak hingga memegang perutnya.

Aldric ikut tertawa bersama, ia mengacak rambut Lily. "Seneng banget ya nyiksa orang,"

"Haha tentu saja, apalagi menyiksamu," jawabnya disela tawa.

"Oh gitu yaa?" tanya Aldric dengan menaikkan alisnya. Lily mengeluarkan cengiran dan membentuk jari piss di depan Aldric. "Sini!!" Aldric menarik Lily dan menggelitikinya.

"Haha Aldric!!! stop!! haha Al.. astaga geli bodoh!! stop!!" seru Lily.

"Tidak mau," jawab Aldri dengan senyum puas.

"Haha oke-okee maaf, haha berhenti Al.." pinta Lily dengan wajah memelas. Aldri akhirnya luluh, ia merangkul pinggang Lily hingga mereka sangat dekat.

Lily yang lelah akhirnya berpegangan pada pakaian Aldric. Mereka mengatur nafas karena lelah tertawa.

"Huhh lihat! kamu membuatku seperti habis olah raga pagi.." gerutu Lily sembari mengusap keningnya yang berkeringat.

Masih dalam rangkulan Aldric, Lili mulai menguncir rambutnya. Aldric memperhatikan itu tanpa mengedipkan mata, gadisnya ini selalu cantik dimatanya.

"Aku memang cantik, tapi jangan memandangku begitu," cibir Lily.

"Terserah, ini mataku," jawab Aldric dengan santai hingga Lily melebarkan mata karena tidak menyangka kalau Aldric justru menjawab begitu bukannya mengelak.

Aldric menarih dagu Lily dan mendekatkan wajahnya masih dengan saling menatap.

"Mom... paaa!!" teriak suara imut dari balkon sebelah. Aldric memasang wajah kecewanya hingga Lily terkekeh.

"Ehh hehe sorry.. lanjut lagi deh, aduh Isha sayang jangan ganggu dong!" ucap Ana.

Cupp. Aldric mencium Lily, meski sekilas tetap saja itu membuat wajah Lily merona.

"Ehh Al! jangan di depan anak gue juga dong!" gerutu Ana.

Lily kini sudah berada di balik punggung Aldric. "Al!! aku malu.." rengeknya.

"Maa.. paa ium mom.." teriak Varisha sembari bertepuk tangan.

Ana melotot sedangkan Alex hanya geleng-geleng kepala. "Awas kau Al!" seru Alex.

Aldric hanya bisa tertawa dan mengulurkan tangan. "Sini sayang ikut pa dan mom,"

Alex mengulurkan Varisha dengan hati-hati karena putrinya seperti sudah tidak sabar ikut dengan Aldric dan Lily.

Kini Varisha sudah ada di gendongan Aldric. Ia mencium pipi bulat Varisha. "Morning princess, lihat mommymu ngumpet," bisik Aldric.

Lili meletakkan dagunya di bahu Aldric. "Aku dengar," ia beralih pada gadis kecil yang sedang berdada ria dengan mamanya. "Hay sugar pie.."  Varisa menoleh pada Lily.

"Mom.."

"Pipimu masih merah," ucap Aldric sembari mencubit pipi Lily dengan pelan.

"Huhh ini gara-gara kamu," gerutu Lily, ia memeluk pinggang Aldric dengan dagu yang masih berada di bahu Aldric.

"Hemm.. dasar, kenapa jadi mereka yang kaya keluarga bahagia. Yaudah deh, gue titip Varisha yaa, lumayan sayang kita bisa kaya bulan madu lagi.."

Alex mengacak rambut Ana dan merangkulnya masuk ke dalam kamar. Lily menyoraki pasangan itu. "Dasar!! mencari kesempatan dalam kesempitan,"

"Haha jangan iri begitu," ucap Aldric.

Lily mencibir kecil lalu kembali mengajak Varisha bicara. Kekacauannya tadi sudah hilang digantikan dengan rasa bahagia ini. Bukannya tidak pernah bahagia, hidupnya bahagia tapi dengan Aldric ia bisa merasakan bahagia yang berbeda.



*Dress Lily pas dinner

*Aldric sama Lily pas bangun tidur

Ini pas nguncir rambut deh :D


**********

See you in the next chapter ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top