Bab 19 - Hot News

Hay hay hay... baru bisa di update karena kemarin ada halangan yang gk terduga :'(

OHH IYA SEMANGAT YANG LAGI UN!!!

Hmm untuk cowok bikin darting yang dua tahun lalu pas gue UN nyemangatin gue.. gue juga mau nyemangatin tapi gk bisa langsung wkwk "Semangat lo UN nya!!! belajar yg bener!" gk usah modusin cewek mulu!! mudah2an nanti kita bisa ketemu lagi, gk usah berubah jadi apa2 gue gk bosen kok :D *mudah2an nanti bisa bikin cerita lo sama gue ya :D

Haha dahhh ahh langsung aja.. happy reading, jangan lupa vommentnya ;)

**********

Nadia POV

Dua tahun ini bosku semakin menjadi sosok yang tak tersentuh, kaku dan dingin. Aku hanya melihat sifat normalnya saat ia berhadapan dengan para sahabatnya dan keluarganya. Aku meringis saat teringat manager bagian arsip perusahaan harus mendapatkan nada super dingin itu.

Aku yang hanya mendengar suaranya saja merinding apalagi dia yang menjadi objek kemarahan itu. Mungki jika aku menjadi dia aku akan menenggelamkan diriku di laut terdekat saat itu juga.

Sepertinya kata "Tidak ada celah untuk kesalahan sekecil apapun." sudah menjadi kamus hidupnya. Memang sih perusahaan menjadi semakin maju, tapi tetap saja mengerikan, mengingat manusia itu tempatnya salah baik disengaja ataupun tidak. Mungkin saat di Jerman terjadi sesuatu, hingga ia bisa semakin menjadi.

Saat ini aku sedang berada di rumah bosku. Memang sudah dua tahun ini bu Dania sering mengundangku kemari.Tentu untuk melancarkan usahanya. Kadang aku bingung, disatu sisi para sahabat Mr. Orlando menyuruhku untuk menjauhinya, tapi disisi lain, orang yang paling berhak mengaturnya menyuruhku untuk mendekat.

Tante Dania menyuruhku untuk mencari buku resep namun belum juga ketemu. Yahh sekarang aku harus memanggilnya tante agar lebih akrab katanya. Suara gitar membuatku beralih, karena rasa penasaran akhirnya aku berjalan menghampiri sumber suara.

Disana, balkon yang menghadap taman samping rumah ini. Orang yang membuat aku harus merutuk setiap hari karena setiap di dekatnya jantungku berpacu cepat sedang duduk dengan memetik gitar. Alunan musiknya indah, aku sampai terpana melihatnya. Ia begitu tampan dengan mengenakan t-shirt dan celana selutut serta rambutnya yang agak basah.

"Anda bisa bermain gitar?" oke anggap saja aku mencari mati karena mengganggu ketenangannya tapi aku benar-benar penasaran.

Ia menoleh padaku dengan tatapan datar. "Yaa sedikit, dimana mama?"

"Sedang menyiapkan makan malam, maaf saya mengganggu tadi saya mendengar permainan gitar karena saya suka jadi yahh saya mendekat. Sekali lagi maaf Mr. Orlando," ucapku.

"Aldric atau Al saja.. jika diluar kantor jangan memanggilku begitu," aku sedikit bengong mendengar ucapannya.

"Eh.. tapi rasanya tidak sopan," jawabku dengan ragu.

"Kan saya bilang saat di luar kantor, saat ini status kita teman karena bukan atasan dan bawahan," nada final itu tak terbantahkan. Akupun mengangguk.

"Oh baik Al.." benarkan, rasanya aneh. Ia tersenyum kecil padaku, ehh sudah lama aku tidak melihatnya tersenyum padaku. Aku kini menatap gitar itu, benar-benar gemas, aku ingin memainkannya.

"Kau mau mencoba memainkannya?" tanya Aldric seolah tau apa yang ada di pikiranku.

"Emm? tidak, aku tidak bisa," jawabku jujur. Aku memang sama sekali tidak mengerti gitar meski ingin sekali belajar.

"Aku bisa mengajarkannya jika kau mau," suara yang saat ini tidak terlalu datar itu membuatku tersenyum.

"Serius?" tanyaku dengan semangat empat lima. "Boleh-boleh Mr ehh Al.. terimakasih, aku memang ingin sekali belajar tapi tidak sempat."

Ia mulai menjelaskan dasar-dasar bermain gitar dengan kunci-kuncinya. Aku memperhatikannya dengan serius tapi sepertinya aku salah dalam memegang gitar ini. "Tanganmu harus begini," ucapnya. Ia mendekat padaku, aku menahan nafas, ohh tolong aku mama, anakmu ini bisa mati berdiri kalau terus berdekatan seperti ini. Ia menoleh dan terdiam, kami saling menatap cukup lama. Mata tajam dengan bola mata hitam itu seolah menghipnotisku untuk tidak berpaling, alisnya yang tebal memperindah mata tajam itu.

"Ehhmm.." dehaman tante Dania membuatnya menjauh. Sial wajahku memanas, ku tutupi pipiku dengan tangan. Benar-benar memalukan. "Maaf yaa mengganggu, tapi mama butuh Nadia, kamu nggak apa kan Ando sayang?"

Aku bisa melihat Aldric sedikit salah tingkah, ia hanya menganggukkan kepala. Tante mengajakku ke dapur, ia mengucapkan bahwa dirinya senang sekali melihat aku sudah dekat dengan Aldric. Aku hanya tersenyum, karena memang tidak tau harus merespon apa.

Malamnya saat aku ingin pulang tante Nadia melarangku. "Kamu menginap aja ya.. nanti tidurnya sama tante," ucapnya dengan memelas.

Mau bagaimana aku tidak tega untuk menolak, akhirnya aku menyetujui permintaan itu. Saat ini kami sedang bersiap untuk tidur. Tante tersenyum hangat padaku. "Sini, ada yang tante ingin ceritakan,"

Aku mengangguk, sepertinya yang akan diceritakan ini ada hubungannya dengan masa lalu Aldric. "Kamu pasti tidak asing dengan gadis yang bernama Lily Annisa Pradipta, ya kan?" tanya tante. Aku mengangguk sebagai jawaban tanpa berniat untuk bicara. "Dia gadis yang dicintai Ando sejak SMA, tapi karena kecelakaan sekitar sepuluh tahun lalu Lily harus pergi meninggalkan anak tante."

"Kecelakaan?" tanyaku dengan pelan. Tante menoleh padaku sekilas kemudian mengangguk, matanya kini kembali menerawang. Ia menceritakan dengan detail peristiwa yang lama itu. Aku terperangah, tidak menyangka inilah kisah dibalik semua.

"Dulu Ando pernah ditinggal oleh Ara tapi dia tidak sehancur ini, tante ingat betul saat Ando rela langsung pulang dari Amerika saat mendapat kabar Lil meninggal, belum pernah tante melihat ekspresi itu, kacau, sedih, lelah, seperti orang yang tidak punya semangat hidup dan ingin segera mati."

Aku jadi dapat penjelasan atas sikap para sahabat Aldric padaku dan ucapan Miss. Ara dua tahun lalu. "Kamu tau? dulu Ando itu anak yang banyak bicara, tidak pendiam dan kaku seperti sekarang, ditambah lagi kepergian dua sahabatnya sejak kecil, sikapnya menjadi makin tertutup termasuk dengan tante. Dia memang masih terlihat hangat dengan para sahabatnya tapi, ia hanya bicara seperlunya, tertawa sewajarnya bahkan mungkin hanya tersenyum." Tante tersenyum miris.

"Tante meminta tolong padamu karena tante tau, kamu bisa mengimbangi Lily. Tante tau sahabat-sahabat Ando tidak setuju tapi.. ada sesuatu yang mereka tidak tau, tante yang menyaksikan kehancuran anak tante, tanpa orang lain tau, Ando sering bermimpi buruk, jelas itu mimpi buruk saat Lily hampir meregang nyawa. Tante harus menenangkannya, hingga ia tertidur kembali. Yang tante pikirkan, saat di Amerika dan dia bermimpi buruk siapa yang menenangkannya. Nadia sekarang psti kamu mengerti, kamu mau kan bantu tante?"

Kepalaku mengangguk lebih karena masih terpana, benar-benar sebuah kisah panjang. Tapi ada sesuatu yang masih mengganjal. "Kenapa tante tidak menyuruh Aldric untuk menyusul Lily?"

"Karena ini bukan hanya setahun dua tahun, Lil bisa saja sudah menemukan kebahagiaannya disana, dan anak tante? tante hanya ingin Ando melepaskan, karena hanya itu yang bisa mengobati rasa sakitnya." Oke cukup, aku mengerti.

Malam ini benar-benar mengagetkan, aku sama sekali tidak menduganya. Kulirik tante Dania yang telah tertidur pulas. Tidak salah lagi, dua tahun yang lalu pasti terjadi sesuatu dan itu berhubungan dengan Lily sampai Aldric semakin berubah.

Pagi ini kami semua berkumpul di meja makan. Aldric telah siap untuk berangkat ke kantor, ia memakan sarapannya dengan santai meski sejak tadi tante Dania terus mengomelinya.

"Mama mau kalian berangkat nanti saja!" tandas tante.

"Ma.. Ando sedang banyak pekerjaan," jawabnya. Sepertinya tante tidak peduli dengan jawaban anaknya. Tangan tante menarikku ke ruang tv. Aku hanya bisa pasrah mengikutinya. Kami menyaksikan acara gosip pagi, aku bahkan hampir tertawa melihat tante yang antusias sekali dengan gosip yang tidak terlalu penting itu.

Aldric menghampiri kami, ia duduk di samping ibunya. "Maa kami harus berangkat, ayolah.. mama bisa mengajak Nadia lagi nanti,"

"Nggak.. pokoknya mama mau..." ucapan itu terpotong dengan suara pembawa acara acara gosip itu. Sekarang pandangan kami bertiga tertuju pada televisi di depan kami karena baru saja nama Lily disebut. Yahh aku tau Lily sekarang telah menjadi aktris terkenal di sana.

"Ya.. pemirsa aktris cantik yang meniti karir di Jerman ini ternyata telah bertunangan dengan seorang dokter di Jerman, ini dia cuplikan dari acara talk show ternama di Jerman." Aku menoleh pada Aldric untuk melihat reaksinya. Rahangnya mengeras, ada bara kemarahan, kesedihan dan kecewa di sana meski sikapnya tetap tenang. Setiap kata yang keluar dari pembawa acara itu seolah menyayat luka-luka baru untuk Aldric.

Tante Dania kini juga sedang memandang anaknya. Tapi yang kami tatap hanya fokus pada layar kotak di depannya. Dilayar itu, Lily masih tetap sama, terlihat cantik dan anggun. Senyumnya mengembang sempurna, sangat wajar Aldric begitu mencintai wanita secantik dia.

"Aku akan menunggu diluar, lima menit lagi kita berangkat Nadia," ucapnya tandas. Aku yakin tidak akan ada yang berani menantang ucapannya saat ini termasuk tante.

Aku menatap punggung itu, terlihat sangat kokoh meski sebenarnya rapuh. "Tolong bicara padanya Nadia, tante yakin ia akan mendengarkanmu," ucapan tante membuatku menelan saliva. Ini sama saja bunuh diri tapi akhirnya aku mengangguk dan pergi menyusul Aldric.

Di kursi yang berada di taman sampin rumah ini, Aldric sedang duduk diam. Aku melihat rokok di tangannya. Yang ku tau ia bukan tipe perokok, pasti karena sekarang ia kacau. Biarlah setelah ini aku mati karena terkena amukannya.

"Kenapa tidak menyusulnya saja?" tanyaku pelan.

Ia mendongak, mata hitam itu menyorot lelah. "Apa begitu terlihat kehancurannya?" ia mengabaikan pertanyaanku. Aku mengangguk, meski kata-kata itu memiliki banyak arti tapi aku tau apa maksudnya. "Hah.. kupikir aku bisa menutupi semuanya," ucapnya dengan tatapan menerawang.

"Manusiawi jika seseorang merasa sedih, justru menurutku manusia yang terlihat begitu kokoh layaknya gunung setiap harinya adalah manusia tidak normal,"

Ia tersenyum, senyum yang terlihat lepas meski tidak jelas untuk siapa senyum itu. Matanya masih menerawang. "Dia gadis yang ceria, dia selalu menampilkan senyumnya, kecuali di depanku. Lil pasti akan menampakkan wajah kesalnya setiap bersamaku." Terdengar kekehan kecil darinya.

Benar-benar menakjubkan, hanya dengan membicarakan Lily saja pribadi Aldric kembali.

"Tidak ada yang tau bahwa gadis seceria dia memiliki beban hidup yang berat." Ia terdiam, menarik nafas panjang, seolah pembicaraan ini membuatnya lelah.

"Emm.. jika kamu mencintainya kenapa diam saja?" tanyaku.

"Aku pernah hampir kehilangan Lil untuk selamanya, dulu saat mendapat kabar itu rasanya bernafas saja sulit. Bahkan sepertinya aku kembali ke Indonesia dalam keadaan setengah sadar. Rasa sakit itu tidak akan bisa dilupakan,"

Ia terdiam dan menoleh padaku. "Dua tahun lalu saat aku harus mengurus perusahaan disana, aku harus mendapatkan fakta bahwa ia belum sembuh. Aku memang pengecut, aku terlalu takut melihat Lil sakit, aku takut semua kembali terulang,"

Aku ternganga, jadi sampai sekarang Lil belum sembuh. Wajar Aldric memilih diam dari pada bertindak. Ia mengalami trauma.

"Lebih baik begini, melihatnya dengan orang lain jauh lebih baik daripada tidak bisa melihatnya lagi selama-lamanya. Meski rasa sakitnya sama tapi setidaknya sekarang aku masih bisa melihat wajah dan senyumnya," ucapnya.

Kugigit bibirku, mendengar saja bisa membuatku ikut merasakan sakitnya. Setelah cukup lama, aku mengusap pelan bahunya. Ia bangkit. "Ayoo sudah saatnya bekerja, jangan ceritakan pada siapapun tentang ucapanku tadi."

Aihh kukira hari ini ia akan memberiku libur. Ehh rasanya itu mimpi. Aku ikut berdiri. "Sipp boss, tenang saja rahasia bos aman ditangan saya," ucapku sembari mengajaknya bercanda.  Ia tersenyum geli dan berjalan di depanku.

Jika situasinya begini, mungkin aku berhak mendekati Aldric. Tapi aku tidak begitu, aku akan membuatnya keluar dari ketakutan itu. Setelah itu pasti ia akan memperjuangakn Lily. Aku tau terlalu sok pahlawan mengingat aku juga mencintai Aldric tapi melihatnya sakit begini aku tidak bisa.

-----------

Aldric POV

Sudah hampir setengah jam Ana mengoceh ria di depanku, sedangkan aku hanya mengajak bercanda putri cantiknya ini. 

"Gue nggak nyangka, Lil juga nggak pernah cerita sama gue Al, bener deh!!" serunya untuk kesekian kalinya.

Aku menghela nafas. "Iya gue percaya An, nggak pertu diulang-ulang," jawabku.

Ia meringis menyadari kesalahannya. "Hehe cuma mau meyakinkan, gue bener-bener kaget sama seperti lo,"

Aku terdiam, ingat kejadian pagi tadi. Berita itu benar-benar membuat rahangku gemelutuk karena menahan emosi, untung televisi itu tidak kutendang.

Yang membuatku kaget aku bisa terbuka dengan Nadia tentang penyakit Lil yang belum sembuh total. Padahal semua sahabatkupun tidak ada yang kuberitahu.

"Gue kenal siapa tunangan Lil itu," ucapku.

Ana melebarkan mata. "Siapa?" tanya Ana dengan suara kagetnya.

"Darren, cucu pemilik perusahaan yang gue beli di Jerman dua tahun lalu. Dulu ia yang memegang perusahaan itu," jawabku. Yah aku kaget saat melihat orang itulah yang dikabarkan dekat dengan Lil. Bagus sekali, aku mendapatkan perusahaannya tapi dia mendapatkan gadisku, benar-benar sempit dunia ini.

"Loh bukannya dia dokter?"

Aku mengedikkan bahu. "Entah, mungkin memang dia memiliki dua profesi."

Kulihat Varisha telah tertidur dipangkuanku. Wajah polosnya membuatku tersenyum, kucium pipi bulat yang selalu membuatku gemas itu.

"Al.. Lil menelpon!!!" seru Ana setengah berteriak. Aku membeku sejenak.

"Angkat saja.. tapi jangan bilang ada gue," jawabku dengan datar.

Ana menghela nafasnya, ia mengangguk pasrah.

"Anaaaa...." teriak Lil. Ternyata Ana meloudspeaker ponselnya. Aku tersenyum mendengar suara yang hilang cukup lama itu. Betapa suara itu bisa menyembuhkan rasa rinduku yang menumpuk.

"Hemm.. kenapa Lil? lo mau menjelaskan hot news itu?"

"Ck kau marah yaa? maaf An bukannya aku ingin merahasiakan cerita itu, aku juga sama sekali tidak menyangka Darren akan menjawab begitu, karena aku dan dia memang belum bertunangan," jawaban Lil membuatku dan Ana saling pandang karena bingung.

"Maksud lo? Darren itu bohong?" tanya Ana.

"Yahh sebelum selesai acara pernyataan itu memang bohong, tapi.." Lil terdiam dan menghela nafasnya. "Tapi setelah acara, itu semua menjadi fakta, yahh tidak tunangan resmi sih,"

"Hah? maksudnya?" melihat tampang bodoh Ana diam-diam aku tertawa. Varisha terbangun karena suara berisik disekitarnya, ia mengerjapkan matanya dengan polos. Kuucapkan kata hai tanpa suara padanya.

"Haha begini Ana sayang!! semalam Darren melamarku!!! astaga.. aku benar-benar senang, semalam aku bahkan bermalam di apartemennya, ehh tapi jangan berpikir yang tidak-tidak yaa aku tidak melakukan apapun dengan Darren, dan pagi ini.. kami melalui moment manis sekali, haha sebentar lagi aku akan menyusulmu dan Alex."

Entah aku sudah mengepalkan tangan berapa lama hingga bukujariku memutih. Aku membuang wajah agar Ana tidak melihat emosiku.

"Emm Lil.. lo yakin sama Darren?"

"Tentu saja... dia pria yang sangat baik, ehh sudah yaa aku harus pergi.."

"Awww.." aku meringis saat Varisha menggigit jariku. Sial, kenapa harus mengeluarkan suara. Semoga Lil sudah lupa dengan suaraku.

"Ehh? Ana apa disitu ada Alex? tapi sepertinya aku kenal suara ini, kenapa suaranya seperti..." suara menggantung itu membuatku tercekat. "Ahh sudahlah.. memang disana ada siapa?"

Ana menatapku untuk bertanya tapi aku segera menggelengkan kepala pelan. "Itu suara orang lewat, lo harus pergi kan?? yaudah hati-hati yaa bye.." ucap Ana. Ia menghembuskan nafas lega.

"Al lo nggak apa-apa?" tanya Ana dengan pelan. Aku hanya menggelengkan kepala dan beralih pada tuyul kecil yang sedang tertawa ini.

"Hey.. princess kau sengaja membuat papa tampanmu ini bersuara di depan mommy mu yaa?" tanyaku dengan mata menyipit.

"Mommy? anaa?" tanya si kecil dengan suara lucunya.

"Mommy jauh sekali.. suruh mommy mu pulang yaa," aku mendekatinya dan berbisik. "Bilang pada mommy, papa Al menunggunya.."

Wajah cantiknya itu kini nampak bingung. Aku tertawa gemas dan menciumi pipi tuyul ini. Alex datang untuk menjemput Ana dan putrinya. Ia berkacak pinggang melihat putrinya tertawa riang denganku.

"Heyy putri kecil sini dengan papamu," ajak Alex sembari merentangkan tangan. Varisha menggelengkan kepala.

"Om lek.." ucapan yang artinya adalah om Alex membuat wajah Alex mendung berat.

"Heyyy aku ini papamu kenapa memanggilku om!!" teriaknya dengan nada lucu dan seketika tawa tuyul ini pecah. Ia merentangkan tangannya pada Alex dan memeluk leher Alex dengan erat tanda ia mulai mengantuk lagi.

Varisha sepertinya memang senang melihat papanya berwajah masam begitu. Aku saja heran melihat hobi anak dua tahun ini.

"Kau sudah tau kabar pertunangan Lil?" tanya Alex saat putrinya telah tertidur di gendongannya.

"Yaa.. siapa yang tidak tau," jawabku dengan santai. Ia mengangguk, tentu saja membenarkan ucapanku. Sejak pagi berita itu seolah menjadi hot news, termasuk di kantor ini.

Mereka akhirnya pulang. Yahh aku butuh waktu untuk sendiri, menenangkan diri dari ribuan pikiran-pikiran menyesakkan. Menetralkan emosi yang sepertinya mudah sekali timbul hanya karena masalah kecil.

Sialnya semua pikiran tentang Lil yang berduaan dengan pria itu justru semakin menguat. "KURANG AJAR!!" seruku. Kulempar segala benda yang berada di meja kerjaku. Tidak, ini benar-benar diluar dugaan. Rasanya ingin sekali terbang ke Jerman dan menghajar pria itu.
Aku segera meraih ponselku dan pergi dari kantor. Melanjukan mobil secepat mungkin menuju tempat dimana aku bisa melampiaskan emosi sepuasnya.

Melewati batas wilayah kota Jakarta menuju puncak tempat dimana villa keluargaku berada.

Sampai disana segera ku lepas jas dan kemejaku. Menyisakan t-shirt untuk kugunakan. Aku masuk ke ruang yang dulu sering kubuat berlatih segala macam bela diri dengan papa.

Kuambil sarung tinju dan menuju samsak yang tersedia. Kuluapkan emosiku dengan meninju samsak tidak bersalah ini. Meneriaki segala kekesalan yang ada.

"GUE BENCI DIRI GUE YANG PENGECUT!!!" teriakku. Kutinju lagi samsak itu dengan sekuat tenaga.

"KENAPA SEMUA KETAKUTIN INI NGGAK BISA HILANG???"

"GUE NGGAK BISA NGELEPASIN!!! TAPI GUE BISA APA!!!!"

Luapan kemarahan ini membuat bebanku sedikit berkurang. Kini nafasku terengah-engah karena lelah. Peluh mengalir deras dari keningku.

"Sakit.. sakit banget Lil.." ucapku lirih sembari meninju samsak itu dengan sisa tenagaku. Aku terduduk memeluk lutut dan butiran air mata mengalir dalam diam, semua kembali, Lil yang berlumuran darah, Lil yang kurus dan terbaring layaknya mayat, kabar Lil yang hampir meninggal, dan terakhir Lil yang tidak bisa melakukan apapun seperti bayi.

"Al..." suara lirih itu membuatku mendongak. Mataku melebar melihat Nadia di sini.

"Kenapa kau di sini?" tanyaku.

"Aku melihatmu keluar kantor dengan wajah keruh. Jadi kupinjam mobil kantor untuk mengikuti mobilmu tapi karena mobilmu melaju terlalu cepat akhirnya aku tertinggal dan langsung menelpon tante Dania, ia tahu persis kau ada dimana dan ternyata benar.." ucapnya.

Mama, ia memang selalu mengetahui apapun tentangku. Aku kembali terdiam dan mengambil rokok di dekatku.

"Jangan..." tangan Nadia menarik lenganku. "Hari ini kamu pasti sudah banyak merokok, memangnya belum puas memukuli samsak itu hingga menjadi almarhum?"

Ia menepuk bahuku. "Kita teman bukan?" tanya Nadia.

"Yaa.." jawabku.

"Boleh aku memberikan saran?" Keningku berkerut bingung. Aku menoleh padanya dan menunggu ia melanjutkan ucapannya. "Jika sulit untuk melepaskannya dengan pria lain maka berusahalah, kamu harus melawan rasa takut itu. Percayalah Lil akan baik-baik saja, jangan begini Al.. melepaskan Lil tidak mau tapi memperjuangkan juga tidak.. itu akan menyiksa kalian berdua nantinya," ucapan Nadia memukulku telak. Aku memang harus keluar dari trauma ini. Tapi seperti yang kuucapkan dulu, aku tidak mungkin meyusulnya ke Jerman. Dan menyuruhnya pulang lebih tidak mungkin.

"Dia di Jerman, kau tau kan aku memiliki tanggung jawab besar disini," ucapku.

"Lohh.. kan tidak perlu langsung, sekarang teknologi sangat canggih.."

Benar, tapi ahh sudahlah. Tidak bisa kusangkal, mungkin memang aku yang terlalu takut. "Sekarang apa aku tidak terlambat?" tanyaku dengan lemah.

"Hahaha Mr. Orlando yang begitu kuat dan dingin bisa selemah ini? tenanglah.. selama janur kuning belum melengkung, kamu punya kesempatan," jawab Nadia. Aku tersenyum mendengar ledekannya. Kami terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Kulirik Nadia yang sedang menunduk. Bukankah dia menyukaiku, tapi kenapa dia mendukungku dengan Lil.

Setelah lelah ini berkurang aku segera berdiri dan mengulurkan tangan pada Nadia untuk membantunya berdiri. "Ayoo sudah malam, kita harus kembali ke Jakarta. Kamu ikut mobilku saja nanti kamu bisa tidur di mobil, pasti lelah kan?" tanyaku.

Ia menerima uluran tanganku. "Yahh lumayan.. tapi mobil yang kubawa bagaimana?"

"Tidak perlu khawatir, nanti kusuruh orang membawanya.." ucapku.

Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang. Nadia sekarang sudah tidur di kursi sampingku. Wajahnya nampak lelah, aku berutang padanya. Untung aku sudah beberapa kali mengantar Nadia bahkan sampai depan kamar apartemennya jadi aku tidak perlu membangunkannya untuk meminta alamat.

Tiba di depan apartemen Nadia aku menepuk pipinya pelan untuk membangunkannya tapi ia hanya bergumam. Tidak tega juga memaksanya bangun. Akhirnya aku membopong Nadia hingga di depan kamarnya.

Diketukan ke empat temannya membuka pintu dan kaget melihatku membopong Nadia.

"Nadia kenapa?" tanya wanita itu dengan wajah panik.

"Hanya tidur.. bisa tolong buka pintu dan tunjukkan kamarnya?" tanyaku. Kepalanya mengangguk dan berjalan di depan menuntunku menuju kamar Nadia.

Aku membaringkan Nadia di ranjangnya secara perlahan. Kulepas sepatunya dan menyelimutinya. "Terimakasih," gumamku. Aku segera keluar dan pamit pada teman Nadia.

Keesokan harinya saat aku dan Nadia sedang berkeliling di proyek pembangunan gedung perusahaan ponselku berdering.

"Assalamualaikum Lex.. ada apa?" tanyaku to the point.

"Waalaikumsalam, aku hanya ingin mengabari opa Arsen masuk rumah sakit,  serangan jantung," jawabnya.

"Apa??" tanyaku setengah berteriak kaget.

"Yah begitu, kau tau kan kesehatan opa Arsen menurun akhir-akhir ini. Ohh iya kebetulan om Ares sedang di Indonesia."

"Baik nanti siang gue kesana.." ucapku.

"Yaa aku juga, nanti siang aku dan Ana akan menjenguk, ya sudah, kita bertemu di rumah sakit," telpon ditutup.

Aku terdiam, apa Lily tau keadaan opanya. Yang kutau Lil begitu menyayangi keluarganya, tidak mungkin ia mengacuhkan berita ini begitu saja. Kalau begitu hanya ada satu kemungkinan, Lily sama sekali tidak tau. Om Ares menutupi semua dengan rapi. Mungkin ia kemari dengan alasan lain di depan Lily.

Aku kembali berkeliling tapi pikiranku benar-benar tidak fokus. Ck sudahlah jangan memaksakan. Lebih baik pergi ke rumah sakit sekarang.

"Nadia kita kembali ke kantor, saya ada urusan penting," ucapku kembali dengan bahasa formal karena ini jam kerja.

Aku segera menuju ruma sakit setelah mengantar Nadia kembali ke kantor, sesampainya di sana kakiku segera melangkah menuju ruangan rawat opa Arsen. Di depan ruangan itu om Ares sedang terduduk diam di kursi. Pasti beban pikiranya berat.

Aku menghampirinya. "Om Ares, apa kabar?" sapaku. Ia menoleh dan tersenyum. Kusalami punggung tangannya lalu duduk di sampingnya.

"Baik, kau sendiri? kelihatannya kau kacau," ucapan yang tepat. Aku hanya tertawa, memang apa yang bisa kututupi darinya.

"Yahh begitulah.. bagaimana keadaan opa?" tanyaku.

"Dokter sudah menanganinya tadi," jawabnya. "Soal pertunangan Lil, aku sama kagetnya dengan kau." lanjutnya.

"Om tenang saja.. tidak usah pikirkan yang lain, sekarang kita harus fokus pada kesehatan opa," tenangku.

Om Ares menarik nafas dalam-dalam. "Sudah saatnya Lil kembali, keadaan opanya memburuk," ucapan pelan itu membuatku menoleh kaget. Jadi ia telah memutuskan. Tapi kurasa memang benar, sepertinya opa dan oma yang sudah semakin tua sangat merindukan cucunya itu.

tampang prustasinya Al :D


*********

Udah cukup panjang kan??

apa comment kalian untuk part ini?




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top