Bab 18 - Surprise
Hay hay hayy..
Aku datang untuk nemenin kalian di malam minggu. Sama kok aku juga gabut*curhat
Haha langsung aja deh..
Happy reading guys ;) jangan lupa vomment :D
**********
Lily POV
Sinar matahari menyeruak masuk melalui celah jendela. Mataku menyipit, mencoba menyesuaikan diri dengan kesilauan. Aku menguap lebar-lebar, meregangkan otot-ototku. Oke hari yang melelahkan dimulai.
Mandi adalah aktivitas pagi yang kusuka, tubuhku rasanya begitu segar sekarang. Usai meneliti penampilanku aku segera turun ke bawah, daddy pasti telah menunggu di meja makan.
"Pagi dad.." sapaku. Kucium pipi beliau lalu duduk manis di sampingnya.
"Pagi sayang, ayo kita sarapan.." jawab daddy. Kami mulai makan dengan tenang, dulu saat kak Bian dan kak Sasya masih tinggal di sini rasanya rumah ini ramai, tidak sepi begini.
Aku memperhatikan daddy yang sedang memakan rotinya dengan tenang. "Daddy.." panggilku.
Dad hanya membalasnya dengan dehaman tanpa beralih melihatku. Aku mengerucutkan bibir, merasa kesal diabaikan. Kuletakkan roti itu tanpa memakannya. Kedua tanganku terlipat di dada.
Daddy menghela nafas, mungkin ia lelah mengurus anak manja sepertiku. "Ada apa? cepat makan sarapanmu.. bukankah hari ini kamu sibuk? jangan sampai kamu sakit,"
Aku tetap tidak menyentuh makanan di depanku itu. "Tidak mau.. bicara dulu pada Lil, apa dad marah sampai tadi mengacuhkan Lil?"
Daddy tersenyum dan mengacak rambutku. "Untuk apa daddy marah?"
"Daddy tau Lil tidak pernah melarang daddy untuk tinggal di Indonesia dengan oma dan yang lain bukan?" tanyaku.
Seolah paham makna pertanyaanku, wajah dad berubah datar. Oke aku mulai takut. "Daddy tidak marah karena itu, dad juga tidak marah karena apapun.. sekarang cepat makan sarapanmu atau dad tidak akan mengizinkan kamu untuk keluar rumah!" ucap daddy dengan suara yang sebenarnya datar tapi itu justru membuatku merinding.
Aku segera mengambil roti itu dan mengunyahnya dengan cepat.
"Assalamualaikum.." suara Josh membuat kami menoleh. Ohh terimakasih Josh, kau penyelamatku. Ia menyalami tangan daddy. "Pagi dad.." sapanya tanpa mengenali atmosfer di sekitarnya.
"Pagi Josh.. ayo kau sarapan sekalian," ucap daddy ramah. Aku menatap kesal, merasa cemburu tentu saja.
"Haha tenang dad.. tidak usah ditawari aku akan mengambil sendiri,"
Dasar Josh itu benar-benar. Tangannya langsung mengambil roti dengan selai coklat di atasnya.
"Tumben kau kesini pagi-pagi, ada apa?" tanyaku pada Josh saat kami berjalan ke ruang tamu.
"Ribut dengan ayahku," jawaban singkat itu membuatku diam. Kutepuk bahunya menyalurkan ketegaran. Ia tersenyum miring dan mengucapkan terima kasih tanpa suara.
Suara mobil yang terparkir di depan membuatku tersenyum, aku hafal suara mobil itu. Yaa itu milik Darren. Aku segera berlari keluar untuk menyambut Darren. Kurasa Josh mengikutiku.
Darren tersenyum padaku dan Josh. "Hay Josh tumben sepagi ini sudah di rumah Lil,"
Josh mengedikkan bahu. "Sedang ingin main saja," jawabnya.
Darren mengangguk mengerti. Ia beralih padaku. "Sudah siap berangkat? mana daddy mu? aku ingin berpamitan." Aku mengantar Darren untuk menghampiri daddy.
"Saya antar tuan putri ini dulu yaa om," ucap Darren setelah berpamitan pada daddy. Yahh Darren memang sudah sering menjemput dan mengantarku pulang, jadi ia sudah akrab dengan daddy.
Daddy mengangguk. Aku harus minta maaf untuk masalah tadi. Darren berjalan keluar lebih dulu sedangkan aku duduk di samping daddy yang sedang menatapku datar. Kupasang wajah anak kucing andalanku. "Maaf dad.. jangan marah pada Lil,"
Ia menghela nafas. "Sudahlah, dad juga minta maaf karena bersikap meyebalkan tadi," itulah daddyku. Bagaimana aku tidak bahagia memiliki ayah seperti daddy. Aku memeluknya, merasakan kehangatan yang membuatku selalu merasa terlindungi ini.
"Lil berangkat, daddy hati-hati yaa nanti telpon Lil sebelum berangkat," pesanku. Dad tersenyum dan mencium puncak kepalaku dengan sayang.
Hari ini rasanya berat sekali untuk pergi dari rumah, membayangkan nanti malam dirumah hanya ada aku membuatku merasa kesepian. Bi Novi jelas ikut daddy ke Indonesia. Aku akan mengajak Josh dan Clara menginap. Darren sepertinya tau suasan hatiku, mungkin mendung di wajahku ini terlihat jelas. Ia menghiburku dengan ajakan makan ice cream sepuasnya besok karena jadwalku kosong hingga siang.
Sampai di lokasi shooting aku segera membuka pintu mobil Darren untuk turun. Tangannya menarik lenganku hingga aku berbalik menghadapnya. Alisku terangat sebagai pertanyaan. "Nanti malam aku tidak bisa menjemputmu, ada jadwal oprasi nanti. Kau tidak apa kan? telpon Josh saja, minta dia menjemputmu agar aman,"
Rasanya sedikit kesal, tapi aku tidak ingin menjadi sosok yang semakin egois. Akhirnya aku hanya mengangguk dan turun dari mobilnya.
Shooting hari ini benar-benar melelahkan, aku harus mengulang beberapa scene karena kurang konsentarsi. Asistenku hanya bisa menggelengkan kepala lantaran melihat sikap uring-uringanku. Memang terdengar tidak profesional tapi mood ku benar-benar dalam keadaan buruk hari ini.
Beruntung acara launching produk tidak sekacau shooting hari ini. Setidaknya aku bisa bernafas lega. Kali ini aku sedang di ruang make up untuk talk show yang setengah jam lagi akan di mulai. Dengan tenaga yang nyaris terkuras habis, aku memasang wajah segar agar tidak terlihat lelah di depan camera.
Namaku akhirnya di panggil aku segera keluar dengan senyum simpul yang biasa kuperlihatkan pada semua. Pembawa acara yang bernama Marry itu mengajakku duduk bergabung dengannya.
"Nah ini dia aktris multi talent kita, Lily.." ucap Marry dengan bersemangat. Tepuk tangan meriah dari kelompok penoton membuatku kembali tersenyum lebar. "Nah Lily, kita semua tau kalau Anda datang dari Indonesia, apakah ada niatan untuk pulang atau ingin meniti karir di sini saja?"
"Saya belum tau, tapi kalaupun saya tetap menetap di Jerman, mungkin dalam waktu dekat ini saya akan mundur dari dunia intertainment," jawabku.
Marry napak surprise dengan jawaban yang aku lontarkan. "Wow.. kenapa? bukankah Anda sedang berada di puncak sekarang? sayang sekali,"
Aku mengangguk setuju dengan ucapannya. "Memang sayang, tapi saya ingin konsisten dengan cita-cita yang ingin saya raih, jadi yahh harus ada yang dikorbankan,"
Obrolan berlanjut mulai dari hal apa yang lebih kusukai antara akting dan bernyanyi. Lalu tentang kuliahku, hingga saat di ujung acara Marry mempertayakan isu yang sedang panas akhir-akhir ini. "Nah ini yang terakhir, saat ini sedang heboh berita tentang kedekatan Anda dengan seorang dokter, apakah itu benar atau hanya isu?"
Yah, tentu yang dimaksud adalah Darren, kami memang sempat tertangkap media saat sedang makan malam. "Yah benar, namanya Darren. Kami dekat sejak dua tahun lalu," jawabku dengan jujur.
"Wah.. ternyata benar, nah semua pasti penasaran dengan sosok yang sedang dekat dengan Anda sekarang kan? bagaimana kalau kita undang sebagai penutup malam seru kali ini?" tanya Marry pada penonton. Aku terbelalak, bagaimana mungkin dia bisa mengundang Darren yang sedang melakukan operasi pasti dia bohong.
Mulutku terbuka lebar saat Darren muncul dengan menggunakan tuxedo berwarna hitam nampak kontran dengan warna kulit dan matanya. Dia nampak sangat tampan. Ia tersenyum dan menikmati wajah kagetku, kukerjapkan mata untuk menetralkan wajah.
"Kau kenapa kemari?" bisikku dengan bahasa Indonesia agar tidak ada yang mengerti.
"Surprise, kau terkejutkan?" jawabnya. Sial, berarti tadi pagi ia membohongiku. Kulihat Marry nampak bingung dengan bahasa kami. Hihi aku jadi ingin tertawa melihat wajah bodoh karena bingung itu.
"Emm.. yahh ini dia Darren, dokter di salah satu rumah sakit besar di Jerman. Nah Darren bisa jelaskan hubungan kalian?"
Darren berdeham, ia tersenyum sekilas padaku sebelum akhirnya menoleh pada Marry dan mengangguk. "Yaa hubungan kami memang dekat,"
"Sudah sampai tahap apa?" tanya Marry.
"Sampai tahap.." kata-kata yang sengaja digantung itu membuatku menatapnya penasaran, mungkin sekarang wajahku sama bodohnya dengan Marry. "Bertunangan, doakan agar kami cepat menikah di tahun ini,"ucapnya.
Apa? itu bohong. Ia bahkan belum melamarku. Aku menatapnya untuk meminta penjelasan, tapi yang ia lakukan hanya mengedipkan mata untuk menggodaku.
Akhirnya acara selesai, aku bisa mencecar Darren sekarang. Ia masih berdiri santai di sampingku, membuat jengkel saja. Asistenku mempertanyakan keberanaran ucapan Darren tadi, tapi akupun tidak tau.
Kini kami berdua sedang duduk di mobilnya. "Apa maksudnya tadi? lalu bukankah kau bilang sedang ada oprasi? kenapa tiba-tiba kau datang?"
"Nanti kujelaskan, sekarang aku ingin menunjukkan sesuatu untukmu," ia mulai menjalankan mobilnya ke tempat yang entah aku juga tidak tau. Mobil itu berhenti di sebuah taman sepi.
"Ayo turun, masih ada surprise untukmu malam ini," ucapnya. Ia menggenggam tanganku, kami berjalan dalam diam. Sebenarnya ada apa ini. Kami tiba di tengah taman, dan seketika aku terpukau, benar-benar terpukau. Disana ada banyak sekali lilin yang terbentuk sangat indah, dan di tengahnya ada meja makan cantik untuk dua orang. Kututup mulutku karena takjub, ini sangat romantis.
Aku menoleh pada Darren yang sedang menatapku dengan senyumannya. "Darren? ini untukku?" tanyaku dengan suara nyaris seperti bisikan. Ia mengangguk, tangannya kini melingkar di pinggangku untuk menuntunku kesana. Darren menaik kursi untuk kududuki.
Mataku masih berkeliling, di sebrang ada kolam kecil dengan air mancur di tengahnya. Bunyi gemerisiknya membuat suasana semakin romantis, kugigit bibirku. Menahan diri untuk tidak berteriak kegirangan. Aku terpekik kaget saat ia berlutut di hadapanku. "Lily aku ingin memperjelas semua malam ini juga. Aku mencintaimu dan kau tau pasti itu, Hem.. Lil apa kau ingin menjadi istriku?"
Oke sepertinya sekarang mulutku tidak bisa tertutup karena sangat kaget. Ada banyak sekali perasaan dalam hatiku, senang, terharu, kaget, kesal, dan bingung. Aku harus menjawab apa, ini bukan penawaran untuk menjalin hubungan sementara seperti berpacaran. Ini adalah tawaran menikah, komitmen yang bukan main-main. Bukan masalah cinta atau tidak, tapi masalah siap atau tidak siap.
Apa aku siap menjalin komitmen seserius itu. Kini mataku telah ditutupi kabut embun, tinggal menunggu menetes hingga bisa dikatakan tangisan. "Darren kau serius?" tanyaku dengan lirih. Dalam hati aku merasa sangat senang, ada pria yang begitu mencintaiku, tapi dilain sisi aku takut, takut tidak bisa menjadi wanita yang ia harapkan. Dan ada ketakutan lain yang tidak bisa kujelaskan.
Kepalanya mengangguk mantap. "Sangat serius.. maaf aku membuatmu kaget, tapi aku tidak ingin menawarkan sebuah komitmen tak pasti seperti berpacaran, aku ingin kau menjadi pendampingku selamanya, menjadi ibu dari anak-anakku kelak.." oke cukup. Aku tidak bisa lagi lebih bahagia dari ini, yang ada aku bisa gila karena terlalu bahagia. Kini aku memeluk leherya kuat-kuat menyembunyikan wajahku yang telah semerah tomat itu disana. Meskipun saat ini malam tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan rona merah itu.
Darren membalas pelukanku dengan erat. "Jadi.. apa jawabannya?" tanya Darren dengan tidak sabar.
Setelah menetralisir irama jantungku, akupun melepaskan pelukan itu. Aku menggelengkan kepala. Wajahnya memucat, aku berusaha menyembunyikan tawaku.
"Apa kau mencintai pria lain?" suara pahitnya membuat tawaku akhirnya pecah.
Kugelengkan kepala. "Aku akan menerima lamaranmu, jika.." aku terdiam sebentar menikmati wajah panik di depanku. "Jika kau melamarku langsung di depan daddy," lanjutku dengan senyuman.
"Jadi intinya?" hey kenapa dia berubah menjadi bodoh.
Aku berdecak kesal. "Iya.. aku mau..dasar bodoh," jawabku dengan kesal. Dan detik itu juga ia menarikku ke pelukannya, menikmati hangat tubuh Darren. Rasanya aku benar-benar bahagia, mungki aku memang sudah mulai mencintainya.
"Aku akan melamarmu di depan daddy dan seluruh keluargamu jika perlu," bisiknya.
Makan malam ini berjalan begitu indah, ini adalah hari yang tidak mungkin kulupakan. Saat mobil Darren sedang menuju rumahku, aku menepuk kening. Kenapa aku bisa lupa menyuruh Josh dan Clara menginap.
"Darren, aku lupa menghubungi Clara dan Josh," ucapku lemas.
"Loh terus bagaimana? kau berani tidur di rumah sendiri?" tanya Darren. Aku menggeleng, karena memang aku takut, rasanya terlalu sepi. "Yasudah kita ke apartemenku saja," ucapnya.
Aku melebarkan mataku. "U-untuk apa?" tanyaku gugup.
Ia terseyum miring. "Tentu saja menghabiskan waktu, untuk apalagi? tidak ada salahnya kan menghabiskan malam dengan calon istri?" ucapnya dengan gaya menggoda. Sial wajahku memanas, aku segera membuang muka. Kekehan kecil terdengar darinya. Kucubit pinggangnya hingga ia meringis, siapa suruh menggodaku.
Kami tiba di apartemennya, ini pertama kalinya aku datang. Ternyata tempatnya besar, dengan nuansa warna abu-abu, sangat nyaman untuk ditinggali.
"Mandilah, pakai kemejaku saja jika tidak ada pakaian ganti," ucapnya. Aku mengangguk dan langsung meninggalkannya, jujur aku sangat gugup.
Lumayan, mandi membuat lelahku berkurang, sekarang rasanya tenagaku telah puli. Kubuka lemari Darren untuk memilih kemeja. Pilihanku jatuh pada kemeja berwarna hitam, aman karena tidak transparan pikirku. Sial, karena warna hitam ini terlihat kontras dengan warna kulitku, jadi sekarang aku justru terlihat.. aku merinding dengan pikiranku sendiri itu. Lebih baik aku menggantinya dengan warna lain. Baru saja berbalik, Darren membuka kamar. Ia tertegun memandangku, gawat, aku tidak bermaksud menggodanya.
Ia mengerjapkan matanya. Setelah pulih dengan kagetnya akhirnya ia berjalan kearahku. Lengannya melingkar di pinggangku. "Cantik.." bisiknya."Sekarang tidurlah. Aku akan tidur di sofa ruang tv. Jika butuh apa-apa panggil aku," ucapnya. Ia berbalik tapi aku menahannya, oke aku memang nekat.
Aku tersenyum dan mencium pipinya. "Terima kasih Darren, malam ini aku benar-benar bahagia.."
Darren menyatukan kening kami. "Aku yang seharusnya mengucapkan terima kasih, i love you Lil," bisiknya.
Kuusap pipinya. "Love you more.." balasku. Ia mencium keningku lama dan akhirnya pergi keluar. Aku berbari di ranjang ini, rasanya begitu nyaman hingga tak lama mataku terpejam. Menikmati alam mimpi yang indah.
Pagi yang sedikit mendung, kini aku berdiri di depan jendela besar kamar Darren. Menatap kota Jerman yang sedikit lengang karena ini masih pukul enam pagi. "Pagi sayang.." bisik seseorang yang memelukku dari belakang. Aku tersenyum, semalam statusku telah berubah.
"Pagi.." jawabku. Ia meletakkan dagunya di bahuku. "Darren.. stop.." rengekku dengan manja saat ia menghembuskan nafasnya di leherku. Rasanya wajahku benar-benar memanas. Aku berbalik padanya, kemudian berkacak pinggang. "Pintar menggoda yaa sekarang?"
Ia tertawa dan melingkarkan lengannya di pinggangku. "Yah.. habis pagi-pagi sudah disuguhi peri secantik ini,"
Aku mengalungkan lenganku di lehernya. "Kau tidak bersiap-siap ke rumah sakit?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Malas.. nanti siang saja," kini matanya mengunciku agar terus menatapnya. Kepalanya mendekat, aku tau apa yang akan ia lakukan. Kututup mataku hingga terasa hembusan nafasnya.
Ponselnya berdering tepat saat bibirnya ingin menyentuh bibirku. Ia berdecak kesal, aku membuka mata dan terkekeh pelan. "Angkat sana! siapa tau itu penting,"
"Siapa sih, mengganggu saja." Ia menggerutu dan berjalan ke ponselnya. Sepertinya itu dari dokter seniornya, melihat wajah keruh Darren. "Aku harus ke rumah sakit sekarang," ucapnya dengan melas padaku.
"Yasudah sana!! nanti siang aku juga harus pergi ke lokasi shooting,"
Ia mengangguk dan mencium pipiku sekilas. "Oke aku akan bersiap-siap. Sampai bertemu nanti malam.." ucapnya. Darren melangkah pergi. Aku tersenyum memandang punggungnya, aku akan bahagia hidup dengannya, yakinku dalam hati untuk mengusir semua keraguan yang tersisa.
********
Nahhhh lohhh gimana ni????
hahaha apa comment kalian di part ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top