Bab 17 - Bagian 2
Hay hay hayy... ini lanjutan part 17nya
Hihi langsung aja deh, happy reading guys. Jangan lupa vomment yaa ;)
*********
Aldric POV
Sisa perjalanan kugunakan untuk mengistirahatkan mataku. Hingga setelah tiba di Jakarta, pak Halim supir pribadiku telah menunggu.
"Pak bagaimana kabar mama dan papa selama saya pergi?" tanyaku setelah masuk ke mobil.
"Baik tuan, tapi kemarin ibu pergi ke kantor.."
Keningku berkerut. "Untuk apa?"
"Sepertinya untuk mengajak bu Nadia pergi tuan, karena saya lihat ibu dan bu Nadia keluar kantor jam istirahat kemarin," jelas pak Halim.
Mencurigakan, kuhela nafasku. Semoga mama tidak melakukan hal yang aneh-aneh, karena sekarang saja kepalaku sudah pusing memikirkan masalah perusahaan dan Lily. "Pak langsung ke kantor saja," ucapku. Aku ingin istirahat di kantorku saja toh ada banyak pakaian di koperku. Pak Halim mengangguk patuh.
Kantor yang siang nampak ramai dipenuhi orang-orang berlalu lalang kini nampak senyap dan gelap. Aku sudah biasa mengunjungi kantor malam-malam, saat sedang ingin menghabiskan waktu sendiri. Rasanya begitu tenang tanpa gangguan.
Segera kurebahkan diriku di sofa yang berada di ruang kerjaku.
Sebelum jam kerja di mulai aku telah siap di mejaku. Huhh rasanya sudah lama aku tidak duduk di kursi kesayanganku ini.
"Loh Mr. Orlando?" ucap Nadia sedikit kaget, ia melirik jamnya sekilas. Pasti ia kaget aku sudah ada di ruanganku sepagi ini, Nadia memang memiliki jadwal lebih awal dari semua karena ia harus menyiapkan semua yg kubutuhkan setiap harinya. "Kenapa Anda datang sepagi ini?"
"Ohh semalam saya langsung menuju kantor, Nadia saya ingin membahas hasil rapat kemarin sekarang juga," ucapku.
Ia mengangguk dan duduk di kursi yang berada di sebrang mejaku. Semua ia jelaskan secara detail. Cukup memuaskan, tapi beberapa investor ingin bertemu langsung denganku.
"Baik, besok kirimkan undangan rapat pada mereka,"
Nadia mengangguk. "Baik Mr. apa ada lagi yang Anda butuhkan?"
Mendadak otakku teringat perkataan pak Halim. "Yaa saya ingin tau, apa yang mama saya lakukan kemarin?"
Matanya membulat kaget. "Emm.. itu bukan apa-apa. Hanya jalan-jalan biasa," jawaban yang terlalu cepat. Jelas ia berbohong. Aku mengangguk pura-pura percaya, kupersilahkan ia keluar dari ruanganku.
Aneh, aku harus bertanya pada mama secara langsung nanti.
Jam istirahat semua sahabatku datang, hey apa mereka tidak mempunyai aktivitas. Tau saja aku sudah pulang. Ana yang pertama kali memborbardir pertanyaan tentang kabar Lily.
"Dia baik, kalian enggak usah khawatir.. hanya saja dia memang sibuk dengan kuliahnya," ucapku bohong. Aku tau Lil tidak ingin kondisinya diketahui semua.
"Terus lo gimana sama dia?" tanya Ara.
"Biasa aja, ngobrol, yaa intinya enggak ada yang spesial," jawabku cuek.
"Yahh nggak seru banget!!" gerutu Ana.
Aku menghela nafas. "Kalian bisa berhubungan terus sama Lil, tapi gue minta tolong, jangan pernah ada yang membahas tentang gue di depan dia," ucapku tegas. Bukan apa-apa, aku tidak bodoh, aku bisa melihat kesedihannya saat aku pergi. Lebih baik ia tidak tau kabarku sama sekali agar ia lupa padaku dan tidak sedih lagi.
"Ada apa? aku tau, tidak mungkin kemarin biasa saja, karena kau bicara begitu." ucap Alex. Dia memang jeli.
"Udah nggak usah dipikirin, gue cuma minta tolong itu, ohh iya ada satu lagi. Tolong jangan pernah maksa Lil untuk pulang ke Indonesia, untuk kebaikan Lil."
Semua menatapku bingung tapi aku memutuskan untuk diam. Mereka pasti tau aku memiliki alasan kuat untuk meminta itu. Dan syukurlah tidak ada yang bertanya apapun.
Mereka pergi saat jam istirahat selesai, Ana sempat menepuk bahuku dan mengatakan, "Gue yakin ada alasan kuat dibalik ini, oke kita janji nggak akan bahas tentang lo di depan Lil dan nggak akan maksa dia untuk pulang," setelah mengucapkan itu ia langsung pergi. Yahh setidaknya satu masalah selesai, tidak benar-benar selesai tentu saja.
Jam pulang akhirnya tiba, aku segera pulang untuk meminta penjelasan pada ibuku.
Mama terlihat sibuk dengan bunga-bunga yang baru ia tanam beberapa bulan lalu. Aku segera menghampirinya, ku peluk wanita yang yang kusayangi ini dari belakang. "Hay maa.." ucapku lalu mengecup pipinya.
Mama mengelus pipiku. "Sayang kamu ngagetin aja, kok semalam langsung ke kantor?"
"Yah.. sekalian, nanggung kalau pulang, Ma.. Ando ingin bicara.." ia berbalik padaku, tatapan lembutnya membuat aku tersenyum. "Apa yang mama lakukan kemarin dengan Nadia?"
Senyuman jail khas ibuku muncul. "Urusan perempuan, pria tidak boleh tau," ucapnya.
"Ayolah ma.. pasti mama berniat yang aneh-aneh kan?" suaraku terdengar memelas.
"Tidak.." jawaban yang singkat. Aku terus berusaha membujuk dengan berbagai macam rayuan hingga akhirnya ia mau membuka suara. "Huhh iya.. mama mengajak Nadia berbelanja, terus bertanya apa perasaannya padamu,"
Aku ternganga, ibuku ini benar-benar blak blakan. "Lalu?"
"Hihi Nadia menjawab ya dia suka padamu tapi ia juga bilang tidak akan mengganggu kamu, yasudah mama bilang saja, kenapa begitu anak tante kan masih single, justru tante ingin kamu mendekati Ando, begitu sayang.. puas?"
Oke kini mulutku semakin terbuka lebar. Astaga.. kupijat keningku, mamaku benar-benar. Memalukan sekali, seolah aku tidak laku sampai ibuku harus turun tangan mencarikan jodoh. "Lalu apa responnya?" tanyaku pasrah.
"Dia hanya tersenyum," jawab ibuku dengan tampang sedih. Yah itu lebih bagus, kuharap Nadia tidak menanggapi semua ucapan itu.
Keesokan harinya aku sudah disibukkan dengan beberapa jadwal yang sempat tertunda karena aku harus pergi ke Jerman kemarin. Semakin hari aku menjelma menjadi orang yang semakin kaku kecuali dihadapan keluarga dan sahabatku. Seluruh hariku ku fokuskan untuk membangun perusahaan agar menjadi lebih maju, jika aku belum bisa bahagia, setidaknya aku mampu membuat banyak orang bahagia.
---------
Tanpa terasa sudah dua tahun sejak terakhir bertemu dengan Lily. Aku masih sering mendapatkan informasi tentangnya dari sahabat-sahabatku serta dari media masa jika sedang tidak sengaja melihat. Ia sekarang telah menjadi artis terkenal, aku saja kaget mendengarnya. Beberapa kali bertemu kak Bian, ia sering menggerutu karena katanya Lily sekarang sibuk sekali.
Yah sekarang kak Bian memang tinggal di Jakarta dengan kak Sasya dan Angga anaknya. Minggu kemarin aku berkunjung kerumahnya dengan para sahabatku untuk melihat jagoan kecilnya itu. Mengingat saat bermain dengan Angga aku tertawa, apalagi saat Ana dengan girangnya merencanakan perjodohan Varisha dan Angga meski usia kedua bicah itu baru dua tahun. Ana memang bodoh, jangan bilang padanya kalau aku mengatainya bodoh. Ia bisa mengamuk nanti.
Varisha adalah putri Ana dan Alex. Mereka memang telah menikah dua bulan setelah kepulanganku dari Jerman. Aku ingat betapa kami semua semua ikut dalam persiapan pernikahan mereka. Aku bahkan harus menunda kunjunganku ke Kalimantan saat itu. Ohh dan saat si kecil lahir, kami semua pun ikut menunggu di depan ruang oprasi. Aku bisa mengingat wajah bahagia Alex, belum pernah kulihat Alex bersikap sekonyol itu.
Siang ini aku sedang bermain dengan tuyul cantik yang datang dengan ibunya.
"Al dengerin nggak sih?" sungut si ibu tuyul cantik.
Aku menghela nafas, dasar pengganggu. Akukan sedang melepas kangen dengan princess tersayangku ini. "Iya denger.." jawabku malas.
"Ck.. Al!!!" sungutnya. "Sini sayang sama mama.. jangan sama papa jelek ini," si ibu yang sama cantiknya dengan si tuyul ini ingin merebutnya dari pangkuanku namun ku cegah.
"Ehh oke-oke.. gitu aja marah, iya gue denger. Buat gue yang penting kabar Lil baik," jawaban dari informasi panjang Ana tentang semalam Lil video call dengannya. Benar, anak yang duduk dipangkuanku ini adalah Varisha. Aku selalu tertawa mendengar Alex kesal karena anaknya lebih sering mengucapkan kata papa saat denganku daripada dengannya.
Perhatianku kembali lagi pada tuyul kecil yang kini ini memainkan dasiku, hingga tak berbentuk. Melihat mata bulatnya menatap serius dasiku sepertinya ia penasaran dengan benda itu. Haha aku gemas sekali, kuciumi pipinya hingga ia tertawa.
"An liat tuyul cantik lo.. dasi gue jadi lecek gini,"
"Sembarangan!!! anak gue cantik sama imut gini lo bilang tuyul! lo tuh sama aja kaya Lil, kalau udah main sama Varisha pasti lupa segalanya," omelan itu tak kutanggapi. Untuk apa menanggapi nenek lampir padahal ada tuyul yang menggemaskan di sini. "Al udah saatnya lo pikirin masa depan, kasian nyokap lo. Kita-kita udah pada nikah, lo kapan?"
Yahh benar, semua sahabatku memang telah menikah dan memiliki anak. Aku? masih begini tentu saja. "Mau menikah sama siapa? punya calon juga nggak. Kalau lo mau ngasih Varisha buat gue nikahin si nggak apa," pletakk. Sial, keningku terkena jitakannya. Apa salahku.
"Anak gue masih balita!! kalau nunggu dia remaja lo udah bangkotan!!" serunya. Aku tertawa mendengar ucapannya, dia yang bodoh masih saja menanggapi ucapan anehku tadi. Bocah yang kini memeluk leherku ini terlihat bingung melihat aku tertawa.
"Mamamu sadis sekali.." bisikku.
"Al!!! jangan pengaruhin anak gue, udah deh Al fokus sama masalah lo," suara Ana kini menjadi serius.
Aku terdiam. "Jujur gue nggak tau, semua menuntut agar gue cepat menikah, apalagi mama. Tapi lo tau sendiri, gue masih ingin fokus dengan perusahaan ini. Lagian juga gue belum punya calon,"
"Gimana dengan Lil?" tanya Ana dengan ragu.
Keningku berkerut dan tersenyum. "Loh bukankah menurut gosip dia dekat dengan seorang dokter di Jerman?" aku bukan pecinta acara gosip. Tapi di perusahaan ini, setiap paginya pasti ada saja gosip artis yang dibicarakan hingga aku tidak sengaja mendengarnya. Apalagi gosip tentang Lil yang memang sedang sangat terkenal di Indonesia meski berkarier di Jerman.
"Yaa dia memang cerita begitu," nahh. Kalau berita itu datang dari mulut Lil langsung kenapa Ana menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya. Aku merasa di sakiti? tidak. Merasa sakit hati? hem mungkin. Karena aku tidak bisa melakukan apapun. Jika dia sudah ingat dan penyakit itu sudah sembuh total pasti aku akan memperjuangkannya. "Lo nggak apa Al? maksud gue, lo bahkan belum punya pengganti Lil,"
"Biasa aja, gue udah bilang kan? fokus gue sekarang ini yaa perusahaan,"
Terdengar ciburan darinya. "Hahh yaudah nikah aja sono sama kertas-kertas, udah sini baby gue harus makan,"
"Mam?" suara kecil itu membuatku tersenyum.
"Haha.. kamu lapar? okey ikut mamamu yaa.." ku berikan Varisha pada Ana dengan terpaksa.
"Yaudah gue balik ya.. ntar gue hubungin lagi kalau ada kabar, nahh sayang, dada dulu sama papa.." tangan kecilnya berdada ria denganku.
"Dada.. besok main dengan om lagi yaa.. Ana salam buat Alex," ucapku setelah mencium pipi bulatnya itu. Ana keluar dari ruanganku, ruangan ini kini kembali sepi. Tidak ada tawa menghibur dari baby kecil itu. Jujur rasanya hatiku menghangat setiap bermain dengan anak-anak, mungkin karena aku kesepian. Sepertinya nasibku terdengar sedih.
Aku segera melangkah keluar ruangan setelaj jam pulang datang. Hari ini ibuku menyuruh untuk pulang cepat, entah ada acara apa.
"Mr. Orlando, kata bu Dania saya harus ikut Anda," ucap Nadia.
"Oh.. yasudah ayo.." jawabku santai. Sudah tidak kaget, belakangan ini mama memang sering mengundang Nadia ke rumah. Usaha yang tak kenal lelah, mengingat sudah sejak dua tahun lalu tapi belum mendapatkan hasil.
Kulirik Nadia yang hanya duduk diam, disampingku. Kasian sekali, ia harus mengikuti semua ucapan ibuku. Bagaimana kalau ia memiliki kekasih. Mungkin sebaiknya aku mulai tegas pada mama.
"Maaf ibuku selalu membuatmu repot," ucapku. Mataku masih tertuju pada jalan, saat ini aku lebih suka mengendarai mobil sendiri daripada menggunakan supir.
"Tidak.. saya tidak direpotkan, ibu Anda sangat baik pada saya," ucapnya. Ya mama memang memperlakukan Nadia seperti anaknya sendiri. Mungkin ibuku tercinta ini memang sudah tidak sabar memiliki menantu, tapi bagaimana, aku belum siap menikah apalagi dengan Nadia.
Kami tiba di rumah. Lihat, ibuku telah menunggu di depan pintu dengan senyum lebarnya. Astaga, bagaimana aku bisa mengecewakan wanita yang paling ku cintai ini. Aku segera pamit ke kamarku. Biarlah mereka membicarakan urusan wanita.
Usai mandi aku segera keluar dari kamar, sore-sore menikmati udara di balkon bisa membuatku merefresh otakku setela seharian bekerja. Mataku jatuh pada gitar yang tergeletak di sofa, aku tersenyum, pasti papa baru saja merayu mama. Dasar, kedua orang tua itu selalu membuatku iri. Aku mengambil gitar itu dan membawanya ke balkon.
Rasanya sudah lama tidak memainkannya. Aku mulai memetik gitar itu, memainkan nada sederhana. Dulu aku sangat suka musik, tapi rasanya semua alat musik seolah menggali masa lalu singkat itu. Seperti sekarang, kenangan saat harus bertengkar dengan Lil karena dia selalu salah kunci saat bermain gitar membuatku tersenyum.
"Anda bisa bermain gitar?"
Kepalaku menoleh, Nadia sedang menatapku penasaran. "Yaa sedikit, dimana mama?"
"Sedang menyiapkan makan malam, maaf saya mengganggu tadi saya mendengar permainan gitar karena saya suka jadi yahh saya mendekat. Sekali lagi maaf Mr. Orlando," kepalanya menunduk.
"Aldric atau Al saja.. jika diluar kantor jangan memanggilku begitu," entah rasanya semakin aneh dipanggil begitu di depan orang tuaku.
"Eh.. tapi rasanya tidak sopan,"
"Kan saya bilang saat di luar kantor, saat ini status kita teman karena bukan atasan dan bawahan," ucapku.
"Oh baik Al.." jawabnya. Aku tersenyum kecil dan melanjutkan permainan gitarku tadi. Nadia ikut duduk denganku, menatap kagum gitar yang kupegang.
"Kau mau mencoba memainkannya?" tanyaku.
"Emm? tidak, aku tidak bisa,"
"Aku bisa mengajarkannya jika kau mau," ucapku santai. Membagi ilmu adalah hal yang baik bukan.
"Serius?" suara girangnya membuatku tersenyum geli. "Boleh-boleh Mr ehh Al.. terimakasih, aku memang ingin sekali belajar tapi tidak sempat," jawabnya dengan mata berbinar.
Aku mulai memberitahu tentang kunci-kunci pada gitar. Kujelaskan semua dari dasarnya, rasanya seperti bernostalgia. Kami mulai serius, ia memegang gitar itu dengan posisi yang salah. Aku mendekatinya.
"Tanganmu harus begini," ucapku. Aku menoleh padanya, ternyata tanpa sadar kami sudah sedekat ini. Aku terdiam menatap wajahnya. Belum pernah aku sedekat ini dengannya. Mata bulat dengan bola mata hitam yang sama denganku itu kini nampak kaget. Mata itu indah, dan aku bahkan baru menyadarinya.
"Ehhmm.." dehaman itu membuatku reflek menjauh. Mama berkacak pinggang menatap kami dengan senyum kemenangannya. Ku usap tengkukku salah tingkah sedangkan Nadia menutupi pipinya yang memerah.
Oke mungkin ini yang orang namakan awkwark moment.
**********
See you in the next chapter ;)
Apa comment kalian di part 17 ini? hihi sengaja kubikin langsung dua tahun setelah itu, biar nggak flat aja gitu.
Semester ini lagi padet2nya jadwal kuliah jadi mungkin bisa update seminggu sekali / dua minggu sekali. Mohon dimengerti yaa.. thanks :* :* :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top