Bab 15 - Bintang itu kamu
Hay readers... aku update malem lagi, hihi soalnya ideku berkembang biak pada saat gelap*loh
Langsung aja deh happy reading, jangan lupa vomment yaa..
*********
Aldric POV
Mata coklat terang yang tengah menatapku itu membuatku terdiam, dulu mata ini yang membuat ide-ide jail di otakku selalu muncul. Membayangkan wajahnya memerah entah karena tersipu atau kesal membuatku tersenyum dalam hati . Bening kedua bola matanya membuat aku betah seharian menatapnya.
Kulihat ia meringis dan menjambak rambutnya, kenapa dengannya. Aku sudah bertanya tapi ia justru berlari ke kamarnya, ada yang tidak beres.
Mataku masih saja tertuju pada pintu kamar ini. Kenapa Lily terlihat kesakitan. Ponselku berdering memecahkan segala dugaanku, ternyata Nadia yang menelpon untuk mengabarkan investor yang ingin bertemu langsung denganku, yah mau bagaimana lagi. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku.
Segera kubangkit dan menyambar kemeja serta jasku. Saat sedang sibuk memasang dari Lily kembali masuk. Ia bingung melihatku yang telah rapih. "Kau ingin pergi kemana?"
Mataku meliriknya sekilas. "Ke kantor, aku harus segera menyelesaikan urusanku di sini dan kembali ke Indonesia," ucapku. Yaa aku harus kembali secepatnya, mungkin besok atau lusa.
"Kau sedang sakit!! besok masih ada hari kan?" pertanyaan itu membuatku menghela nafas.
Aku berjalan menghampirinya. "Tidak boleh menunda pekerjaan, ohh iya terima kasih sudah mengurusku," ucapku tulus. Ia menyetujui ucapanku dengan memberikan syarat yang menyebalkan, aku harus memakan bubur itu, huhh rasanya nafsu makanku sedang hilang. Yahh maklum, memang jika sedang sakit semua makanan terasa pahit.
"Aku sedang malas makan, sudah yaa aku berangkat." Aku segera berbalik untuk kabur namun tanganku ditahan olehnya. Sial.
"Makan atau tidak pergi sama sekali!!" tandasnya.
"Lil ayolah.. aku sudah telat," suaraku memelas agar ia melepaskan aku. Biasanya ini ampuh untuk mama tetapi sayangnya tidak ampuh untuk Lily
"Kau ingin makan sendiri atau aku suapi?" pertanyaan itu tidak kutanggapi lantaran aku sudah kesal, kubuang wajahku darinya agar tidak luluh melihat matanya yang berbinar itu. "Ayoo buka mulutmu.. pesawat akan segera mendarat,"
Kulirik ia yang sedang memasang tampaang seperti seorang ibu yang membujuk anak kecil. "Kamu kira aku anak kecil?" tanyaku dengan geli.
"Yah memang begitu. Ayo Aaaa.." jawabnya sembari tertawa. Akupun akhirnya membuka mulut, untung aku bisa menghabiskan bubur itu meski rasanya begitu pahit. Sebelum ia memberi syarat yang aneh-aneh aku segera kabur darinya.
Beruntung saat sampai di kantor Theo sudah mengurus pekerjaannya dengan baik, jadi aku hanya perlu mengecek dan membahas berkas yang kukerjakan semalam dengan para petinggi kantor ini. Semua beres pada sore hari, syukurlah. Saat keluar kantor kulihat langit begitu gelap, gawat aku harus sampai rumah sebelum hujan.
"Anda sedang sakit Mr. ? wajah Anda terlihat pucat," ucap Theo yang berdiri di sampingku.
"Tidak, saya hanya kurang tidur.." mobil yang bertugas mengantar jemputku datang. "Nah Theo saya harus kembali, besok sore sepertinya saya harus segera kembali ke Jakarta, jadi besok pagi saya ingin menyelesaikan semuanya, bisa kau siapkan semua?" tanyaku. kepalanya mengangguk patuh dan aku mengucapkan terima kasih padanya.
Hujan mulai turun, kutatap tetesan air yang menetes di jendela mobil. Huhh, yausahlah tidak apa. Setelah perjalanan hampir dua jam akhirnya aku sampai dan segera masuk. Eh kenapa wajah om Ares kak Bian dan kak Sasya terlihat cemas.
"Dad harus kesana, adikmu kedinginan.." ucap om Ares gusar.
"Daddy jika kita menyusulnya ia akan semakin marah dan kacau, Bianpun tidak tega tapi mau bagaimana lagi,"
Hey ada apa ini, kenapa kedua pria yang kukenal sangat tenang ini bersikap heboh. Aku bergabung dengan mereka dan terbelalak. "Astaga.." ucapku kaget melihat Lily terduduk di bawah hujan yang begitu deras. "Kenapa tidak ada yang menyuruhnya masuk? ia bisa sakit!" ucapku sedikit berteriak. tentu saja aku marah. Baru akan melangkah kak Bian mencekal lenganku.
"Jangan mengganggunya, ia sedang butuh waktu untuk sendiri.." ucapannya membuatku mendengus.
"Lalu kita hanya menontonnya dari sini hingga Lil jatuh pingsan? hahh aku tidak mau," aku segera meninggalkan mereka. Sebenarnya ada apa hingga Lil bersikap begini.
Jika aku menyuruhnya masuk pasti ia akan menolak jadi aku lebih memilih bergabung dengannya meski kepalaku sudah terasa sangat pusing.
"Al.. kau kenapa di sini?" suaranya bergetar, pasti ia kedinginan. Rasanya aku menyesal karena datang terlambat.
"Menikmati hujan, sama sepertimu tentu saja," ucapku berusaha terdengar santai meski sebenarnya aku ingin membawanya ke dalam rumah sekarang. Aku memejamkan mata seperti yang ia lakukan tadi.
"Kau sedang sakit!! masuklah Al.. aku ingin sendiri!" serunya. Aku diam tak menanggapi ucapannya. "Al masuk atau.."
Kuhembuskan nafasku dan membuka mata. "Atau apa?" tanyaku dengan lembut. Ia terdiam namun langsung melanjutkan aksi menikmati hujan ini. Yah apa yang bisa kulakukan selain menunggunya bicara.
Cukup lama kami terdiam, kutatap bibirnya yang kini sudah membiru, pasti ia sudah sangat kedinginan. "Kamu bisa cerita, kita sahabat kan? siapa tau aku bisa membantumu.." ucapku hingga ia membuka matanya. Ia menatapku lama kemudian mulai terisak dan memelukku, aku terperangah. Ia terisak dan akupun mengelus punggungnya agar tenang.
"Aku tidak ingin menjalani pengobatan lagi.. rasanya begitu sakit, aku bahkan harus kembali botak jika oprasi. Obat-obat itu juga, semuanya memuakkan Al, aku tidak kuat.." ucapnya dengan getaran yang jelas terdengar. "Ak-aku berjanji akan sembuh total dan mengingat semuanya kembali tapi tolong beri aku waktu.. jangan menyuruhku kembali menjalani pengobatan itu, kumohon.. aku lelah.." lirihnya. Aku tercekat, semenderita inikah Lil selama ini.
Kueratkan pelukanku sembari mengelus rambutnya dengan lembut. "Jangan memaksakan untuk ingat semua, kalau rasanya begitu sakit tolong jangan memaksakan diri.." jawabku tak kalah lirih. Kalau Lil bisa mengingat semua harus dengan proses yang menyiksa mana mungkin aku tega. Lebih baik aku tidak di kenal olehnya seumur hidup meski itu berarti sakit untukku.
Tubuh Lily semakin meluruh, tangisannya pun telah terhenti. Aku memanggilnya beberapa kali namun ia tidak menjawab. "Lil bangun.." suaraku kini benar-benar panik. Aku segera membopongnya masuk kedalam rumah.
"Tolong bawakan handuk!!" seruku pada semuanya. Ku rebahkan Lily di sofa terdekat. Ku tepuk pipinya pelan. "Lil bangunlah," kugenggam tangannya yang begitu dingin. Bi Novi membawa dua handuk dan minyak kayu putih. Ku oleskan minyak itu pada Lil.
Mata itu kini terbuka perlahan, dan akupun bisa bernafas lega. Aku tersenyum padanya namun kulihat ada binar ketakutan disana. Kuikuti tatapannya, ternyata Lil takut menatap om Ares dan kak Bian. Belum pernah aku melihat Lil bereaksi setakut ini pada om Ares, pasti pengobatan yang ia ceritakan itu begitu menyiksa.
Sadar akan reaksi putrinya om Ares mendekat. Ia mengecup kening Lil. "Maafkan daddy sugar.. dad tidak akan membawamu ke dokter Raphael,"
Lily masih gemetar dan berusaha menjauh. Aku menggeleng samar pada om Ares, Lily membutuhkan waktu agar lebih tenang. Om Ares mengerti dan hanya tersenyum kecil lalu pergi dengan kak Bian dan kak Sasya.
Melihat semua telah pergi Lily kembali tenang namun ia hanya diam, pandangan matanya seperti kosong. Tidak ada binar seperti tadi, hanya mata redup yang menunjukkan kelelahan.
Aku mengambil handuk yang telah di bawakan bi Novi. Kuusap rambut Lil dengan handuk agar tidak terlalu basah. Setelah rambut itu cukup kering aku menepuk lengannya.
"Lil.. ganti pakaianmu dulu, kamu bisa sakit nanti." Ia menoleh padaku, melihatku dengan pandangan datar lalu mengangguk pelan. Baru saja berdiri ia langsung terjatuh, aku langsung membantunya berdiri. Apa dia masih lemas. "Duduk sebentar," perintahku.
Aku segera berjalan kearah dapur dan membuat coklat hangat untuknya.
"Den Al.. Non Lil tadi jatuh?" tanya bi Novi. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Pasti sedang kambuh, kalau tertekan non Lil memang begitu den.. seperti dulu di Indonesia,"
Aku menoleh kaget, jadi ia jatuh bukan karena lemas. "Lalu kambuhnya akan lama atau tidak?"
"Tidak, kalau sudah tenang kondisinya akan membaik dan kembali normal.."
Aku kembali dengan perasaan campur aduk. Seperti di Indonesia, seketika bayangan saat Lil sakit memenuhi otakku. Lil yang sangat rapuh seperti bayi. Sial, ternyata aku tidak mengetahuin informasi sepenting itu.
Kulihat ia masih duduk diam saat aku menghampirinya. "Minumlah," ucapku. Melihat tangannya yang bergetar saat mengambil gelas, kutarik gelas itu kembali. "Biar kubantu,"
Ia mengucapkan terima kasih dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Aku menggenggam tangannya. "Dengar aku, awas kalau kamu berani bermain hujan seperti tadi lagi!!"
Keningnya berkerut. "Memangnya kenapa? bermain hujankan seru,"
Kujitak kepalanya dengan kesal. "Dasar nakal!! kalau sakit bagaimana?" tanyaku.
"Aku tidak akan sakit.." ucapnya dengan nada pongah, dan setelah mengucapkan itu ia bersin. Ia menoleh padaku dan aku menatapnya seolah bicara Nahh kubilang juga apa.
Aku membopongnya hingga ia berteriak kaget. "Kamu harus mengganti pakaian ini," jelasku. Kubawa ia kekamarnya, jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku akan memanggil kak Sasya untuk membantu Lil, tidak mungkin aku yang turun tangan. Setelah ia duduk di tepi ranjang akupun berlutut di depannya. "Tunggu di sini, kupanggil kak Sasya dulu," ucapku.
Kakiku melangkah menuju ruang keluarga yang sepertinya sedikit ribut. Aku berdeham agar perhatiam teralih padaku. "Kak Sasya.. tolong bantu Lil mengganti pakaiannya,"
Kak Sasya mengangguk dan kami berjalan ke kamar Lil. Melihat binar ketakutan itu lagi aku segera berjalan mendekatinya. "Jangan takut, ada aku.. tidak akan ada yang bisa memaksamu berobat, aku jaminannya," bisikku. Lili menatapku dan akupun mengangguk memberi keyakinan padanya. Setelah itu tentu saja aku menunggu di luar. Besok aku akan kembali ke Jakarta tapi apa aku bisa meninggalkan Lily dalam keadaan seperti ini.
Malam ini aku menemaninya duduk di balkon, menatap bintang yang entah setelah hujan justru semakin banyak dan indah. Memang, setelah kegepalan yang menghasilkan hujan pasti akan ada keindahan, seperti pelangi atau mungkin seperti malam ini. Kurasa bintang-bintang itu seolah menggoda untuk diraih dan didekap. Seperti bintang yang sedang duduk diam di sampingku ini.
Aku bertopang dagu sembari menatap wajahnya, wajah yang seharusnya penuh rona itu kini sedikit pucat. Matanya mengerjap polos, gerakan bulu matanya yang lentik itu membuatnya semakin cantik. Dan aku tidak bisa memungkiri, aku selalu jatuh cinta padanya setiap detik. "Lil.."
"Al.."
Panggilan kami yang bersamaan itu membuat aku dan dia saling melemparkan senyum geli. "Ladies first.." ucapku.
Ia terkekeh pelan. "Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih.. kalau kau ingin bicara apa?"
Aku tersenyum melihat Lily sudah mulai tenang. "Kalau aku hanya ingin memanggil.." ucapku santai sembari kembali menatap lautan bintang. "Aku menyukai satu bintang, tapi seperti yang kita tau.. tidak mungkin seseorang bisa meraih bintang, sehebat apapun orang itu atau secantik apapun bintang itu. Tapi aku selalu berharap, semoga bintang yang kusuka itu tetap bersinar terang meski aku tidak berada di dekatnya.. karena aku selalu memperhatikannya dari kejauhanmeski bintang itu tidak tau." Kepalaku menoleh pada Lily yang mengerutkan keningnya.
Aku tertawa pelan dan mengusap kerutan di keningnya. "Tidak usah dipikirkan,"
"Memangnya secantik apa bintang itu? coba tunjukkan padaku, sepertinya semua sama saja," kini matanya sibuk mencari ke atas langit.
"Masa kamu tidak lihat? aku bisa melihat jelas," jawabku sembari menatapnya.
"Aku tidak lihat Al, coba tunjuk yang mana?" suara kesalnya membuatku tertawa. Ia masih Lily yang sama, mudah sekali kesal dengan tingkahku. Setidaknya aku tau, jika ini masih Lily yang sama berarti sifat tegarnyapun masih sama. Paling tidak aku bisa meninggalkannya dengan tenang.
"Sudah tidak usah dicari, hanya aku yang bisa melihatnya, kamu tidak akan bisa melihatnya secara langsung." Yaa karena jika kamu ingin melihat berarti kamu harus berdiri dihadapan cermin, lanjutku dalam hati. Kulirik jam tanganku, sudah waktunya ia makan malam. Ehh hebat, aku bahkan tidak merasakan sakitku karena mengurusnya. "Ayo.. kamu harus makan, tadi siang tidak makan kan?"
"Hemm yaa, aku juga sudah lapar," ucapnya malu-malu.
"Oke.. ayo kita ke meja makan, semua pasti sudah menunggu."
Kepalanya menggeleng pelan. "Aku ingin makan di sini, pemandangannya sedang bagus Al. Bolehkan??" matanya berbinar penuh harap. Aku tidak bisa menahan untuk mencubit pipinya itu.
"Dasar.. baiklah, aku ambilkan dulu," ucapku seraya berbalik. Bagaimana bisa aku melupakan setiap detik berharga ini. Akupun tidak bisa memaksanya untuk mengingatku, apalagi memaksanya kembali ke Indonesia. Memulai semua dari awal, tidak mungkin. Aku tidak boleh egois, sekarang di tanganku bergantung nasib jutaan orang yang bekerja di peruasahaanku. Jika aku hanya mengurus soal pribadiku bagaimana nasib perusahaan tempat mereka mencari nafkah.
Kadang aku ingin bersikap egois, tapi apa aku tega melihat anak-anak harus putus sekolah lantaran kantor milik orang tua mereka bangkrut karena sang direktur memikirkan soal cintanya. Jawabannya sekali lagi tidak, aku tidak bisa memaksa Lil ingat denganku dan aku tidak bisa memulai semua dari awal karena tidak ada waktu.
Yang kubisa hanya menunggu, menunggu hingga ia sembuh dengan sendirinya. Dengan resiko ia akan menemukan pria lain tentu saja. Belum lagi setelah ini mungkin aku tidak akan kembali ke Jerman, kembalipun pasti hanya sesekali untuk perusahaan dan akan langsung kembali lagi ke Jakarta. Jadi, pada dasarnya kami memiliki kesempatan meski hanya beberapa persen.
Aku hanya bisa berharap, siapapun yang akan bersama Lil nantinya, ia harus bisa menjaga Lil lebih dari om Ares, kak Bian dan Alex. Kenapa aku tidak termasuk? karena aku tidak pernah berhasil menjaganya meski rasanya sangat ingin, kalian pasti tau sejak dulu aku hanya membuatnya sakit.
***********
Nahh besok POVnya siapa? Nadia?*langsungdikroyok :D
See you di part selanjutnya deh.. bye byee :* :* :* kiss dari yayang Josh yang lagi sibuk nyari istri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top