Bab 14 - Rain
Hayy readers.. hihi update nih
Langsung aja yaa.. happy reading, jangan lupa vommentnya ;)
********
Lili POV
Aku sibuk mengobrak-abrik kotak ini. Kenapa termometer mendadak menjadi benda yang sangat sulit ditemukan. Aissh kedua kakakku ini sama sekali tidak membantu, mereka justru asik menontonku. Memangnya aku badut.
"Kak bantu aku dong!!!" seruku kesal.
"Kakak pikir kau tidak butuh bantuan, melihat semangat 45 mu sejak tadi," ucap kak Bian seraya maju untuk membantu.
Dasar, alasan. Bilang saja ia malas membantuku. "Lil, tadi Dad bilang termometer ada di kotak ke dua dari bawah," jelas kak Sasya setelah menelpon daddy.
"Ohh iya, kemana Daddy?" tanyaku sembari membuta kotak itu. Yepp akhirnya aku bisa menemukannya.
"Sedang ada urusan pekerjaan, bi Novi sedang belanja bulanan." jawab kak Bain.
Aku berkacak pinggang di depan kedua pasangan ini. Apa suaraku tadi kurang kencang hingga mereka tidak dengar. "Kenapa tadi saat aku memanggil semua, kalian tidak muncul?" mataku menyipit, jelas aku ingin penjelasan.
"Masa? berarti kami masih tidur, memangnya kenapa kau memanggil kakak?" tanya kak Bian.
"Aku lapar kak... kakak tau kan aku tidak bisa memasak, untung Al bisa memasak jadi aku tidak perlu kelaparan,"
"Al memasak untukmu?"
Aku memandang datar kak Bian, apa ucapanku tadi kurang jelas. Coba beritau aku mana yang kurang jelas dari kata-kataku. "Yaa padahal ia sedang kurang sehat..." tunggu dulu, astaga, kutepuk keningku. Akukan harus segera mengecek keadaannya.
Aku segera berlari dan meninggalkan kedua orang yag bertampang bingung ini. Nanti mereja juga akan mengikutiku. Kubuka pintu kamar Al lalu masuk ke kamarnya tanpa menutup pintu. Yahh akukan tidak ingin dikira macam-macam. Wajahnya begitu pucat sekarang. Ku sentuh keningnya, astaga orang ini kenapa tidak bilang sejak tadi sih kalau sedang sakit. Aku jadi merasa tidak enak sudah menyusahkannya.
Kulihat termometer yang sudah berbunyi itu. Wow 39,7 derajat. Aku segera menelpon dokter Bannan, dokter keluarga kami selama di Jerman untuk datang kemari. "Al bangun.." ucapku sembari menepuk lengannya. Aku ingin menawarkan teh hangat, biasanya daddy selalu membuatnya untukku jika aku sedang sakit. Al tidak menjawab, ohh mungkin kurang kencang. "Al bangun sebentar," kini tanganku menepuk pipinya dengan pelan.
Ehh tidak ada respon. Apa dia pingsan, aku mencoba membangunkannya terus tapi sia-sia. Huhhh sekarang aku hanya bisa mondar-mandir tak jelas lantaran panik sekaligus tidak sabar menunggu dokter Bannan.
Kak Sasya muncul dengan kerutan di keningnya. "Kamu kenapa Lil? kayak setrikaan aja,"
Aku segera berlari kearahnya. "Kak.. Al pingsan,"
"Apa? sebentar kakak lihat," kak Sasya segera mendekati Al, memanggilnya berkali-kali dan tetap tidak ada jawaban. "Hemm yaudah, kamu tenang yaa.. kakak panggil Bian dulu," ucapnya. Aku hanya menganggukan kepala.
Dokter Bannan datang dan segera memeriksa Al. Setelah selesai ia menghampiri kami bertiga. "Tolong ingatkan pasien untuk menjaga pola istirahat dan pola makannya, ia kelelahan dan kurang tidur, tenang saja sebentar lagi ia akan bangun, ini resep obatnya,"
"Terimakasih dokter," ucap kami bersamaan.
Ia mengangguk. "Baik saya pamit, permisi." Kak Bian mengikuti dokter Bannan keluar rumah sekaligus untuk membeli obat Al. Huhh sial, aku bisa sepanik ini. Pasti karena aku merasa bersalah. Jika aku tidak merepotkannya tadi pagi pasti ia bisa beristirahat.
"Kakak akan siapkan air kompres,"
Aku duduk di sofa yang kini sudah berada di samping ranjang. Melihat wajah pucatnya tiba-tiba bayangan kecil muncul di otakku. Wajah pucat dengan pakaian tidur lucu. Al yang sepertinya sedang marah padaku, dan cheese cake. "Lil.." suara itu memecahkan pikiranku, apa tadi itu kenangan yang aku lupakan, atau itu hanya bayangan. "Kamu kenapa?" tanya Al yang kembali mengalihkan pikiranku.
"Eh.. emm tidak, kau yang kenapa? kau pingsan lumayan lama,"
Keningnya berkerut. "Wajahmu terlihat bingung tadi, apa yang kamu pikirkan?" suara lemahnya membuat aku sedih. Dia yang sedang sakit tapi kenapa aku ikut merasakannya.
"Tidak kok, hanya masalah kecil.. Al maaf yaa.." ucapku pelan sembari menunduk.
Aku terperangah saat telunjuknya mengangkat daguku agar menatapnya. "Maaf untuk apa?"
Sial, semoga aku tidak merona. Ayolah wajah, ini bukan saatnya. "Emm karena tadi sudah merepotkanmu padahal kau sedang sakit,"
Ia tersenyum padaku. "Tidak repot, sudah tidak usah berpikir macam-macam,"
Aku mengerucutkan bibirku. "Tetap saja aku merasa tidak enak, kau harusnya bilang saja kalau sedang sakit, membuat orang panik saja.." gerutuanku hanya dibalas senyum olehnya. "Al.. kau suka cheese cake?" tanyaku penasaran akan bayangan yang tadi sempat muncul di otakku.
"Ya.. kamu tau?" aku tau ia pasti kaget.
"Hanya menebak, nanti aku akan mengajakmu ke toko kue langgananku, cheese cake di sana sangat enak.. makanya kau harus cepat sembuh!"
"Cihh.. dasar, itu rayuan untuk anak kecil, memangnya aku anak kecil," ketusnya. Aku tertawa melihat wajah kesalnya. Ehh kak Sasya sudah berdiri di sana sejak kapan, ia tersenyum padaku.
"Hay Al.. syukurlah kamu sudah sadar, nahhh ini kompres untuk Al, kakak keluar dulu ya.." ucap kak Sasya.
Aku mengompres kening Al. Ia sempat menolak tapi aku memaksanya dengan berbagai ancaman mengerikan, seperti mengancam untuk membanting ponselnya. Haha aku jahat dan jenius kan.
Ia kembali tertidur, ponselnya sejak tadi bergetar tapi aku tidak mengangkatnya. Tidak sopan kan mengangkat telpon orang. Oke sepertinya ini telpon penting karena sang penelpon tidak menyerah juga. Huhh maaf Al aku lancang.
"Yaa hallo.." sapaku. Ehh tidak ada jawaban di sebrang sana. Kuulangi sapaanku namun di sebrang tetap senyap. "Hallo apakah ada orang? jika tidak kututup yaa telponnya.."
"Ehh maaf ini dengan siapa ya? bukankah ini ponsel Mr. Orlando?"
"Saya Lily, yaa ini memang ponselnya tapi ia sedang tidur," jawabku. Aku menjauhkan ponsel untuk melihat siapa yang menelpon, dan ternyata ini Nadia, sial.
"Ohh maaf mengganggu kalian, tapi ada masalah penting, beberapa investor ingin bertemu langsung dengan Mr. Orlando,"
"Hemm baik, sebentar yaa..." ucapku. Aku segera menepuk lengan Al. "Bangun Al!! Nadia menelpon.." Aisshh ia malah membalas dengan gumaman. Kualihkan perhatianku pada ponsel kembali. "Nadia, maaf yaa telpon lagi saja nanti, Al susah sekali dibangunkan,"
"Ohh baiklah Miss Lily, sekali lagi maaf saya sudah mengganggu kalian, nanti saya akan menelpon lagi." Ehh menggangguku dan Aldric, memang apa yang sedang kami lakukan, dasar aneh. Ohh iya bahkan ia tidak mengucapkan salam penutup untukku, apa mungkin dia marah padaku, atau cemburu. Huhh sudahlah, nanti pasti Al akan menjelaskan semua pada Nadia.
Beberapa kali aku mengganti kompresnya hingga kini demamnya sedikit turun. Kulirik jam yang berada di nakas, sudah siang. Ia harus bangun untuk makan siang tapi aku tidak tega membangunkannya.
Kak Sasya menghampiri kami dengan nampan ditangannya, syukurlah ia membawa bubur. Ia tersenyum padaku dan langsung pergi. Ada yang aneh dari sifat mereka, tidak jelas tetapi bukan berarti tidak terlihat, hanya yahh samar saja. Mereka seolah ingin aku menghabiskan waktu dengan Aldric. Entah apa tujuan mereka.
Nanti aku akan bertanya pada mereka. Sekarang yang terpenting adalah kesehatan Aldric. "Al bangunlah.. kau harus makan." Mata hitam tajam yang sejak tadi terpejam itu kini mulai terbuka perlahan. "Hay.. makanan sudah siap, duduklah,"
Ia tetap diam sembari menatapku, tatapan yang entah meski baru beberapa kali bertemu rasanya tidak asing. Rasanya aku seperti tenggelem di kedua mata yang kini sedang menatapku. Sekelebat bayangan aneh itu muncul kembali hingga kepalaku terasa begitu sakit. Aku meringis pelan sembari menjambak rambutku.
"Kamu kenapa?" suara paniknya membuatku tersenyum samar. Aku meletakkan kembali bubur itu di nakas.
"Emm aku harus ke kamarku, kau makan saja dulu," ujarku secara cepat kemudian segera berlari ke kamar. Ku kunci pintu kamarku. Kupegang kepalaku kuat-kuat menahan sakit. Kenapa ini, selama beberapa tahun terakhir sakit kepala yang seperti ini sudah tidak terjadi.
Sakit itu berangsur-angsur pergi. Syukurlah, mulai sekarang jangan memikirkan hal yang aneh-aneh agar sakit kepala itu tidak muncul lagi. Setelah benar-benar hilang aku segera kembali ke kamar Aldric.
"Hay.. ehh kenapa bubur itu belum kau makan?" tanyaku. Melihatnya sedang bersiap-siap untuk pergi. Loh, orang ini bukankah sedang sakit. "Kau ingin pergi kemana?"
Matanya melirik sekilas. "Ke kantor, aku harus segera menyelesaikan urusanku di sini dan kembali ke Indonesia," ucapnya. Mendengar itu aku hanya terdiam, benar juga, ia akan segera kembali ke Indonesia.
"Kau sedang sakit!! besok masih ada hari kan?"
Kalau tadi ia hanya melirik sekarang ia menoleh dan menghampiriku. "Tidak boleh menunda pekerjaan, ohh iya terima kasih sudah mengurusku."
Aissh dasar workaholic memang susah. Sudahlah, aku pasti kalah jika berdebat dengannya. "Oke kau boleh pergi tapi dengan satu syarat," ucapku. Ia menatapku dengan tatapan bertanya. "Makan buburmu,"
Kepalanya menggeleng. "Aku sedang malas makan, sudah yaa aku berangkat." Ia berbalik dan aku menahan tangannya.
"Makan atau tidak pergi sama sekali!!" tandasku.
"Lil ayolah.. aku sudah telat," suara memelasnya tidak kuhiraukan. Memangnya dia pikir aku orang yang mudah luluh. Sadar usahanya tidak berhasil akhirnya ia hanya menghela nafas dan duduk di sofa. Kuambil bubur itu dan duduk disampingnya. "Kau ingin makan sendiri atau aku suapi?" tanyaku.
Ia tetap diam bahkan membuang muka. Hey dia benar-benar seperti anak kecil. Dasar, baiklah aku akan menjadi baby sitter bayi ini. "Ayoo buka mulutmu.. pesawat akan segera mendarat,"
Ia melirikku, tampang kesalnya berubah menjadi geli. "Kamu kira aku anak kecil?"
Aku tertawa kecil. "Yah memang begitu. Ayo Aaaa.." ia pun membuka mulutnya. Wahh ternyata aku berbakat menjadi baby sitter. Oke lumayan jika aku mengurus bayi-bayi orang kaya, pasti gajinya besar. Ahh sudahlah, melantur saja.
Kini bubur itu telah tandas. Ia segera pergi ke kantor dengan semangat seperti lupa kalau sedang sakit. Hemm ia pasti sangat mencintai pekerjaannya. Aku turun ke lantai bawah, sepertinya daddy sudah pulang. Teringat tawaran Josh saat itu aku segera menghampiti daddy yang terlihat begitu sibuk. Tanpa sengaja aku mendengar daddy menyebut nama dokter Raphael. Tunggu, jangan-jangan tadi daddy pergi untuk bertemu dokter yang sudah seperti om ku itu.
"Apa kita perlu mengajak Lil berobat kembali?" suara kak Bian mengalihkan pikiranku. Tidak, aku tidak mau. Rasanya tubuh ini sudah lelah dengan berbagai pengobatan itu. Kenapa tiba-tiba daddy ingin membawaku ke sana. Air mataku mengalir, rasanya aku begitu takut.
"Sepertinya begitu Bian, kau ingat? semua ingin Lily pulang, jika Lily takut kembali karena penyakitnya belum terlalu sembuh maka kita harus membuat Lily sembuh total," tandas daddy. Kepalaku menggeleng, kenapa sekarang semua terdengar egois. Mereka tidak tau betapa memuakkan semuanya, apa aku harus melakukan oprasi yang membuat kepalaku kembali botak? atau aku harus bersakit-sakit ria, atau aku harus meminum obat yang banyak itu.
"Daddy.. kenapa dad begitu tega.." lirihku sembari berjalan mendekati semua. "Dad tau Lil tidak ingin pengobatan itu lagi kan?"
Daddy menoleh padaku, ia tetap nampak tenang meski aku memergokinya. "Ini yang terbaik sugar, kau harus kembali ke Indonesia. Lagi pula sebentar lagi S1 mu akan selesai kan?"ucapnya. Aku menahan air mataku, aku memang manusia yang egois. Aku memikirkan perasaanku saja tanpa memikirkan daddy yang merindukan orang tuanya alias opa dan omaku. Oke sekarang semua sudah jelas, aku belum siap kembali dan daddy harus kembali.
Kuberikan senyumku pada semua, kakiku melangkah mendekati daddy. "Daddy dan yang lain pulanglah ke Indonesia, tetapi maaf.. Lil tetap stay di sini. Lil pikir ini sudah waktunya untuk belajar hidup mandiri."
Daddy terperangah, asal tau saja akupun sangat berat mengucapkan ini. Berpisah dengan daddy setelah lama usahaku untuk selalu bersamanya. Tetapi mungkin memang ini yang tepat, aku harus menyelesaikan S2 ku di sini dan aku akan kembali ke Indonesia jika keadaanku benar-benar pulih tanpa pengobatan lagi. Aku segera berjalan meninggalkan ruangan yang kini sunyi senyap meski ada makhluk hidup di dalamnya.
Rumah ini terasa begitu nyaman, taman yang luas membuatku bisa menenangkan diri tanpa harus pergi jauh. Aku berbaring di rerumputan, menatap langit yang mulai menghitam, seolah ingin menumpahkan semua bebannya pada bumi, dan lautpun telah siap menampung segala keluh kesah langit. Senyum miris tercetak di bibirku, awan kelabu ini seolah menggambarkan pikiranku saat ini. Kalut. Aku tidak tau mana yang benar dan mana yang salah.
*Lili lagi main sama kucing :)
Miiaaww. Aku tersenyum melihat seekor kucing mendekatiku. "Hai.. kau lapar yaa? aku tidak membawa makanan sekarang," ucapku sembari mengelus kepalanya. Setelah beberapa lama tetesan air kini mulai turun semakin lama semakin banyak hingga pakaian yang kukenakan basah. Aroma tanah basah dan dedaunan yang terkena percikan air mata langit membuatku memejamkan mata. Menikmati setiap tetesan yang menerpa wajahku dan mendengarkan irama air berbenturan dengan tanah.
Jika ini di situasi normal pasti daddy sudah menarikku masuk, tapi kali ini tidak. Daddy pasti tau aku membutuhkan waktu untuk diriku sendiri. Rasa dingin mulai terasa menusuk tulang, tapi kali ini aku ingin mengabaikan semua, demikian pula dengan rasa sesak dan lelahku. Aku ingin menikmati hujan tanpa beban.
Mataku terbuka saat kurasa ada seseorang yang duduk di sampingku. "Al.. kau kenapa di sini?" tanyaku dengan bergetar karena dingin. Ehh sebenarnya aku sudah hujan-hujanan berapa lama.
"Menikmati hujan, sama sepertimu tentu saja," ucapnya santai. Ia mulai memejamkan mata seperti yang kulakukan tadi, hey dia ini bodoh atau cari mati. Bukankah dia sedang sakit.
"Kau sedang sakit!! masuklah Al.. aku ingin sendiri!" seruku. Ia tidak menyahut, sial, beraninya dia mengabaikan aku. "Al masuk atau.."
Mata hitamnya terbuka membuatku menghentikan ucapanku. "Atau apa?" suara tenangnya membuatku pasrah. Aku terdiam, aku ingin sekali menumpahkan amarahku tapi apa wajar aku menumpahkannya pada orang yang tidak bersalah ini. Akhirnya aku kembali memejamkan mata, abaikan dia Lil pasti nanti dia akan masuk jika sudah tidak kuat.
Lama kami terdiam, kenapa ia tidak juga masuk, hiss dasar bodoh.
"Kamu bisa cerita, kita sahabat kan? siapa tau aku bisa membantumu.." ucapan yang penuh pengertian membuatku membuka mata. Mata hitamnya menatapku lembut, sial pertahananku runtuh. Aku terisak dan langsung memeluknya. Kini aku layaknya anak kecil yang sedang merengek pada Aldric, tapi biarlah, aku memang ingin menangis sekarang.
"Aku tidak ingin menjalani pengobatan lagi.. rasanya begitu sakit, aku bahkan harus kembali botak jika oprasi. Obat-obat itu juga, semuanya memuakkan Al, aku tidak kuat.." ucapku masih di pelukannya. "Ak-aku berjanji akan sembuh total dan mengingat semuanya kembali tapi tolong beri aku waktu.. jangan menyuruhku kembali menjalani pengobatan itu, kumohon.. aku lelah.." lirihku.
Aldric memelukku erat, ia mengelus rambutku. "Jangan memaksakan untuk ingat semua, kalau rasanya begitu sakit tolong jangan memaksakan diri.." aku tidak bisa mendengar jelas suaranya karena kepalaku terasa berputar.
Kini tubuhku benar-benar lemas. Kepalaku memberat dan semua menjadi gelap, sunyi. Samar ku dengar suara seseorang yang memanggil namaku berkali-kali dan tubuhku seperti melayang. Rasanya ingin membuka mati tetapi tidak bisa, hingga aku benar-benar jatuh tak sadarkan diri.
***********
Nahh lanjut di part setelah ini yaa wkwk
See you in the next chapter.. boleh tinggalkan comment kalian untuk part ini ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top