Bab 13 - Cooking with Mr. Orlando (?)
Nahhhh part selanjutnya sudah ku publish
hehe happy reading guys..
Jangan lupa untuk votte dan comment yaa ;)
*********
Aldric POV
Dengan perasaan yang sedikit lebih tenang aku kembali ke rumah. Kurebahkan diri di kasur yang tercinta ini dan tanpa menunggu lama akupun jatuh tertidur.
Pagi ini kembali ke rutunitas biasa. Pergi ke kantor dan membaca berkas-berkas serta berpikir keras bagaimana memajukan perusahaanku. Memang terdengar membosankan tapi bagiku itu menyenangkan.
Saat ini aku sedang duduk di kursi kerjaku. Menyusun rencana kerja untuk perusahaan yang sudah berada di tanganku ini. Mau tidak mau aku harus ke Jerman entah besok atau besoknya. Theo sudah menghandle semuanya, yaa di memang orang yang selalu bisa kuandalkan.
Nadia masuk ke ruanganku dengan beberapa berkas yang kuminta darinya. "Terima kasih Nadia, besok atau lusa saya akan berangkat ke Jerman, tapi karena ada beberapa rapat penting yang tidak bisa di tinggalkan saya ingin kamu stay di sini, tolong berikan semua materi rapat pada papa saya, beliau yang akan menghandle semuanya."
Kepalanya mengangguk patuh. "Baik, saya akan mempersiapkan semua, apa ada yang Anda butuhkan lagi Mr. Orlando?" kugelengkan kepala menanggapi pertanyaannya. "Baik kalau begitu saya akan kembali ketempat saya, permisi," ia berjalan meinggalkan ruanganku.
Aku mengontak beberapa orang untuk menanyakan cabang-cabang perusahaan kami. Sebelum aku meninggalkan Indonesia aku harus memastikan perusahaan di sini aman semua atau tidak.
Kupastikan semua berjalan normal. Syukurlah tidak ada halangan, sekarang aku bisa mengurus perusahaan baru tanpa beban.
Hari ini adalah hari keberangkatanku. Dengan ponsel yang setia berada di telingaku sejak pagi, yaa banyak hal yang ku sampaikan pada Nadia, semoga ia mengerti apa yang kusampaikan dengan cepat ini.
"Loh Al kamu juga di sini? mau kemana?" pertanyaan itu membuatku menoleh.
"Hay kak Sasya.. aku harus ke Jerman karena ada pekerjaan," jawabku sedikit kaget. Aku menghampiri mereka, yaa Kak Sasya, kak Bian, om Ares dan bi Novi.
"Kalau begitu kita sama," ucap kak Bian. Aku mengangguk untuk membenarkan.
"Kau akan tinggal dimana selama di Jerman?" tanya om Ares.
"Mungkin di rumah temanku om, kebetulan itu rumah milik perusahaan," yaa yang artinya itu rumah milikku.
"Tinggal dengan kami saja, yaa sekalian ngobrol dengan Lili? kamu pasti mau kan???" pertanyaan yang menjurus ledekan itu membuatku kaget. Kak Sasya yang benar saja, aku memang ingin bicara dengan Lili tapi tidak harus serumah juga kan. Entahlah rasanya sedikit aneh.
"Ya benar, dirumah kami masih ada kamar," timpal om Ares.
"Tidak usah repot-repot om, Al tidak mau mengganggu Lili," ucapku.
"Tidak repot, kau tau kan untukku kau sudah seperti anak sendiri, Lili tidak akan terganggu," jelas om Ares. Merasa percuma untuk menolak akhirnya aku mengangguk dengan ragu. Ohh bagaimana canggungnya jika aku harus tinggal serumah dengan Lili yang lupa denganku.
Aku segera mengabari Theo bahwa aku menginap dirumah keluargaku yang tinggal di Jerman. Yaa memang keluarga Lili sudah seperti keluargaku dan sahabat-sahabatku mengingat dulu kami sering bermain dirumah Lili.
Perjalanan yang begitu cepat rasanya, padahal keberanianku belum terkumpul. Kata kak Bian mungkin Lili sekarang sedang menunggu di bandara. Oke semoga aku tidak gugup nanti.
Setibanya di bandara aku pamit untuk menelpon seseorang. Tentu aku menelpon Theo untuk mengabari bahwa aku sudah di Jerman dan sebentar lagi aku ingin kami semua ke perusahaan untuk membahas segalanya.
Saat akan kembali tiba-tiba keningku terkena lemparan, astaga sepatu. Siapa yang berani melempar-lempar sepatu di kawasan bandara. Aku meringis dan menutupi keningku yang jelas mengeluarkan darah.
Saat melihat sang pelaku yang sibuk meminta maaf, mataku terbuka lebar. Dua kali bertemu dua kali pula tingkah cerobohnya membuatku kesal. "Lili..." geramku.
Kuturunkan tangan yang sedari tadi menutupi darahku, "Aldric, keningmu berdarah.. bagaimana ini, aduh maaf yaa aku benar-benar tidak sengaja,"
"Aww kamu memegang bagian lukanya," gerutuku sembari menepis tangannya. Aku tidak tau sekarang ia memiliki tingkah kecerobohan level tinggi.
Kukeluarkan sapu tangan dan mencoba membersihkan darahku, tapi karena mata tidak dirancang untuk melihat wajah sendiri secara langsung maka aku mengalami kesulitan. "Sini kubantu, kau ini galak sekali sih," Lili membersihkan lukaku dan memasangkan plaster. Dari dekat begini aku aku hanya bisa menahan nafas. Pandanganku jatuh pada lehernya, hey itu kalung yang kuberikan.
"Kau benar-benar sugar," ucap om Ares yan tiba-tiba sudah ada didekat kami. "Maafkan putriku.. dia memang ceroboh,"
"Tidak apa. Saya tau, dari dulu dia memang begitu om,"
Kulihat Lili melirik kesal padaku. "Sugar, selama beberapa hari Al akan menginap di rumah kita, ia sedang ada pekerjaan di Jerman," deg.. kira-kira apa responnya. Dengan melihat wajahnya aku tau ia pasti juga kaget.
Saat ini kami sedang berjalan menuju mobil. Aku dan Lili berjalan paling belakang. "Pacarmu tidak ikut?" ehh pacar? siapa pacarku. "Ituloh perempuan yang duduk disampingmu saat makan malam.." jelasnya dengan wajah disabar-sabarkan.
Aku tertawa dalam hati. Jadi dia mengira Nadia adalah pacarku, yahh sudah terlanjur dikira begitu, lanjutkan sajalah. "Ohh Nadia, ia sedang sibuk di Jakarta," tanganku menunjuk pria yang saat itu dinner dengan Lil. "Kenapa kamu tidak berjalan disamping pria itu?"
"Aishh malas, aku punya rencana untuk pura-pura marah padanya, jangan bilang padanya ya.." celotehnya.
"Ada masalah?" tanyaku.
"Ya.. karena dia mengelak kau jadi terkena sepatuku, bukannya aku berharap ia yang terlempar, tapi yahh harusnya ia menangkap sepatuku kan? dia memang menyebalkan.." oke aku sedikit senang ia bicara begitu.
"Ehmm sepertinya yang baru menikah adalah aku, kenapa kalian berdua yang jalannya lama sekali seolah menikmati waktu?" ledek kak Bian. Ehh ternyata kami berdua tertinggal lumayan jauh. Lili menghentakkan kaki, setauku dulu ia melakukan itu kalau dia sedang kesal. Tapi ia kesal kenapa.
Kami tiba di rumah yang indah dengan nuansa alami yang begitu kental, pepohonan yang rimbun, lantai kayu serta dinding seperti batu alam. Benar-benar membuat orang nyaman untuk berdiam-diam dirumah.
Bi Novi segera mengantarku ke kamar. Aku menatap kamar ini, nyaman sekali, benar-benar tipe rumah yang di design secara apik dan teliti hingga bagian-bagian terkecilnya, seperti ukiran atap kamarku ini. Oke bukan waktunya mengagumi rumah dan kamar ini. Aku harus segera menuju kantor baruku.
Setelah berpamitan pada semua aku segera pergi ke kantor. Dengan beberapa investor yang tertarik karena sekarang akulah yang memegang perusahaan ini aku segera mempromosikan beberapa program kerja jangka pendek dan jangka panjang.
Rapat di tutup dengan tepuk tangan dari berbsgai pihak, aku hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
"Theo besok kita harus menyaring beberapa pegawai, kupikir kau bisa melihat potensi mereka," ucapku sembari berjalan dan membenarkan jas yang ku kenakan.
"Baik Mr. Orlando saya akan mengurus semuanya, oh ya apa tempat tinggal Anda nyaman Mr. ?"
Aku tersenyum padanya. "Yaa nyaman, kau tidak perlu pikirkan itu, saya hanya beberapa hari di sini jadi kita harus menyelesaikan urusan-urusan dasar secepat mungkin, setelah semua sudah normal saya percayakan semua padamu,"
Kepalanya mengangguk patuh. Ia menyediakan mobil serta supir untuk mengantarku kembali ke rumah om Ares. Ohh akhirnya pekerjaan hari ini selesai juga, ehh belum masih ada beberapa rancangan yang harus selesai malam ini.
Tiba di rumah ini aku segera masuk ke kamar dan pergi mandi. Lumayan menyegarkan otak. Oke sekarang lanjut bekerja, aku mulai mencoret-coret beberapa strategi, menarik kesimpulan demi kesimpulan dari semua program kerjaku. Mataku memberat, ohh aku lupa benerapa hari ini aku kurang tidur karena kesibukan.
Dengan memaksakan diri aku tetap menyelesaikan pekerjaan ini hingga tidak sengaja jatuh tertidur.
Mataku terbuka perlahan, heyy kenapa ada Lili di sini, ia nampak kaget dan langsung terjungkal kebelakang. Ohh pasti itu sakit melihatnya meringis. Tapi aku masih bingung, apa dia memperhatikanku saat aku tidur.
"Kamu kenapa?" karena masih bingung pertanyaanku juga mungkin ambigu untuknya.
"Kau tidak lihat? aku jatuh," jawabnya dengan nada kesal.
Kepalaku menggeleng. "Maksudku, kamu kenapa disini?" kulihat wajahnya yang memerah, berarti benar ia tadi memperhatikan aku saat aku tidur, oke aku senang tapi aku harus bersikap biasa. Tanganku terulur padanya. "Sini kubantu bangun," ia duduk di tepi kasur dan aku berlutut di bawah, sekaligus meneliti keadaannya. "Ada yang sakit?" tanyaku.
"Ehhmm..." dehaman itu membuat kami berdua menoleh kearah pintu. Disana kak Sasya sedang berkacak pinggang. "Kenapa lama banget? hey kamu lagi modusin adik iparku ya?" tuduh kak Sasya. Yahh posisi ini mungkin terlihat seperti aku sedang merayunya.
"Enggak, tadi Lili jatuh," jelasku. "Ada apa kak? kakak menyuruh Lili ke kamar ku?"
"Ya ampun.. kok bisa jatuh? itu loh Al, makan malam udah siap," kak Sasya nampak panik.
"Aku terpeleset kak," jelas Lil. Cih bohong.
"Lil hati-hati dong.. yaudah ayoo yang lain udah nunggu dari tadi," ia berjalan duluan dan kami menyusul.
Satu ide jail menyelinap diotakku "Kenapa kamu memperhatikan aku saat aku tidur?" mendengar pertanyaan itu ia langsung menoleh dengan wajah pucat. Woww tebakanku benar. Sebenarnya aku ingin tertawa tapi aku tetap memasang wajah datar sembari menunggu jawabannya.
"Emm itu.. emm.."
"Heyy... cepatlah!!" teriak kak Bian. Sial, kali ini Lili selamat.
Kami makan dengan tenang. Kak Bian dan kak Sasya tentu saja sedang hangat-hangatnya, makan pun mereka sesekali suap-suapan. Aku tersenyum geli melihat om Ares yang hanya menggelengkan kepala maklum.
"Sugar, wajahmu pucat, kau kenapa?" tanya om Ares. Kami semua serempak menoleh pada Lili.
"Mungkin efek terpeleset om, tadi ia terpeleset saat membangunkan aku," jelasku dengan sedikit penekanan pada kata terpeleset.
Semua menatapku bingung, sedangkan Lili terbatuk hebat. Aku mengulurkan minum padanya. "Kalau makan pelan-pelan," ucapku polos tanpa rasa bersalah. Matanya melirikku kesal. Dan dengan polosnya aku bertanya. "Apa? aku hanya menjelaskan yang kamu akui tadi kan?" tanyaku.
Oke semua semakin menatap kami dengan bingung, tapi tidak dengan om Ares yang sepertinya mengerti. Ia hanya tersenyum kecil melihat tingkah kami. "Daddy... Al meledekku terus.." rengek Lil.
Om Ares tertawa. "Memangnya apa yang terjadi? kami menunggu kalian cukup lama,"
Baru Lili akan menjawab aku segera memotongnya. "Tanya pada Lil saja om, aku sedang tidur jadi tidak tau kenapa ia berlama-lama di kamarku,"
Wajah Lili benar-benar merah sekarang. Oke mungkin cukup aku menggodanya, bisa-bisa ia menangis. Aku tidak bisa membuatnya menangis untuk alasan apapun.
"Emm itu dad Lil memperhatikan.. berkas yang ada di dekatnya iyaa itu, semua berkas itu berisi coretan yang membuat Lil bingung," penjelasan yang sangat ketahuan bohongnya.
Tapi tidak sepenuhnya bohong, pasti dia sempat melihat berkas-berkas yang ku kerjakan tadi. Om Ares yang kutau hanya pura-pura percaya menyuruh kami melanjutkan makan dan kami menurutinya.
Aku memilih bersantai di balkon menikmati udara malam yang sejuk. Malam ini banyak sekali bintang, benar-benar indah. Tapi yang lebih indah saat ini adalah aku sedang berada di dekat orang yang ku cintai.
Seseorang menghampiriku dan akupun menoleh, Lili sedang menatap langit dengan cangkir besar di tangannya. Aku mengerutkan kening. "Kenapa belum tidur? ini sudah malam,"
Ia menoleh padaku, wajahnya masih kesal seperti tadi. "Tadi aku ingin masuk kamar tapi aku melihat kau di sini, aku kan ingin marah-marah padamu," oke penampilannya yang imut dengan menggunakan baju tidur beruang memang menjelaskan bahwa ia sedang bersiap untuk tidur.
"Ingin marah? okee silahkan, aku akan dengarkan,"
"Dasar menyebalkan, ku kira kau pendiam ternyata kau jail juga, kau tau tidak sih? aku malu tadi, kau ini benar-benar..."
Aku hanya bertopang dagu menatap Lili yang masih berceloteh ria dengan nada berapi-api menandakan ia benar-benar kesal padaku, wajahnya benar-benar cantik. Setelah lelah bicara dan tidak dapat tanggapan sama sekali akhirnya ia menghela nafas.
"Sudah selesai?" tanyaku. Ia mengerucutkan bibirnya dan kembali menatap bintang. Oke sekarang dia sedang ngambek. "Masuklah, banyak angin di sini,"
"Tidak mau," jawabnya ketus. Aku hanya menghela nafas. Terserah saja, aku sedang lelah dan malas berdebat. Kupijat keningku karena merasa pusing. Mungkin besok pagi aku harus istirahat, daripada aku tumbang di sini hanya karena memaksakan diri.
"Kau pasti kelelahan, ini aku tadi membuat coklat panas tadinya untukku tapi karena melihat wajahmu yang lelah itu aku jadi tidak tega, tenang aku belum meminumnya.." Lili mengulurkan secangkir besar coklat panas.
Aku tersenyum. "Yakin ini untukku? sudah minum saja, aku hanya kelelahan biasa," ucapku.
Ia memukul bahuku pelan. "Akukan sudah berniat baik, ini minum!!" nada ketus itu membuatku tersenyum dan ku terima coklat panas ini. Aku mengucapkan terimakasih padanya.
"Al.." panggilnya. Aku hanya menjawab dengan gumaman. Sepertinya ia mulai memanggilku dengan panggilan yang semua berikan padaku. "Untuk Sean dan Vano maaf aku tidak bisa datang," ucapnya. Tentu aku kaget.
"Kamu tau mereka meninggal?" tanyaku.
Kepalanya mengangguk pelan. Lalu menoleh padaku, sial matanya berkaca-kaca. Segera aku melihat langit, aku tidak bisa melihatnya menangis. "Maaf aku bukan sahabat yang baik, aku baru tau saat kita bertemu di restoran saat itu, aku memeriksa email dan banyak sekali email dari kalian,"
"Sudah, tidak usah dibahas, mereka sudah tenang disana," ucapku setemamg mungkin menutupi gemuruh rasa sedih memngingat kepergian kedua sahabatku itu.
Helaan nafas terdengar di sampingku. "Aku tidur dulu, kau sebaiknya tidur juga, ini sudah malam," ucap Lili. Ia berbalik tapi aku segera menarik tangannya. Ohh bodoh sekali, tapi ini reflek. "Ada apa?" wajah bingung itu menatapku penasaran.
Sial, aku bingung ingin bicara apa. Apa aku harus melepaskannya. Tidak, sudah terlanjur, aku harus mencari bahasan. "Kalung itu, kamu masih memakainya,"
Tangannya menggenggam kalung itu dan tersenyum padaku. "Yah.. mana mungkin aku melepaskan kalung pemberian sahabatku ini, meski sahabatku itu orangnya sangat menyebalkan," gerutunya. Tentu yang Lil maksud adalah aku.
Aku tertawa kecil menutupi rasa nyeri karena di lupakan. "Kalau ada yang memberimu kalung kamu bisa melepaskannya,"
Kepalanya menggeleng. "Enak saja!! aku suka kalungnya," matanya menyipit padaku. "Kau ingin meminta ini lagi?" tuduhnya.
"Untuk apa? untuk kupakai? tidak mungkin,"
Ia mengedikkan bahu. "Yahh siapa tau kau ingin menjualnya,"
Aku ternganga sebentar dan tertawa. "Sembarangan, memangnya aku orang seperti apa? sudah sana tidur!!"
"Huhh dari tadi juga aku ingin tidur tapi kau menarikku, sudah lahh.. night Al.." ia berlalu meninggalkanku. Rasanya aku takut untuk memejamkan mata. Takut bahwa ternyata ini hanya mimpi seperti kemarin.
Pagi ini aku terbangun dengan kepala yang berat. Kuraba keningku, pantas saja, aku demam. Segera kujalani kewajibaku melihat waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi. Setelah itu aku kembali merebahkan diri.
Kali ini kepalaku sudah tidak terlalu berat. Hemm sudah pukul delapan. Aku segera mandi dan keluar kamar.
Baru akan melangkah aku melihat Lili yang masih menggunakan pakaian tidurnya dengan rambut yang acak-acakan. Astaga, anak ini belum mandi dan sudah keluyuran keluar kamar.
Sepertinya nyawanya belum terkumpul, terbukti beberapa kali ia harus menabrak sesuatu. Kugelengkan kepala melihat tingkahnya. Tidak akan ada yang percaya bahwa umurnya sudah 24 tahun.
"Daddy..." teriaknya. "Aishh pagi-pagi begini kenapa rumah sepi sekali sih," gerutu Lili.
Aku menghampirinya. "Kamu kenapa teriak begitu? om Ares mungkin ada di bawah," Lili menoleh kaget padaku dan segera merapihkan rambutnya. Sepertinya ia baru ingat ada aku di rumah ini.
"Ohh hehe tadi aku sudah melihat ke lantai bawah tapi tidak ada orang, aku lapar.." ucapnya malu-malu.
Kudorong bahunya pelan. "Mandi dulu sana!! aku akan menyiapkan sarapan," untung aku bisa memasak meski hanya masakan sederhana. Ia berseru senang dan berlari ke kamarnya.
Kubuka kulkas untuk melihat apa yang bisa ku buat. Hemm buat omlet saja yang cepat, melihat sosis dan beberapa sayuran yang bisa dicampur.
Saat sedang sibuk memasak, Lili datang menghampiriku. "Wahh kau bisa memasak? huhh aku saja tidak bisa,"
*Al lagi masak, hemm :D
"Aku dulu kuliah di Amerika, jadi mau tidak mau harus bisa mandiri," jelasku singkat.
Ia hanya beroh ria dan terus memperhatikanku, sial, aku benar-benar risih atau lebih tepatnya gugup. "Sudah sana.. tunggu di meja makan aja," usirku.
Dia menggeleng. "Aku ingin membantu, sekarang apa yang bisa kulakukan?"
Aku memandangnya seolah bicara memangnya kau bisa apa dan dia menghentakkan kaki kesal. "Aku bisa kalau hanya potong memotong,"
"Baiklah, tolong potong brokoli itu, bisa?" tanyaku. Ia mengangguk dengan semangat dan kamipun sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Kami makan bersama, ia terus berdecak kagum dengan hasil masakan yang ia cap sebagai masakannya. "Wahh ternyata aku bisa memasak.. dan rasanya enak... haha aku akan cerita pada daddy,"
"Kamu hanya memotong sayuran," ucapku mengingatkan.
"Huhh sama saja, ehh tapi kau hebat bisa memasak seenak ini, Mr. Orlando memang multi talent ya.."
Aku tersenyum geli. "Sejak kapan kamu memanggil aku Mr. Orlando? dan ini biasa saja, semua orang kupikir bisa memasak omlet,"
"Hihi para pekerjamu memanggilmu begitu, tapi terdengar keren panggilannya, heyy itu sindiran, aku tidak bisa membuatnya.."
Usai makan aku mencuci semua piring sedangkan ia hanya menonton. Aku heran, senang sekali dia melihat orang bekerja. "Kau tidak ke kantor?" tanya Lil saat aku sibuk mencuci piring.
"Emm nanti siang mungkin," jawabku ragu karena kepalaku mulai kembali pusing. Lili hanya mengangguk.
Aku segera merebahkan diri di sofa ruang tv sedangkan Lili sibuk dengan acara yang tidak ku mengerti. Terkadang ia cekikikan sendiri. Kupejamkan mata untuk mengurangi rasa pusing yang semakin parah.
"Al.. bangun..." guncangan di bahuku membuat aku terpaksa membuka mata. "Kau kenapa? wajahmu pucat,"
Aku menggeleng. "Mungkin kurang tidur,"
Melihat wajah cemas itu aku segera tersenyum agar terlihat baik-baik saja. "Kamu tidak apa kan ku tinggal? aku mungkin harus istirahat sebentar." Kepalanya mengangguk. "Nanti kalau kamu butuh apa-apa tapi om Ares dan yang lain belum pulang bangunkan saja aku," pesanku. Aku segera bangkit dan berjalan sempoyongan.
"Al.. sini kubantu," Lili memegang lenganku. Menuntunku berjalan hingga saat kami melewati dapur kami disuguhi pemandangan kak Bian dan kak Sasya sedang berciuman seolah tidak ada hari esok.
Aku dan Lili hanya bisa ternganga, saat sadar aku segera menutup mata Lili dan menariknya menjauh. Saat menarik tanganku aku bisa melihat wajah Lil masih syok. "Dasar.. kakak itu tidak tau tempat apa? sial, otak polosku bisa rusak karena adegan panas itu," gerutunya.
Aku menatapnya dan tersenyum geli. "Itu adegan 18 tahun keatas, kamu sudah 24 tahun jadi sebenarnya pantas saja," jelasku. Tentu aku langsung mendapat lirikan maut darinya.
"Lalu kenapa tadi kau menutup mataku?"
Ehh iya yaa. Kenapa aku melakukannya. "Karena kamu memang terlalu polos untuk melihat adegan itu, sudah biarkan saja, mereka baru menikah jadi yaa.. wajar saja."
Lili mengangguk mengerti. "Memang nanti kalau jadi pengantin baru harus berciuman di segala tempat ya?" pertanyaan polos itu membuat tawaku tidak bisa ditahan lagi.
"Hey... apa yang kalian lakukan???" tanya kak Bian membuat kami menoleh. Sial posisiku saat ini seperti ingin mencium Lili, dengan Lili yang terpojok dan tanganku yang seolah menguncinya.
Lili berjalan mendekati kakaknya. "Kalau kakak tidak sedang emmm" sadar apa yang akan dia katakan aku segera membekap mulutnya.
"Enggak kak.. tadi kita sedang bicara masalah sahabat kami di Indonesia, ayo Lil kita lanjutkan pembicaraan tadi," meski pusingku belum berkurang tapi aku berusaha tampil biasa. Kutarik Lili ke lantai atas.
"Aishh kenapa kau menutup mulutku? akukan ingin bicara pada kak Bian,"
Aku menghela nafas. "Kamu tidak malu kalau nanti kita dikira pengintip,"
Wajah yang tadinya kesal itu kini memerah. "Iya yaa.." gumamnya. Aku berjalan meninggalkannya. "Ehh kau ingin tidur kan? aku akan kekamarmu nanti, aku ingin mengambil termometer dulu,"
Aku hanya mengangguk dan masuk kekamarku merebahkan diri. Efek pusing ini membuatku cepat tertidur hingga berada dalam dunia mimpi. Dunia yang indah dan membuatku malas membuka mata.
*******
Hemm part selanjutnya povnya siapa yaaa.....
wkwk.. see you in the next chapter ;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top