Bab 11 - Kacau

Weittss updatenya beneran cepet kan? no PHP kan?? hehe. POV nya Aldric datang... siap-siap dapat kejutan yaa ;)

Langsung dehh happy reading yaa jangan lupan vommentnya :)

************

Aldric POV

Aku berniat untuk meninggalkan acara akad nikah yang telah selesai ini karena baru saja Theo menelpon bahwa perusahaan milik Mr. Darren yang berada di Jerman itu telah berada di tanganku. Namun niatku gagal karena Alex memanggilku.

Ada apa ini, kenapa mereka mengerubung begitu. Aku segera mendekat dan Alex menyerahkan ponselnya padaku, wajah Lili terpampang disana. Aku sempat kaget namun segera menetralkan wajahku.

Wajah Lili nampak enggan, ohh iya dia sudah tau aku adalah sahabatnya. Haha miris memang tapi tidak apalah dari pada tidak dianggap sama sekali. "Eh hay Aldric, kita bertemu lagi.." ucapnya dengan ragu.

Aku memberikan senyum tipis. "Hay Lil, sudah tau kalau aku adalah temanmu?" pertanyaan yang jelas menyindir dirinya. Aku tau aku salah.

Pertanyaan itu membuatnya menunduk. "Aku minta maaf," jawaban itu membuatku menghela nafas. Kulihat semua wajah sahabatku menatap ingin tau.

"Santai aja, tohh sekarang kamu tau," aku terdia sejenak. "apa kabar? bagaimana dengan tanganmu?"

"Tidak apa-apa, memarnya juga sudah hilang," jawabannya yang terlihat bersemangat itu mengingatkan aku saat aku sedang berdebat masalah sekecil apapun dengannya. Haha yaa dulu kami memang sering memperdebatkan hal yang tidak penting. Wajahnya memerah, sial, dia terlihat semakin cantik.

Aku tersenyum geli memikirkan wajahnya memerah karena aku. "Kenapa pipimu merah?" tanyaku berusaha meledeknya. Sama seperti dulu ketika aku meledeknya, jika dulu aku bisa menjawil pipinya yang memerah itu sekarang aku tidak bisa melakukannya.

"Emm karena.. di sini udara sedang panas.." alasan klise, namun aku pura-pura mengangguk mengerti.

"Emm sory sepertinya aku harus menyudahi obrolan, Josh memanggilku barusah." Ucapan Lili membuatku teringat kejadian di Jerman kemarin.

Mataku kini menyipit. "Josh? pria yang waktu itu?" tanyaku lebih seperti introgasi.

"Iya.. selama daddy ke Indonesia dia menginap di rumah ku..." cukup aku tidak ingin membuat hari ini kacau. Aku segera mengembalikan ponsel itu pada Alex lalu pamit pulang pada semua. Beruntung hari ini aku sibuk jadi tidak memiliki waktu untuk memikirkan masalah ini.

Seharian aku bolak-balik mengontak Theo untuk membicarakan masalah perusahaan di sana. Mau tidak mau aku harus terbang kesana secepatnya, karena meski aku sangat percaya pada Theo aku harus tetap turun langsung di awal.

Hari sudah beranjak petang. Huhh terpaksa mandi di kantor, untung aku meninggalkan beberapa pasang tuxedo yang ku bawa ke Jerman kemarin. Aku memilih warna hitam, hemm warna favoritku. Setelah merasa sudah rapi aku melirik jam, sudah setengah tujuh. Aku segera keluar dan menuju mobil. Ku parkirkan mobil tepat di depan kantor.

Belum lama menunggu, sebuah taxi berhenti di depanku. Ku ketuk jendela agar Nadia membuka pintunya, ia seolah mengerti dan segera membukanya. Aku tertegun, gadis ini benar-benar cantik tapi bukan itu fokusku, dengan mengenakan gaun ini ia terlihat seperti wanita dewasa yang ehmm entahlah mungkin perfect bisa menggambarkan sosoknya.

"Ada apa?" tanya Nadia dengan wajah polosnya. Huhh kalau dekat gadis inin sepertinya memag harus kuat iman.

Aku tersenyum padanya. "Biar saya yang membayar taxinya, saya yang mengajakmu pergi," ia hanya berohh ria dan mengangguk. Ini salah satu alasanku memilihnya menjadi sekretaris, ia lebih suka menurut tanpa banyak bertanya.

Aku membukakan pintu untuknya, mama selalu mengajariku kesopanan untuk memperlakukan seorang perempuan dan aku akan mempraktikannya pada setiap perempuan. Bukan play boy yaa aku udah meninggalkan kebiasaan buruk itu sejak lama.

Selama perjalanan kami hanya diam. Memang lebih baik begini, karena aku juga sedang dalam mood yang buruk karena Lili.

Aku berjalan dengan santai menuju gedung resepsi. Ku dengar Nadia bicara namun sangat pelan sehingga seperti gumaman. Aku menoleh padanya dengan tatapan bertanya namun ia hanya menyuruhku menoleh dengan isyarat.

Aku menyipit, hey itu Ara, segera aku menghampirinya. "Loh Ara? kamu kenapa nggak masuk?" tanyaku dengan lembut.

Kepalanya mendongak dan aku terbelakak. Astaga, anak ini pasti mencoba dandan sendiri.

"Aku tadi nekat make up sendiri hasilnya malah gini, hiks dari tadi orang ngeliat aku kaya aku itu alien, aku jelek banget ya Al?"

"Ehh emm nggak jelek ko, cumaa emm," oke aku cukup bingung ingin menjawab apa, karena jika salah jawab pasti Ara akan ngambek. Kepalaku menoleh pada Nadia untuk meminta bantuan.

Nadia tersenyum dan menepuk bahu Ara. "Hanya sedikit tebal, Miss ingin saya bantu? kebetulan saya membawa perlengkapan make up sederhana," ucapnya dengan sopan. Yahh ia memang selalu bicara sopan pada setiap teman-temanku.

"Nggak usah sok baik deh," jawan Ara dengan ketus. Aishh aku lupa betapa sensitifnya para sahabat perempuanku dengan Nadia. Gawat, bisa-bisa di dalam akan ada keributan.

"Ara jangan gitu, Nadia udah berniat baik, daripada kamu tampil begini lebih baik kamu terima bantuannya kan?" ucapku untuk memperingatinya.

"Miss tidak perlu kawatir, saya tidak berniat jahat sama sekali," ujarnya. Tangannya terulur pada Ara. "Ayo Miss kita ke toilet,"

Huhh aku lega melihat Ara menerima bantuan Nadia meski dengan wajah terpaksa. Aku berusaha menutupi pandangan orang-orang terhadap Ara. "Saya tunggu diluar," ucapku pada Nadia. Ia mengangguk dan mengajak Ara masuk.

Para sahabatku telah datang, huhh aku khawatir jika Nadia nanti keluar dari toilet kira-kira apa reaksi Ana, aku benar-benar bodoh bisa melupakan hal ini. Mereka mengajakku mengobrol.

"Ehh Ara mana yaa? tadi katanya dia udah sampe," tanya Rion padaku.

"Di dalam toilet, gue lagi menunggunya," ucapku yang tidak sepenuhnya bohong.

Saat itu juga Nadia keluar dengan Ara. Rion menyenggol lenganku. "Lo nunggu Ara apa Nadia?" bisikan itu begitu pelan hingga aku yakin hanya aku yang bisa mendengarnya. Aku hanya menghela nafas menatap semua mata sahabatku menatap Nadia.

"Kok lo ngajak dia si Al?" tanya Ana dengan suara yang jelas sinisnya. Ohh aku merasa bersalah pada Nadia.

Aku menggenggam tangannya kuusap pelan agar ia tenang. Aku akan melindunginya dari para sahabatku ini, karena mamang aku yang bertanggung jawab.

"Gue yang ngajak dia, udah yaa gue mau salaman sama pengantin dulu," ucapku sembari menarik tangannya menjauh. Satu-satunya solusi saat ini adalah menjauhi gerombolan sahabatku itu. "Maafkan sikap teman-teman saya," bisikku dengan penyesalan.

Kami bersalaman dengan pemantin. "Loh bukankah ini Nadia? sekretarismu?" tanya kak Bian. Matanya seperti ingin bertanya lebih tapi hanya nyengir di depannya.

"Selamat Mr. Bian saya ikut bahagia, semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warohmah," ucap Nadia.

Kak Bian tersenyum dan mengangguk. "Terimakasih atas doanya," ku ajak Nadia berjaln menjauhi pengantin.

"Saya akan mengambilkan minum untukmu," ucapku. Ada alasan lain tentu saja, aku ingin memberikan peringatan pada Ana agar tidak bicara sekasar tadi.

Aku melihat mereka sedang berkumpul. Kuhampiri mereka semua. "Ana please, jangan bersikap begitu," ucapku.

Ana hanya tersenyum sinis. "Masih inget kita-kita lo? udah sana sama cewek baru lo aja,"

Aku menghela nafas. Rasanya ingin sekali kuacak rambutku dan berteriak keras bahwa aku tidak ingin memikirkan drama percintaan yang membuatku pusing ini. "Dia hanya sekretarisku," jawabku dengan singkat.

"Terus ngapain lo ajak dia ke sini? hah?" okey kalau dilanjutkan pasti kami akan jadi pusat perhatian.

"Kita omongin nanti, dan gue mau kita bicara empat mata, gue balik ke Nadia bentar," ucapku pada Ana. Cukup, anak itu sudah keterlaluan.

Aku melihat Nadia berdiri canggung, kulihat pria disekelilingnya menatapnya seperti singa yang menemukan mangsa. Kugelengkan kepala, kenapa ia harus mengenakan gaun yang mengekpos punggungnya secara bebas.

"Hay.. sendirian aja?" kulihat seseorang mencoba menggodanya.

Kulingkarkan lenganku dibahunya agar ia merasa terlindungi. Kudengar helaan nafas lega darinya. "Dia tidak sendiri," jawabku dingin.

"Waww.. udah ada satpamnya toh.. oke-oke," pria itu pergi meninggalkan kami. Segera kulepas jasku lalu memasangkan padanya.

"Jika tidak nyaman jangan digunakan," ucapku singkat. Yahh aku bisa melihat ia sendiri tidak nyaman menggunakan gaun ini.

"Maaf.." ucapnya lirih.

"Maaf untuk apa? sudahlah, ayo.." tanganku merangkul bahunya, aku akan meninggalkannya di tempat yang aman. "Saya ada urusan sebentar, kau tidak apakan ditinggal?" tanyaku hati-hati.

"Yahh tidak apa, saya baik-baik saja, terimakasih untuk jasnya,"

Aku mengangguk dan berjalan pergi. Sekarang saatnya menyelesaikan masalahku dengan Ana.

Kuhampiri Ana yang sedang bergabung dengan yang lain. "Ayo.. kita ngobrol di rooftop, kayaknya banyak unek-unek yang lo simpen buat gue," ucapku.

Ana mengangkat dagunya. Jika ada yang bicara bahwa Ana adalah gadis sombong tak berperasaan aku akan menghajarnya karena dia adalah gadis yang sangat baik tapi sepertinya itu tidak berlaku untuk Nadia.

Kami tiba di rooftop. "Sebenernya apa sih Al tujuan lo?" tanya Ana dengan nada putus asa.

Aku menunduk. "Gue cuma ngajak Nadia untuk nemenin gue," jawabku dengan emm setengah jujur.

"Bohong!! lo tau Al, gue, Alex dan yang lain meski pacaran kita selalu milih jalan bareng-bareng nggak berdua aja mojok," suaranya kini naik satu oktaf.

"Tapi tetep aja kalian pasang-pasangan, sedangkan gue? lagian ini cuma masalah kecil An,"

"Buat lo ini masalah kecil tapi nggak buat gue! lo suka sama Nadia? iya? atau lo cuma mau buktiin kalau lo udah move on?" cecarnya.

Aku terdiam bingung ingin menjawab apa, aku memang tidak mencintai Nadia tapi aku menyukainya, aku suka sifatnya yang bisa mengimbangiku.

"Hah diem kan lo.. dulu lo ninggalin Ara untuk Lili, sekarang lo mau ninggalin Lili untuk Nadia? Al kasus ini beda.. beda banget, Ara sengaja ninggalin lo karena nggak mau ngerepotin lo tapi Lili?? dia emang harus pergi Al, kalaupun sekarang dia nggak kembali itu karena dia nggak inget sama kita dan sekali lagi ini bukan kemauannya," perkataan Ana sama seperti om Ares. Aku terdiam benar-benar diam.

"Mulai sekarang jauhin Nadia!!" tegasnya.

"Nggak bisa An, dia sekretaris gue,"

"Pecat dia!! cari yang lebih baik, ini buat kebaikan lo!" ucapannya ini benar-benar menyebalkan.

"Lo nggak berhak ngatur gue!! lo tau nggak sih sekarang lo tu bersikap seolah lo itu nyokap gue," bentakku.

Mata Ana berkaca-kaca, sial aku membuatnya menangis. "Gue emang nggak berhak Al, tapi coba lo pikir gimana rasanya jadi gue, Al gue ngeliat secara langsung di depan mata gue Lili hampir meregang nyawa, gue ngeliat langsung gimana Lili yang bahkan nafaspun terasa berat, apa gue tega ngeliat penderitaan dia lagi setelah penderitaan beruntunnya itu??" kepalanya menggeleng lemah. "Nggak Al gue nggak bisa dan nggak mau ngelihat penderitaan lagi, lo tau kan Lili sayang sama lo?"

Sial kini aku yang berkaca-kaca kukerjapkan mataku aku ingin bicara namun sialnya suaraku seperti hilang. "Dulu lo bilang apa sama Lili? kalau ada kesempatan lo akan perjuangin dia semampu lo? sekarang mana?? lo cuma diem Al, semua ucapan lo itu bohong.. kalau lo bener, harusnya lo ke Jerman dan jemput dia!!"

Oke aku terdengar seperti pria brengsek yang suka mengumbar janji manis tanpa menetapatinya tapi semua benar aku memang payah.

Tangisan Ana sekarang memenuhi udara malam yang lumayan sejuk ini. "Gue sayang kalian, gue mau kalian bersatu karena gue yakin kalian masih punya perasaan yang sama Al, apa gue salah?" kini Ana benar-benar seperti orang putus asa. Aku mendekatinya, kurangkul ia agar sedikit tenang.

"Maaf.." ucapku dengan lirih.

"Kenapa lo gampang banget pindah kelain hati Al?" pertanyaan itu membuatku kesal. Enak saja, aku memang play boy tapi urusan jatuh cinta aku sulit merasakannya.

"Gue liat dia lagi ciuman An," ucapku akhirnya dengan jujur.

Ana terperangah. "Lo serius?"

Aku mengangguk dan mencoba tersenyum. "Waktu gue ketemu di Jerman, sekarang lo tau kan kenapa gue ngajak Nadia? gue mau mencoba jalan sama dia, nyokap juga mulai nyuruh gue buka hati,"

"Tapi.. lo sama Lili.. Al lo nggak mau perjuangin Lili?"

Aku tertawa pongah. "Bohong kalau gue nggak mau merjuangin dia, gue mau pake banget, tapi apa gue bisa egois sekarang? yahh seperti yang lo bilang tadi, setelah penderitaan itu gue juga mau liat Lili bahagia, dan waktu itu gue liat dia bahagia banget, egois kan kalau gue tiba-tiba dateng dan misahin mereka berdua?"

"Gue emang sayang bahkan mungkin cinta sama Lili, tapi gue nggak bisa merusak kebahagiaan dia yang baru didapat sekarang-sekarang ini demi keegoisan gue sendiri, gue emang bukan pria baik tapi gue juga bukan pria sejahat itu. Jadi yahh kita harus mulai ngelupain masa lalu An, kita nggak bisa memaksaan takdir An kalau emang takdir Lili bukan gue? apa gue harus tetep ngejar dia bahkan sampai merangkak untuk mendekat? nggak kan?"

"Nggak.. tapi gue yakin lo sama dia.."

"Stop An, pembicaraan kita nggak akan selesai kalau terus begini, gue cuma mau minta jangan bersikap sinis sama Nadia, karena gue ngerasa bersalah sama dia, ingat An, Nadia nggak salah apa-apa."

Aku berbalik untuk pergi tapi tangan Ana menahanku. "Lo sakit hati?"

Aku tersenyum. "Gue nggak perlu ngejelasin apa yang udah terlihat jelas kan?" yahh tentu saja aku sakit hati, lebih dari itu aku kecewa. Bukan pada Lili tapi pada diriku sendiri, kenapa sejak dulu aku tidak pernah bisa menahan Lili.

"Maaf Al, gue baru tau soal itu, gue terlalu mikirin Lili sampai gue lupa lo juga punya hati,"

"Haha santai An, nggak usah mikirin hati gue, gampang itu mah, gue bisa menahan emosi dengan cukup baik selama ini. Terbukti kan diantara kalian nggak ada yang tau gue lagi patah hati?" tanyaku dengan nada bercanda.

Ana tertawa kecil. "Lo emang selalu tertutup Al setelah Lili pergi, kalau emang Lili udah nemuin kebahagiaannya sendiri gue harap lo juga bisa nemuin kebahagiaan lo,"

Aku terdiam, banyak emosi yang ingin aku tumpahkan tapi tidak mungkin. "Thanks doanya, ayoo gue anter ke Alex, ntar gue di hajar sama dia lagi dikira macem-macem sama lo," tanganku terulur untuk membantunya bangun. Kami berjalan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing mungkin atau sibuk dalam menenangkan diri.

"Alex.. si Ana lo anter pulang aja sekarang, kasih teh manis anget biar tenang," ucapku. aku yakin pembicaraan tadi menguras tenaga dan emosi. "Guys.. gue balik duluan yaa," pamitku dengan senyum ceria. Ketika berbalik senyumku lenyap.

Aku segera berjalan menghampiri Nadia.
"Saya antar kamu pulang," ucapku sembari menari tangannya.

Selama di perjalanan aku hanya serius mengemudi hingga sampai di depan apartemen Nadia. Ia mengucapkan terimakasih lalu turun. Aku bersyukur ia tidak bertanya-tanya sama sekali karena yang kubutuhkan sekarang hanya diam.

Kulajukan mobilku menuju pantai berharap udara disana bisa membuat pikiranku kembali jernih.

Kuparkirkan mobilku lalu aku berjalan ke tepi pantai menikmati angin. Mataku terpejam kutumpahkan semua kekesalan dan kekecewaan dalam diam. Saat membuka mata bisa kurasakan mataku perih.

Mungkin klise tapi jujur melepaskan orang yang dicintai itu sulit apapun alasannya.

"Cihh sahabat apa yang sampai pada tahap berciuman," gumamku. Kembali teringat adegan yang sangat kubenci itu.

"Delapan tahun Lil, dan sekarang semua harus gue lepas begitu aja. Kasih tau gue Lil gue bisa apa sekarang selain berdoa untuk kebahagiaan lo?" tanyaku pelan. Berharap semua udara disini mampu membawa suaraku pada Lili yang berada jauh di sana. Sedetik kemudia muncul pertanyaan yang menghujan telak. Apa ini karma yang harus kuterima karena pernah menyakitinya.

Aku duduk di pasir yang terasa dingin. Kuhela nafas berat berkali-kali mengeluarkan sesak. Kupejamkan mataku menikmati sejuknya udara.

*beginilah kira2 penampilan Lili hehe

Seseorang menyandarkan kepalanya di bahuku. Mataku terbuka karena kaget dan mataku semakin melebar. "Lili?" tanyaku dengan suara seperti orang tercekik.

Lili mengangkat kepalanya. Senyum yang selama ini hilang kini kembali. "Hay.. merindukanku?" tanya Lil sembari mengakat alisnya.

Aku hanya diam menatap wajahnya yang begitu cantik. "Kamu..." jari telunjuknya menempel di bibirku.

"Tidak usah bicara, kita nikmati saja momen langka ini," kepalanya kembali bersandar dibahuku.

Setelah beberapa lama ia kembali bicara. "Kau menyebalkan Al," gerutunya. Aku menoleh dan mendapati wajahnya yang sedang cemberut seperti dulu ketika kesal padaku. "Kenapa kau berpaling begitu cepat?"

Aku mengangkat tangan untuk mengelus rambutnya. "Siapa yang berpaling? mana bisa aku berpaling sementara kamu begitu sempurna?"

Kembali ia mengerucutkan bibirnya. "Bohong.. buktinya kau sekarang menyukai gadis itu..."

Segera kucium pipinya karena gemas. "Suka bukan berarti cinta kan? suka bisa karena kita kagum akan kemampuan seseorang,"

Matanya melirik kesal padaku. "Tapi aku tidak suka kamu dekat dengannya Al," rengek Lili. Aku tertawa melihat wajah merajuk seperti anak kecil ini.

"Sudah tua masih saja merajuk," ledekku.

"Biar, meski aku tua-tua begini kau sangat mencintaiku," balasnya.

Aku tertawa lepas, entah kapan terakhir aku tertawa begitu lepas seperti ini. "Ya yaa kalau itu aku tidak bisa bohong, aku memang mencintai kamu sejak dulu, sekarang dan semoga sampai nanti, gadis yang ceroboh, suka sekali marah, tegar, dan..." kalimatku sengaja kugantungkan.

Wajah Lili semakin penasaran. "Dan apa??" tanya Lil dengan wajah tidak sabar.

Aku terkikih geli. "Dan menyebalkan," ucapku.

Matanya melebar lalu tangannya segera mencubit lenganku. "Ihh dasar perusak suasana romantis," gerutunya.

"Lohh memangnya kamu berharap aku bicara apa? kamu cantik begitu?" tanyaku. Ia hanya diam dan berdiri, kakinya melangkah mendekati air.

Aku ikut berdiri. Kupeluk dirinya dari belakang. "Kalau cantik tidak perlu diragukan, gadisku ini memang yang tercantik," bisikku.

*anggep ini cahaya bulan yaa :D

Lili berbalik dan pipinya merona. Dibawah sinar bulan wajahnya nampak bersinar. "Sejak kapan Orlando Arsenio Aldric bisa bicara semanis ini pada seorang Lili Anissa Pradipta?"

Aku mengacak rambutnya gemas. "Sekarang siapa perusak suasana romantisnya?" tanyaku mencibir.

Ia terkekeh dan wajahnya kini sangat serius. Tangannya terulur menyentuh pipiku. "Sekarang aku yang harus bertanya, kenapa kamu berpaling?" tanyaku.

Wajah yang serius itu kini tersenyum. "Kata siapa? mana mungkin aku bisa.."

"Aku serius Lil," ucapnya segera memotong ucapannya yang mengutip dari kata-kataku tadi.

Ia menghela nafas. "Aku juga serius,"

"Lalu kenapa kau berciuman dengan pria itu?" tanyaku.

Kembali ia tersenyum. "Kau tidak melihat adegan lengkapnya kan?" pertanyaan itu membuatku berpikir ulang, yaa aku memang sempat berpaling karena tidak mau melihat. Kepalaku dengan ragu mengangguk. "Kalau begitu jangan mengambil kesimpulan begitu saja, aku hanya bersahabat dengannya,"

Aku baru ingin bertanya tapi ia sudah memelukku. "Al.. aku ingin minta maaf karena telah melupakanmu dan yang lain," ucapnya dengan pelan. Aku membalas pelukannya.

"Ssttt sudah Lil, itu bukan maumu," ucapku berusaha menghiburnya. "Aku juga ingin minta maaf untuk segala rasa sakit saat aku harus memilih Ara," bisikku.

Lili menggeleng. "Aku sudah memaafkanmu soal itu, lagi pula kau tidak sepenuhnya bersalah, jangan menyalahkan diri Al."

Kami terdiam begitu lama, kupejamkan mata menikmati hangat tubuh Lili. Hingga saat membuka mata hanya ada pemandangan pantai yang gelap di depanku. Aku juga sedang terduduk bukan berdiri di tepi pantai dengan Lili.

Sial. Jadi semua hanya mimpi. Tapi kenapa begitu terlihat nyata, bahkan aku masih bisa merasakan hangat serta harum tubuh Lili.

Lili menjelaskan sesuatu. Apa memang semua yang kulihat tidak benar. Tidak, mana mungkin? jelas saat itu Lili ingin mencium pria itu. Lagi pula ini hanya mimpi.

********

Wohooooo udah kukasih adegan Lili Aldric meski dalem mimpi hihi semoga bisa melepas kerinduan kalian akan pasangan ini yaa :* :* :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top