Bab 1 - Takdir tak terduga

Hayyyy readers.. maaf aku update lama.. hehe

Diliat di mulmed ada foto Aldric sama Vano dan Sean.. kenapa? baca aja wkwk

Langsung aja deh, happy reading ;)

Jangan lupa vomment guys..

*******

Lili POV

Aku meneguk susu dengan buru-buru. Aku memang mengejar target, salahku sendiri karena telat kuliah, sekarang umurku sudah hampir 24 tahun dan aku sedang menyusun skripsi. Sebenarnya jadwal meyusun skripsi adalah tahun depan tapi karena hasil kerja kerasku aku bisa mengerjakannya tahun ini.

Oh iya jangan tanyakan kapan aku akan menikah, karena akupun tidak tau. Aku bahkan tidak memiliki kekasih. Teman-temanku disini banyak yang sudah menikah dan mereka sangat senang membuat aku menjadi obat nyamuk ketika mereka sibuk dengan suaminya.

"Sayang.. hati-hati minumnya," ucap daddy. Aku hanya nyengir tak bersalah. Kuambil apel merah segar lalu menggigitnya. Dad langsung merebut apel itu "Makan rotimu dulu, kau ini sudah besar tapi seperti anak kecil, masa nanti jika kau menikah dad harus mengingatkan mu untuk memakan roti setiap pagi." Aku mengerucutkan bibirku.

Aku mengambil roti tawar yang telah disediakan daddy "Dad..Lil akhhan pwulhang mhalam yaa," suaraku tidak jelas karena sedang mengunyah.

Daddy menggelengkan kepalanya "Telan dulu, baru bicara."

Aku segera menelan roti itu "Hehe, dad nanti Lil akan pulang malam, ada yang harus Lil konsultasikan dengan dosen Lil," jelasku.

Dad tampak berpikir sejenak "Baiklah, tapi aktifkan terus ponselmu, dad akan menelponmu," kuputar bola mataku kemudian mengangguk. Yahh setidaknya dad memberikanku izin.

Aku menggerakkan tanganku keleher. Kalung ini akan kulepas saja, memang sih kalung ini sangat cantik, tapi aku sedang tidak ingin menggunakan kalung. Namun dad tiba-tiba menarik tanganku "Jangan dilepas, itu kenang-kenangan dari sahabatmu yang berada di Indonesia,"

Aku mengerutkan keningku, kukira ini kalung pemberian daddy "Benarkah?? Siapa dad?" tanyaku penasaran. Apa ini dari Alex.

"Aldric.."

"Aldric?" tanyaku membeo. Siapa lagi Aldric, aishhh kenapa aku melupakan banyak hal, bahkan dengan sahabatku sendiri saja aku lupa. Ahh sudahlah, toh nanti aku akan ingat "Baiklah dad, Lil tidak akan melepasnya. Yasudah Lil berangkat yaa.." aku menyalami daddy dan berlari keluar rumah.

Kak Bian hari ini tidak bisa mengantarku, jadi aku harus berangkat dengan supir yang sejak tiga tahun lalu bekerja dengan kami. Kulirik jam tanganku, masih ada waktu satu jam lagi, mungkin aku akan mampir kerumah Clara. Ia sahabatku di sini dan kebetulan dia adalah orang Indonesia.

Kuketuk pintu rumahnya "Clara!!!!" teriakku. "Clara!!! I'm here!!!" aku terus memanggil namanya. Haha biar saja dia kesal, ini sudah pukul 10 siang, dasar tukang tidur.

Clara membuka pintu rumahnya, wajah bantal Clara tercetak jelas "Oh my god, Lili!!! Kau tidak melihat jam?" sungut Clara. Wajahnya memerah karena kesal, aku dengan cuek melewatinya. Aku memang hampir setiap hari kesini, dan dia juga setiap hari kerumahku.

"Mana mom Alena dan dad Alger?" mereka adalah orang tua Clara. Mereka sudah menganggapku sebagai anak sendiri.

Clara mengedikkan bahu "Mungkin mereka sedang mengurus kepulangan mereka ke Indonesia."

Aku mengangguk mengerti "Kau tidak ikut?" tanyaku. Clara mengerutkan kening "Maksudku, yahh setidaknya berkunjung ke kampung halaman,"

Clara terdiam mendengar ucapanku "Disinilah tempatku Lil, aku tidak ingin kesana." Wajah Clara terlihat sedih. Sepertinya dia sama denganku.

"Kenangan buruk, aku tau karena aku juga begitu. Mungkin aku tidak akan pulang kesana seperti dirumu,"

Clara tersenyum dan merangkul bahuku "Yah.. bukankah kenangan buruk memang harus ditinggalkan? sudahlah.. lebih baik kita bersenang-senang. Aku memiliki teman kencan baru, nanti akan kukenalkan denganmu. Sudahlah, aku ingin mandi. Byee!!"

Aku menggelengkan kepala, teman kencan lagi, dalam seminggu ini Clara sudah mengenalkan tiga laki-laki padaku. Ku harap Clara akan menemukan seseorang yang benar-benar ia sayangi.

------

Aku melirik ponselku yang bergetar. Daddy menelpon, aku sedang berada di mini bar, jika aku menganggak telponnya dad pasti akan sangat marah.

Tadi jadwal konsulku dimajukan jadi pukul lima sore aku sudah pulang. Clara tidak mengijinkanku pulang, ia sudah berencana untuk memperkenalkan aku dengan teman kencannya itu. Mau menolakpun aku tidak enak.

Ponselku kembali bergetar, ini sudah yang kelima kalinya. Aku mengucapkan kata maaf berkali-kali, sungguh aku tidak bermaksud membohongi daddy.

Clara menyenggol lenganku "Dad Ares??" tanya Clara dengan suara kencang karena musik disini sangat keras. Aku hanya menganggukkan kepala. "Emm.. kita pulang saja, aku tidak enak dengan dad Ares," ucapnya.

"Ayo... hehe aku tidak suka disini,"

Clara menggelengkan kepala melihat tingkahku. Kami berdua keluar dari bar itu. Di luar kami bertemu dengan seorang pria yang berjalan sempoyongan, pasti dia mabuk. Pria itu berjalan kearah kami namun terjatuh dan pinsan.

Aku melebarkan mataku. Kuhampiri dia, ohh bau alkoholnya sangat menyengat. Aku menepuk pipinya berkali-kali tetapi tidak ada respon.

"Clara.. bagaimana ini," tanyaku panik.

"Tinggal saja.. lagi pula kita tidak kenal dengannya."

Kujitak kepalanya "Bodoh, kasian dia.. ohh kenapa harus bertemu pria pemabuk ini sih," gerutuku.

Clara meraba kantung celana pria itu. Sedetik kemudian aku sadar, benar, kartu pengenalnya. Clara menemukan dompet pria itu, senyum simpul tercetak jelas di wajahnya. Aku mengerutkan keningku "Kau kenapa?"

"Haha.. aku tau siapa pria ini, dia adalah cucu dari pemilik Gerald Corp."

"Gerald Corp itu apa?"

Clara melotot kearahku "Kau tidak tau? itu perusahaan besar di Indonesia yang memiliki cabang di Jerman. Perusahaan itu setara dengan milik opa mu,"

Aku menggelengkan kepala, aku memang tidak tertarik dengan perusahaan opa. Cita-citaku ingin menjadi pengacara. Yaa aku suka itu, aku suka membela orang yang benar.

"Emm.. kita antar kerumahnya saja Clar, coba kau baca alamatnya,"

Clara mengangguk "Ohh iya, aku tau daerah sini, ayoo kita antar dia, siapa tau kita mendapat upah." Kupelototi dirinya, dasar, sempat-sempatnya memikirkan hal seperti itu.

Kami membawa pria ini kemobil Clara dan langsung menuju rumahnya. Tidak terlalu jauh dari sini, sebuah komplek elit yang hanya terdiri dari beberapa rumah namun sangat indah. Ohh aku percaya, dia pasti sangat kaya.

"Berat sekali sih, Clara cepat pencet belnya! pria ini berat sekali, aku tidak kuat," gerutuku. Clara memencet bel dan tidak ada respon, ia melakukannya beberapa kali lagi namun tetap tidak ada respon. "Aissh, masa di rumah sebesar ini tidak ada orang sama sekali, sudah Clara buka saja pintunya, kita bawa orang ini masuk," ucapku.

Clara membantuku memapah pria ini. Kami masuk kedalam rumah, sepi. Apa dia memang tinggal sendiri, tapi mana mungkin, rumah sebesar ini pasti membutuhkan asisten rumah tangga lebih dari satu. Pria itu kami baringkan di sofa. Clara menoleh padaku "Kita tinggal atau kita tunggu dia bangun?"

Aku berpikir sejenak "Sepertinya kita harus stay sampai pagi, dia demam, kasihan jika kita tinggal, tolong ambilkan kompresan Clara." Aku melepaskan jas dan sepatu pria itu. Kartu nama terjatuh dari saku jasnya. Aku menyipitkan mata "Darren Andreas Gerald.. ohh namanya Darren," aku menoleh pada wajah di sampingku "Tampan, sayang sekali dia pemabuk."

----------

Aldric POV

Aku sedang berada di cafe dengan Rion dan Abil, kami memang berencana kumpul di minggu siang ini. Aku memutar-mutar ponselku karena bosan, Vano dan Sean, kedua sahabatku itu belum juga datang padahal ini sudah hampir dua jam. Awas saja jika mereka sudah sampai.

"Ehh.. curut-curut itu mana si, lama banget, gue mau nganterin bini gue nih," ucap Abil. Yahh di telah menikah dengan Monica satu bulan lalu. Aku mencoba menghubungi Vano kembali namun tidak diangkat.

"Nggak diangkat, tapi tadi gue telpon kerumahnya si Parjo bilang Sean udah dijemput sama Vano," jelasku. Aku kembali mengeluarkan ponsel tapi kali ini untuk mengirim pesan pada Nadia agar mempersiapkan berkas rapat besok.

Ponsel Rion bergetar, aku memperhatikan wajah Rion yang seketika pucat setelah bicara di telpon, ia nampak membuka dan menutup kembali mulutnya. Jika wajahnya tidak sekelam itu mungkin aku sudah tertawa.

"Kita kerumah Sean sekarang," ucapnya datar. Detik itu juga aku tau ada yang tidak beres.

"Ada apa?" tanyaku.

Rion menghela nafas, air matanya menetes "Sean dan Vano kecelakaan, Sean meninggal ditempat, Vano meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit,"

"APA???" tanyaku bersamaan dengan Abil. Tidak, ini tidak mungkin, satu jam yang lalu aku baru saja bercanda dengan Sean di telpon. Kami bertiga segara menuju rumah Sean. Aku mengendarai mobilku seperti kesetanan, bunyi klakson dari kendaraan lain tidak kuhiraukan. Kini yang ada dipikiranku adalah memastikan semua, dan kuharap ini hanya kebohongan.

Di depan rumah Sean, telah dipasang bendera berwarna kuning. Di sana sudah dipasang tenda dan banyak orang berdatangan, aku memarkirkan mobil di dekat pagar. Mobil Abil dan Rion belum datang, jadi aku memutuskan untuk menunggu. Lima belas menit kemudian mobil mereka datang.

"Kita masuk sekarang?" tanyaku dengan miris.

Abil merangkul bahuku, ia menghapus air matanya "Kita harus kuat bro.. mereka berdua pasti sedih kalau kita sedih, ayo masuk.."

Kamipun masuk kedalam. Di sana, tubuh sahabatku yang biasanya selalu segar dan penuh senyuman kini kaku, tidak ada lagi senyum jahilnya. Aku mendekat dan menyalami kedua orang tua Sean yang sudah seperti orang tua ku.

Sore nanti rencananya Sean dan Vano akan dikebumikan, jenazah Vano masih di rumah sakit dan sekarang sedang di jemput. Aku memilih untuk keluar karena tidak sanggup melihat wajah kaku sahabatku itu, kukeluarkan ponselku untuk mengirim email padanya. Pada seseorang yang telah lama pergi, sahabat sekaligus orang yang kucintai. Lili Anissa Pradipta.

Aku harus mengabarinya karena Sean dan Vano juga sahabatnya, kuharap dia membaca emailku. Sudah lama emailku sama sekali tidak ia gubris, jangankan aku, email Alex, sahabat dekatnya pun tidak ia balas. Sepertinya ia memang melupakan semuanya, informasi yang ku tau tentang dirinya adalah ia masih hidup dan keadaannya membaik, itupun aku tau dari kak Bian yang tidak sengaja bertemu saat rapat direksi.

Aku kacau, benar-benar kacau, Ara dan Monica datang, mereka menghampiriku. "Al.. kenapa bisa begini? mana Abil?" tanya Monica.

Aku menggelengkan kepala, aku juga tidak tau, bahkan sampai saat ini aku belum bisa percaya "Abil di dalam, Rion juga di dalam Ra, kalian masuk aja," jawabku. Ara sekarang memang berpacaran dengan Rion dan sebulan lagi mereka akan menikah.

Monica langsung masuk kedalam sedangkan Ara langsung memelukku "Aku tau kamu pasti sedih, mereka sahabat kamu sejak kecil, yang sabarnya.. aku masuk dulu," ucapnya. Aku tersenyum, Ara memang sudah seperti adikku, sangat pengertian.

Aku masuk kedalam, kulihat Abil dan Rion sedang menangis, sedangkan Monica dan Ara berusaha untuk menenangkannya. Alex sudah kukabari, pasti sebentar lagi ia akan datang dengan Ana.

Aku memilih duduk di pojok ruangan, bayangan kebersamaan kami sejak kecil hinggap dikepalaku. Kami memang sudah seperti saudara, bermain, bercanda, bertengkar, meledek, itu warna yang tidak akan hilang sampai kapanpun. Sean dan Vano memang sudah pergi, tapi kenagannnya akan tetap ada di hati kami.

Ponselku berdering, kulihat ada nama Nadia di sana, aku menghela nafas menetralisir suaraku "Assalamualaikum, ada apa Nadia?" tanyaku to the point, aku tidak suka bertele-tele.

"Waalaikumsalam Mr.. saya sudah dengar berita duka pak Vano dan pak Sean, saya ikut berduka, lalu untuk rapat, apakah besok Anda tetap akan melaksanakannya?"

"Tidak.. batalkan rapatnya, saya mungkin tidak akan masuk satu atau dua hari kedepan," jawabku. Aku akan membantu mengurus tahlilan untuk kedua sahabatku itu.

"Ohh baiklah.. Emm saya ingin melayat, boleh saya meminta alamat pak Sean dan pak Vano?"

Aku menjelaskan alamat Sean dengan lengkap, biar nanti Nadia ke rumah Vano denganku saja, kusudahi obrolan kami. Alex dan Ana datang, Ana menangis dirangkulan Alex, aku menghampiri mereka "Langsung masuk aja Lex, bawa Ana kedalam, di sana ada Monica sama Ara." Alex mengangguk dan pergi kedalam.

Tiga puluh menit kemudian Nadia datang, ia tersenyum padaku sekilas kemudian masuk kedalam. Aku memilih tetap di luar. Sebentar lagi jenazah Vano tiba di rumahnya, beruntung rumah Vano tidak jauh dari sini, aku benar-benar tidak membayangkan perasaan Vera, calon istri Vano. Pasti dia sangat syok.

Seseorang menepuk bahuku, aku menoleh dan mendapati Nadia yang sedang tersenyum padaku. Ia duduk di sampingku "Kepergian pak Sean dan pak Vano memang mengejutkan semua orang," tuturnya.

Aku menganggukkan kepala "Yah.. sangat, huhh sayapun tidak menyangka, bahkan tadi pagi saya sempat bercanda dengan Sean di telpon,"

"Saya bisa melihat kesedihan di mata Anda, jika Anda ingin menangis silahkan, kehilangan sahabat memang salaah satu pukulan telak,"

Aku tertawa renyah "Kami bersahabat sejak kecil, Sean sudah seperti kakak untuk kami semua, dia memang jahil tapi dia yang membela kami semua setiap kami sedang ada masalah, dulu saat saya masih sekolah dasar, saya dipalak oleh beberapa kakak kelas, kau tau? badan kakak kelasku itu besar sekali, Sean muncul dan menolong, haha wajahnya penuh lebam karena dikroyok, tapi ia bilang, tidak apa-apa wajahku memar, yang penting sahabatku selamat, Vano, dia yang paling konyol diantara kami, rasanya bersedih didekatnya itu sangat susah karena dia selalu berusaha untuk menghibur kami dengan ribuan tingkah konyolnya," aku terisak kecil. "Ka-kau tau? mereka adalah keluarga untukku,"

Nadia meneteskan air mata kemudian memelukku "Maaf saya memeluk Anda, saya hanya ingin menenangkan, saya tau saat ini Anda sangat kacau dan rapuh,"

Aku melebarkan mata kaget, kemana Lili disaat seperti ini, kenapa harus wanita lain yang memberikan kehangatan untukku. Yang kutau selanjutnya adalah aku membalas pelukan Nadia,  dan menangis di sana, hangat dan nyaman, itulah kesan yang kudapat, jika nanti aku menyukai Nadia itu semua bukan salahku, Lili lah yang memilih ini semua.

*********

Yeyy part 1 hadir,

See you in the next chapter ;)





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top