Banyu Biru
Ada yang tahu mbak-mbak di mulmed itu? Yang suka Char-Puth tahulah pasti. Pertama kali lihat di video One Call Away, saya langsung naksir (untung saya cewek #eh). Saya cari namanya, sampe kepoin IG-nya. Bukan model terkenal macam Angels gitu, tapi nggak tahu kenapa saya suka lihatnya. From her pics, saya liatnya dia positif, spread smiles and happiness. Pas itu saya lagi ngebet banget bikin cerita, tapi nggak tahu mau bikin kayak apa. Nah pas lihat, saya kepikiran buat bikin karakter cewek yang though abis. Super badass yang kebal ditempa apa aja. And then, boom ... lahirlah si Bimala Sasmitha yang ... edan!
Oh, iya di ending saya lupa kasih footnote. Sweet poison yang dimaksud Banyu itu sebetulnya bukan konotasi. Istilah sweet poison pernah dipake di bukunya Jodi Picoult. Itu sebutan buat etilen glikol alias cairan antibeku yang biasa dipake di radiator. Rasanya manis, tapi ya ituuu ... bikin modar😆😆
So ... this is the last chapter about Bimala. My wonder woman, my hero.
Thanks buat semua support. Happy reading dan semoga suka sama bab terakhir ini 😊
xoxo
____________________________________________
True love happens only once, the rest is just life
Kurapatkan jaket tebal yang kupakai untuk melindungi diri dari terpaan angin musim gugur yang membuat ngilu hingga ke tulang. Setelahnya, aku menggosok-gosok tanganku sendiri dan menempelkannya di kedua pipiku yang mulai dingin. Kulempar senyum, ketika seorang pelayan mengantar secangkir van winkle blend panas. Lumayan untuk menghangatkan badan.
Setelah menyecap kopi dan merasakan hangat sedikit menjalar ke dalam tubuh, tanganku bergerak membuka laptop yang kubawa, berencana untuk menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda sembari menikmati lalu lalang orang di sekitar 102 Patrick Street di Oldtown, Alexandria. Dulu, aku datang ke sini untuk mewujudkan mimpiku bergabung dengan Charities Aid Foundation. Setelah bergabung selama tiga tahun, alih-alih kembali ke Indonesia, aku justru memutuskan untuk mencari pekerjaan. Gayung bersambut, karena lepas dari CAF aku ditawari untuk bergabung dengan Charles Barret Elementary School. Aku belum tahu apakah aku akan menetap, tapi pilihan itu jelas masuk ke daftar pertimbangan.
Kopiku baru habis setengah dan aku juga belum menyelesaikan grades paper saat suara 'ting' pelan mengalihkan perhatianku ke pojok kanan bawah demi menemukan email yang baru saja masuk. Senyumku terbit saat melihat nama Keira Adibratha di bagian pengirim dan lebih lebar lagi saat melihat beberapa foto yang dilampirkan dalam email. Gadis yang kini beranjak remaja itu tampak cantik saat bergaya di depan lukisannya yang—akhirnya—diikutkan dalam sebuah pemeran nasional. Mataku sedikit memanas menahan haru, menatap gadis yang dulu menjadi murid kesayanganku itu. Dia tampak mempesona, dengan mata hijau-cokelat yang semakin bersinar saat disandingkan dengan gaun biru lautnya yang manis.
Kalau saja Banyu melihatnya, dia pasti akan sangat bangga karena adik kesayangannya, berhasil mewujudkan mimpi; menjadi pelukis muda yang namanya tercatat dalam daftar seniman bermasa depan cerah. Setetes air mataku jatuh. Selama lima tahun belakangan ini, entah kenapa aku mudah sekali menangis. Sepertinya, sisi femininku mulai mendominasi sejak kehadiran pria itu.
"Moooom!"
Teriakan pria kecil yang tubuhnya tenggelam dalam jaket besar membuat perhatianku teralihkan sepenuhnya. Dia merentangkan tangan kecilnya dan langsung berlari menubrukku. Memelukku dengan rengkuhan mungil yang rasanya lebih hangat dari blended coffee yang kunikmati tadi.
"I saw night herons. They have black crowned head." jelasnya penuh semangat.
"Oh, really? Kamu suka?" Aku berusaha keras menahan tawa menanggapi mulutnya yang mulai mengoceh. Bisa dipastikan kalau bermenit-menit setelahnya akan ada banyak kosakata tentang bulu, terbang, dan semua hal yang terkait dengan burung.
"... and parrots, and macaws, cockatoos...."
See? Inilah pria kecilku yang tergila-gila dengan burung. Bulan lalu dia bahkan mengamuk, memaksaku membeli seekor burung onta untuk dipelihara dan dia tidak terima alasan kalau pengelola apartemen kami melarang membawa binatang. Pheew, anak kecil memang bisa sangat merepotkan.
"Kamu mestinya ikut sama kita tadi."
Pria tampan yang sekarang lebih suka memakai kacamata itu duduk di sebelahku dan tanpa permisi langsung mengambil kopi milikku lalu mengenggaknya sampai habis.
"What the f—"
"Hei! Kebiasaan mulut kotormu tuh kapan mau ilang, sih? Ada anak kecil di sini. Tch, what a bad mom!" omelnya.
Aku tertawa. "Kelepasan, Randu," ujarku beralasan.
Randu mengusap kepalaku lembut, sementara tanganku sibuk men-save pekerjaanku yang baru setengah.
"Itu, Kei? God, she's so beautiful!" komentarnya saat melihat foto Keira yang belum sempat kututup. Kuulas senyum, menatap sekali lagi foto Keira bersama wajah Banyu yang diabadikannya dalam kanvas lukis, sebelum mematikan laptop dan menyimpannya ke dalam tas.
" ... when mother bird said 'tweet, tweet, tweet' ...."
Bocah berambuut hitam lebat yang kini duduk di kursi di depanku, memainkan miniatur binatang yang sepertinya dibelikan Randu di Zoological Park tadi sambil menyanyi kecil.
"Two little birds went flying on day. Over the hills and far away...."
Aku tersenyum geli menatap matanya yang berkilat. Jagoan kecil yang selalu bersemangat ini menatapku jenaka sembari menggoyang-goyangkan kepala selama proses menyanyi paling sakral menurutnya. Randu tertawa meledek, tapi dia tak peduli. Mulut kecilnya terus saja bergerak, mendendangkan lagu dengan riang. Lagu tentang burung yang terbang tinggi, pergi jauh melewati bukit.
"Mom, can I have a wing?"
Randu semakin tertawa. Aku berdehem pelan, tak ingin pria kecilku ini merasa disepelekan. Oh, lihatlah bagaimana keningnya berkerut, seolah pertanyaannya mampu mengatasi inflasi yang sedang tinggi.
"A wing? Apa itu semacam kostum buat pesta Halloween?" Aku ingat pesta Halloween tahun lalu saat dia memakai kostum burung gagak dengan sayap lebar, berlari-lari di taman kota seolah sayap itu mampu membawanya terbang.
"I wanna fly away. Nanti kalau Banyu terbang, Banyu anterin Mommy ke mana-mana. Ke sekolah, ke store, ke rumah Grandpa, sama ... ke langit, ketemu Daddy."
Kutelan ludah.
"Aku mau jadi sayap, supaya kamu bisa terbang kemana pun yang kamu mau. Dan selama itu, aku akan jadi orang paling bangga yang selalu men-support kamu dengan cara yang aku bisa."
Setetes air mataku jatuh lagi.
"Mom...."
"Yes, Love."
"Can I have a wing?"
Kuulurkan tanganku, berusaha meraih kekasih hati yang kini tersenyum lebar. Bukannya meraih tanganku, dia justru merosot turun dari bangku dan langsung lari mengitari meja yang memberi kami jarak ... memelukku. Kuangkat tubuh kecilnya, dan kududukkan di atas pangkuanku, dekat ke dadaku.
"Of course you will." Kurentangkan kedua tangannya lebar, "you would have a pair of wings, and when you spread them out ... you're going up, up, up and fly away so high."
Tawa renyah itu memecah udara, menggelitik saraf-saraf di tubuhku untuk ikut tergelak.
"Pulang sekarang?" tanyaku pada bocah empat tahun yang kini melanjutkan lagi lagu five little birds-nya. Mata hitamnya yang gelap melirikku sekilas, mengangguk cepat lalu kembali bernyanyi. Kupandangi lekat-lekat wajah yang selama lima tahun ini memberiku kekuatan. Buah cintaku dengan Banyu yang lahir di hari pertama musim semi. Aku masih ingat bagaimana dia menangis keras saat dokter mengangkatnya tinggi-tinggi, sebelum akhirnya menempatkan tubuh rapuhnya di atas dadaku. Mata kecilnya seperti menatapku, menciptakan senyum di sela-sela tangisku yang banjir. Dan seolah paham, dia berhenti menangis.
Banyu Biru, keajaiban kecil yang dihadiahkan Tuhan untuk menggantikan Banyu.
-o0o-
"Banyu udah tidur?"
Perhatian Randu yang semula terfokus pada sebuah foto langsung teralihkan saat aku masuk dan menyorongkan mug kopi padanya. Dia meletakkan foto itu—fotoku dan Banyu—kembali ke atas meja, lalu bergabung denganku yang sudah lebih dulu duduk di atas sofa.
Sudah hampir tengah malam. Di luar jalanan juga sudah mulai sepi, dan Banyu kecil sudah terlelap tidur saat aku menutup pintu kamarnya tadi.
"Besok penerbangan pagi, kan?" tanyaku yang hanya dijawab dengan anggukan ringan. "aku anter ke airport."
Randu meletakkan mug kopinya di atas meja. "Nggak usahlah, Bi. Aku naik taksi aja."
"Jarang-jarang kamu ke sini, Ndu. Kalau nggak, aku juga nggak peduli deh."
Radu tertawa. Ada jeda sejenak sebelum dia melanjutkan, " Kamu...."
Kuangkat alis, menunggu kalimatnya selesai. Di depanku, pria yang tahun ini genap berusia 35 tahun ini menarik napas, terlihat tidak yakin dengan apa yang ingin dikatakannya.
"Kamu ... yakin nggak mau balik ke Jakarta?"
Aku mendesah pelan, mengorek-ngorek pikiranku sendiri. "Nggak sekarang. Ntarlah kalau visa abis juga aku balik."
"Damn! Aku serius, kamu malah bercanda!"
Aku tertawa lagi. "Loh, bener kan!" bantahku ringan. Randu mengacak-acak rambutnya sendiri karena gemas, lalu ikut-ikutan tertawa. "Kamu tahu bukan itu maksudku, Bi."
Kubuang napas. Sebetulnya, kemungkinan itu juga seringkali mampir di pikiranku. Di satu sisi, aku merindukan kota itu, kendati di dalamnya sarat kenangan menyakitkan yang selalu berhasil membangitkan tangis. Ada sesuatu yang menahanku untuk pulang. Sesuatu yang aku tahu akan membuatku semakin rapuh.
"It's been too long. Keluarga Banyu juga pasti mau deket sama cucunya, Bi. Aku tahu hubungan kalian pun sekarang tetep baik, tapi ... kalau tinggal di satu kota, pasti mereka bakalan lebih seneng lagi. Apalagi Banyu ngegemesin gitu."
Aku tersenyum samar, menundukkan muka menatap tanganku yang bergerak-gerak gelisah. Tak ingin terjebak dalam situasi canggung lebih lama lagi, aku bangkit dan memutuskan untuk kembali ke kamar. Baru saja berdiri, Randu menahan tanganku, membuatku terpaksa menantang matanya yang menatapku dalam—lembut. Ah, kadang aku merindukan seseorang menatapku dengan seperti itu.
Aku akui, aku bukan perempuan baik yang terkadang gagal bisa menahan hasrat untuk menjalin hubungan dengan pria lain. Bukan sekali dua kali aku nekat berkencan dengan pria yang terang-terangan menyatakan ketertarikannya. Tapi ... semuanya gagal. Bukan karena mereka tidak baik, tapi karena hatiku yang ternyata terlalu beku. Sakit hati karena kehilangan Banyu ternyata mampu menciptakan badai salju yang tak terelakkan, meski berkali-kali meyakinkan diri sendiri kalau inilah yang terbaik. Mungkin benar bahwa terkadang kematian bisa menjadi gerbang kehidupan baru bagi manusia-manusia tak beruntung yang tidak bisa mendapatkan kebahagiaannya di dunia—seperti Banyuku. Jadi kuharap, dia bahagia dengan caranya sendiri.
"Bi...."
Randu memanggil lagi. lebih pelan kali ini. Aku menahan napas, berharap dengan cara seperti ini, saraf-saraf pendengaranku juga ikut kehilangan kemampuannya. Berharap, aku tak perlu mendengar kalimat yang paling tak ingin kudengar sejak tiga tahun terakhir.
"Penawaranku masih berlaku, Bi. Aku—"
"Randu, hentikan! Aku mohon!"
"I love you!"
"I know!"
Randu menghela napas berat.
"Berhenti nunggu, Randu! Keputusanku tetap sama."
"Kalau gitu aku juga tetap sama pendirianku, Bi."
"Randu!" Aku mulai berang. "aku nggak akan berhubungan sama siapa pun. Kamu berhak dapet perempuan yang jauh lebih baik dari aku. Yang bisa cinta sama kamu dan melihat kamu sebagai seorang pria. Bukan sahabat!
Pegangan Randu terlapas, menjangkiti hatiku dengan perasaan bersalah kerena menyakiti pria luar biasa yang pernah kukenal—lagi. Perlahan, sorot matanya mulai sayu. Menampakkan luka yang tampaknya mulai akrab untuk kami berdua. Aku tersentuh, sungguh.
"Ndu, kamu sahabat aku yang paling baik. Aku nggak mau kehilangan itu. Lagipula ... kamu tahu kan kalau aku—"
"Aku tahu."
"Aku cinta sama Banyu."
Kuraih tangan Randu yang terkulai di atas pangukannya, menggenggam jemari besarnya.Tidak terlalu keras, cukup agar dia bisa merasakan denyut perasaanku yang tak pernah sekali pun berniat untuk menyakitinya. Randu tersenyum. Aku tersenyum.
"Kalau Banyu nggak pernah ada di hidup kamu, menurutmu aku punya kesempatan?" tanyanya lugu.
Aku tertawa keras. "Oh, come on! Anything that can possibly go wrong, does. Kalau nggak ada Banyu, mungkin ada orang lain yang lebih bad yang masuk ke hidupku."
"My Godness! Sebegitunya sampai aku beneran nggak ada peluang," ujarnya di antara tawa yang memecah keheningan.
"You're meant to be my best friend. You're too good to be true, Ndu." Kuremas tangannya dan Randu meremas tanganku balik. Menyalurkan kekuatan yang kubutuhkan untuk menjalani hidupku yang masih panjang. Kupandangi wajahnya yang tegas, tatapannya yang teduh yang selalu berhasil memberikan rasa tenang dan nyaman bagi siapa pun yang menatapnya. Randu memiliki aura positif yang selalu dia tularkan pada semua orang yang berada di dekatnya. Aku memang egois dan seringkali mengutuk diriku sendiri yang tak mampu membalas cintanya.
Tapi, bukankah memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini?
Bukankah setiap orang memiliki satu sisi gelap yang tidak mereka tunjukkan. Tempat di mana kemarahan, keegoisan, rasa takut dan semua inferior berkumpul menjadi satu. Begitu pula dengan kami berdua ... juga Banyu.
Banyu terjebak di antara rasa bersalah dan ketakutan yang memenjarakan kebebasannya, mengekang kesadarannya dan membuatnya lupa jalan pulang. Banyu bukan pengecut hanya karena mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Bagiku, dia hanyalah seorang pria tersesat yang akhirnya menemukan keberanian untuk memilih jalannya sendiri. Dan dia memilih untuk lebih dulu memasuki dimensi yang lebih luas, lebih kompleks dari sekedar hidup. Dia memilih mengambil alih semua rasa sakit dan melepaskan orang-orang yang mencintainya untuk terbang bebas mencari kebahagiaannya sendiri.
Karena seperti yang dia bilang, dia ingin menjadi sayap yang membawa kami terbang tinggi, bukan rantai yang mengikat dan membebani.
Untuk terakhir kali, kutenggelamkan tubuhku di antara tangan-tangan Randu yang merengkuhku erat. Berusaha mencairkan semua kata-kata maaf yang beku dan mengalirkannya dalam darah. Randu tahu, aku pun tahu. Setiap sentuhan telah mendenyutkan pesan-pesan yang tak pernah bisa diungkapkan. Sebuah kejujuran tak bersuara yang menyebar tanpa perlu kata-kata. Mengerti tanpa perlu berorasi. Sakit dalam hatinya, juga sakit dalam hatiku, mungkin tak akan pernah sembuh. Tapi, kami tahu kalau kami memang tak perlu saling mengobati. Kami hanya perlu mengerti.
"Mom."
Suara kecil itu akhirnya membuat pelukan kami terlepas. Banyu Biru dalam piyama monster-nya berdiri lucu sambil mengucek-ucek matanya yang merah. Rambut hitamnya berantakan, dan mulutnya menguap lebar.
"Hei, Man!" Aku bangkit dan menghampiri putera kecilku itu. Kutekuk lutut hingga mata kami sejajar dan kesentuh bahu ringkihnya yang bergerak-gerak karena aktivitas tangannya yang belum juga berhenti. "Kok bangun?"
"I want you."
"What? Why? You've got a bad dream?"
"Uh-huh. Not bad. I saw a man!"
"Man?"
Banyu mengangguk lucu. "Yeah. He's so tall and ... looks like me."
Aku menarik senyum lembut. "And then?"
"And then I wake up. And ...."
"And?"
"And I wanna hug you."
Tanpa menunggu jawaban, Banyu memelukku, menyurukkan kepala kecilnya ke dadaku yang langsung menghangat, bergetar menahan gelenyar cinta yang merambat pelan, memenuhi hatiku yang semula kosong hingga terisi sepenuhnya. Dan aku semakin yakin, aku tak perlu cinta yang lain lagi.
"Is that Daddy?"
"Might be."
"He said, he loves you!"
"And l love you too. So much."
Kueratkan pelukanku.
____________________________________________
Inhale ... exhale ... fiiuuuuh. Saya baper sendiri nulis chapter ini😭😭
Ada mas Randu yang ikutan nongol. Kenapa? Mmm ... nggak tahu juga, tapi saya juga rasanya nggak tega kalau nggak nyiksa dia (wadepak). Bukan nggak mungkin suatu saat bikin spin off tentang Randu sama Bimala. Atau ... Banyu Biru???
Belum tahu, tapi ... semoga😊😇
Have i say thanks? Udah kayaknya, tapi saya ucapin makasih lagi. Maaf buat endingnya. Mengecewakan tapi menurut saya itu yang paling make sense. Mas Bay nggak sejahat itulah tega ngerepotin sampe tua. I make a drama (i know) but don't need more drama.
Least ... bye. Big hug and love😘😘
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top