9. Bimala : Friends
Friend (n) : One who listens, doesn't judge, and somehow makes everything all right.
Kupandangi tampang serius Didit yang masih sibuk memeriksa sketsa buku bersampul hitam milik Keira, salah satu murid melukisku di Arthaus. Sudah hampir lima menit tapi dia belum berkomentar apa-apa. Hanya keningnya yang berkerut dan kepalanya yang mengangguk sesekali. Rokok yang terselip di antara kedua jarinya juga sudah padam karena tak kunjung diisap.
"Wow!" Akhirnya, teman kuliahku ini membuka mulut setelah membuatku menunggu dengan perasaan cemas. Didit menutup buku itu dan mengembuskan napas kuat-kuat. "Serius ini anak sepuluh tahun yang bikin?" Didit bertanya lagi. Mata cokelat tuanya berkilat cerah, menggambarkan kekaguman yang juga kurasakan saat pertama kali melihat hasil karya Keira.
"Yep! Gila, kan? Aku juga sampe bengong loh pas pertama kali liat. Oh ya, itu dia nggak pakai dussel, murni cuma pensil aja," jelasku penuh semangat.
"Eh? Telaten banget ya, padahal dia masih kecil. Biasanya anak kecil jarang loh yang sesabar itu. Serius, ini ... keren. Kamu bener, dia punya bakat. Tapi, ini kan sketsa, lukisannya mana?"
"Ada di mobil, tadi aku ribet bawa soalnya. Nanti deh pas nganterin kamu ke luar, aku kasih lihat. Nggak kalah keren dan aku yakin kamu pasti suka."
Lagi, pria berkacamata minus di depanku ini manggut-manggut sementara tangannya menyalakan korek untuk membakar lagi Marlboro putih yang tadi padam.
"Kamu tahu kenapa aku kasih lihat ini sama kamu kan, Dit? Penilaian kamu itu sama kayak pertama kali aku ketemu dia. Tapi, yang aku mau bukan cuma sekedar pengakuan kalau dia emang berbakat."
Didit menghela napas dan mengembuskannya pelan bersamaan dengan asap rokok yang mengepul ke luar. Dia tahu ke mana arah pembicaraanku, dan memang itulah tujuanku.
"Aku mau kesempatan buat dia, Dit. Dan aku tahu, kamu bisa bantu," kataku penuh penekanan.
Tak langsung menjawab, Didit menggilas kasar rokok yang masih setengah dan meraih botol minum dari meja di depan kami. Kalap, dia menenggak teh botolan itu hingga tandas. Entah bagaimana, aku bisa tahu kalau dia tidak benar-benar haus. Untuk beberapa lama dia diam, dengan pandangan menerawang ke depan. Entah apa yang dilihatnya di sana, anak-anak yang asyik bermain atau beberapa rekan Bright Horizon yang sibuk membereskan sesuatu.
Kulirik jam tangan kulit yang sudah menunjukkan pukul lima kurang lima belas. Waktuku tidak banyak. Dalam setengah jam, aku harus menyiapkan anak-anak untuk beribadah bersama sebelum masuk ke acara berikutnya. Dari kejauhan, Gita juga sudah melotot ke arahku sambil mengacung-acungkan jam tangan yang melingkar di tangannya.
"Dit ...," panggilku mencoba mendapatkan lagi perhatian dosen seni rupa yang tahun lalu terpilih menjadi pengurus DKJ ini.
"Nggak gampang, Bi. Yang seleksi kan bukan cuma aku tapi ada anggota yang lain juga. Lagian, ini udah telat banget. Aku nggak bisa kasih privilege kayak gitu," jelasnya.
"Oke, gini deh. Anak ini nggak harus lolos tapi paling nggak ajuinlah sama tim yang lain. Apa pun hasilnya, aku terima. Fair, kan?"
Didit balas menatapku. Dia tahu aku sangat serius dan tidak akan menyerah membujuknya sampai aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Dan saat akhirnya dia mengangguk pelan, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluknya, tanpa peduli dengan beberapa orang yang menoleh saat melewati kami. Aku punya harapan besar untuk Keira, dan Didit baru saja membukakan pintu untuknya.
"Oke oke ... udahan dong meluknya. Dilihatin anak-anak tuh," protes Didit. Hanya sebentar dia pura-pura keberatan karena saat aku melepas pelukanku, dia justru tersenyum nakal.
"Big thanks, Dit. Makasiiih ... banget." Kugenggam tangan Didit erat-erat, sementara dia hanya tertawa melihat tingkahku yang berlebihan.
"Iya iya ... lagian kamu semangat banget sih, aku jadi susah juga mau nolak," ledeknya.
Kumonyongkan bibir ke arahnya, membuat Didit semakin tertawa.
"Yang lukisan dia bikin pakai apa? Cat minyak? Atau air?"
"Minyak. Nggak kalah keren kok," janjiku penuh semangat. Di hadapanku, pria tiga puluh tahun itu mengangkat sebelah alis dan menatapku jenaka. Aku ingat bagaimana dia selalu berekspresi lucu seperti itu setiap kali—menurutnya—aku bersikap terlau reaktif. Aku sendiri ingat, aku selalu antusias saat Didit memamerkan coretan tangannya di atas kertas. Hobi dan minat yang sama membuat kami akrab meski tidak berada di fakultas yang sama. Didit adalah mahasiswa seni rupa, sedangkan aku mengambil jurusan Ekonomi.
Didit tidak banyak bertanya lagi setelah aku meyakinkannya kalau lukisan Keira tidak akan membuatnya kecewa. Sama seperti aku yang terhipnotis dengan kemampuan bicara Keira yang termanifestasi dalam lukisan realis, aku yakin kalau Didit juga akan merasakan hal yang sama. Terpesona pada gadis kecil yang bahkan tak pernah banyak bicara.
Tak lama setelah pembicaraan kami selesai, aku mengantar Didit ke tempat parkir. Di sana aku mengeluarkan dua lukisan dalam gulungan kanvas yang belum sempat dibingkai. Seperti dugaanku, pujian dan decakan kagum langusng keluar dari mulut Didit. Aku tersenyum puas.
"Makasih lagi ya, Dit. You really made my day," ucapku yang ditanggapi Didit dengan santai.
Dia sudah hampir masuk ke mobil saat air mukanya tiba-tiba berubah. Wajah semringahnya seolah hilang bersamaan dengan angin sore, digantikan dengan tatapan sendu yang tak bisa kuartikan. "Oh, iya...." Ada jeda sejenak sebelum dia melanjutkan, "aku udah dengar soal kamu sama Adi. I'm so sorry to hear that. Keep strong and wish you the best."
Dari cara Didit menatapku, bisa kurasakan ketulusan dalam setiap kata-katanya. Sungguh aku merasa tersentuh. Meski kami jarang bertemu, meski aku hampir tidak pernah muncul setiap kali teman-teman kuliah mengadakan reuni, Didit tahu apa yang kubutuhkan. Dia tahu, dukungan sekecil apa pun sangat berarti untukku. Dalam hati, kupanjatkan syukur karena setidaknya aku masih memiliki teman-teman yang peduli. Sampai akhirnya mobil Didit meninggalkan halaman parkir, aku masih tersenyum.
Tapi, senyumku ternyata tidak bertahan lama saat mataku menangkap pemandangan ganjil yang tidak seharusnya kutemukan di Bumi Perkemahan Ragunan ini. Keningku mengerut, menyiratkan rasa heran yang menyergap pikiran saat melihatnya; sebuah sedan metalik dengan nomor polisi yang kuhapal mati terparkir di bawah pohon beringin.
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top