8. Banyu : Woman With Smiles

- The best curve of the woman is her smile -
Bob Marley









Beberapa meter dari tempatku berdiri, perempuan itu tertawa seolah tak ingin melewatkan keceriaan siang. Angin nakal memainkan rambut hitamnya yang bebas tergerai, membuat tangannya harus telaten bergerak menyelipkannya di balik kuping. Dia mungkin tidak memiliki model's material. Tubuhnya juga tidak menjulang tinggi seperti tiang listrik. Wajahnya bahkan tidak lebih cantik dari wanita yang pernah kukencani. Hanya saja, mendadak dia jadi terlihat menarik.

"Mas Banyu!"

Suara Kei yang riang akhirnya menarikku kembali ke bumi. Menghujamkan kesadaranku yang sempat mengembara jauh. "Mas Banyu ngapain sih bengong di situ? Teleponnya udahan belum?" Adik kesayanganku bertanya lagi. Tanpa menyahut, aku berjalan mendekati mereka yang sedang duduk di bangku taman, di bawah pohon ketapang.

"Gimana? Udah selesai mobilnya?" Bimala, perempuan yang mendadak terlihat manis ini bertanya.

"Ehmm ... belum! Mungkin besok."

"Isss, kok lama sih," gerutunya.

"Bawel ih. Kalau itu bengkel punya gue, pasti gue suruh ngerjain punya gue dulu."

Tak menjawab, Bimala hanya mendengus membuatku harus mati-matian menahan senyum. Kutempatkan tubuhku di samping Kei yang sibuk mencari-cari sesuatu dari dalam tas sekolahnya. Dia bahkan belum berganti seragam karena aku dan Bimala langsung mengajaknya ke sini. Aku merasa Kei butuh udara segar. Dan setelah kemarin melihat langsung kedekatannya dengan Bimala, aku memutuskan untuk mengajaknya jalan-jalan sebentar. Thanks God karena Bimala sepertinya juga tidak keberatan.

"Nih!" katanya. Tangan kecilnya menyodorkan sebuah buku bersampul hitam ke arah Bimala yang langsung disambut dengan senyum lebar.

"Apaan tuh?" tanyaku.

"Not your business!" jawab Bimala ketus. Aku tertawa karena tahu kalau dia tidak serius. Setelah membolak-balik halamannya sebentar, dia memasukkan buku itu ke dalam hobo bag hitam yang tergeletak di sampingnya.

"Kamu haus nggak, Kei? Ada tukang minum tuh. Beli sana!"

Keira tidak menjawab, tapi juga tidak menolak karena dia langsung mengasongkan tangannya, dan segera pergi setelah kuberi selembar lima puluh ribuan.

Sepeninggal Kei, mendadak suasana menjadi hening. Meski deru kendaraan berlalu-lalang membaur bersama genjrengan gitar sumbang pengamen jalanan, kebekuan antara aku dan Bimala tetap tak terelakkan. Salah tingkah, kuketuk-ketukkan jariku ke bangku hijau tua yang kami duduki, mencoba mencairkan suasana. Cara yang aneh? Indeed.

"I'm ... I'm really sorry," kataku pada akhirnya.

"Sorry for what?" Cepat Bimala menyahut.

"Emm ... for that night?"

I know it's too late dan dia mungkin sudah melupakan kejadian memalukan itu. Tapi, aku belum pernah minta maaf, kan? Lagipula aku juga tidak mau terkungkung dalam kecanggungan seperti sekarang. I need to break the ice.

Bersamaan, kami menoleh hingga mata kami bertumbukan satu sama lain. Mata cokelatnya berputar, berusaha menghindar dari tatapanku. Keningnya terlipat menggambarkan rasa heran yang jelas terlihat. Mungkin dia tidak mengira kalau aku akan meminta maaf.

"Aku hampir lupa," jawabnya ringan sembari mengalihkan pandangan, lari dari mataku. Tangannya menyusup ke lehernya yang jenjang sebelum akhirnya menyandarkan punggung ke bangku dan melempar senyum.

"Almost is not enough," kataku lagi, "i was in a bad mood and as you know ... gue mabuk berat." Aku berkata pelan, mencoba mencari alasan. Konyol memang, tapi aku ingin dia tahu kalau aku bersungguh-sungguh.

"I know! Kita lupain aja gimana? Bukan hal yang pengin gue inget-inget juga sih," selorohnya.

Bimala mengerlingkan mata hingga aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak tersenyum. Semakin salah tingkah, aku mengangguk-anggukan kepalaku seperti orang bodoh. Terus seperti itu sampai akhirnya aku tertawa. Kami berdua tertawa. Oh, shit! Tertawa tidak pernah senikmat ini.

"Sumpah gue nggak tahu apa yang gue lakuin waktu itu," kataku, "but please tell me, gimana rasanya ciuman sama gue?"

"Eww ... so gross! Bagus lo nggak gue laporin ke polisi."

"Oh come on! That's too much."

Bimala mendaratkan tinjunya di lenganku. Lumayan keras, tapi tidak menyakitkan. Kami malah semakin tertawa, dan sungguh aku ingin merasakan tinjunya lagi.

"Nih, minumnya!"

Sebotol teh dingin disodorkan tiba-tiba di depan mukaku. Kutarik napas kuat-kuat menahan kesal. Entah kenapa aku merasa Keira datang di saat yang tidak tepat.

"Makasih, ya." Bimala berkata lembut saat Keira juga menyodorkan minuman untuknya.

"Mas Banyu," panggil Kei lagi menghentikan aksiku menenggak minuman yang kupegang.

"Kenapa?"

"Pulang yuk!"

What the heck? Ya ampun, Kei, nggak punya cara lain buat merusak suasana apa? Aku mengomel dalam hati.

Gadis kecilku itu memandangku melas membuatku tidak tega, dan aku memang tidak pernah bisa menolak setiap kali dia meminta sesuatu. Papi bilang aku memanjakannya. Seperti sekarang ini, aku juga tidak bisa menolak keinginannya meski kurasakan gondok luar biasa, sementara Bimala hanya tersenyum sembari mengangkat sebelah alis. Manis sekali.





-o0o-






Aku mendorong pintu mobil dengan kaki karena kedua tanganku sibuk mengangkat tubuh Keira yang tertidur. Setelah hampir satu jam berusaha menembus kemacetan Jakarta, akhirnya kami sampai di lobby apartemenku.

"Butuh bantuan?" tanya Bimala saat memberikan tas Keira padaku.

"Nope, thank you. I can handle this." Kulempar senyum yang dibalas Bimala dengan tak kalah manis. Seolah luput dari perhatian, aku baru menyadari kalau dia punya lesung pipit di sebelah kiri. So cute.

"Thank you so much for today. Buat tumpangannya, jalan-jalan, ngobrol, and everything."

"Nah, it's nothing!"

Dia tersenyum lagi. Oh, seminggu yang lalu aku tidak pernah mengira kalau dia juga bisa tersenyum, apalagi kalau aku ingat bagaimana dia selalu marah. Hmm ... kami selalu marah.

"So, gue pulang ya. Ntar kalau mobil lo udah selesai kabarin aja."

"Sure! Um ... bye!"

Bimala tidak menjawab lagi. Dia hanya melambaikan tangannya kikuk sebelum berbalik menuju mobil. Tanpa sempat berpikir, aku memanggil lagi, "Bi...!"

Baiklah, aku pikir suaraku terlalu keras karena jarak kami yang tidak lebih dari dua meter. Beberapa security yang sedang berkumpul di pos sampai menoleh ke arah kami.

"Ya," jawabnya sambil tersenyum. Lagi.

"Umm ... besok...." Aku tidak yakin akan melanjutkannya. Bimala diam, menungguku berhasil memuntahkan bajingan kecil yang bercokol menyumbat tenggorokan. "Be-besok ... besok mobil gue selesai. Jadi lo anterin gue ambil mobil, ya. Mungkin sekitar jam tiga?"

Shoot your head, Bay! Lo ngomong apa?

"Besok? Nggak bisa kalau besok. Gue ada acara—"

"Acara apa?" sambarku cepat. Fuck! Buru-buru aku menutup mulut menyadari reaksiku yang terlalu berlebihan. "Ya udah kalau lo nggak bisa nggak apa-apa." Aku mencoba bersikap santai. "Besok gue—"

"Yayasan gue ngadain jambore anak jalanan di Ragunan dan gue full dari pagi di sana. Jadi gue nggak bisa...." Bimala mengangkat sebelah bahu saat menjelaskan yang entah bagaimana, perasaanku lega mendengarnya. Setidaknya, dia tidak menolak karena ada janji dengan orang lain. Yah, kencan misalnya?

"Oh, ok. Kalau gitu, sukses buat acaranya ya."

"Makasih. Gue balik ya."

"Ok! See you," kataku.

Bimala tampak mengerutkan kening, tapi pada akhirnya dia juga menjawab 'see you' sebelum benar-benar masuk ke mobil, meninggalkanku yang masih berdiri memandang mobil putihnya yang semakin menjauh dan berbaur dengan lalu lintas Jakarta.

Sesampainya di kamar dan menidurkan Keira, aku bergegas masuk ke kamar mandi. Di bawah kucuran air hangat, kusentuh dadaku yang juga terasa hangat. Tertegun, kupandangi wajah dan tubuh telanjangku yang dialiri air di cermin. Membiarkan tetesannya menyentuh ujung-ujung saraf sensorik yang terasa tegang. Belum pernah kurasakan hal seperti ini. Perasaan nyaman, seperti menemukan sebuah rumah.

Malamnya, aku hanya termenung di sofa. Tak kupedulikan Ellen Show di tivi atau sebotol Corona yang hanya menggantung di tangan kiri. Pikiranku sibuk. Di antara riuh yang bergemuruh di dalam kepala, terselip bisikan halus yang secara ajaib berhasil didefinisikan dengan gamblang. Satu kata itu menggema. Berteriak lantang layaknya seorang pejuang perang. Menggetarkan hati yang akhirnya ikut-ikutan buka suara, merapal sebuah kata layaknya mantra; Bimala.


-o0o-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top