37. End : Fide, Sed Qui, Vide.
Fide, Sed Qui, Vide itu semboyan latin. Artinya Percayalah, tapi hati-hati memilih orang untuk dipercaya.
Ini ending? Hardly to say, YES!😊😊
___________________________________________
Life asked Death
"Why do people love me but hate you?"
Death responded
"Because you are a beautiful lie and i'm a painful truth."
Aku membencinya! Sumpah!
Aku tidak suka melihatnya berbaring di ranjangku. Bagaimana kalau bulunya rontok di mana-mana? Goddammit, aku alergi bulu anjing. Dadaku bisa langsung sesak, napasku juga akan tersengal kalau bulu-bulu menjijikkannya masuk ke dalam hidung bangirku. Aku tidak tahu bagian mana yang sulit dimengerti kalau aku benci makhluk berkutu itu. Sialnya, sudah satu bulan ini Bima membiarkannya berkeliaran di dalam rumah.
"Jasper, stop that! Don't touch mine! No ... no ... no!" raungku saat labrador retriever sialan itu malah bermain-main dengan bantalku. What the fuck!
Rasanya, aku ingin menendangnya sekeras mungkin. Sampai mati kalau perlu. Tapi bagaimana bisa? Aku bahkan tidak sudi menyentuhnya.
"Get the fuck out of here!" Aku membentak lagi. Tapi seolah mencemoooh, binatang berbulu cokelat muda itu malah menatapku gelisah. Mungkin merasa was was karena aku akan menyakitinya. Sungguh, aku tak ingin menyakiti siapa pun, tidak juga anjing itu. Tapi pikiranku yang sudah dikuasai amarah, menyalak-nyalak menerima tantangan dari matanya yang dipenuhi hinaan.
"BIMAAA!"
Aku berteriak keras. Sangat keras sampai kurasa pita suaraku nyaris lepas dari pangkal tenggorokan. Aku merasa amarahku sudah sampai ke kepala, terutama saat saudara kembarku masuk dan santai melenggang. Diangkatnya anjing kesayangannya itu dan dibelai dalam dekapannya. Aku benar-benar muak melihat tingkahnya yang menjengkelkan.
"Santai aja kali, ini cuma anjing," celetuk Bima bahkan tanpa melihat wajahku. Aku semakin berang.
"Lo anjing!" teriakku.
"Lo bilang apa?"
"Gue bilang lo anjing! Ngak denger? Lo anjing! Anjing ... anjing!"
BUKK!
Gerakan tangan Bima cepat, jauh lebih cepat dibandingkan terakhir kali dia menghajarku dulu. Kurasakan wajahku berdenyut, bersama dengan sensasi asin yang kentara di dalam mulut. Setetes darahku jatuh dari ujung bibirku yang merenyut.
Dengan tak kalah cepat, Bima mencengkeram kerah bajuku dan menatapku dengan mata memerah. Aku tertawa, puas karena sekali lagi berhasil membangunkan iblis yang bersembunyi dalam wajah rapuhnya. Sementara, Jasper si biang kerok, sudah kabur entah kemana.
"Gue udah bilang sama lo, hormati gue sebagai kakak lo," bisiknya pelan.
"Kalau gue nggak mau?"
"Sorry, Bay. Lo nggak punya pilihan. Lo tahu? Satu-satunya pilihan yang lo punya adalah menjadi pengecut."
"Gue bukan pengecut!" geramku.
"Talk to yourself!"
Lalu aku melihatnya, seringai Bima yang tak pernah kusuka. Seringai yang sama yang kulihat malam itu, saat monster itu datang dan menyergapku bahkan dalam tidur. Pelan bisikan-bisikan itu mulai terdengar, meraung-raung di belakang kepalaku yang berdenyut.
Bima menyeringai lagi, membuatku ingin merobek mulutnya sampai ke kuping. Kurasakan sesuatu yang mulai merangkak naik dari ujung kaki, menjalar menguasai tubuhku yang sudah terasuki sepenuhnya. Terjerat sulur-sulur panjangnya yang membuatku dikendalikan amarah. Dan tak terasa, tanganku mengepal hingga ujung kukunya menyakiti telapak tangan.
"Lo kayak anak kecil."
Mataku menyalang.
"Lo berisik kayak anak cewek minta dikawinin tahu nggak?"
Tubuhku mulai gemetar.
"Oh iya, denger-denger lo habis dihajar sama kakaknya cewek lo yang bule itu? Kenapa? Main kasar?"
Jantungku berdebar cepat.
"Lo bener-bener memalukan ya, Bay. Harus banget ya main tangan sama cewek? Biar apa? Mau menunjukkan keperkasaan lo?
Darahku berdesir keras.
"Jantan tuh di ranjang, Bay. Titit lo kecil? Lo nggak sanggup muasin tuh cewek makanya lo bersikap kayak gtu?"
Sekali lagi dia buka suara, aku pastikan dia akan menyesal seumur hidupnya.
"Atau ... lo nggak bisa mengontrol suara-suara yang ada di kepala lo? Lo, ternyata memalukan ya, Bay. You're so lame!" Suara tawa Bima merobek keheningan kamarku yang menjadi saksi kekalahanku hari ini. Ingin mengelak dengan cara apa pun, tapi aku tahu aku tak akan sanggup. Hidupku seharusnya menjadi rahasiaku yang tak perlu orang lain tahu.
Tapi bagaimana bisa? Bagaimana Bima bisa tahu?
Bima masih sempat menepuk pipiku dua kali sebelum berlalu meninggalkanku yang masih mematung. Suara tawanya masih belum sepenuhnya hilang. Gemanya masih tertinggal di mana-mana, membuat telingaku meradang mendengarnya.
"Bim!" seruku pada Bima yang hampir sampai di ambang pintu.
Bima menghentikan langkah, menungguku bersuara.
"How do you know?"
"What?"
"You know what I mean, Bim."
Bisa kudengar dengusan di antara tawa pendeknya. "I just know, Brother."
Bima menutup kamarku pelan, meninggalkanku sendiri bersama dengan semua rahasia yang selama ini tersembunyi di sini. Rahasia yang melahapku pelan-pelan, menggerogoti semua kesadaranku yang getas. Bukan aku tak ingin melawan. Tapi hatiku tak ubahnya dengan bawang merah, yang saat kulit arinya terkelupas, akan membuka lapisan lain di bawahnya. Memancarkan panas yang membuntangkan mata. Memunculkan tangisan yang tak seharusnya hadir dari mataku yang tajam menatap bayanganku sendiri di kaca.
-o0o-
Kututup telinga dengan kedua tanganku rapat-rapat, mencoba menghalau suara-suara yang menyerang pendengaranku dengan beringas. Aku sudah berusaha menarik napas seperti yang diajarkan Bimala jika aku mulai marah, tapi rasanya semua sia-sia.
Bimala
Bimala
Bima-
"Ini saatnya, Banyu"
Pelan aku mendongak, ke arah datangnya suara. Dia benar, sudah saatnya aku menghadapinya sekarang! Percuma aku lari. Karena ke mana pun aku pergi, dia akan terus mengikuti.
Air mataku semakin deras, bersamaan dengan rasa bersalah yang menyeruak dari tempat persembunyiannya yang paling gelap. Meninggalkan lubang besar di dalam hatiku yang pengap dan mengingatkanku pada luka yang tak akan pernah sirna. Bima tahu itu. Aku pun tahu. Aku hanya tak pernah mau tahu.
"Why?" pelan aku bertanya dengan getar dalam suara yang terlalu kentara.
"You know why, Banyu." Tak kalah pelan ia menjawab.
"Kenapa lo nggak pernah tinggalin gue sendiri, Bim?"
"Karena lo menginginkannya, Banyu."
"Bullshit! You should've be dead!"
"I was."
"Lalu kenapa, Bim?"
"Karena lo menginginkannya."
"Gue mau lo pergi."
"Hanya jika lo menginginkan demikian."
"I do!"
"Ask yourself!"
Aku menangis lagi. Air mataku menderas lagi. Bima benar. Ini bukan salahnya. Akulah yang tidak membiarkan dia pergi. Akulah yang menahannya di sini, di dunia ini. Di kepalaku.
Tubuhku bergetar. Dadaku berdebar. Kesadaranku mulai menyempal. Di hadapanku, bayangan Bima semakin mendekat. Bergerak dalam irama pelan yang membuat luka di dadaku kembali tersayat.
"That was a poison. A sweet poison...." Aku mulai terisak.
"Let it go!"
"Itu bukan buat lo...."
"Let it go!"
"Harusnya lo nggak minum itu...."
"Let it go!"
"Harusnya Jasper...."
"Let it go!"
"Harusnya lo nggak...."
"Let it go!"
"Harusnya...."
Bima tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya berdiri mematung, sama seperti Jasper yang dengan setia menunggunya di batas pintu. Kutatap kedua mata anjing itu. Matanya masih gelisah, sama seperti yang selalu kulihat, setiap hari, setiap malam. Aku mendesah pasrah.
"What do you want?" Aku bertanya lagi.
"What do you want?"
"Please forgive me!"
"I did."
"Take me!"
"It's not for me who decide."
"Lalu siapa?"
"You!"
Kuhapus pelan air mata yang kini meninggalkan jejak memanjang di pipi. Tak habis pikir bagaimana aku bisa jadi secengeng ini. Bima mungkin benar saat dia mengatakan bahwa aku lemah. Tapi saat kesadaranku terbentuk seutuhnya, aku sadar bahwa aku jauh lebih lemah dari apa yang ia tuduhkan.
Kuhirup napas dalam-dalam. Memenuhi rongga dadaku dengan udara yang rasanya tak lagi mampu menopang hidupku yang berserakan. Lalu, ingatan itu menghantam lagi. Datang perlahan namun pasti, seiring dengan senyum Bima yang menusuk hingga ke ulu hati.
Kutolehkan wajah ke samping, ke arah laci di sebelah kiri. Ada sesuatu yang selalu disimpan Papi di dalam situ. Sesuatu yang aku tahu, akan mengantarku pada kebebasanku.
Sesuatu tiba-tiba melintas, saat apa yang kubutuhkan telah tergenggam di tangan. Aku tak lagi tahu, di mana awalnya bayangan itu mulai tersusun. Menampilkan wajah kekasihku yang pagi ini meringkuk di atas kasur. Matanya tertutup, tapi wajahnya tersenyum. Dan aku tahu, ada bagian dari hatiku yang mendadak hidup saat kehadirannya masuk memenuhi kalbu.
Setetes air mataku jatuh.
Kilasan yang lain kembali datang. Menggantikan senyum Bimala dengan wajah Kei yang ceria. Duduk berdampingan dengan Papi yang mengalungkan lengannya ke bahu malaikat kecil itu. Malaikatku.
Setetes air mataku jatuh lagi.
Tanpa bisa dilawan, kilasan yang lain terus berdatangan. Ada wajah Mommy yang tertawa saat Bert memeluk pinggangnya mesra. Entah apa yang pria gendut itu katakan hingga Mommy terlihat sangat bahagia.
Kali ini, aku tersenyum. Sekalipun bulir air mata tak bisa kutahan untuk tidak kembali jatuh.
Sekali lagi kuhela napas dalam. Berusaha berontak meski kutahu itu sia-sia. Sebuah potongan gambar terus menyerbu tanpa bisa kutahan. Tidak, aku tak ingin melihat. Kumohon! Tapi keinginanku yang fana hanya mengambang percuma, karena bayangan itu terus saja mendesak.
Tangisan Mommy, tangisan Kei yang belum mengerti, juga wajah muram Papi yang menyiratkan luka hatinya karena hancur berkeping-keping. Kudengar debaran jantungku yang terlalu kuat seakan mau meledak, saat kulihat tubuh Bima yang terbujur kaku di atas karpet berwarna merah. '
Saat itu, dia terlihat damai. Membuatku merasa iri.
Aku ingin semua ini berhenti, tapi semakin keras keinginan itu kuteriakkan dalam hati, suara yang lain justru semakin melengking.
Aku membunuhnya!
Aku membunuhnya!
Aku membunuhnya!
Tangisku berhenti—akhirnya—berganti dengan tawaku yang melantang. Kudongakkan kepala, menantang apa pun yang kulihat di atas sana.
Lalu, kualihkan pandanganku ke depan. Dengan mata tajam, kupastikan anjing sialan itu tahu bahwa aku tidak lagi takut. Pelan, kuangat tanganku yang tremor. Tersenyum pada bayanganku sendiri yang jatuh di permukaan pistol yang mengilap.
Kutekan moncong itu di pelipis kanan. Pelatuknya terkait dengan jariku yang menarik mantap. Tak ada gentar yang kurasakan di dada. Napasku semakin memburu, seolah tak sabar untuk segera diputus.
Tapi kemudian, aku sadar akan sesuatu.
Dengan yakin kualihkan sasaran ke depan, tepat ke dahi. Menyerang lobus frontal yang bertanggung jawab pada semua kekacauan pikiran yang bertahun-tahun kurasakan. Kupejamkan mata, bersiap merasakan silinder yang memuntahkan peluru untuk menembus dan menghamburkan isi kepala.
Kutarik napas lagi, untuk yang terakhir kali.
Merasakan gelenyar yang menguar untuk mencapai titik akhir.
Kuserahkan hidupku ...
Pada selongsong peluru ...
Yang kini bergerak pelan ...
Menembus dimensi waktu ...
Di alam pikirku ...
Aku tidak takut,
Karena sebentar lagi, akan kutemukan hidup
-END-
____________________________________________
Fiuuuh ... elap keringet. Akhirnya, Mas Bay tamat juga *tahlilan. Endingnya ngeselin ya😬😬😬
Ini cerita pertama saya di wattpad. Dan sebetulnya nggak cuma di wattpad sih, tapi emang ini beneran cerita pertama yang pernah saya tulis (saya nggak pernah nulis cerita sebelumnya). Jadi mohon maklum kalau agak-agak seenaknya.
Buat yang bertahan sama Banyu sampai sini, thank you so much. Soalnya buat author abal-abal kayak saya, it means a lot. Epilog menyusul nanti. Oh iya, setelah ini saya akan fokus di At Last. Ada Mas Kala yang minta dibelai, sama (mungkin) nulis Brilliant Madness yang tokohnya udah nongol dikit di bab Rumah. Semoga mereka bisa diterima juga.
Anyway, sekali lagi buat yang baca dan vote, makasih. Buat yang berkenan kasih review, makasih. Buat yang puas, makasih. Yang kecewa dan pengin lempar sandal, ehm ... makasih. Buat yang sider, makasih (saya sendiri kaum sider). Buat yang pernah buka, terus nggak suka, makasih (maaf juga). Buat yang nggak baca sama sekali .... errrr.
Love y'all and see you in another story😘
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top