36. Banyu : Once I Was Happy
- Happiness is not out there. It's in you -
Bimala yang masih bergulung lelap dalam dekapanku, sama sekali tidak bergerak saat aku menarik lenganku yang dia gunakan sebagai bantal tidur. Dia pasti masih mengantuk, karena kami—lebih tepatnya dia—baru tidur menjelang pagi. Aku sendiri? Aku tidak tahu apa itu bisa disebut tidur, yang jelas kepalaku berdenyut hebat sekarang. Kalau bukan karena aku sudah membuat janji dengan Papi, aku pasti lebih memilih untuk bergabung dengan kekasihku.
Kucuran air dingin kuharap bisa membantu menghilangkan sakit di belakang kepala dan meredam beberapa suara yang beberapa hari ini kembali berdengung. Kulihat wajahku sendiri di cermin saat menimbang apa aku akan mencukur jenggot yang menurutku sudah terlalu tebal. Kulihat mataku yang mulai memerah di sana karena kurang tidur. Ya, pasti karena itu.
Selesai mandi, sempat kulirik Bimala yang sudah berganti posisi. Kalau sebelumnya dia memunggungi jendela, sekarang sebaliknya sampai-sampai wajahnya berkilauan ditimpa sinar matahari pagi yang menembus kaca. Dia benar-benar tampak seperti malaikat.
"Hei, kamu udah mau berangkat?" panggilnya lembut saat aku menunduk untuk mencium keningnya.
"Did I wake you up?" Aku mendudukkan tubuh di pingggir ranjang. Senyumku mengembang melihatnya meregangkan tubuhnya dengan cara yang—you know—membuat gemas.
"Jam berapa sekarang?" Dia bertanya lagi.
"Baru jam tujuh, Honey."
"Ke kantor Papi, kan?"
"Yep! Aku ke kantor Papi dulu lalu ke kantor sebentar, selesein project iklan yang udah DL abis itu pulang lagi." Kusingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh menutupi wajahnya, membuatnya menggeliat. "Aku pengin banyak ngabisin waktu sama kamu. Aku yakin Randu pasti nggak keberatan, kok. Aku udah bikin usahanya untung banyak," kataku lagi. (DL=deadline)
"Okey! Kalau kamu mau lunch di sini, nanti aku siapin. Atau, kamu mau makan di luar?"
Aku menggeleng pelan. "Nope. Di sini aja. Aku pengin makan masakan kamu, and ... enjoy my real dish," ledekku nakal. Bimala tertawa pelan. Terdengar seperti nyanyian surga yang bergema indah.
"Kamu mau ngapain hari ini?" Aku bertanya lagi.
"Aku mau ke apartemen sebentar ambil beberapa barang, sama dokumen buat urus visa, terus ... belanja mungkin? There are no ingredients here. Ya udah kamu berangkat sana, nggak enak kalau Papi nunggu."
Aku tidak menjawab lagi, dan hanya menatapnya yang tersenyum padaku. Kalau boleh jujur, aku tidak ingin pergi ke mana pun hari ini. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu sebelum dia benar-benar pergi ke Virginia. Kusentuh pipinya pelan, berusaha merekam kelembutan yang kurasakan. Kupandangi wajah cantik itu lekat-lekat, berusaha memindahkan kesan yang ditangkap mata ke kanvas di dalam dada. Mata cokelatnya yang hangat, alisnya yang terawat, bibir ranum yang menggoda, senyumnya yang seolah memiliki tangan-tangan terjulur untuk menyentuh langung ke dalam hatiku. ISalah! Hatiku jelas sudah ada di situ, rumahku.
"Just go!" perintahnya.
Aku tersenyum lagi sebelum tertawa sendiri saat menyadari bahwa aku mudah sekali tersenyum akhir-akhir ini. Memangnya siapa yang tidak? Siapa pun yang memilki wanita seperti Bimala, pasti akan mengalami hal yang sama. Kucium keningnya, lumayan lama, sebelum akhirnya bangkit dan keluar. Sampai di ambang pintu, langkahku tertahan sebentar oleh panggilannya.
"Bay...."
"Ya?"
"I love you."
Ini bukan pertama kali aku mendengarnya. Hampir setiap hari kami bertukar kata cinta, baik mengucapkannya langsung, lewat telepon, atau pesan. Tidak ada yang berbeda dengan cara Bimala mengucapkannya pagi ini. Tapi entah kenapa, sesuatu di dalam diriku menanggapinya terlalu berlebihan. Menimbulkan jutaan emosi tak terbantah yang hanya mampu kumanifestasi dalam sebuah seyuman lebar.
Alih-alih membalas dengan mengatakan bahwa aku juga mencintainya, aku hanya berbalik dan menutup pintu kamar pelan. Bimala tahu. Yah, aku yakin dia tahu tanpa perlu kujelaskan. Sementara dadaku terasa sesak karena sensasi rasa berlebihan, setetes air mataku tebentuk di pelupuk, bersiap untuk jatuh. Untuk terakhir kalinya, aku tersenyum.
-o0o-
Terakhir kali aku mengunjungi kantor Papi, hampir satu tahun yang lalu. Tidak ada yang berubah, karena Papi memang tidak suka perubahan. Seorang resepsionis yang duduk di belakang sebuah meja pasir padat berdiri saat melihatku. Aku lupa siapa namanya, tapi yang jelas dia sudah lama bekerja di sini.
Ruangan Papi berada di lantai dua puluh, dan saat keluar lift, kedatanganku langsung disambut oleh Bu Ratih, asisten Papi. Bu Ratih sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun. Dia adalah seorang wanita yang keras dan tegas saat bekerja. Tapi di luar itu, dia memiliki hati yang baik.
"Banyu, udah lama kita nggak ketemu. Saya seneng banget waktu Papi kamu bilang kalau kamu mau datang," sapanya ramah.
Wanita yang usianya hampir sama dengan Mommy ini merentangkan tangannya lebar yang langsung kusambut dengan sebuah pelukan erat.
"Saya dengar kamu punya pacar sekarang, ya."
Aku tertawa.
"She's so beautiful. How lucky you are, Handsome." Dia meledek lalu ikut tertawa. Aku ingin bertanya bagaimana dia bisa tahu kalau Bimala cantik. Tapi kusimpan pertanyaan itu, karena tidak mungkin dia tidak tahu apa yang dikerjakan Papi. Bu Ratih adalah orang yang paling Papi percayai.
"Papi udah dateng?"
"Belum, tapi Papi kamu bilang kalau kamu suruh tunggu di dalam."
Tak menjawab lagi, aku melenggang masuk ke ruangan Papi yang berdinding kaca. Sebuah ruangan yang kentara klinis dan mewah. Pertama kali masuk ke ruangan ini, mataku langsung tertuju pada sebuah meja kerja besar yang terbuat dari kayu hitam. Dua buah unit komputer terpasang di sana, dan di baliknya ada sebuah kursi kerja gagah yang juga berwarna hitam. Aku terkekeh sendiri membayangkan bagaimana Papi biasa duduk dengan congkak di sana.
"Papi kamu telepon, katanya kalau mau kamu udah lapar boleh makan duluan." Bu Ratih entah sejak kapan sudah berada di belakangku. Dia melewatiku menuju ke ruangan pribadi Papi. Beberapa kali aku pernah masuk ke sana dulu. Di dalamnya, ada toilet khusus, satu ranjang besar, sebuah meja makan dan beberapa kursi, lalu sebuah coach berwarna putih.
Aku tersenyum mengingat bagaimana aku dan Bima, sering berada di sana. Dulu sekali.
Pandanganku lalu beralih ke sisi ruangan yang terbuat dari kaca, menjulang dari lantai ke langit-langit. Menampilkan pemandangan cakarawala Jakarta yang langsung mengarah ke pusat kota. Sejenak tubuhku lumpuh, terpesona oleh pemandangan matahari yang mulai meninggi. Seolah menggoda untuk diraih.
Aku berjalan pelan, memasuki ruangan ini lebih dalam. Menyentuh meja kerja Papi, menelusuri bagian tepinya yang akhirnya menggodaku untuk duduk di kursi kebesaran pemimpin Bratha Group. Tanpa sungkan, aku duduk di sana, merasakan kenyamanan busa dibalut kulit yang langsung memeluk tubuhku. Dan setelahnya, aku kembali mematung.
Itu bukan sesuatu yang ingin kulihat. Maksudku, background display yang dibuat Papi sedemikian rupa, yang mempertontonkan beberapa foto kami saat masih kecil; aku, Bima, dan Kei. Bergantian, wajah-wajah itu menyapaku. Menarik memori di kepalaku ke masa demi masa yang mungkin terampas dari kepalaku. Mengeret ingatanku yang perlahan mulai berani buka suara; aku pernah bahagia.
"Kamu tahu kenapa Papi kamu telat hari ini?"
Suara Bu Ratih—lagi—menggema di ruangan. Lumayan keras mengingat hanya ada kami berdua di tempat ini. Sayangnya, belum cukup keras untuk membawa kesadaranku pulang seutuhnya. Tidak, sebelum kalimat berikutnya meluncur keluar.
"Dia antar Keira dulu ke sekolah. They're on their way right now. Surprise, kan?"
Tubuhku kaku. Dadaku mulai berkedut.
"Oh, sepertinya kamu terkejut karena hal lain." Suaranya lembut, langsung masuk ke telingaku yang menegang. Dia menyentuh pundakku pelan, seolah memastikan aku baik-baik saja saat menyadari apa yang kulihat di layar. Tapi, haruskah kukatakan bahwa aku tidak baik sama sekali.
"Papi kamu nggak seburuk yang kamu pikir, Banyu. Dia memang egois, tapi bukan berarti dia nggak peduli sama sekali. Dia juga sama terlukanya dengan kalian. Dia cuma nggak tahu bagaimana harus membaginya."
Tidak. Bukan itu. Tentu saja bukan hanya karena itu. Bodohnya, aku tidak pernah mau tahu.
"He's just like you. Saya rasa, Papi kamu sadar kalau kalian berdua ini sangat mirip."
Hentikan! Aku tidak ingin mendengarnya.
"Oh, lihat itu. Kapan foto itu diambil? You two are so cute."
Kuhapus cepat air mata tak tahu diri yang menetes sebelum Bu Ratih melihatnya.
"Tadi ibu bilang, Papi antar Kei sekolah?" tanyaku coba memastikan apa yang samar-samar ditangkap telinga.
"Yes!"
"She must be very happy now. Seumur hidupnya, Kei nggak pernah menginginkan hal lain."
Sekali lagi, kurasakan tangan Bu Ratih meremas pundakku, menepuknya beberapa kali sebelum berlalu pergi. Dia meninggalkanku sendiri bersama rasa bahagia membuncah yang aku yakin tak akan mampu kutampung dalam dadaku yang semakin sesak. Ini berlebihan. Sungguh, ini terlalu berlebihan.
Kutarik napas panjang, mencoba menenangkan jantung yag serasa mau meledak. Berusaha menghalau serangan gelenyar-gelenyar tak nyaman yang membuat tubuhku bergetar. Potongan ingatan-ingatan itu terus menyerang. Menghantam kepalaku sekeras palu gada. Bisikan-bisikan itu semakin masif. Semakin liar tak mau diam.
Ini salahku. Ini semua salahku.
Kurasakan panas mulai menjalar. Merambat cepat dari ujung kaki hingga ke mata. Merangsang kelenjar air mata untuk bekerja lebih giat, memacu proses lakrimasi untuk terus maju. Mataku menyalang, saat kurasakan inilah saatnya.
Bendungan itu hancur. Tanggul itu jebol. Air mataku banjir. Menggelontorkan jutaan emosi yang selama ini selalu kusangkal keberadaaanya.
Layar itu tak mau berhenti, memunculkan gambar satu persatu, lagi dan lagi.
"Ini saatnya, Banyu!"
Suara itu terdengar. Semakin keras. Semakin masif.
"Ini saatnya...."
____________________________________________
Lakrimasi itu proses mengeluarkan air mata atau proses menangis.
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top