34. Banyu : Family

Family, that dear octopus from whose tentacles we never quiet escape, nor in our innermost hearts never quite wish to.

-Dodie Smith-





"Bisa aku minta perhatian kalian sebentar?"

Suasana yang ramai karena masing-masing sibuk dalam obrolan seru, mendadak lengang saat aku berdiri dari tempatku duduk dan menyita perhatian semua yang ada di meja makan. Mata gelapku menyapu satu persatu; Papi yang duduk di ujung meja, Mommy dan Bert yang duduk bersebelahan, Keira yang menatapku dengan mata polosnya, dan terakhir Bimala, kekasihku yang memandangku dengan senyum simpul.

Kuhela napas, bukan untuk bertahan hidup melainkan untuk menenangkan detak jantungku yang bergemuruh. " I have some words to say," kataku. Kutatap Bimala sekali lagi, memantapkan hati.

"Pertama, congratulation for you, Honey," kuarahkan gelas kristal yang kupegang pada Keira, membuatnya tersenyum jenaka. "suatu saat nanti, kamu akan jadi pelukis yang hebat. Mas Banyu bangga banget sama kamu, Kei. Meski kamu belum diijinkan minum wine, but this is your night, so enjoy your diner!"

Kutarik pandanganku dari Keira dan kualihkan pada Mommy yang juga sedang tersenyum melihatku. "That's the sweetest smile I've ever seen, Mom," ledekku. "ingat waktu Banyu masih kecil dan sering mimpi buruk? Mommy selalu datang dan meluk Banyu sampai akhirnya Banyu tidur lagi. Apa Banyu pernah bilang kalau Banyu sayang sama Mommy?" Di hadapanku, Mommy tertawa sembari menggeleng pelan. "Yes, I love you so much, The Most Beautiful Woman in My World." Mommy mengangkat gelasnya padaku. Mulutnya bergerak, mengatakan 'I love you' tanpa suara. "Jij bent zo veel geluk, Bert." Ganti Bert yang tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukan kepalanya. (Jij bent zo vell geluk = kamu orang yang beruntung)

Pandanganku beralih ke ujung meja. Tepat di seberang sana sedang duduk pria setengah abad yang terlihat gagah dalam balutan jas hitam. Dia tampak nyaman bersandar, sementara dagunya mencuat mengesankan kekuasaan yang memang mutlak selalu menjadi miliknya. Garis mukanya tegas, rahangnya kokoh, dan matanya yang gelap—sama gelapnya dengan milikku—menatapku tajam. Membungkus tubuhku yang kaku rapat-rapat, bersama desakan emosi rumit yang siap membeludak.

"Hei, Man," sapaku.

Dia hanya diam, lurus menatapku dengan ekspresi yang tak bisa kubaca. "You know, kita mungkin hampir nggak pernah bicara seperti ... ayah dan anak sewajarnya. Kita seperti dua kutub magnet yang selalu tolak menolak. Papi ingat waktu Banyu nggak sengaja mecahin guci antik Papi dan Bima melindungi Banyu? Sejak saat itu, ada satu pertanyaan yang selalu meghantui Banyu bahkan bertahun-tahun setelahnya."

Di hadapanku Papi bergerak pelan, berdehem dan kembali menyandarkan punggung. Aku menarik napas sebelum melanjutkan. "Kalau saat itu Banyu mengakui bahwa Banyu yang memecahkan gucinya...." Kurasakan dadaku berdebar, "yeah, i know that you're already knew about it, tapi ... seandainya pengakuan itu keluar dari mulut Banyu langsung, apa Papi akan semarah itu?"

Aku bisa merasakan aura kelabu yang tiba-tiba menyelimuti ruangan ini. Ekspresi tak nyaman jelas terpancar di wajah orang-orang yang hadir mengelilingi meja makan klasik bergaya Eropa yang menampung banyak makanan yang khusus disiapkan oleh Mommy malam ini. Kudengar suara Mommy yang berdehem pelan, juga Bert yang tampak tak peduli dan sibuk menikmati anggur di gelasnya. Bimala terlihat serba salah dan menyayangkan sikapku. Dan dari semuanya, hanya Papi yang tetap terlihat santai. Dia tidak bereaksi apa-apa. Air mukanya sama sekali tidak berubah, tatapannya juga masih tajam, membuatku susah payah menelan ludah.

"Banyu, Papi...."

"No. Just ... don't answer," potongku cepat membuat mulut Papi yang setengah terbuka kembali menutup. Ditelannya kembali semua kata-kata yang sudah siap dia keluarkan bersama dengan salivanya. Hanya butuh beberapa detik untukku memutuskan, bahwa aku tidak perlu mendengar penjelasannya. "Itu bukan pertanyaan yang harus dijawab, Pi."

Ada jeda sejenak yang kumanfaatkan untuk menarik membuang napas. "And you, Sexy Lady."

Pangilanku membuat kepala Bimala yang tertunduk kembali terangkat. Mata jernihnya, yang selalu datang bersamaan dengan rasa hangat, akhirnya kembali kudapatkan. Di sana, di dalam cekungan dalam itu, aku telah terkubur, menenggelamkan diri dengan suka hati. "You know that i love you more than any word can say."

Bimala melukis selarik senyum di wajahnya. Senyum yang kujadikan alasan kenapa aku mencintainya, setidaknya sampai aku menyadari satu hal. Bimala tidak membuatku jatuh cinta, tapi akulah yang melompat sukarela dan membiarkan tubuh dan jiwaku ditelan jurang cintanya. Tak mampu keluar, tak ada jalan keluar.

"I just made my proposal...." Kutarik mataku dari tatapan Bimala yang menghanyutkan. Aku belum ingin terbawa arus sekarang, karena aku harus membuat orang-orang yang menghadiri acara keluarga ini tahu apa yang sudah kulakukan sore tadi. "And she said 'yes'."

Suara ribut langsung mendengung di telingaku. Mommy memeluk Bert erat dan mulutnya terus meracau entah mengatakan apa. Yang pasti, rasa bahagia tergambar sangat jelas di wajahnya. Keira langsung bangkit dari duduknya dan berlari untuk memelukku. Dia mengucapkan selamat dan juga 'I love you' tentu saja, sebelum membagi pelukan yang sama untuk Bimala.

"Congratulation, Sweetheart. I love you and always pray for your happiness."

Biasanya aku tidak suka melihat Mommy menangis, tapi kali ini aku senang melihat air yang tumpah dari matanya. Mommy memelukku lama, seolah itu adalah pelukan terakhir yang bisa dia berikan. Pelukannya hangat, membuatku merasakan nyaman seperti yang selalu kurasakan saat aku masih kecil dulu, saat aku selalu merasa takut pada semua hal, termasuk diriku sendiri. Mommy mencium pipiku sebelum melepas pelukannya. Kulihat pantulan wajahku di matanya yang tersaput air. Sudut bibirnya terangkat, menciptakan lengkungan senyum. Seperti bulan sabit yang mempercantik malam, senyum itu menyempurnakan kebahagiaanku malam ini. Sederhana dan tidak berlebihan.

Lepas dariku, Mommy beralih ke Bimala yang sudah siap menyambutnya. Di hadapanku, dua wanita dewasa yang sama-sama cantik ini saling rengkuh. Membahasakan haru yang tak mampu terucap lewat mulut. Seketika, perasaanku mangarau. Menyabur ribuan perasaan menjadi satu sampai kuyakini hatiku tak akan sanggup menampungnya. Hatiku terlalu kecil, dan sensasi sudah hampir membeludak, melebar, meleber yang hanya mampu diejawantah dengan seulas senyum. Hebatnya, senyum itu juga kulihat di wajah seseorang yang berada di urutan terakhir yang kukira akan menikmati malam ini. Orang yang tak pernah kutahu akan merasakan bahagia untukku. Orang yang kupikir tidak pernah melihat keberadaanku.

Di balik bahu Mommy yang menyatu dengan Bimala, senyum Papi mengembang di wajahnya yang kaku. Sekarang aku semakin yakin, pertanyaanku memang tidak pernah membutuhkan jawaban dari Papi. Aku tahu jawabannya. Aku benar-benar sudah tahu.


-o0o-


"Harusnya Papi mengakui sejak dulu, kalau Keira memang berbakat."

Aku sedikit terlonjak mendengar suara Papi yang tiba-tiba. Aku yang sedang berdiri menatap lukisan Keira yang tergantung di ruang keluarga, di samping foto Bima dengan seekor anjing besar berbulu cokelat, tak mampu berkata apa-apa saat Papi mendekat dan menempatkan dirinya di sampingku. Berdua, kami memandangi lukisan sebuah meja makan lengkap dengan hidangan di atasnya. Sekilas itu hanya sebuah lukisan cat minyak sederhana, tapi mataku langsung menangkap sebuah keluarga bahagia yang selalu berkumpul setiap malam untuk makan bersama. Dan aku yakin, hal itu juga yang dilihat oleh Papi sekarang.

Tak tahu bagaimana menanggapi ucapan Papi, aku hanya bergerak tanpa arti, menggaruk kepala yang tak gatal. Dari ekor mata, sekilas nampak Bimala yang sedang mengobrol dengan Mommy di dapur, entah membicarakan apa. Aku hampir saja meninggalkan Papi karena penasaran saat menangkap wajah tegang dari kedua wanita itu.

"Papi udah beli lukisan Keira di pameran tadi. Mereka akan mengirimkannya ke kantor tiga hari setelah pameran selesai," beritahu Papi membuatku langsung menoleh padanya dan mengurungkan niat.

"You did? Wow, i don't know what i gotta say." Aku menjawab pelan.

"Because you don't have to. Kita nggak perlu mengungkapkan semua hal. Benar, kan?" Papi mengerling padaku membuatku tersenyum. "Lagipula, Papi ingin menyimpan lukisan pertama yang dia pamerkan." Ada jeda sejenak sebelum Papi melanjutkan, "Oh ya, soal pernikahan, kalau butuh sesuatu jangan ragu buat menghubungi Papi. It's gonna be the first wedding ceremony in our family. Jadi, wajar kan kalau Papi ingin memastikan semuanya berjalan lancar?"

Sebelah alisku terangkat mendengar Papi menyebut kata 'family'. Aku bahkan lupa kalau kata itu pernah relevan mengingat hubungan kami yang tidak pernah baik.

"Well, i have to go. Sekali lagi selamat buat kalian berdua." Papi menepuk pundakku pelan sebelum berlalu pergi. Tapi belum sempat aku menjawab pamitnya, dia menghentikan langkah dan memanggil lagi, "Besok pagi, kalau kamu nggak sibuk, dateng ke kantor Papi. Kita sarapan sama-sama. Would you?"

Beberapa bulan yang lalu, kalau Papi mengatakan hal seperti ini aku pasti tidak akan mempercayai pendengaranku. Aku akan berpikir bahwa otakku berkhianat dan memunculkan khayalan semu hanya untuk mengolok-olok perasaanku. Atau sekalipun benar, aku akan menganggap itu sebagai alasan Papi untuk menghakimi hidupku seperti yang dia lakukan selama ini. Tapi, tidak sekarang. Ini nyata meski aku tetap sulit mempercayainya. Tidak lebih dari lima meter di depanku, Papi menunggu. Matanya yang biasanya memancarkan aura permusuhan, kini terlihat lebih sendu. Menatapku lembut seperti seorang ayah menatap putera kecilnya yang lama hilang.


-o0o-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top