33. Bimala : Rumah

Buahahaa ... lembur😂😂 Saya update 5 chapter sekaligus ya. Jangan lupa hapus dulu, baru add lagi ke library, biar nggak error. Watty masih ngambek sama saya kayaknya. Kalau ada typo-typo info ya, atau abaikan nggak apa-apa.
Happy reading😊

____________________________________________

- Home is not a place. It's a feeling -



Kalau ada yang mengatakan padaku bahwa hari ini matahari terbit dari barat, maka aku yang bangun pagi tadi setelah matahari meninggi, akan langsung mempercayainya. Bagaimana tidak? Di hadapanku sekarang sedang berdiri seorang pria setengah bule yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutan di wajahnya yang tegas. Well, aku juga sih sebetulnya, karena dari seluruh tempat di kota Jakarta tercinta ini, pameran seni rupa adalah tempat terakhir di mana pria Indo-Inggris itu bisa ditemukan. Dan aku yakin, tempat yang kumasuki sejak setengah jam lalu ini adalah ballroom sebuah hotel, bukannya kelab malam tempat Elias selalu menghabiskan hari.

"What the hell are you doing here?"

Elias menatapku setengah tidak percaya, seolah aku ini memang makhluk astral yang eksistensinya masih diperdebatkan.

"Shit! I must be dreaming," lanjutku lagi.

"No you don't. But yes, you're mumbling. And now, you're staring at me like I'm an alien or something." Elias menjawabku datar dengan suara bass-nya yang cocok dengan tubuh maskulinnya itu. Kapan terakhir aku mendengar suara itu? Enam bulan? Tujuh bulan? Lebih lama lagi?

"Just come and hug me like an old friend!" Kata-katanya seperti perintah dan aku langsung menghambur ke arahnya yang sudah menyambutku dengan tangan terbuka lebar, selebar senyum di wajahnya. Dan kami berpelukan seperti teman lama, seperti yang seharusnya.

"Mana Tony? Tumben nggak sama dia. Biasanya kan kalian berduaan terus kemana-mana kayak biji."

Elias melepaskan pelukanku dan tertawa renyah. "Tony? Mungkin lagi siap-siap mabok di Imigrant atau lagi ngeborong kondom di minimarket. Kamu ngapain di sini? Salah satu dari lukisan disini ... punya kamu?"

"Aku duluan tadi yang tanya, kamu ngapain di sini? Biasanya juga teler bareng Tony. Atau nggak lagi enak-enakan sama ce—"

Elias berdehem keras dua kali membuatku berhenti. Lima tahun bekerja sebagai satu tim bersamanya membuatku sedikit banyak mengenal pria ini. Aku bilang 'sedikit banyak' karena hampir seperti Banyu, banyak sisi tidak terduga dari Elias yang jauh dari sangkaan siapa pun yang pernah mengenalnya. Dan di mataku, Elias hanyalah pria kesepian yang bersembunyi di balik sikap flamboyannya. Aku sih bukan sedang bersikap seolah-olah aku mengerti dia, tapi memang aku lumayan mengenal kebiasaannya. Misalnya, ya kode-kode seperti sekarang ini yang membuatku langsung menyadari sosok yang berdiri di sampingnya dan memandangku sambil menahan senyum.

Refleks, mataku langsung memindai perempuan yang tampak manis dalam midi-skirt hitam bermotif bunga-bunga besar warna pink muda dan blouse pendek yang juga berwarna pink muda. Bukan tipe perempuan yang sering kulihat dikencani Elias. Perempuan ini terlihat manis, bukan hanya karena penampilannya, tapi juga pembawaannya yang terlihat tenang dan kalem. Sangat berbeda denganku, apalagi dengan para perempuan semalam yang sering kulihat cekikikan sambil menggenggam sloki wiski.

"Bi, kenalin ini Nara." Elias memiringkan kepalanya dan menatapku lucu. "Nara kenalin ini Bimala. Dulu kami satu kantor. Tapi sekarang perempuan dermawan ini lebih milih jadi guru lukis karena ngerasa udah nggak butuh duit lagi," jelasnya. Dari cara Elias memandang perempuan itu, aku bisa langsung tahu bahwa dia bukan salah satu dari deretan perempuan siap pakai-nya.

"Nice info," komentar Nara seraya mengulurkan tangan dan melempar senyum ke arahku. Aku menjabat tangannya dan terkejut sendiri menyentuh tangannya yang halus. Nara benar-benar membuatku gagal menjadi seorang perempuan.

"Jangan terlalu percaya sama mulutnya Elias. Anyway, jadi kamu toh yang berhasil meyeret gorila ini ke sini? Langit bisa benar-benar runtuh kalau dia jadi manusiawi kayak gini, tauk!" Nara terkekeh dan Elias melotot. Aku? Tertawa jahat tentu saja.

"Wow! Nice info juga. Kamu sendiri? Where's your new boyfriend, huh?" protes Elias sinis.

"Fiancee actually." Aku menyeringai lebar sambil memamerkan cincin bermata biru yang kini terpasang di jari manisku.

"Waah! He must be possessed or something. What a poor man!" ledek Elias dengan tampang sok simpati palsunya.

"Tch! Namanya Banyu and a lucky man, of course!. Dia lagi jemput Papinya di lobby. Aku sebetulnya lagi nyari temenku tadi, tapi apes banget malah ketemunya sama kamu," jawabku membuat Elias tertawa. Kulirik Nara yang hanya tersenyum sopan. Jelas terlihat bahwa dia adalah tipe perempuan yang menahan diri.

"Orang Jawa ya?" tanyaku pada perempuan itu. Seperti dugaanku Nara kembali menjawab dengan senyum sambil mengangguk pelan. "Iya, kok tahu?"

"Easy." Aku ingin menambahkan 'too predictable' sebetulnya. Tapi menduga bahwa dia bukan tipe prempuan yang terbiasa dengan straight joke, jadi aku menutup mulut dan melirik Elias yang menahan senyum karena tahu isi kepalaku.

"Oke, kayaknya kamu sibuk dan kita nggak mau ganggu, jadi kita mungkin mau keliling dulu." Elias sepertinya berusaha menyelamatkan wanitanya dariku. Aku masih sempat ber-cipika-cipiki dengan Nara sebelum Elias menarikku dan melakukan hal yang sama.

"What's her number?" bisikku saat Elias mendekat.

"Tujuh puluh enam." Kontan aku membelalakkan mata karena terkejut, tapi cukup terkontrol untuk tidak menjerit. Terutama saat Elias menambahkan kata 'hari' setelahnya.

Aku dan Elias punya hubungan unik dan orang-orang di kantorku dulu tahu kalau kami selalu bersama ke mana-mana, bertiga dengan Tony tentu saja. Aku terbuka tentang banyak hal dan di saat bersamaan kami juga menghargai privasi masing-masing. Sekuat apa pun pesona Elias di mata para wanita, kami tahu bahwa kami tidak akan pernah berakhir di ranjang. Elias bahkan terang-terangan pernah mengatakan kalau aku adalah bukti nyata bahwa pria dan wanita bisa berteman. Aku setuju! Pada akhirnya, kami memang bersahabat meski tidak selalu bisa bertemu. Itu kenapa aku terkejut bukan main saat dia bilang bahwa dia sudah bersama Nara selama lebih dari dua bulan. Maksudku, Elias tidak pernah berhubungan lebih dari semalam dengan seorang wanita. Angka mereka bervariasi dan sejauh yang kutahu, rekor terlama adalah 6 jam 15 menit.

"Wow, seriously? You are sick, Brother." Aku melirik ke arah Nara yang menatap kami penuh keheranan dan memindai wanita itu sekali lagi. "Rekor atau kesaktian kamu mulai luntur?"

Masih sempat kulihat senyum pria tinggi besar itu saat melewatiku, diikuti Nara yang seolah mengucapkan selamat tinggal melalui anggukannya. Dan sebelum benar-benar berlalu, Elias masih sempat menambahkan, "You'll never know."

Aku memandangi punggung sahabatku yang menjauh sambil tersenyum. Begitu banyak kejutan yang kudapat hari ini. Banyu yang tiba-tiba berlutut bersama cincin mata biru, lalu bertemu dengan Elias dan wanita yang akhirnya membuat hatinya jatuh. Kudongakkan kepala menatap langit-langit ballroom yang didekor menyerupai langit malam dengan lampu-lampu kecil tersebar di permukaannya yang setinggi hampir tujuh meter. Ini akan menjadi malam terbaik yang pernah kumiliki. Atau malah, bisa jadi ini hanya permulaan. Seharusnya.

"Bi...."

Sebuah panggilan lembut dari seseorang yang suaranya selalu terngiang di kepalaku, membuat tatapanku berpindah mengamati sosoknya yang dibalut kemeja fit-silk pendek warna biru muda dan celana beige yang juga tampak pas di kaki panjangnya. Dia tersenyum menatapku, dan sesungguhnya itu adalah senyum terindah yang pernah kulihat.

"Hei," sapaku, "udah ketemu sama Papi?" Aku langsung menyambut uluran tangannya dan menggenggamnya erat.

"Udah. Kita ke mereka, yuk?"

Aku tidak menjawab Banyu lagi dan hanya membiarkannya menuntunku melewati lukisan-lukisan yang menempel di sepanjang hall. Tanganku berpindah memeluk lengan Banyu yang keras karena berlatih tinju, sementara tangannya yang satu lagi menepuk-nepuk punggung tanganku yang memeluknya.

"Kamu ngobrol sama siapa tadi?"

"Elias. Sesama i-banker dulu. Waktu itu aku masih pemula dan dia banyak ngajarin aku. He's just like a wolf and always get what he wants. Workaholic, the lucky bastard yang tidur sama semua cewek."

"Itu pujian?" Aku tidak melihat, tapi aku bisa merasakan Banyu menatapku saat mengatakan itu.

"Come on. Kami teman baik, that's it," jelasku sambil tertawa.

"Aku nggak percaya kalau pria dan perempuan bisa jadi temen. Remember When Harry Met Sally? Mereka pikir mereka bisa jadi temen, tapi ternyata enggak. The sex part always gets in the way."

Aku terkekeh mendengarnya. "Kalau gitu, yang satu ini harus kamu masukin ke kolom pengecualian. Kita cuma teman, dan dia satu dari yang terbaik sebetulnya."

"Wah, kamu punya lebih banyak teman laki-laki daripada perempuan. Hey, what's that?" tanya Banyu tiba-tiba.

Pejalanan kami terhenti di depan sebuah sketsa pulpen dua gunung kembar, jalan yang terbentuk dari segitiga dan sebuah matahari yang digambar di antara dua gunung tersebut. Jenis pemandangan yang akan mengingatkan kita pada gambar anak SD. Di bawah sketsa itu ada sebuah puisi yang ditulis tangan menggunakan tinta yang sama. Rumah, adalah judul dari karya yang dibingkai kayu putih pucat itu.

Di saat saya lahir,
Saya memilih untuk tidak beragama.
Ibu memberikan saya agama
Hingga akhirnya saya mempercayainya.
Saya pun tidak memilih untuk menggambar gunung dan sawah.
Tetapi mereka semua menggambar itu.
Saya mulai menggambar gunung dan sawah itu pula.
Di ruang keluarga ada gunung.
Di kamar tidur ada gunung.
Rumahku dikelilingi 5 gunung
Telomoyo, Merbabu, Merapi, Manoreh, dan gunung Sumbing.
Di depan sekolah ada gunung.
Anak saya menggambar gunung.

"Anton Ismael, fotografer komersil yang karyanya banyak di muat di majalah bertaraf internasional. Dia bukan cuma sekedar hobi fotografi, tapi juga mix media, misalnya ngegabungin fotografi sama cat air, instalasi, bahkan seni tari. Pendiri Third Eye Studio sama Kelas Pagi. Dia juga chef di Jakarta Culinary Centre, loh." Aku berusaha menjelaskan apa yang kutahu.

"Oh ya? I can do better," Banyu menunjuk sketsa itu dengan dagunya.

"Oh, yes you do. But it's not about that." Tanganku yang sempat terlepas dari pegangannya, akhirnya kembali ke lengan Banyu saat kami mulai kembali berjalan pelan. "Rumah bukan cuma sebuah bangunan, Bay, tapi juga sebuah dogma. Sadar atau nggak, dari rumahlah doktrin-doktrin soal hidup berasal. Ditanamkan tanpa kita bisa memilih. Agama, tradisi, perilaku, cara berpikir, cita-cita, masuk setiap hari ke dalam privasi bawah sadar hingga membentuk karakter seseorang. Mengotakkan kita sedari dini jadi sesuai yang diajarkan. Dan semua itu, dia jelasin lewat gunung-gunung yang digambar sama hampir semua anak kecil."

"Jadi ...what is he talking about? Ketidakberdayaan?" Pertanyaan gamblang Banyu membuatku tertawa keras hingga beberapa orang yang sedang asyik menikmati seni menoleh ke arah kami.

"Dia memberontak, Banyu! Lewat tulisan-tulisan kontemplatifnya. Dan itu adalah perlawanan buat seorang Anton."

"I don't understand."

"Kamu harus lihat karya dia yang lain. Oh iya, kamu udah lihat lukisan Keira?"

"Belum. Is it great?"

"You'd be surprised."

Tatapan kami bertemu. Kegelapan di matanya yang biasanya dipenuhi amarah, kini tidak lagi nampak. Mata itu penuh kelembutan, sama seperti sikapnya yang kali ini jauh lebih tenang. Kami tidak selalu terlibat dalam obrolan hangat seperti ini, dan aku ingin menikmatinya. Lebih banyak. Kami bisa saja langsung menuju tempat di mana keluarga Banyu berkumpul, tapi tidak. Seolah mengerti isi kepalaku, dia menemaniku menikmati beberapa lukisan, foto, dan juga puisi yang dipamerkan di sana. Dia tidak selalu mengerti dan menanyakan ini itu. Sesekali berkomentar lugu yang mengundang senyum. Aku suka karena dia tidak berusaha terlihat sok pintar atau terang-terangan menyatakan tidak suka terhadap hal-hal yang kurang dipahaminya. Banyu, tidak lagi pemarah, egois, dan menang sendiri. Dan tentu saja itu membuatku bahagia.

Hari ini, untuk pertama kalinya, aku merasa menemukan sebuah rumah.

____________________________________________

When Harry Met Sally itu film. Komedi romantis. Oke banget dan saya rekomended buat yang suka cerita-cerita ringan macam Pretty woman gitu. Ada serial tv judul sama, tapi ceritanya beda.

Terus, soal Elias sama Nara. Itu bukan tokoh baru buat di cerita ini. Cuma guest star aja (alah). Itu tokoh saya di cerita Brilliant Madness. Awalnya sayabuat cerita itu buat dikirim ke salah satu lomba gitu yang temanya badboy (Klise! yes I know. Tapi itu peraturannya). Karena saya nggak berhasil menyelesaikan ceritanya sesuai waktu yang diargetkan, jadi saya batalin. Abis PM tamat, saya berencana buat rombak ulang, dan nanti publish di sini aja. Di wattpad maksudnya.



|DISCLAIMER |

Ada yang harus saya koreksi biar nggak salah paham atau saya dituduh "merusak" karya orang. Puisi itu judulnya bukan Rumah. Rumah itu adalah nama event-nya. Jadi Anton pernah membuat pameran tunggal berjudul "rumah" dan puisi itu salah satu yang dipajang disana. Gambar gunung itu juga nggak ada hubungannya sama sekali sama Anton, karena saya dapet dari google. Blackbox aja sih, waktu lihat gambar gunung di tautan FB. Instantly, saya pasang deh disini. Tapi sekali lagi, karya Anton Ismael yang ada di part ini cuma puisi itu, nggak ada judul spesifik. Dan jujur, itu favorit pribadi saya sih. Nggak tahu kenapa, pas baca puisi itu saya langsung 'kena' dan ikut-ikutan marah. Lho kok? Ya gitulah😅

Intinya, buat yang nggak tahu, tolong jangan berasumsi apa-apa. nanti gara-gara baca disini jadi muncul pendapat ini itu. Dan buat yang sudah tahu, tolong jangan lempar kerikil, karena saya udah koreksi. Nih, saya kasih penampakan aslinya😂

-o0o-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top