31. Bimala : A Crazy Little Thing About Love
Baby, i don't know what love is
Maybe i'm a fool
I just know what i'm feeling
And it's all because of you
Don't tell me, i don't know
I want the truth
Cause they call it
We call it
You call it
I call it love
( I call it love - Lionel Richie )
___________________________________________
"Lagi?"
Banyu yang sedang duduk di depan TV menatapku dengan alis bertaut saat pil kuning kusodorkan di depan wajahnya. Jauh dalam hati, aku tidak tega untuk melakukan ini padanya, tapi untuk sekarang, hanya ini cara yang kutahu untuk membuatnya tetap bersamaku.
Dua minggu yang lalu, Banyu diizinkan keluar dari rumah sakit, dan sejak itu pula aku lebih sering menginap di apartemennya. Aku sudah resmi berhenti mengajar, dan mengumumkan diriku sebagai pengangguran yang ditanggapinya dengan tawa tergelak. Aku beralasan kalau aku akan merawatnya dan memastikan dia tidak melirik wanita lain setelah sembuh, saat dia protes karena belakangan ini aku bersikap overprotective padanya.
"Aku mana berani, Bi," katanya sambil tertawa,"aku cintanya sama kamu."
Inginnya hatiku mengatakan bahwa aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Memastikan bahwa skizofrenia tidak akan merampasnya dariku. Tapi bagaimana bisa? Aku bahkan selalu beralasan bahwa obat yang kudapat dari psikiater yang kebetulan adalah teman kuliah itu hanyalah obat untuk membantunya tidur yang kubeli dari apotek.
"Kamu boleh merawatnya, tapi jangan biarkan dia tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dia belum siap untuk itu." Sekilas teringat lagi syarat yang diberikan Jane saat aku mengatakan kalau aku akan merawat Banyu. Syarat yang akhirnya kusetujui dengan sangat terpaksa.
"Aku udah nggak butuh obat ini lagi, Bi," katanya sambil memelas.
"Biar kamu bisa tidur, Bay. Dokter bilang kamu harus banyak istirahat. Gimana kamu mau istirahat kalau kamu selalu gelisah dan susah tidur," bantahku.
"Aku udah sembuh, Bi and I sleep so well." pintanya lagi. Nada bicaranya seperti anak kecil putus asa yang membuatku tidak tega. Dia pernah bilang, bahwa akhir-akhir ini dia merasa seperti pria lemah yang kehilangan gairah. Ototnya sering berkedut dan dia seringkali tidak bisa mendengar saat aku bicara dengannya. Saat itu aku memeluknya sampai dia tertidur sementara aku cuma bisa menahan tangis.
"Tiap kali minum obat, aku...."Banyu menundukkan kepala tanpa menyelesaikan kalimatnya, sedangkan aku hanya bisa berdiri kaku.
"Oke, tapi kamu harus tidur sekarang. Apalagi kamu besok udah mulai kerja, kan," kataku pada akhirnya. Dia mengangkat kepalanya dan mengangguk pelan. Aku mengulurkan tangan, menggiringnya masuk ke kamar. Dalam hati aku mengutuk kebodohanku sendiri, karena menjadi lemah dan menuruti permintaannya.
Sesampainya di kamar, Banyu langsung naik ke ranjang, meringkuk seperti bayi besar dan memeluk guling. Aku menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya seperti seorang ibu menidurkan anaknya yang masih SD. Banyu tidak berkomentar apa-apa lagi sampai aku pergi dan kembali dengan sebuah CD player lengkap dengan stereo headset.
"Put it on," perintahku yang ditanggapinya datar.
"Adeh ... ini lagi. Akhir-akhir ini kamu tuh ada-ada aja deh, Bi."
Tanpa menjawab, aku duduk di sebelahnya dan langsung memasangkan headset di kepalanya. Mataku menemukan kegelapan di matanya yang kosong. Dia terlihat lemah, terluka, seperti singa yang kehilangan taring dan keperkasaannya.
"You did promise me. I'm your boss, remember?" Aku berkata cepat saat kulihat dia membuka mulut, mungkin ingin memprotes kelakuanku. Dengan tidak kalah cepatnya dia menutup mulutnya kembali sambil merengut.
"Biar kamu rileks." Kuusap pipinya perlahan setelah menekan tombol putar, membuat irama musik klasik yang mampu membangkitkan gelombang tetha di otak memenuhi kepalanya. "Just close your eyes, and sleep like a baby."
Seolah ada magis dalam suaraku, Banyu menurut dan menutup matanya. Wajah itu tampak tenang, jauh berbeda dengan yang selalu kulihat berbulan-bulan lalu, saat dia harus membuat dirinya mabuk lebih dulu hanya untuk sekedar tidur. Sayangnya aku masih belum tahu, sampai kapan aku bisa mengendalikannya. Suatu saat nanti, dia akan berhenti percaya bahwa yang kuberikan hanyalah obat tidur, bahwa terapi musik ini bukan sekedar lagu nina bobo versi dewasa.
Suatu saat, dan aku hanya menunggu waktu.
-o0o-
"Kamu yakin? Masalahnya aku sendiri belum pernah melakukan pemeriksaan langsung, jadi aku nggak tahu sampai sejauh mana kondisi yang dia alami sekarang."
Faris, seorang psikiater muda yang sekarang sudah memiliki kliniknya sendiri menatapku melalui kacamata minusnya. Alisnya berkerut seolah garis garis tipis di dahi masih belum cukup menyamarkan usianya hingga terlihat jauh lebih tua.
"Aku nggak tega, Ris. Dia nggak bisa fokus, malah kadang nggak bisa merespon apa-apa kayak orang linglung."
"Itu cara kerjanya, Bi. Otaknya nggak bisa membedakan pesan yang masuk, jadi—"
"Jadi cuma karena kita nggak punya security buat ngontrol siapa saja yang masuk rumah, kita milih buat nutup pintu?"
Faris menghela napas panjang. Dia tahu kalau sebetulnya aku tidak setuju dengan pemberian antipsikotik, tapi saat Faris menyarankan agar Banyu mengikuti tes, aku tahu kalau aku tidak punya pilihan.
"Aku tahu yang ada di pikiran kamu. Secara pribadi aku juga lebih suka melakukan terapi psikis, tapi gimana kita bisa melakukan itu secara maksimal kalau pasien sendiri nggak bisa diajak kerja sama?"
Telak. Aku tahu apa yang Faris inginkan dan sialnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa soal itu. Orangtua Banyu, tidak memberiku kewenangan yang kubutuhkan dengan alasan melindungi Banyu dari trauma yang lebih besar. What the heck!
"Sulit buat kamu melakukan lebih kalau kamu sendiri nggak tahu penyebabnya. Memang itu bukan yang paling penting, tapi pasti akan sangat membantu, Bi. Kamu mungkin harus bicara lagi sama orangtuanya. Karena kalau emang kecurigaan kamu bahwa ini ada hubungannya dengan trauma masa lalu ... kita butuh mereka."
Ganti aku yang menghela napas panjang karena Faris memberikan pilihan yang sulit. Pada saat seperti ini, rasanya aku ingin menyeret orang tua Banyu sekarang juga. Entah apa yang mereka tutupi, karena kebungkaman mereka tidak membantu apa-apa.
"Aku mau tanya dong," kataku setelah cukup lama termenung.
Faris membetulkan letak kacamata yang melorot dan menggeser duduknya hingga menghadap ke arahku. Pria Jawa ini mengenalku dengan sangat baik, dan dia tahu pertanyaanku selalu menuntut jawaban yang jelas.
"Aku mau tahu tentang trauma psikis. Bisa nggak seseorang melupakan sesuatu yang mungkin sangat menekan seperti hal yang dia takuti, atau semacamnya."
Faris kembali mengerutkan kening mendengar pertanyaanku sementara aku memandangnya dengan tatapan haus penjelasan yang tak bisa disembunyikan.
"Mungkin yang kamu maksud amnesia dissociative. Sebetulnya itu kondisi yang jarang sih, tapi kasus itu beberapa kali ditemukan. Pasien memiliki trauma dengan kenangan atau kejadian yang sangat menekan mereka dan ingatan tentang itu terhapus dari otaknya tanpa mereka tahu kalau kejadian itu pernah ada. Mereka emang nggak kehilangan fungsi yang lain, hanya detail personal penting yang traumatis aja."
Aku diam, mencerna setiap kata-kata Faris.
"Kenapa emangnya, Bi? Kamu curiga kalau Banyu mengalaminya juga?"
"Nggak tahu juga, sih. Cuma ... nggak tahu kenapa aku ngerasa kalau ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Dia kan benci banget tuh sama kakak kembarnya, jadi menurutku nggak masuk akal aja kalau tiba-tiba kematian Bima bikin dia jadi sebegini terpukulnya. Kecuali...."
"Kecuali?"
"Kecuali ada hal lain yang terjadi setelah itu. Sesuatu yang bikin dia terus-terusan dihantui sama ... yang mungkin dia lupain itu. Mungkin nggak?"
Faris diam sejenak, lalu melanjutkan, "Bisa aja sih, Bi. Jadi sebetulnya itu bukan mimpi buruk, tapi justru ingatan dia yang samar-samar. Gitu kan maksud kamu?"
"Kind of." Aku mengangkat bahu. "nggak tahu juga, sih."
Faris menatapku tajam tanpa berkomentar apa-apa. Kami juga tidak banyak bicara lagi setelah itu, karena apa pun yang kami diskusikan, selalu saja menemui kebuntuan. Kami seperti dua orang yang berjalan di kegelapan, tanpa tahu arah mana yang harus kami ambil. Ah, bukan! Kami bahkan tidak punya tujuan.
Setelah cukup lama kami hanya diam, Faris berpamitan karena pasiennya yang lain juga harus mendapat perhatian. Dia tidak pernah menganggapku atau Banyu pasien dan tidak pernah mau menerimaku di kliniknya. Itulah kenapa kami selalu bertemu di luar seperti sekarang.
"Kamu tuh spesial, Bi. Ngobrol di luar ajalah sambil minum kopi, sekalian temenin aku makan siang," katanya saat pertama kali aku menceritakan soal Banyu. Sejak itu, dia resmi menjadi partner diskusi yang kutemui dua kali dalam seminggu, komplit dengan konsultasi gratis via telepon yang menurutnya bisa dilakukan kapan pun aku mau.
Dulu sempat aku menangisi nasib yang kuanggap menyedihkan. Rasa iri yang mengiris-iris setiap kali ekor mataku menangkap siluet keluarga sempurna yang perlahan sirna tergantikan oleh sahabat yang selalu ada. Dan Faris adalah satu dari segelintir orang yang selalu hadir untuk memberikan pertolongan. Tim SAR yang siap sedia setiap kali aku terperosok ke lubang hitam bernama cinta, dan meminjamkan bahunya untuk kubasahi dengan air mata. Faris yang hadir saat wisuda dengan sebuket mawar merah. Faris yang tetap tersenyum saat aku mengembalikan kotak cincin merah hati untuk diberikan kepada wanita yang lebih pantas, wanita yang bisa melihatnya seperti seorang pria dan bukan saudara beda peranakan. Iya, Faris. Yang dulu kubuat layu cintanya bahkan sebelum mekar sempurna.
"Hati-hati memilih pasangan, Bi. Kamu tuh terlalu menggebu-gebu kalau lagi suka sama orang. Hati kamu tuh gampang-gampang susah. Gampang jatuh tapi di saat yang sama susah diraih. Gampang buat pria-pria yang bikin kamu penasaran, susah buat orang yang emang serius menawarkan kemapanan hidup, macam aku ini," ujarnya saat aku pamit menikah dengan Adi. Sama seperti Randu, kata-kata mantan seniorku itu cuma mampir sebentar di kuping dan hilang bersamaan suara tawa terbahak-bahak yang keluar dari mulut.
Kini wejangan itu mengintip dari tempatnya sembunyi, menggodaku dengan seringai satire yang cepat-cepat kutimbun dengan secangkir kopi pahit.
____________________________________________
Sekilas tentang skizo. Penderita skizo biasanya bakal di kasih obat2an antipsikotik buat mengurangi aktivitas otaknya. Gampangnya, karena mereka gak bisa ngontrol info yang masuk ke otak, jadi semua info mending ditutup. Efeknya, pasien jadi kek orang oon (pardon my language) Ada yang pernah nonton A Beautiful Mind? Nah kayak gitu nanti efeknya.
Terapi lain yang bisa dicoba, terapi pake musik yang membangkitkan gelombang tetha. Beberapa musik klasik bisa dipake.
Kalau amnesia dissociative, itu ibarat amnesia milih-milih. Misalnya, ada ibu sayang banget sama anaknya. Anaknya meninggal, nah si ibu saking sedihnya,mendadak lupa. Tiba-tiba aja bangun tidur (misalnya) terus lupa kalau punya anak. Tapi dia nggak lupa yang lain, cuma kenangan tentang anaknya doang.
Semoga bermanfaat. Oh, iya kalau ada yang mau, play deh lagunya Lionel Richie yang I call it love. Enak banget 😊😊
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top