30. Banyu : Begin Again
Wiiiih update lagiii.... Saya lagi nafsu mau buru-buru ngudahin.
Kalau ada typo, tolong koreksi ya, atau nggak abaikan aja. Ini saya nggak baca lagi langsung post aja.
____________________________________________
And for the first time, what past is past
- Taylor Swift-
Aku memicingkan mata, silau karena paparan sinar matahari yang menusuk. Berat, kelopak mataku terbuka perlahan, mencoba merekam siluet yang semakin lama semakin jelas bentuknya.
Seorang pria dengan pakaian jas lengkap duduk di sofa di samping jendela. Tangannya sibuk dengan pulpen dan matanya terpaku ke tumpukan file di pangkuannya. Dia sedang bicara, entah apa, dengan seseorang melalui bluetooth headset yang terpasang di telinga kanan.
Bunyi detak jantung yang terdengar melalui bedside monitor membuatku menyadari ruangan bercat putih tempatku terbaring. Ada sensasi aneh yang mulai terasa saat cairan infus masuk ke pembuluh darah, bersamaan dengan rasa sakit di sekujur tubuh yang juga mulai mengganggu.
Yah, rasa sakit itu membuatku sadar kalau aku masih hidup.
"Aaargghh...." Aku mengerang pelan saat mencoba bangun. Pusing yang tiba-tiba menyerang kepalaku, membuatku urung.
"Kamu sudah bangun, Banyu."
Pria itu meletakkan file di sofa dan menghampiriku. "Sudah dulu, nanti kita bicarakan lagi," katanya menyudahi pembicaraan. Papi melepas kacamata yang terpasang di wajah dan melipatnya untuk dimasukkan ke dalam kantong kemeja.
"Jangan banyak bergerak dulu, kamu baru saja bangun dari koma."
Koma? Apa maksudnya aku baru bangun dari koma? Yang aku tahu hanyalah, pada akhirnya aku keluar dari kotak kaca yang menahanku.
"How are you feeling? Kamu butuh sesuatu? Mau Papi panggilkan dokter atau perawat?" berondongnya.
"No!" Aku menjawab pelan sembari berusaha menggeleng sebelum menyadari bahwa ada servikal collar yang terpasang di leher. "What happened?"
"Kamu kecelekaan waktu mau ke bandara dan nggak sadar selama enam hari," jelas Papi. "Kamu ingat? Tapi tenang saja, kamu udah berhasil melewati masa kritis, dan setelah dokter memastikan kalau tidak ada cedera serius, kamu bisa segera pulang."
Mendengar penjelasan Papi, kepalaku langung dihantam ingatan yang berkelebatan. Aku melihat diriku sendiri yang duduk di belakang setir, sedang mencoba menghubungi Bimala.
Bimala....
Ah, perempuan itu. Rasa sakit yang tadi kurasakan di seluruh tubuhku mendadak lenyap, tersamarkan oleh nyeri yang menyesak di dada. Tanpa bisa dilawan, kulihat lagi rekaman saat kami bertengkar di apartemennya, juga saat dia menangis lalu memintaku meninggalkannya.
"Where's mom?" tanyaku mencoba mengalihkan pikiranku dari Bimala.
"Ahh ... they're having lunch. You know, that woman didn't pull up her finger from you even for a while. So, your mom take her to get some coffee ... and food."
Aku membuka mulut mendengar kata-kata Papi. They? That woman? Siapa yang Papi bicarakan? Sebelum pertanyaan berikut keluar dari mulutku, pintu ruangan yang terbuka membuat perhatian kami teralihkan. Mommy masuk diikuti seorang perempuan yang memakai kaus hitam dan jeans biru dengan rambut ikal hitam tergerai, membuat darahku berdesir hebat.
"Hei, Honey? Akhirnya kamu bangun, Sayang." Mommy langsung memelukku dan menciumi pipiku, sementara mataku tak bisa berpaling dari wanita yang kucintai, yang juga sedang menatapku. "Gimana keadaan kamu? Feeling better?" tanya Mommy lagi.
"Yeah, so much better. Mana Kei?"
"Masih di sekolah. Dia ada ujian hari ini. Begitu dia pulang, Bert akan membawa Kei kesini. She misses you a lot."
Aku memaksakan senyum dan mengalihkan pandanganku ke Mommy yang juga tersenyum dan memandangku dengan mata berbinar. Tapi seperti bisa membaca isi kepalaku, dia beringsut dan menarik Papi menjauh dariku.
"Kami mau cari dokter kamu dulu. We'll see you later," pamit Mommy sambil menyeret keluar Papi yang memandangnya dengan kening terlipat.
Sejenak suasana menjadi lengang, hanya detak jantungku yang terdengar. Entah apa itu hanya perasaanku, tapi rasanya debarannya terlalu cepat. Shit! Kuharap seseorang bisa mematikan benda kotak sialan yang terus berbunyi itu.
"Hei...," sapaku pada akhirnya. Tak ingin terjebak dalam awkward situation, aku memutuskan untuk memmbuka pembicaraan. Toh, aku memang merindukan perempuan ini.
Bimala berjalan mendekat dan duduk di samping ranjangku. Matanya berkaca-kaca saat menatapku. Aku tidak tahu apakah ini karena mataku yang belum sepenuhnya bisa melihat dengan jelas, atau memang wajahnya terlihat pucat.
"Hei, tukang tidur," jawabnya membuatku menahan tawa. Hatiku terasa hangat hanya dengan melihat senyum manis yang sekarang terlukis di wajahnya. Matanya teduh memberiku kedamaian yang rasanya sudah terlalu lama aku rindukan.
"I was tyring to call you when—"
"Aku tahu," potongnya. "I got your voice mail and that's why I'm here."
"Lain kali kamu harus angkat teleponku. No excuse."
Bimala tersenyum lagi membuatku meleleh. Mendadak semua rasa sakitku menghilang digantikan dengan kebahagiaan yang sepertinya sulit untuk sekaligus kutelan.
Pelan dia meraih tanganku dan menciumnya lembut. "Aku janji," katanya sebelum mencondongkan tubuh dan mencium keningku. Ada rasa sensasi aneh yang tiba-tiba, saat aku menyadari bahwa air matanya jatuh dan membasahi wajahku.
"I'm sorry," bisikku pelan. "I'm really really sorry."
"Buat apa?" Dia menarik dirinya dan memandangku dengan alis menyatu.
Aku mendesah. Untuk sesaat aku memikirkan kembali hubungan kami. Pertama kali bertemu dengannya di club, waktu singkat yang kubutuhkan untuk menyadari kalau aku menginginkannya dan mengejarnya seperti orang gila. Aku sering dengar ungkapan bahwa cinta yang singkat juga akan berakhir kilat, tapi sepertinya itu tidak berlaku untukku. Karena setiap hari, setiap kali aku melihat wajahnya, jantungku bahkan masih berdebar cepat. Seluruh bagian tubuhku sepertinya langsung bereaksi hanya dengan memikirkannya. Aku telah jatuh di lubang terdalam bernama cinta dan aku telah sampai di satu waktu di mana duniaku hanya berputar mengitarinya. Menyedihkan, saat menyadari bahwa hatiku ternyata terlalu kecil untuk menampung cinta yang begitu besar. Otakku mungkin tak bisa memahami, tapi hatiku jelas tahu bahwa Bimala terluka untuk alasan yang bahkan tidak kumengerti.
"For everything," pelan aku membuka mulut. "for hurting you, for my roller coaster mood, for everything I did, and ... for being me."
Tadinya kupikir dia akan tertawa dan menggodaku seperti yang selalu dia lakukan setiap kali aku bersikap manis. Tapi yang terjadi, tangisnya justru pecah bersamaan dengan tangannya yang membelai kepalaku. Shit, I really miss her touches.
"Jangan bilang maaf lagi. You didn't do anything wrong." Dia menjawab pelan. Suaranya lembut seperti nyanyian pengantar tidur yang sering Mommmy senandungkan saat aku kecil.
"Asal kamu nggak nangis lagi."
Bimala tersenyum dan menyeka air matanya. Matanya menatapku sendu dengan cara yang tidak kumengerti. Apa wajahku berubah? Atau dokter diam-diam mengoperasi wajahku dan menggantinya dengan wajah orang lain seperti yang kulihat di Face Off? Tapi apa pun alasannya, aku tidak peduli selama dia di sisiku.
"So, is it a brand new start for us?"
Bimala diam sejenak. Matanya yang sayu menatapku lembut, sebelum akhirnya berkata, "Bay, there's no brand new start since we never have an ending."
Oh, apa kau mendengarnya, wahai kurcaci yang bersarang di dalam kepalaku? Berhentilah mengejekku dengan mengatakan bahwa aku telah kehilangan perempuan ini. Karena hal seperti itu, tidak akan pernah terjadi. I'm still his man!
"Tapi...," katanya tiba-tiba, "ada syaratnya."
"Apa pun!"
Raut wajahnya berubah, aneh menurutku. Dia menatap langsung ke mataku, membuka mulutnya dengan tidak yakin. Melihatnya, dahiku mengerut hingga kepalaku kembali berdenyut. Sedikit menyakitkan.
"Kamu ... harus nurut sama aku!"
"Huh? Maksudnya? Nurut dalam konteks seperti apa?" tanyaku menuntut penjelasan.
Bimala menggigit bibirnya sebentar, sebelum meraih tanganku dan menggenggamnya. "Bay, dalam kondisi apa pun, kamu harus selalu dengerin aku..."
"Mmm ... dominan?"
"Nope!"
"I don't get it. What's your plan?"
Bimala menghela napas, "Just trust me and always listen to me. There are too much fakers in this world, or in your mind. But the only real thing is ... me. Understand?"
Aku menelan ludah. Apa sih maksudnya? Tentu saja aku tidak mengerti. Apa dia sedang mencoba untuk mengendalikan hidupku? Atau dia sedang membalasku karena membuatnya berpikir bahwa aku hanya menginginkan seks dan membuat hubungan kami seolah tidak nyata?
"Trust me, Banyu. I need your trust!"
Aku tidak tahu harus mengatakan apa selain menatapnya dengan rasa heran yang tidak bisa kututupi. Ada sesuatu di belakang kepalaku yang berdengung, membisikkan sesuatu. Tapi di saat yang sama, hatiku membisikkan hal yang lain, membuat kepalaku kembali diserang sensasi pusing.
Bagaimana jika hatiku menipuku?
Bagaimana jika pikiranku yang sedang menipuku?
Atau, bagaimana jika Bimala menipuku?
Bagaimana jika aku ternyata masih terjebak dalam kotak kaca dan ini semua hanyalah tipuan?
Aku tidak punya jawaban, bahkan tidak tahu apakah aku harus menjawabnya. Aku cuma tahu satu hal, aku tidak ingin kehilangan perempuan ini. Tidak lagi.
Sejak kuliah, aku menggemari serial Criminal Minds. Aku dan Randu sering menonton bersama sambil menebak-nebak pelaku dari pembunuhan berantai yang diselidiki FBI. Setelah mengikuti selama empat musim, aku mulai bosan dan melupakan bahwa acara itu pernah ada. Tapi, ada satu hal yang selalu kuingat; Derek Morgan, salah satu tokohnya pernah berkata, 'It was once said that love is giving someone the ability to destroy you, but trusting them not to.'
Aku tidak tahu, apakah cintaku sebesar itu. Aku juga tidak tahu apakah aku harus memberikan kepercayaan tanpa syarat yang diminta Bimala. Terlebih lagi, aku bahkan tidak tahu untuk apa dia meminta hal-hal seperti ini. Tapi, saat mataku menemukan matanya, dan tangannya meremas tanganku yang berada dalam genggamannya, aku tahu bahwa aku tidak menginginkan hal yang lain lagi selain bersamanya. Tidak peduli, berapa banyak yang harus kukorbankan.
"I Will. I promise you, I will."
____________________________________________
Bedside monitor alat buat mengawasi kondisi alat vital pasien, menampilkan denyut jantung sama tekanan darah.
Servikal Collar itu penyangga yang buat leher. Kalau cedera biar nggak gerak, pakainya ini.
Face off itu film hollywood. Lama. Yang main John Travolta sama Nicholas Cage (kalau gak salah. Lupa) ceritanya si tokoh mukanya diganti, jadi pas bangun udah berubah gitu.
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top