25. Banyu : A Perfect Match
[ warning ]
Awas banyak ranjau! Iyeeeuh. Hati-hati sama kata kasar, jorok, dan kawan-kawan. Ada adegan dewasa juga di akhir.
___________________________________________
Di kepalaku masih terbayang jelas wajah Randu sore itu, saat dia tiba-tiba masuk ke ruangan kerjaku dan mendelik marah. Rahangnya yang mengeras saat mengetahui aku berusaha mendapatkan hati Bimala. Meskipun menolak untuk mengakuinya, sebagai sesama pria, aku bisa merasakan apa yang membuatnya semarah itu.
Dia juga menginginkannya. Dia menginginkan Bimala.
Hari ini, jika bukan Randu, jika itu orang lain, aku pastikan dia terkapar di lantai. Karena tidak ada satu orang pun yang boleh menyentuh kekasihku, meski itu hanya kulit ari-nya.
Bimala adalah milikku. Hanya aku yang boleh menyentuhnya.
Kata-kata itu memenuhi kepalaku, berulang-ulang. Menciptakan gaung yang meraung-raung membuat kepalaku berdenyut hebat. Emosi yang sejak tadi coba kuredam, perlahan kembali menyeruak membayangkan pria itu menyentuh tangan Bimala.
"Kamu ngelamun atau serius nyetir?"
Bisa kurasakan pandangan Bimala—kekasihku—yang tertuju padaku sejak tadi. Namun aku tak peduli, mataku tetap fokus ke jalanan yang kulewati. "Both of them," jawabku singkat.
Tak lama, kurasakan sebuah sentuhan di atas pahaku yang tertutup dark grey linen trousers. Aku hanya melirik, merasakan kehangatan tangannya menembus hingga ke dalam kulit. "Hei, he's my friend, the closest one actually. Kamu nggak perlulah cemburu sama dia."
Suaranya lembut. Kalau saja kata-kata cinta yang sekarang ini keluar dari mulutnya, aku pasti langsung meminggirkan mobil dan memagut bibirnya yang dipoles lipstick merah. Menyumpal mulutnya dan menelan suara indahnya langsung ke dalam mulutku tanpa perlu membaginya dengan siapa pun.
"I know," jawabku lagi. Oke, aku masih kesal dan tahu kan kalau pride is everything buat kaum pria?
"Mulut kamu emang ngomong gitu, tapi hati kamu nggak."
Apa dia mencoba menguji kesabaranku? Gigiku bergemerutuk di dalam mulut. "Aku nggak mau ngomongin Randu!"
"Ini bukan cuma soal Randu. Tapi soal semua temen-temenku, semua makhluk berpenis yang aku kenal, dan pada akhirnya kamu selalu bereaksi berlebihan kayak gini."
Oke, apa pun yang sedang dia coba lakukan, dia berhasil.
Kalap, aku membanting setir ke kiri, keluar dari jalanan. Truk di belakang mobilku meraung keras. Dari spion kulihat sopirnya melongok keluar jendela menyumpahiku, sementara Bimala melotot ke arahku sambil meremas dadanya yang naik turun. Aku tidak bermaksud seburuk itu, cuma ... entahlah.
"Are you crazy? Kamu mau bikin kita berdua mati ya?" marahnya smabil memukul lenganku.
"Kalau itu bisa bikin kamu berhenti ngomongin pria lain, yes! Yes i will!" sentakku tak kalah keras. Percayalah, aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk menahan amarah yang menggelegak di dadaku. Tapi suara itu terdengar semakin keras di dalam kepala. Seperti genderang yang ditabuh di siang bolong, hingga aku tak bisa membedakan mana suaraku sendiri dan mana yang berusaha mempengaruhiku, merebut kesadaranku.
Bimala membuka mulutnya sedikit, entah karena mencoba mengatakan sesuatu atau karena terkejut mendengar ucapanku, yang sesungguhnya langsung kusesali detik ini juga.
"I love you so much. Aku tergila-gila sama kamu dan pria mana yang rela melihat pria lain megang tangan kekasihnya dan menatapnya dengan...," aku menarik napas, "love." Suaraku jauh lebih pelan dari sebelumnya karena aku tidak ingin membuat Bimala semakin marah. Aku pun tidak ingin tersulut emosi.
Tidak sekarang.
"Hah? What the...? Dia itu Randu! Ayolah Bay, jangan berlebihan. Kamu tahu dia siapa. Dia sahabat aku, sahabat kamu juga. Of course he loves me, and he loves you too! Tapi ya nggak lebih dari itu. Kita cuma temen!"
Tidak! Tidak sayangku. Kamu tidak mengerti. Dia mencintaimu seperti seorang pria mencintai wanita. Dan dia akan merebutmu dariku kapan pun dia punya kesempatan.
Aku terpekur. Sungguh aku tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Aku tidak membutuhkannya. Yang kuinginkan sekarang adalah memeluk Bimala, menciumnya, menyandarkan kepalaku di bahunya. Mencari kedamaian untuk menenangkan hatiku yang bergejolak dan pikiranku yang terus-terusan mengganggu.
"Banyu...." Bimala menyentuh tanganku. Lembut, sampai-sampai hatiku ikut merasakan sentuhannya. "This heart is all yours !"
Aku mengembuskan napas, mencoba mengeluarkan emosi dari dadaku bersamaan karbondioksida yang keluar.
"Mau berapa pun pria di dunia ini yang mencoba ngerayu aku, Bay, they won't make it !"
Aku tersenyum tipis.
"Mau puluhan gigolo bugil di depanku sekali pun, aku nggak akan terpengaruh."
Aku tertawa. "Oh, seriously? I was so mad, tapi kamu malah becanda!" Aku pura-pura tersinggung.
Bimala tertawa kecil, "Loh beneran. Aku serius tahu, Bay. Mau mereka joget-joget kek, apa kek, sumpah nggak akan ngefek buat aku. Aku tuh ngefeknya kalau sama kamu doang!"
Fuck! Oh my God, i really love this woman!
Bimala mencondongkan tubuhnya dan menciumku. Aku langsung menyembut dengan mengisap bibirnya pelan. Lama bibir kami menempel, saling berkelit, saling menguasai. Sebuah ciuman singkat tapi panas and feels so fucking good.
"Jadi," kataku setelah bibir kami terlepas, "kamu tuh sebenarnya cinta sama aku atau sama...." Kulirik bagian bawah tubuhku sambil mengerling genit. Bimala tertawa. Suaranya yang merdu terdengar seperti nyanyian acoustic country. Kalian tahu Mila Kunis? Pernah dengar dia tertawa? Kurasa wanita ini mengadopsi sedikit gaya istri Ashton Kuthcer itu; manis dan seksi bersamaan.
"Eewww ... please deh, Bay. Itu paket komplit. Sama kayak makan sushi pakai kecap asin."
Aku tertawa lagi saat Bimala mencondongkan tubuhnya dan kembali mencium bibirku. Singkat dan lembut kali ini.
"We'd better hurry. Nggak enak kan kalau harus membuat Papi kamu nunggu kita," katanya sambil memasang kembali sabuk pengaman.
Aku hanya mengangkat alis menanggapi ajakannya. Sebetulnya aku malas untuk datang. Kalau bukan karena Bimala yang memaksaku, aku tidak akan mengiyakan ajakan Papi. Ah, perempuan ini, entah sejak kapan dia mampu membuatku tunduk. Kata-katanya seperti mantra yang membuat amarahku mereda atau di saat bersamaan seperti titah ratu yang membuatku tidak kuasa menolak.
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat saat memutar kunci mobil dan meluncurkan mobilku kembali ke aspal.
-o0o-
Bimala masih sempat merapikan jasku yang menurutnya berantakan—tapi tidak menurutku—sebelum kami melewati sebuah pintu putih besar nan anggun di sebuah restoran yang terletak di hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat ini.
Seorang penerima tamu yang mengenakan setelan jas rapi, membawa kami ke sebuah ruangan yang lumayan luas bergaya artistik, mewah dan elegan dengan beberapa potret fashion terpasang rapi di dinding. Sepertinya Papi sudah menyewa satu ruangan ini karena beberapa meja dibiarkan kosong dan hanya satu—tepat di tengah—di tempat Papi duduk menunggu kami yang sudah siap dengan sebotol anggur.
Aku sempat melirik ke arah Wisnu, seorang pria berusia 35 tahun yang sudah bekerja untuk Papi sejak dia masih bujangan, saat memasuki ruangan VIP ini. Dia berdiri di sudut bersama seorang pria yang lebih muda—mungkin karyawan baru Papi—dan menunggu Papi dengan setia seperti anjing penjaga. Aku mendengus mengingat bagaimana Papi selalu membawa bodyguard kemana pun dia pergi. Bagiku itu tidak lebih dari sekedar arogansinya semata.
"Ah, kalian sudah datang," sapa Papi saat kami tiba di meja. Dia bangun dari duduknya dan menepuk pundakku. Kami berpelukan dengan kaku.
"Kenalkan, Pi. Ini Bimala, "kataku sambil memiringkan bahu memberikan tempat bagi Bimala yang masih berdiri di belakangku.
"Selamat malam. Saya Basena, papinya Banyu." Papi menjabat tangan Bimala dan melempar senyum. Pria tua ini memang selalu tahu bagaimana menciptakan kesan pria terhormat dan berwibawa. Jauh berbeda dengan sosok ayah yang kukenal.
"Saya Bimala," jawab Bimala. Dia juga melempar senyum saat menyambut uluran tangan Papi.
"Saya sudah mendengar banyak hal baik tentang kamu dari Jane. Kamu sudah pernah ketemu kan sama mommy-nya Banyu," kata Papi setelah kami duduk.
"Saya benar-benar merasa tersanjung," Bimala menyahut sopan.
"Kamilah yang seharusnya merasa tersanjung karena perempuan seperti kamu bisa bertahan dengan putera kami yang...." Papi hanya mengangkat kedua tangan tanpa menyelesaikan kalimatnya, dan itu sungguh membuatku muak.
"Perempuan seperti apa yang Papi maksud?" Belum apa-apa dan aku sudah terintimidasi.
"Dia pekerja keras sejak masih sangat kecil. She's also smart and independent. And very classy if it compares to you."
Aku dan Bimala berpandangan. Sepertinya aku tahu dari mana semua informasi ini berasal. "Papi pasti nyuruh mata-mata Papi buat menyelidiki Bimala. Benar kan?"
Papi meminum anggur di gelasnya dengan santai sementara Bimala yang duduk di sampingku hanya menggigit bibir dan menatapku canggung.
"Saya menyampaikan permintaan maaf saya secara pribadi. Tapi saya harus bilang, kalau saya benar-benar terkesan dengan apa yang dilaporkan anak buah saya," jelas Papi bahkan tanpa memandangku. "Kecuali waktu kamu tiba-tiba berhenti dari I-Banking dan memberikan setengah dari hasil kerja keras kamu begitu saja yang menurut saya itu tidak masuk akal. Dengan jumlah sebanyak itu, kamu bisa memulai sebuah perusahaan kecil dan mendapatkan hasil yang lebih banyak. Dan tentu saja, pada akhirnya kamu bisa memberikan lebih banyak lagi untuk mereka." lanjutnya sambil melempar senyum. Entah apa maksud Papi sebenarnya.
"Saya tetap menganggap itu sebagai pujian. Hanya saja...," Bimala menarik napas, "ada sebuah nasehat yang pernah saya dapat. Penjudi yang baik adalah dia yang tahu kapan harus berhenti dari permainan." Diluar dugaanku, Bimala menjawab dengan yakin dan percaya diri, menciptakan sebuah lengkungan senyum di wajah Papi. Dan aku merasa seperti: Man, that's my woman!
Sementara Bimala tertawa bersama Papi, aku malah sibuk menenggak flow wine yang dituangkan oleh pelayan. Mereka akhirnya terlibat pembicaraan yang sama sekali tidak kupahami. Papi terlihat menikmati obrolannya dengan Bimala dan itu adalah sesuatu yang jarang terjadi. Dalam pandanganku, Papi tidak pernah tertarik dengan hal lain diluar uang dan kekuasaan. Oh, jangan lupa soal Bima yang selalu jadi prioritasnya.
"Aku mau ke toilet," kataku berpamitan yang sama sekali tidak ditanggapi oleh mereka berdua.
Jujur, aku harus mangakui kalau aku lumayan terkejut karena Bimala bisa membuat Papi tertarik. Awalnya aku pikir ini akan menjadi acara makan malam yang canggung sampai-sampai aku menyiapkan rencana untuk membawa Bimala kabur dari sini jika situasi menjadi tidak terkendali. Well, pertemuanku dan Papi tidak pernah berakhir dengan baik.
Ada sedikit rasa hangat yang muncul di dadaku. Apa ini yang dirasakan seorang pria saat melihat kekasihnya bisa akrab dengan keluarganya? Aku tidak pernah memikirkan soal ini sebelumnya, tapi entah kenapa aku senang melihat hubungan baik Bimala dengan Papi atau dengan mommy dan Kei di malam yang lalu.
Rasa heranku semakin menjadi-jadi saat aku kembali dan mendapati Papi tertawa lepas. Entah apa yang diceritakan perempuan mempesona ini, karena aku sendiri bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melihat Papi tertawa seperti itu.
"Hei, Sayang." Bimala meletakkan tangannya di lenganku. "Kamu tahu nggak, Papi kamu akan memberikan donasi buat Bright Horizon. Dan itu jumlah yang lumayan untuk kita bisa membangun ruangan yang jauh lebih baik dari sekarang," lanjutnya tanpa bisa menyembunyikan rasa bahagia dalam nada suaranya.
"Oh, wow! Itu ... mengejutkan!" Aku tidak tahu harus berkomentar apa, sementara Papi hanya tersenyum sambil meneguk sisa wine di gelasnya.
"And one more thing." Seolah berita yang baru saja kudengar belum cukup mengejutkan, Bimala menatapku dengan mata berbinar sebelum mengalihkan pandangannya ke Papi. "Umm ... kayaknya lebih baik Om aja deh yang kasih tahu," perintahnya.
Oke, ini sudah keterlaluan mengejutkan. Om? Yang benar saja. Sejak kapan Bimala memanggil Papi dengan cara seperti itu? Aku cuma pergi beberapa menit, kan?
"Emm, Papi dengar soal lukisan Keira yang akan ikut di salah satu pameran, dan Papi akan usahakan untuk datang. Kamu tahu Papi cukup sibuk beberapa bulan ini, tapi Papi akan menyempatkan waktu," kata Papi datar tanpa ingin mengurangi sedikit pun wibawanya.
Dan kalimat itu, apa aku baru saja mendengarnya? Jangan tanya bagaimana perasaanku sekarang. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini. Sebelumnya Papi tidak pernah peduli. Dia bahkan tidak pernah suka dengan kegiatan melukis Keira. Tapi sekarang? Aku tidak peduli apa yang membuat Papi tiba-tiba berubah pikiran karena aku terlalu sibuk menelan kebahagiaanku. Dadaku berdebar kencang saking senangnya sampai aku tidak memperhatikan Bimala yang juga tersenyum menatapku.
"Papi ... Papi betulan mau datang? Papi nggak bercanda kan? You have no idea how happy she would be."
"Papi akan usahakan, Banyu. Papi belum bilang sama Kei. Maybe I'll call her tomorrow."
"Papi mau telepon Kei? Langsung?"
Apa aku berlebihan? Tidak. Semua hal menyenangkan inilah yang terlalu berlebihan. Sial, aku bahkan sulit untuk mempercayainya.
"Yes, I will!" Papi mengangguk mantap.
Aku mengalihkan pandangan ke Bimala yang masih tersenyum, lalu ke kedua bodyguard Papi yang bahkan tidak melepas kacamata hitam mereka, "You heard that?" teriakku.
"Cheers?" ajak Bimala. Pelayan mengisi gelas kristal kami bertiga dengan flow wine dan kami mengangkat gelas bersamaan.
"For Bright Horizon," seru Bimala.
"For Kei," aku menimpali.
"For a better life."
Entah apa itu cuma perasaanku, tapi Papi menatapku dalam, langsung ke mataku. Satu hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Tidak dengan cara dia menatapku sekarang ini. Hatiku bergetar. Ada bagian kecil di sana yang merasa menemukan sesuatu yang hilang, sesuatu yang dicari. Dan malam ini, seperti menjadi ujung dari penantianku. Tanpa bertanya, aku tahu kepada siapa aku harus berterima kasih.
"Ini hampir nggak mungkin! Kamu nggak tahu berapa lama Kei menunggu saat-saat kayak gini. I mean, she would be extremely very happy," teriakku seperti orang sinting ketika aku dan Bimala telah kembali ke apartemennya.
"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, Bay. Yang kamu butuh cuma waktu." Bimala menyahutku santai. Tangannya menyilang di dada, menatapku yang mondar-mandir di ruang tengah.
"No! Kamu nggak tahu dia, Bi. He was like ... emmm, " aku memutar bola mataku, mencari kata-kata yang tepat. "an iceman? Dia nggak pernah peduli sama Kei. Aku bahkan ragu dia ingat kalau dia pernah menyumbang sperma di rahim mommy sampai akhirnya Kei lahir." Aku mengoceh lagi saat kami sudah berdiri berhadapan. Wanita ini tidak bis amenyembunyikan senyumnya melihat tingkahku yang ... mungkin seperti anak kecil. Tapi, memangnya siapa yang peduli?
"But, how did you do that?" tanyaku akhirnya.
"Ngelakuin apa?"
"Kamu yang bilang sama Papi kan soal pameran itu? Pasti kamu juga yang minta Papi buat dateng."
"And?" Bimala memiringkan kepalanya dan menatapku intens. Aku menautkan kedua alis sambil memonyongkan bibir ke arahnya. Berharap dia akan menjawab rasa penasaranku tentang bagaimana dia menaklukkan Papi.
Bimala mendesah pelan saat maju dan menempel padaku. Tangannya bergerak berusaha melepas jas yang masih kupakai. "Karena dia nggak seburuk yang kamu pikir, Bay."
Tidak, tentu saja aku tidak bisa menerima kalimatnya begitu saja.
"You know what, kalian berdua itu sama," lanjutnya.
Bimala melemparkan jasku ke lantai. Dia berusaha membuka kancing kemejaku sekarang.
"And just like him...."
Dia memainkan tangannya di atas dadaku yang terekspos sebagian karena ulahnya.
"... yang kamu butuhkan cuma...."
Bibirnya menyentuh bibirku. Lembut, ringan, manis.
" ... a perfect touch!"
Aroma harum dan manis menguar dari tubuhnya saat Bimala berlalu melewatiku yang masih memejamkan mata menikmati sentuhan tangan dan bibirnya. Butuh beberapa detik sebelum aku menyadari kalau dia hanya menggodaku. Dan saat aku berbalik, Bimala sudah menghilang ke dalam kamar.
"Ngomong-ngomong soal sentuhan...," kataku sambil menyusulnya masuk ke kamar. Bimala yang sedang melepas gaun merahnya menoleh dan menahan senyumnya saat aku berhasil mendapatkan tubuhnya dan menyusukkan wajahku ke balik rambut hitamnyanya yang tergerai.
"I need a perfect touch, from a perfect match!"
Bimala menggeliat saat aku mencium lehernya, menghirup aroma tubuhnya yang mengaktifkan semua saraf sensualku. Tanganku bergerak perlahan menyusuri punggungnya yang telah terbuka sepenuhnya, hanya menyisakan bra dan underwear yang aku jamin juga akan lenyap dari tubuhnya hanya dalam hitungan detik.
"Baay...." Dia melenguh pelan, merasakan sentuhanku yang mendominasi.
"You make me so crazy, Honey," bisikku lembut, "dan kamu harus tanggung jawab."
Bimala mendongakkan wajahnya, matanya terpejam menikmati sentuhan tanganku yang semakin liar. Tangannya berusaha menggapai tubuhku, mencari pegangan dengan putus asa. Tak tahan,
kuputar tubuhnya hingga menghadap ke arahku. Hanya dengan sekali sentuhan, aku melepaskan bra kait depan yang dia kenakan.
Terburu-buru, Bimala berusaha melepas kemejaku. Matanya menyala penuh gairah saat melihat dadaku yang dipenuhi bulu, membelah tubuh atletisku turun sampai ke perut. Tangannya menyusuri setiap bagiannya penuh kagum seolah aku adalah hal paling indah yang pernah dilihatnya. Bahkan setelah berkali-kali dia melihatku tanpa sehelai benang pun.
Gerakan tangannya terhenti di dada sebelah kiri, di atas tattoo yang baru seminggu lalu aku buat. Jarinya lembut menyusuri rangkaian huruf yang membentuk namanya—Bimala Sasmitha—dengan mata cokelat indahnya yang masih menatapku teduh.
Aku terkesima.
"There will always be one name...," kusentuh pipinya yang lembut, "yours..."
Bimala tersenyum. Kurasakan kehangatan menjalari hatiku, hanya dengan melihat senyum manisnya itu. Kalau saja aku bisa menghentikan waktu, selamanya aku ingin bertahan dalam momen ini. Bersama perempuan yang tiba-tiba masuk dan menguasai hati dan pikiranku.
Aku mengangkat tubuhnya dan mencium bibirnya bersamaan. Menautkan bibir kami seolah tidak ingin terlepas lagi. Tanpa bisa menahan gairah yang membanjir, aku menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Berdua, kami dikendalikan nafsu, dan bercinta seperti binatang yang dipacu tendangan alkohol dalam darah. Bergerak dan menghentak bersama sambil sesekali diiringi desahan karena nikmat. Hingga erangan panjang terdengar, orgasme mendera, dan kelelahan yang membuat kami terkulai lemas. Berdampingan tanpa melepas genggaman tangan.
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top