23. Bimala : Please Don't Go

Now please don't go
Most nights I hardly sleep when I'm alone
Now please don't go, oh no
I think of you whenever I'm alone
So please don't go
( Joel Adams - Please Don't Go )










"You did promise me!"

Aku hampir saja melempar pisau yang sedang kupegang saking kagetnya, saat mendengar suara Banyu yang tiba-tiba. Kedamaian pagi yang baru satu jam kunikmati, kini musnah sudah. "Apa sih, Bay? Pagi-pagi udah teriak-teriak. Kamu ngagetin tahu nggak."

Aku berbalik dan menemukan Banyu sudah berdiri di belakangku. Tampangnya sama seperti anak kecil yang dijanjikan piknik oleh ibunya tapi dibatalkan. Kusut, masam dan ... menggemaskan. Susah payah, kutahan mulutku agar tak sampai tertawa.

"Ini!" Banyu melemparkan amplop putih dari CAF ke meja makan. "Semalam kamu bilang mau cerita soal itu."

"Aku lagi bikin sarapan, kita makan dulu aja ya," rayuku.

"No! Kamu pikir aku anak kecil apa? Sekali aja rayuan kamu berhasil semalam, sekarang nggak lagi."

Aku terkekeh mendengarnya. Pacar pemarahku ini benar-benar seperti anak kecil. Kupandangi tubuh seksinya yang hanya mengenakan boxer. Rambutnya acak-acakan dan muka bantalnya bahkan masih dipenuhi garis-garis merah. Oh, jangan lupa beberapa ruam akibat perbuatanku semalam.

Aku meletakkan pisau di island counter dan berjalan mendekat. Mata kami sejajar, saling mengunci pandangan sebelum akhirnya aku tak sanggup bertahan dan tertawa lepas. "Kamu tuh ya, baru bangun boro-boro mandi, cuci muka aja belum malah ngomel-ngomel."

Kulingkarkan tanganku di lehernya dan kucium pipinya, tapi dia tidak bereaksi. Lalu, saat kudapatkan matanya menatapku tajam, aku tahu bahwa kali ini aku tidak bisa mengendalikannya. "It's clear that you're really serious about it." Kulepaskan tanganku dari lehernya.

"Sure. Aku nggak mau jadi orang terakhir yang tahu tentang kepindahan kamu."

Aku mendesah. Rasanya, tak bisa lagi menghindar karena memang cepat atau lambat aku harus membicarakan soal ini.

"Take a seat!" perintahku. Banyu menurut dan duduk di meja makan. Diambilnya gelas berisi air putih yang kuberikan dan dihabiskannya tanpa jeda.

"So...?" tuntutnya tak sabar.

Aku menarik napas, tidak tahu harus mulai dari mana. "Apa yang mau kamu tahu?"

"Everything! Every single thing!"

"Ada alasan kenapa aku belum cerita sama kamu, Banyu."

Beberapa bulan yang lalu aku mungkin bisa menjelaskan tanpa ada beban. Tapi kedekatan kami satu bulan ini membuatku tidak lagi yakin dengan apa yang ingin kulakukan.

"Because you don't fucking care about me? Karena seperti yang selalu kamu bilang bahwa kamu nggak tahu mau dibawa kemana hubungan ini!" tuduhnya penuh emosi. Rahangnya mengeras, dan matanya berkilat mengerikan. Kutarik napas dalam, menyusun kalimat dengan hati-hati. Sungguh aku tidak ingin pagi ini dirusak dengan dirinya yang lepas kendali. Lagi.

"Karena aku belum memutuskan apa pun, Banyu," jelasku tenang. Lebih tepatnya, mencoba untuk tetap tenang.

"Bullshit! They didn't give you this shit without application, Bi. Kamu udah bikin keputusan sejak pertama kali kamu isi form aplikasi."

"Memang! Dan itu sebelum aku kenal kamu. Jauh sebelum hubungan ini dimulai."

Kulihat Banyu menarik napas panjang. Dia memalingkan muka dariku, menyembunyikan kemarahan yang terpancar jelas di matanya yang serupa gerhana.

" I always wanna go. Aku ingin berbuat lebih banyak, dengan skala yang lebih luas. Tahun lalu mereka datang dan ngasih bantuan untuk Bright Horizon. Mereka nawarin aku buat gabung tapi aku nggak langsung terima. Sampai tiga bulan lalu, aku tahu mereka buka kesempatan lagi ...," ada jeda dalam kalimatku, "... and I want to."

"Jadi benar itu alasan kamu berhenti ngajar?"

Aku mengangguk pelan, "Kurang lebih. Aku udah ngajuin resign akhir semester ini."

"Bright Horizon, murid-murid kamu di Arthaus, apa itu nggak penting buat kamu? Aku?" Nada bicara Banyu mulai meninggi.

"Sekali lagi aku bilang, aku belum memutuskan."

"Mereka bilang kamu harus konfirmasi satu bulan sebelumnya. Itu artinya dalam tiga minggu ini kamu harus bikin keputusan."

Aku diam. Banyu benar dan sayangnya itu keputusan yang tidak mudah sementara aku dikejar waktu. Aku sudah mempertimbangkan semua hal termasuk soal pekerjaanku di sini dan kehidupanku di Alexandria, Virginia, seandainya mereka menerimaku. Dan surat itu, tiket untuk kehidupan baruku, selalu kunantikan kehadirannya. Setidaknya sebelum aku bertemu dengan Banyu.

Aku sadar, hubungan kami masih terlalu dini untuk dijadikan alasan mengubah rencana, tapi juga terlalu manis untuk ditinggalkan begitu saja. Aku tak bisa mengingkari perasaanku, kalau aku  —mungkin saja—telah jatuh cinta sepenuhnya pada pria membingungkan ini.

Banyu bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku. Dia berlutut di hadapanku dan meraih tanganku untuk digenggam. Tatapan matanya redup, sayu, tapi mampu menembus hingga ke jantung hatiku. Mengirimkan jutaan tegangan yang membuat sel-sel di dalam tubuhku bergetar, bertumbukan, berhamburan, dan akhirnya pecah berantakan. Kukerjapkan mata, menghalau lapisan bening yang pelan mulai kasatmata.

"Bi, aku tahu hubungan kita masih sangat baru. But I love you too much and i don't wanna lose you. I'll do anything to make you stay."

Suaranya lembut, membuatku ingin mengatakan bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama. Bahwa aku juga ingin selalu bersamanya. Tapi entah kenapa, aku merasa itu tidaklah cukup. Ada sesuatu yang membuatku ragu, tak peduli seberapa kerasnya hatiku berteriak lantang kalau aku juga mencintainya.

"Bay, aku...." Kugigit bibir bawah, tidak yakin apa yang ingin kukatakan. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba menusukku saat menyadari bahwa Banyu benar saat dia mengatakan kalau aku belum tahu akan dibawa kemana hubungan ini.

Kusentuh pipinya lembut, merasakan jenggotnya yang mulai tumbuh di telapak tanganku. Ingin sekali aku menghambur ke dalam pelukannya. Menyembunyikan kepala dalam dekapan dadanya yang bidang. Merasakan debaran jantungnya yang berkejaran dengan detak jantungku sendiri. Tapi aku hanya diam, tanpa tahu apa yang menahanku.

"Oke aku ... aku nggak akan maksa kamu. We still have three weeks before you make a decision. Dan aku akan memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin untuk mengubah pikiran kamu. Just ... just give me a chance."

Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Ternyata tidak selamanya dia seperti anak kecil yang selalu menuntut. Maksudku, dari mana dia bisa mendapatkan kata-kata seperti itu?

"You don't need to ask, Honey. You already had one."

Aku berkata pelan, penuh haru setelah tak mampu lagi menahan kelenjar air mata yang membengkar dan menjebol pelupuk mata yang tak seberapa kuat. Mataku buram, tersamarkan butir-butir bening yang kian menderas. Entah bagaimana saraf-saraf di mata bisa sebegini cepat merespon hati yang bergetar. Sesak karena kehadiran sosok maskulin yang memaksa masuk ke dalam dada, bercokol di sana. Dan anehnya, aku pun ingin dia tetap ada di sana.

Banyu mengusap pipiku lembut sebelum mencium dan membawa ke dalam dekapannya yang hangat, membawaku ke tempat paling nyaman yang pernah ada.





-o0o-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top