21. Bimala : Love Set You Free?




I need your love, I need your time
When everything's wrong
You make it right
I feel so high, I come alive
I need to be free with you tonight
( I need your love - Ellie Goulding ft Calvin Harris)







Dari kejauhan, aku melihat Banyu berkali-kali mengusap rambutnya saat berbicara di telepon. Aku masih ingat bagaimana wajahnya seketika berubah tegang saat melihat layarnya yang menyala, dan memunculkan nama 'Papi'. Dia tidak terlihat banyak bicara dan hanya tersenyum ketika tanpa sengaja melihatku yang sedang memandangnya dari dalam mobil.

"Is everything okay?" tanyaku saat dia telah duduk di belakang setir. Wajahnya masam meski aku tahu dia berusaha keras untuk menutupinya. Pria ini benar-benar buruk dalam hal menyembunyikan emosi.

"Yep! Dia ngajak kita makan malam besok senin jam delapan."

"Kita? Kamu sama aku?"

"Iyalah. Aku nggak punya pacar lain selain kamu. Kenapa? Kamu nggak bisa? Ada kelas?"

"Mmm ... nggak sih. Aku cuma rada kaget aja dengernya."

"You have no idea how I was."

Kata-kata terakhir Banyu membuatku berhenti bicara. Dia juga tidak mengatakan apa-apa lagi dan menyalakan mobil. Hampir selama dua puluh menit di jalan, kami tidak saling bicara. Banyu hanya menatap lurus ke jalanan, sedangkan aku terlalu bingung bagaimana mencairkan suasana.

"Eh, depan ambil kanan!" perintahku setelah cukup lama kami hanya diam.

"Kamu mau kemana lagi emangnya ?" tanyanya. Sekilas dia menatapku yang cuma mengerlingkan mata melihat kerutan di dahinya.

"Looking for some fun," sahutku enteng.

Dia tidak bertanya lagi dan hanya menuruti perintahku. Sebenarnya aku tidak tahu apa ideku akan berhasil. Tapi bukankah mencoba jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Apalagi emosi Banyu yang mudah sekali berubah, membuatku ingin melakukan sesuatu. Dia baik-baik saja sampai mengangkat telepon yang tidak dia inginkan itu. Dan sikapnya diamnya justru membuatku iba. Aku tahu, sulit bagi pria tempramen seperti dia untuk tetap terlihat tenang apalagi setelah mendengar sesuatu yang tidak disukainya. Meski Banyu tidak pernah cerita langsung, aku tahu kalau hubungan dia dengan Papinya tidak baik. Mereka berdua seperti memiliki dinding tebal yang membuat mereka tidak bisa menjadi ayah dan anak seperti seharusnya.

"Oh, aku nggak tahu kalau kamu ngajar anak-anak SMA juga dan ada kelas selarut ini."

Banyu berkomentar saat aku memintanya menghentikan mobil di sebuah sekolah. Aku hanya tertawa dan tidak menanggapinya. Aku berjalan memutar hingga menemukan pintu samping dan Banyu mengikutiku dari belakang.

"Malam, Mang Asep." Aku menyapa pria berkumis lebat yang sedang duduk di pos keamanan sedang menonton pertandingan bola di televisi.

"Eh, si neng. Kamana wae atuh, jarang main kesini lagi."

"Iya, Mang, lagi lumayan banyak urusan. Ada yang lagi main nggak?"

"Ada. Biasa, siapa lagi kalau bukan Mas Raka sama gengnya."

Aku manggut-manggut mendengar jawaban Mang Asep.

"Eh, ini siapa? Pacar barunya ya," tanya Mang Asep lagi saat melihat Banyu yang berdiri di sampingku dengan kikuk. Wajahnya datar, tak bereaksi mendengar pertanyaan penjaga sekolah ini.

"Oh iya, kenalin nih. Ini Banyu, Banyu ini mang Asep yang jaga sekolah dari duluu banget."

Mang Asep nyengir kuda, "Asep."

Banyu menyambut uluran tangan Mang Asep tanpa senyum.

"Lagi sakit gigi dia, Mang. Makanya cemberut mulu. Eh, saya masuk dulu ya, mau cari keringat sebentar," pamitku.

Aku masuk tanpa menunggu jawaban Mang Asep dan langsung menuju ke lapangan basket. Empat pria sudah berada di sana sedang  melakukan warming up dengan menembakkan bola ke ring.

"Wooi ... lihat nih siapa yang dateng. Queen of the court!" teriak salah satu pria saat melihat kehadiranku yang langsung disambut dengan siualan dan suara sumbang yang lain. Aku tertawa karena sambutan meriah teman-teman basket ku saat SMA itu.

"Kangen banget sama gue ya," kataku sambil melakukan tos satu persatu.

"Iyalah. Lo sok sibuk banget nggak pernah keliatan. Eh, Randu mana? Nggak ikut?" tanya Gani, mantan pemain center yang kini sibuk sebagai broker saham.

"Lo malah nanyain Randu. Nggak lihat tuh dia bawa batangan baru," Raka menyela dan menunjuk Banyu yang berdiri di pinggir lapangan dengan dagunya. "Lo nggak pake santet kan?"

"Mulut lo sampah banget. Emang gua apaan, segitunya pake santet segala," protesku tak terima.

"Ya elah cewek jadi-jadian kayak lo kalau nggak pake tumbal kan ... aww!" Raka mengaduh saat aku meninju perutnya. Sama sekali tidak menyakitkan, tapi lumayan utnuk menyumpal mulutnya yang seenaknya.

"Sadis anjing!" omelnya lagi. Aku tertawa tanpa dosa.

Puas bertegur sapa dengan sahabat-sahabat lamaku, aku kembali ke arah Banyu yang sudah melipat tangannya di dada dan menunjukan muka masam. Dia bosan, terlihat dengan sangat jelas.

"What are we doing here?" tanyanya ketus.

"Umm ... having fun?" jawabku sambil mengangkat bahu. Banyu mendengus.

"I don't play basketball."

"Tapi bukan berarti nggak bisa, kan."

Aku mengacungkan bola basket yang kuambil dari Raka ke depan mukanya. Kugigit bibir bawah dan memasang tampang melas. "Bay, all you need is endorphin. And trust me, cara ini layak dicoba."

Banyu tampak berpikir sejenak dan menatap mataku. Matanya yang gelap tampak sedikit redup. Entah cahaya malam yang memang demikian, atau karena suasana hatinya yang kalut. Kuulas senyum, memohon hingga akhirnya dia mengambil bola dari tanganku yang disambut dengan sorak teman-teman di belakang sana.

Kami membagi kelompok menjadi dua. Aku, Gani dan Rahman, sedangkan Banyu bersama Raka dan Gerry. Sepuluh menit permainan Banyu masih sedikit canggung. Tapi lama kelamaan dia mulai menyesuaikan diri dan terlihat menikmatinya. Dia juga tertawa dan bercanda akrab bersama mantan rekan seperjuanganku dulu. Posisiku sebagai kapten tim basket putri yang membuatku akrab dengan mereka yang juga anggota tim yang diketuai Randu. Bahkan setelah kami pensiun dan lulus dari sekolah, sesekali kami masih bermain bersama. Terutama Raka yang memang masih menekuni basket dan berhasil masuk timnas empat tahun lalu itu.

Aku melirik jam tangan dan menarik napas panjang. Hanya tersisa beberapa detik sebelum permainan berakhir, sedangkan timku kalah tipis 66-68. Tanganku bergerak men-dribble bola sambil mencari-cari anggota lain yang bebas. Tapi baik Gani maupun Rahman dibayang-bayangi dengan ketat. Aku bergerak berusaha menerobos ke tengah saat Banyu berdiri tepat di depanku.

"I got you," katanya sambil tersenyum jahat.

"Jangan terlalu yakin, Sayang."

"Kamu nggak akan bisa melewati aku."

"Kalau bisa?"

"Anything you want, Honey."

Mataku liar mencari celah. Tapi Banyu benar, aku tidak akan bisa melewatinya.

"You know what?" Aku membanting bola keras-keras hingga melenting tinggi di belakang Banyu. Saat dia refleks melihat ke atas mencari bola, aku sudah melesat dan dalam tempo yang sudah kuperhitungkan, aku melompat menangkap bola dan langsung menembakkannya ke ring. "... aku sama sekali nggak berencana melewati kamu," lanjutku.

Banyu melongo melihat aksiku yang disambut dengan teriakan keras dari Rahman.

"Three point shoot. Wooo...that's our queen."

Aku tersenyum puas.





-o0o-





"Makasih ya. See you next time."

Aku melambaikan tangan ke arah Raka yang bersiap masuk ke mobilnya. Yang lain sudah pulang lebih dulu setelah menghabiskan dua bungkus rokok dan kopi hitam di pos keamanan bersama Mang Asep.

"Kita juga pamit deh, Mang. Udah malem banget nih ," pamitku.

"Eh iya Neng. Sering-sering atuh main,"balas pria setengah baya itu.

"Duluan ya, Mang." Kata Banyu sambil menyelipkan lembaran merah ke tangannya, "buat beli rokok Mang."

" Ya ampun segala repot si kasep teh," jawabnya sambil tersenyum simpul.

"Udah terima aja, Mang. Rejeki nggak boleh ditolak," kataku.

"Eh, iya deh. Makasih atuh ya."

Beriringan aku dan Banyu berjalan masuk ke mobil. Sudah lewat tengah malam dan jalanan sudah sangat sepi.

"Tuan puteri mau diantar kemana lagi?" ledeknya saat kami sudah berada di dalam mobil.

"Kembali ke kastil, "sahutku singkat yang disambut dengan tawa renyah Banyu. Dia mengacak rambutku lembut sebelum kembali berkutat dengan kemudi dan meluncurkan mobilnya di jalanan Jakarta yang sudah mulai lengang.

Sesampainya di apartemenku, dia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lengket. Aku menyusul setelah menyiapkan handuk dan meletakkan baju di atas ranjang. Aku juga menyalakan lilin aromaterapi agar dia merasa lebih nyaman. Aku tidak berencana untuk menggodanya malam ini. Aku hanya ingin memastikan suasana hatinya tetap baik dan apa pun yang terjadi setelahnya ... anggap itu sebagai bonus. Tapi sepertinya —lagi-lagi— aku harus berusaha sedikit lebih keras saat aku keluar dari kamar mandi dan mendapati dia menatapku dingin.





-o0o-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top