2. Bimala : National Bad Day


Aku hanya bisa menunduk memandang ujung sepatu, dan menunggu dengan hati masygul. Tidak pernah kubayangkan akan menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang duduk disini, menunggu kehidupanku diputuskan oleh orang asing. Tidak! Bukan ini yang kubayangkan saat memutuskan menikah dengan Adi, pria yang baru empat bulan kukenal. Pria yang kupikir pantas untuk kepadanya kusandarkan hidup. Ah, entah apa yang ada di pikiranku saat itu. Aku yang begitu mendamba keluarga sempurna, dengan mudah terbuai oleh kebahagiaan palsu yang kudapat dari keluarganya. Ayah yang bersahaja, ibu yang perhatian dan suami yang penyayang. Memangnya apalagi yang diharapkan perempuan selain itu?

Tok ... tok ... tok.

Sejak memasuki ruang sidang, pikiranku memang mengembara entah kemana. Aku bahkan tidak mendengar saat Hakim membacakan keputusannya. Hanya dentum palu yang memaksa saraf kupingku menegang dan akhirnya menjatuhkan setetes air mata bersamaan dengannya.

Aku meyipitkan mata karena paparan sinar matahari yang tajam, saat keluar dari pengadilan. Sejenak aku berdiri diam di sana, merasakan udara kebebasan yang jauh berbeda dengan yang kurasakan pagi tadi saat memasuki pelataran pengadilan.

Jam sebelas. Aku berkata dalam hati sembari melirik jam yang melingkar di tangan.

Hari masih panjang, sedangkan aku sudah mengambil cuti sehari penuh. Aku bisa saja kembali ke apartemen untuk membereskan barang-barangku yang baru semalam aku ambil dari rumah lamaku dengan Adi. Tapi, rasa malas menyergapku tiba-tiba. Dan tepat saat aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar, ponselku bergetar dan mengeluarkan suara bip dua kali.

Randu Pangestu : Gimana sidangnya? Udah selesai?

Sebuah pesan singkat masuk ke handphone dan menciptakan senyum saat kulihat nama pengirimnya.

Bimala Sasmitha : Udah. Ini baru aja keluar pengadilan

Dengan cepat kuketik pesan balasan sambil berjalan ke parkiran. Sebuah Honda Jazz warna putih yang kubeli tiga tahun lalu terparkir di sana. Tanpa membuang waktu lebih lama, aku langsung masuk ke dalam mobil dan bersiap meninggalkan tempat ini. Saat aku memutar kunci mobil, handphoneku kembali bergetar.

Randu Pangestu : Mau lunch bareng nggak?

Bimala Sasmitha : Boleh, tempat biasa ya. SEKARANG nggak pakai lama !!

Randu Pangestu : Oke Sist

Sesudahnya, aku segera melarikan mobilku ke arah Melawai, menuju sebuah restoran Jepang yang selalu menjadi tempat favorit kami sejak dulu. Aku dan Randu bersahabat sejak SMA. Kesukaan kami pada basket hingga akhirnya sama-sama menjadi kapten tim semakin mengukuhkan kedekatan kami. Setelah lulus, Randu melanjutkan studinya ke Univeristy of South Wales di UK, sementara aku harus puas tinggal di Ibukota setelah berhasil mendapat beasiswa di Universitas Indonesia.

Randu adalah orang pertama yang mendengar keputusanku menikah dengan Adi. Dia juga yang paling menentang pernikahan itu. Selama bertahun-tahun persahabatan kami, tidak pernah kudengar Randu semarah malam itu. Dia bahkan bilang kalau aku sudah gila karena menikah dengan orang yang baru saja kukenal.

"You're a totally crazy bitch. Ini sih gila namanya."

Aku bahkan masih bisa mendengar omelannya sampai sekarang. Kata-katanya yang mengendap di benak, hanya menunggu sentilan untuk akhirnya siap meledak dan muncul kembali di kepala.

"Kamu tuh maunya apa, sih? Aku gonta ganti pacar kamu ngomel. Sekarang aku mau serius nikah, kamu ngomel juga," kilahku santai.

"Iya, tapi nggak gini juga, Bi. Kamu baru kenal sama dia. Kamu kan nggak tahu dia kayak apa. Kalau ternyata dia psikopat yang suka nyiksa cewek-cewek gimana? Atau jangan-jangan dia itu penipu?"

Dan tawaku pun meledak.

"Adi ngenalin aku ke keluarganya, dan kayaknya mereka baik kok. Mereka care sama aku. Kan kamu sendiri yang bilang, kalau aku bukan cuma harus cari calon suami yang baik, tapi juga keluarga yang baik. I got both."

Kudengar sahabatku itu menarik napas berat. Dia tahu aku keras kepala dan apapun yang dia katakan tidak akan mampu mengubah keputusan yang sudah kuambil. Meskipun dia mengancam tidak akan datang, toh aku tetap menikah dengan Adi. Dan ketika pada akhirnya aku harus mengakui kalau firasat Randu benar, dia juga hadir disana, mendengarkanku. Sama seperti ketika akhirnya dia datang di pernikahan dan mendukung setiap keputusanku.

-o0o-

Kurasakan kupingku berdenyut karena musik trance yang diputar terlalu kencang. Aku tidak pernah menyukai tempat seperti ini, tapi Randu memaksa. Setelah acara makan siang yang luar biasa terlambat karena keasyikan mengobrol, jadilah kami menghabiskan sisa malam di salah satu club di Jakarta Selatan. Dia bilang dia ingin merayakan hari kebebasanku. Ah, aku sendiri tidak merasa bahwa aku harus merayakannya. Memangnya, perempuan mana yang ingin membuat perayaan atas keputusannya menjadi janda? Dan sekarang, aku hanya bisa duduk diam di bar menikmati vodka sementara Randu ... oh, berjoget dengan si kaki kurus seperti orang kesurupan.

"Isi lagi!"

Seorang pria bersuara berat di sampingku menyodorkan beer mug-nya yang telah kosong. Bartender mengisinya dengan bir dan dia menghabiskannya seperti menenggak air putih. Dasinya dilonggarkan sembarangan dan rambutnya yang hitam tidak kalah kusut dengan kemejanya. Mungkin dia baru saja dipecat atau kehilangan proyek besar. Entahlah, yang pasti dia tidak terlihat baik.

"It must be a national bad day." Aku bergumam membuat bartender yang kutahu bernama Raka, tersenyum saat mendengarnya.

"Kebanyakan orang datang ke sini buat ngelupain masalahnya."

"Well, gue nggak kok. Sumpah!" Aku mengangkat kedua jariku yang membentuk tanda V dan tertawa. "Lihat bajingan mesum yang di sana," beritahuku pada Raka, "dia yang nyeret gue ke sini."

"Hei, kalian berdua! Talkin bout me, eh?"

Pria bersuara berat itu bahkan tidak mengangkat kepalanya. Dan entah kenapa, aku malah semakin tertawa. Pipiku memanas akibat alkohol yang mulai bereaksi dalam darah.

"Do you think it's funny?" katanya lagi.

Aku menarik napas, lalu menenggak sisa vodka. "Nope. I was talking about myself," sahutku.

"Ciih ... mana ada orang ngomongin diri sendiri."

"Berarti gue orang pertama. But yes, you look like a shit. Dan siapa pun pasti bersimpati sama bir yang lo minum tanpa belas kasihan itu."

Baiklah, aku pikir aku keterlaluan. Salahkan tubuhku yang terlalu asing dengan alkohol, sampai empat sloki vodka sudah cukup untuk membuatku mabuk. Eh, empat? Lima? Ah, sial!

Pria itu menoleh dan mendekatkan wajahnya padaku. Matanya yang merah menyala membuat tatapan matanya berkali lipat lebih tajam. Di mataku, dia seperti Hulk versi merah. Harus kuakui sih, wajah dinginnya malah membuatnya terlihat sexy. Ditambah, lampu remang-remang yang membuat kesan misteriusnya semakin kuat.

"Not funny," katanya lirih.

Aku juga tidak berniat melawak. Tapi, entah kenapa mulutku tidak bisa berhenti tertawa.

Untuk beberapa detik kami bertatapan. Pandangannya yang dingin sungguh kontras dengan embusan napasnya yang hangat. Entah untuk berapa lama kami hanya diam. Aku sendiri heran, kemana hilangnya semua kalimat yang biasanya mampu kususun secepat kilat.

"I'm sor--"

Tiba-tiba kurasakan bibirnya yang lembab menempel pada bibirku, bahkan sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kata maaf. Kedua tangannya bergerak cepat menahan tanganku yang refleks berusaha mendorong dadanya yang bidang. Dia menekan bibirnya lebih keras dan aku tidak bisa melawan. Saat dia mencoba untuk membuka mulutnya, saat itulah aku menggigit dan mengejutkannya.

"Awww...."

Genggamannya terlepas yang langsung kususul dengan sebuah tamparan.

"You bite me?" serunya.

"Lo gila ya! Who do you think you are?" aku meradang.

Dibalik tangannya yang memegang bekas gigitanku, aku bisa melihat senyumnya. Sialan.

"Gimana rasanya? Gue bisa kasih lo lebih kalau mau. Nggak usah muna, deh. Gue hebat di ranjang, kok."

Dia menyapukan lidah ke bibir bawah sebelum menggigitnya, membuatku muak ingin muntah. Apa dia berusaha menggodaku? Tch ... melihatnya saja sudah membuatku merasa jijik.

"Fuck yourself!"

Tanpa ba bi bu, langsung kusambar tas dan meninggalkan tempat biadab itu setelah manaruh beberapa lembar ratusan ribu. Tak ingin kulihat Raka yang hanya bisa mematung melihat peristiwa yang baru saja terjadi di depan matanya.

"Dasar orang gila! Psycho! Sok kegantengan, nggak waras!"

Sepanjang perjalanan kembali ke apartemen, tidak ada hentinya aku memaki. Tak habis pikir apa yang ada di pikiran pria berengsek itu. Bisa-bisanya dia berbuat kurang ajar pada seseorang yang bahkan tidak dikenalnya. Sumpah, aku benar-benar menyesal mengikuti ajakan Randu datang ke tempat itu.

Randu? Oh, ya ampun! Aku lupa berpamitan. Dia pasti sedang kebingungan mencariku sekarang. Itu pun kalau dia sudah lepas dari kesibukannya merayu si Kaki Kurus.

Belum sempat otakku berhenti memaki, suara serak James Morrison yang menyanyikan lagu kesukaanku, mendadak menuntut perhatian.

"Panjang umur," pikirku saat melihat nama yang muncul di layar handphone.

"Bi ... kamu dimana? Aku cari-cari nggak ada. Sampai aku tungguin depan toilet cewek nyariin kamu." Suara Randu di seberang bercampur dengan The Hum-nya Dimitri Vegas.

"Pulang!" jawabku judes.

"Eh, kok gitu sih. Bukannya bilang-bilang kalau mau pulang. Jadi aku kan nggak perlu nyariin."

"Bodo!"

"Galak banget, sih. Digodain berondong ya, makanya bête."

"Mending berondong. Orang nggak punya otak, tahu nggak?"

"Serius, ih."

"Seriuslah. Serius banget!"

"Nggak jelas, deh."

"Kamu tuh yang nggak jelas. Gara-gara kamu aku jadi apes. Pokoknya jangan pernah ngajak-ngajak ke tempat kayak gitu lagi. Jangan nongolin muka seminggu kalau nggak aku pastiin mukamu bakalan bonyok."

"Waduh. Kamu kenapa, sih?"

Klik.

Kututup sambungan telepon.

Ya, gara-gara Randu aku jadi datang ke club dan bertemu pria menjijikkan itu. Jadi sudah seharusnya Randu jadi pihak yang disalahkan. Hiiiy ... aku bergidik mengingat peristiwa tadi. Mengingat bibirnya yang menempel, matanya yang tajam dan suara husky-nya yang sexy.

Haa ... sexy? Oke, sepertinya aku benar-benar sudah mabuk.

-o0o-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top