19. Banyu : Sorry
I wish i could be a better me, for you
-Unknown-
"Investment Banker? Are you kidding me?" Seruku setengah tidak percaya dengan apa yang kudengar.
"Yep!" Bimala tersenyum ke arahku. "That's how i got all of those shit. Apartment, car, dresses, and more. Fasilitas yang mungkin sulit aku dapet dengan kerjaan aku sekarang."
Aku melongo mendengarnya. Memang sih, aku harus akui kalau pertanyaan itu sempat terlintas juga di kepalaku. Maksudku, dia cuma seorang guru tapi bisa tinggal di apartemen dan fasilitas yang lumayan. Tadiya aku pikir, mantan suaminya. Tapi ternyata....
"As you know, hidup di panti itu nggak mudah and thanks God for scholarship. Lulus kuliah yang ada di otakku cuma gimana caranya biar aku bisa dapat banyak uang. And i made it!" lanjutnya lagi.
"Terus kenapa kamu berhenti kalau uang itu orientasi kamu?"
"Well, i had enough. Aku ngerasa aku udah dapet yang aku mau. Setengah tabunganku aku sumbangin ke panti, aku punya semua yang aku butuh. I need nothing else, so i quitted! Lagian, aku tertarik jadi guru setelah aku ketemu lagi sama Bu Ambar, guruku waktu SD. Cuma ... akhir-akhir ini aku sering kepikiran buat berhenti ngajar, sih."
"Kenapa emangnya?" tanyaku lagi.
"That's another question dan sekarang giliran aku."
"No! Aku masih mau dengerin cerita kamu."
"Nggak ah. Jangan curang dong. It's my turn!"
Oke, ini bukanlah obrolan aftersex karena kami bahkan tidak melakukannya. Kami hanya berbaring di ranjang, berdampingan. Aku merentangkan tanganku dan Bimala menggunakannya sebagai bantal. Jujur, aku memang menginginkan seks, tapi ini toh tidak terlalu buruk. Rasa nyaman yang kudapatkan hampir sepadan meski tidak sehebat orgasme. Dan sekarang kami melakukan semacam truth or dare tapi tanpa dare, just the truth! Jangan tanya, karena yang pasti ini bukan ideku.
"Oke ... oke! What's your question?" Kupandangi wajah Bimala yang juga tengah menatapku. Kami begitu dekat dan mengejutkan kalau aku bisa menahan diri untuk tidak menaikinya.
Bimala menggigit bibir bawahnya. "Kamu ingat waktu aku datang ke kantor kamu dan cerita soal Keira yang di-bully?"
Imajinasiku langsung melayang membayangkan sketsa bertuliskan 'hey bastard'
"Yeah...," jawabku.
"Why they gotta be that mean?"
Aku menghela napas. Ini bukanlah pertanyaan yang kuharapkan dan sayangnya aku tidak bisa menghindar. Tapi aneh rasanya membagi pikiranku dengan orang lain. Maksudku, aku tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini.
"Well, mmm ... dari mana aku mulai? Yah, kayak yang kamu lihat Kei itu nggak terlalu mirip sama Mommy kecuali matanya dan pihak sekolah cuma mengenal Bert, yang jauh lebih nggak mirip lagi, sebagai ayahnya. So ... ini malu-maluin banget, tai masalah sederhana ini bikin dia jadi bulan-bulanan. Ditambah lagi, Kei yang terlalu pendiam dan nggak suka bergaul. They said that she's weirdo. Mereka cuma anak kecil yang ngomong seenaknya tanpa tahu maksud omongan mereka sendiri."
"That's it? Cuma itu aja? Goddamnit! Begitu mereka ketemu Papi kamu dan tahu kalau Kei lebih mirip dia ... selesai kan."
"Only if he cares about it. The fact is, he doesn't ... never!"
"Maksudnya?"
"Welcome to my fuckin' family. Sayangnya nggak sesederhana itu. Lagi juga mereka terlanjur nggak suka sama Kei, dan Mommy juga sedang mempertimbangkan buat mindahin Kei ke sekolah lain."
Aku tersenyum satire. Bimala menyusukkan kepalanya lebih dalam, menempel di dadaku. Dia meraih punggung tanganku dan menciumnya sebelum kembali menatapku dan tersenyum.
"Giliran aku lagi," kataku.
"Okay, Mr. Curiosity."
"Apa yang bikin kamu turn on instantly? "
"Hah? Serius? Pertanyaan macam apa itu." Bimala mengomel dan memukul dadaku lembut. Aku tertawa.
"Iya iya ampun. Aku bercanda." Kutangkap tangannya dan kuletakkan di atas dadaku. Bimala menatapku lembut. "Kamu mimpi apa tadi?"
Dia menarik napas panjang, seolah tidak yakin untuk menceritakannya. "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita. Aku nggak...."
"A very bad dream." Bimala memulai ceritanya, membuatku menutup mulut. "Aku mimpi lihat kamu. You were so scared and begging me to come help. Aku nggak tahu kenapa tapi kamu kelihatan takut. Dan waktu aku mau mendekat, ada orang lain. He looks very scary dan matanya, aku bahkan masih merinding kalau ingat. Aku nggak pernah melihat sesuatu seseram itu. It was like ... demon's eyes or something."
Entah sadar atau tidak, aku merasakan tangan Bimala mencengkeram dadaku. Kurasa, dia benar-benar takut dan entah kenapa, aku merasa aku baru saja mengajukan pertanyaan yang salah.
"Who is he?" tanyaku, yangn langsung kusesali hanya dalam hitungan detik.
Ada jeda cukup lama karena Bimala tidak langsung menjawab pertanyaanku. Kueratkan pelukanku, mencoba membuatnya merasa terlindungi. Berharap itu bisa mengurangi debaran jantungnya yang begitu cepat.
"You!"
Seperti ada busur panah yang dilesatkan ke dadaku, saat Bimala mengatakan itu. Sesuatu di dalam diriku -entah apa- terasa seperti terkena sengatan listrik. Darahku berdesir membayangkan Bimala melihatku, melihat iblis di dalam diriku. Wajah pias Bimala yang menatapku takut di rumah Mommy kembali terlintas. Kucium puncak kepalanya, yang bukan lagi untuk menenangkannya, tapi juga diriku sendiri.
"Itu cuma mimpi, Sayang. Itu pasti karena kita bertengkar di rumah Mommy. It's not real." Entah untuk siapa kalimat itu kutujukan.
"I know it's ridiculous. But I'm so afraid and I don't even know why."
Aku tahu. Aku tahu bagaimana rasanya, Sayangku.
"Sekarang giliran kamu lagi. Masih ada yang mau kamu tanyain sama aku ?"
Bimala menggeleng pelan, "enggak. But i have a request"
"Apa itu ?"
"Can we just sleep like this ?"
Aku tersenyum mendengarnya. Apa dia benar-benar merasa perlu memintanya. Mana mungkin aku melepas pelukanku.
"Sure, Honey. Memangnya kamu pikir aku mau melepas pelukanku apa?"
Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku merasa kalau dia tersenyum. Dia memelukku lebih erat lagi dan memindahkan kepalanya dari lengan ke dadaku. Perlahan napasnya mulai teratur, berbeda dengan jantungku yang justru malah berdetak liar, mendengar kata-katanya yang tertingal di kepalaku. Membangkitkan kilasan ketakutan yang membuat hatiku silu saat aku menyakitinya. Kalau saja aku bisa, aku ingin bilang kalau aku tidak bermaksud menyakitinya. Kalau aku bahkan....
"Bi...."
"Hem," jawabnya pelan, terlalu pelan..
"I'm sorry!"
"Buat apa?"
"Aku ... for hurting you. Aku ... aku nggak pernah bermaksud seperti itu. I wish I could control myself. I... I ... also I got a very bad dream." Kurasakan dia mengangkat kepalanya dari dadaku dan mungkin menatapku sekarang. Tapi, aku tidak ingin melihatnya. Aku tidak mau dia menemukan ketakutan yang kini juga menyergapku. Ketakutan yang bertahun-tahun menghantuiku.
"Bay, kamu nggak...."
"Waktu itu....Waktu aku nggak sengaja nyakitin kamu.... Waktu itu aku mimpi. A-aku...."
Tidak! Apa yang kulakukan. Aku tidak bisa membicarakannya. Aku tidak....
"Banyu!"
"I love you. Please, percaya sama aku." Susah payah, kutahan ledakan emosi yang kini berontak di kepalaku. Mencoba membobol, menyerbu kelur hingga pikiranku sepenuhnya menembus kekangan tengkorak yang mengurungnya. Kalau saja bisa, tanpa harus susah-susah mengubahnya ke dalam bahasa verbal, aku ingin dia tahu. Aku ingin Bimala tahu kalau aku....
"Aku tahu!" katanya tiba-tiba
Ragu-ragu, kutantang mata cokelatnya yang menatapku lembut. Tatapannya menyiratkan kepercayaan yang entah dari mana dia dapatkan. Harusnya dia tidak percaya. Harusnya dia menjauh, tapi kenapa?
"Aku ... aku akan berubah buat kamu, Bi. Aku janji!"
Bimala tidak menjawab lagi. Dia hanya tersenyum, lalu memberiku ciuman ringan di bibir sebelum memindahkan kepalanya kembali ke atas dadaku, tepat di atas jantungku. Aku mengelus kepalanya, mengusapnya lembut seperti bayi hingga dia tertidur. Dan sesuai permintaannya, kami tetap seperti itu hingga pagi.
-o0o-
Happy New Year.
Last update for this year, yaaa 😂
Saya mau tiup terompet dulu😬
Happy holiday dan makasih yang udah nemenin Mas Bay sampai penghujung tahun. Kiss kiss 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top