17. Bimala : It's Not You
When you feel my heat
Look into my eyes
It's where my demons hide
It's where my demons hide
( Imagine Dragons - Demons )
"Where's Bert?"
Banyu bertanya sebelum menyesakkan potongan medium sirloin steak ke mulutnya. Sebenarnya pertanyaan yang sama juga ingin kusampaikan, tapi aku urung. Aku belum terlalu lama di sini, atau lebih tepatnya, ini pertama kalinya aku ke rumah Mommy Banyu setelah hampir sebulan kami berhubungan. Time flies too fast dan memang itulah yang sering terjadi saat kita menginginkan waktu berputar lebih lama. Sialnya, di perkenalan pertama, Banyu sudah membuatku salah tingkah.
Bagaimana tidak?
Like i said, ini pertama kali aku bertemu Jane –Mommy Banyu, tapi dia bahkan tahu bagaimana kami bertemu di club termasuk insiden memalukan itu. Well, di satu sisi aku senang karena merasa diterima, tapi malu kan? Belum lagi mulut kurang ajarnya yang meledekku di setiap kesempatan. Ditambah Kei yang sejak tadi menyerang dengan tatapan apa-yang-kau-lakukan-dengan-kakakku, membuat mukaku semakin mirip udang rebus.
"Dia masih di Frankfurt." Jane menjawab santai.
"For bookfair?" tanyaku berminat. Ehm, aku memang tertarik sih.
"Yes!" Jane tersenyum.
"Bert itu dosen. Dia mengajar Seni dan Arsitektur Belanda. Dia juga aktif di kegiatan-kegiatan kebudayaan, something that I don't know what is all of it for. Dia tipe orang yang rela panas-panasan cuma buat nonton sekatenan dan pulang dengan kulit terbakar. That's him!"
Penjelasan Banyu berhasil membuat mata sipit Jane mendelik lebar dan Keira tersenyum simpul. Sementara aku tidak tahu harus berkomentar apa selain meringis.
"Oh, don't be so mean, please. That's my husband."
Banyu mengangkat kedua tangannya seperti pencuri yang tertangkap aparat, lalu bangkit dari kursi dan menghilang ke dapur.
"Saya harap kamu udah terbiasa sama mulutnya, Banyu. Dia memang suka begitu."
Aku tersenyum simpul, "I-iya. Kadang-kadang mulutnya memang suka seenaknya.
"Anyone want some beers?" Suara Banyu kembali terdengar dari dapur.
Aku menggeleng saat Jane menatapku untuk mengonfirmasi tawaran Banyu.
"No thanks, Honey" teriaknya. "He just can't get enough with alcohol," lanjut Jane lagi, setengah berbisik.
Aku tak menjawab dan hanya tersenyum, terutama saat mendapatkan mata hazel Keira yang sedang menatapku. Gadis kecil ini, sejak tadi lebih banyak diam, beda jauh dengan Banyu yang hampir tidak bisa menutup mulutnya.
"Hei, Sweetie? Is there anything wrong?" tanyaku sambil meneguk air putih.
"Ibu pacaran sama Mas Banyu, ya?"
Shit! Hampir saja! Untung aku cukup terkontrol, jadi tidak perlu menyemburkan air yang memenuhi mulut mendengar pertanyaan polos itu. Eh, tunggu! Anak polos mana yang kenal kata 'pacaran'? Kututup mulutku dengan tangan untuk meredam batuk yang datang tiba-tiba sambil melirik Jane yang mencoba menahan tawanya.
"Oh ... umm ... itu ... we're friend!" Aku tergagap, dan Kei masih menatapku.
"Close friend!"
Cih! Dia lagi! Aku mendelik sementara Banyu malah tersenyum nakal menatapku sekembalinya dari dapur. Diraihnya tanganku yang tak bisa berhenti mengetukkan jari ke meja makan. "And we're close enough to give each other a kiss and hug, and...."
"Ehem!" Jane berdehem keras. Aku menundukkan kepala dan mendesis panjang. Mukaku yang seperti udang rebus bahkan terasa kebas sekarang.
"You know...." Banyu mengedipkan sebelah mata sambil menenggak bir dingin yang dibawanya. "So, please stop calling her 'Ibu', and try to call her by ... 'kakak' gimana? It's sooo ... much better!"
Keira memandangku sekali lagi sebelum kembali berkutat dengan hidangan makan malamnya. Tanpa reaksi.
You better die soon, Banyu! You and your fuckin' big mouth.
-o0o-
"Kamu tahu aku, Dit." Ada jeda sejenak dalam kalimatku, "berita buruk dulu."
Lima puluh enam detik yang lalu, ponselku berbunyi dan membuatku harus menjauh dari Banyu, juga keluarganya. Ada Didit di seberang sana yang tanpa basi-basi langsung memberiku dua pilihan berita mana yang ingin kudengar lebih dulu.
"Oke. Listen! Aku udah berusaha merekomendasikan lukisan anak didik kamu ke panitia. Mereka setuju kalau dia itu anak yang berbakat. Dan suatu saat nanti, bukan nggak mungkin dia bisa jadi pelukis hebat. But the thing is, mereka menilai bahwa dia masih terlalu muda untuk bergabung dengan seniman lain yang sorry, punya jam terbang lebih tinggi. Selain itu, waktunya mepet banget kalau kami harus memasukkan satu seniman baru. So, they said no for her. I'm sorry."
Kata-kata Didit terdengar seperti goresan silet; pelan, dalam, menyakitkan. Aku mengembuskan napas panjang. "Cuma karena itu? Is it because she's too fucking young atau karena dia belum punya pengalaman?" Aku tahu aku tidak punya hak untuk memprotes penilaian DKJ, tapi rasanya aku kurang menerima alasan mereka.
"I'm not finished yet, Bi." Suara Didit di seberang terdengar lembut, membuatku merasa tidak enak hati.
"Iya maaf maaf. Lalu gimana?"
"The good news is, aku berhasil menemukan tempat yang bisa nunjukkin karyanya. Dalam tiga bulan, ada seniman mau ngadain pameran di ballroom hotel gitu. Aku udah kasih lihat lukisan Keira dan dia tertarik untuk memasukkan lukisan yang judulnya Ruang."
Mulutku terbuka mendengar kata-kata Didit, bersamaan dengan otakku yang mengumpulkan kepingan-kepingan ingatan yang saat disatukan membentuk gambar sebuah ruangan berdinding krem dengan lantai tertutup karpet dan sebuah sofa kecil warna kuning muda yang mencuri perhatian. Lukisan itu dibuat Keira menggunakan cat minyak. Lukisan sederhana yang menggambarkan suasana hangat dan nyaman sebuah ruang keluarga.
"Seriously? Kamu nggak bohong kan, Dit?" tanyaku retoris. Oh, aku sampai ingin menangis saking senangnya.
"Ya nggaklah, Bi. Masa iya aku bohong."
"Oh my God! Kamu nggak tahu gimana senangnya aku sekarang. You're the best, Dit. Ah ... i love you so much. Kalau kamu ada di depanku sekarang, sumpah aku bakalan meluk kamu sampai sesak napas."
"Wah, thanks God i'm not there right now! Oh iya, minggu depan atur waktu supaya aku bisa ketemu Keira ya, sama kamu juga."
"Sip! Nanti aku hubungi lagi ya, kapan kita bisa ketemu."
"Great. I'm waiting for your call."
" Sekali lagi makasih banyak, Dit. You're awesome."
Aku tersenyum. Bahkan setelah sambungan telepon terputus, aku masih tersenyum. Sungguh aku benar-benar senang mendengar berita ini, dan aku tahu pasti kalau Keira juga akan sangat gembira. Rasanya aku tidak sabar untuk segera mengabarkan pada semua orang.
Tapi, sepertinya niatku harus tertunda sejenak, karena saat aku berbalik, kutemukan Banyu sedang menatapku tajam. Dingin.
Pertama kali aku melihat Banyu menatapku seperti itu adalah saat dia menciumku di bar. Dan kedua kali aku melihatnya, dia mencekikku kalap. Sorot matanya menakutkan, seperti bukan dirinya yang kukenal. Dia berjalan pelan, mendekatiku yang berdiri gemetar menatapnya.
"You're the best? I love you so much?"
Banyu mengulangi yang kukatakan di telepon. Nadanya sangat mengintimidasi.
"Apa maksudnya itu?" lanjutnya lagi.
Kutelan ludah. Jantungku berdetak cepat, atau terlalu cepat saat tangannya menyentuh pipiku, membuat bulu tubuhku meremang. Biasanya aku akan menikmati sentuhan itu, tapi tidak kali ini. "B-Bay, ini nggak seperti yang kamu pikir." Dengan suara gemetar, aku mencoba menjelaskan yang sepertinya tidak digubris olehnya.
"You are mine!" katanya. Suaranya lembut tapi mencekam.
"Banyu, please. Jangan kayak gini. Kamu bikin aku takut." Matanya mendelik mendengar kata-kataku, membuat dadaku sesak.
Gerakan tangannya terhenti. Tapi tidak dengan debaran jantungku yang terdengar seperti bom waktu yang siap meledak. "Takut? Kamu takut sama aku? I love you, Sweetheart. You know that."
Sial! Aku bahkan tidak tahu cinta yang mana yang sedang dia bicarakan. Yang pasti, aku tidak mencintainya untuk ini. Dari jarak sedekat ini, bisa kudengar napas Banyu yang memberat. Dadanya naik turun, mungkin menahan amarah yang terlihat jelas di matanya yang nyalang menatap langsung ke mataku.
"Banyu aku bisa jelasin. Jangan salah paham! Itu nggak seperti yang kamu pikir."
Dengan tangan kanannya, Banyu membelai pipiku sekali lagi, sementara tangan kirinya tetap memegang sebotol bir dingin. Matanya merah, bau alkohol menyengat dari mulutnya yang sedikit terbuka sebelum akhirnya menciumku. Lidahnya menyapu bibirku kasar. Tidak, aku sama sekali tidak menikmatinya. Dia menekan bibirnya lagi tapi aku tidak membalas, sampai akhirnya dia menyerah.
"Why?" tanyanya dengan napas memburu.
"Because ... it's not you," jawabku dengan bibir gemetar.
Alis mata Banyu terangkat. Jakun di tenggorokannya bergerak saat dia menelan ludah. Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di pikirannya sekarang. "Not me?" tanyanya lagi.
Takut-takut, aku mengangguk perlahan. Tangannya Banyu bergerak, mencoba untuk menyentuhku—lagi. Dan perlahan namun pasti, sorot matanya mulai meredup.
"Cookies, anyone?"
Suara Jane lantang terdengar seperti petir di siang bolong, memecah ketegangan antara aku dan Banyu. Dia berpaling dariku dan menenggak bir di tangannya. Aku sendiri menarik napas mencoba menenangkan diri saat Jane masuk membawa sepiring choco chips.
"What's wrong?"
Jane sepertinya menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Meski aku sudah mencoba sebaik mungkin untuk tersenyum santai, ketegangan masih belum benar-benar hilang. Kulirik Banyu yang sepertinya juga merasakan hal yang sama.
"Nothing! Cuma sedikit ketegangan." Banyu mengambil alih sementara aku hanya bisa diam.
"Banyu?" Jane menatap Banyu meminta penjelasan. Jelas terlihat kalau dia tidak percaya begitu saja.
"Nggak ada yang serius. Cuma sedikit salah paham," kataku pada akhirnya.
"I told her that I can't stand of jealousy. Banyu selalu bilang kalau Banyu nggak suka dia dekat sama pria lain apalagi sampai menjauh saat terima telepon. But she just did." Kembali pria itu melirikku. Dingin.
"I tried to explain, tapi kamu yang nggak mau denger. Kamu bahkan nggak ngasih aku kesempatan." Aku tahu ini memalukan. Tidak seharusnya kami berdebat di depan Jane, tapi aku benar-benar tidak bisa menahan diri.
"Come on, Honey. Grow up! Jangan kayak anak kecil dong."
Jane berjalan ke arah Banyu. Disentuhnya wajah putranya itu dengan kedua tangannya. Mulutnya bergerak mengatakan sesuatu—entah apa. Aku tidak bisa dengar karena sepertinya dia memang sengaja supaya aku tak perlu mendengar. Sesaat Banyu menatapku lalu kembali menatap Jane sebelum perempuan yang masih cantik di pertengahan abad itu berpaling dan melempar senyum untukku.
"Don't worry, Mom. Everything is gonna be alright. She knows that I love her with all of my heart."
Ada penekanan di setiap kata-katanya, membuatku yakin bahwa kalimat itu lebih ditujukan untukku, bukan untuk Jane. Kubuang napas berat. Andai saja dia tahu bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama.
"So ... cookies?"
Aku benar-benar malu melihat Jane yang berusaha keras untuk mencairkan suasana. Kukembangkan senyum membalasnya yang juga tersenyum penuh arti. Tak ingin lebih merusak suasana, akhirnya aku memutuskan untuk tidak membahas lagi dan sepertinya Banyu juga sepakat.
"Anyway, saya punya berita," kataku setelah menghabiskan satu choco chips. Hampir bersamaan, pandangan Jane dan Banyu tertuju padaku. "Pihak DKJ baru aja ngasih tahu kalau ada yang tertarik untuk mengikutkan karya Keira di sebuah pameran."
Mulut kecil Jane menganga lebar. Dia tampak terkejut tapi raut bahagia terpancar jelas di wajahnya."Oh My God! That is ... great! I can't believe this!" Wanita Belanda itu mendekat dan melingkarkan kedua tangannya memelukku. Dari balik bahu Jane, aku melirik Banyu yang masih diam di tempatnya. Tidak bergeming dan masih menatapku dingin.
"She will be very happy," kata Jane sambil melepas pelukannya.
"Biar Banyu yang kasih tahu Kei."
Tanpa memandangku, Banyu berlalu meninggalkan kami berdua dan naik ke lantai dua. Dia tidak berkomentar apa pun padahal seharusnya dia tahu bahwa pihak DKJ yang kumaksud adalah Didit. Ada sedikit nyeri yang kurasakan tiba-tiba, menyadari bahwa bukan sekedar kecemburuan yang membuatnya marah.
"Maafkan Banyu!" Jane menyentuh pundakku lembut seolah membaca pikiranku.
Aku tersenyum getir.
"Mungkin ini nggak ada artinya buat kamu, tapi saya mau kamu tahu satu hal...." Jane meraih tanganku dan menatapku tajam. "I'm so glad that he found you. I've never seen him this happy before. Dia nggak pernah bahagia dan itu adalah kegagalan kami sebagai orang tuanya. Kamu nggak tahu bagaimana senangnya saya saat dia bilang kalau dia menyukai seseorang. Saya benar-benar berdoa buat kalian berdua dan semoga kamu bisa membuat dia berubah."
Aku tidak mengerti kenapa Jane mengatakan semua ini, tapi apa pun alasannya dia terlihat tulus. Entah itu hanya perasaanku atau aku memang melihat ada bulir bening yang ditahan di sudut matanya. Dan pada saat seperti ini, aku benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa.
"You brought a lot of happiness to my kids, Keira and Banyu. And I wish ... you could be the joy inside his tears."
Aku mematung. Pikiranku seperti dihujani jutaan pertanyaan tentang Banyu, tentang keluarga ini, tentang hidupku di saat aku sendiri bahkan belum tahu akan dibawa ke mana hubungan kami. Apalagi aku masih belum bisa menghadapi amarah Banyu yang seringkali membuatku bergidik ngeri. Aku bahkan tak bereaksi saat Jane memelukku lagi, dan akhirnya menangis—pelan.
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top